Anda di halaman 1dari 25

KURIKULUM

MONTESSORI DAN HELLEN PARKHURST

DI SUSUSN OLEH : KELOMPOK 5


1. Eva Susmadiana NIM 2017142005
2. Nista Olga Taria Y NIM 2017142014
3. Pramita Sofia Mardani NIM 2017142021
4. Kiki Safitri NIM 2017142024

Mata Kuliah : Telaah Kurikulum


Dosen : Melinda Puspita Sari Jaya, M.Pd
Kelas : 3a

UNIVERSITAS
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PALEMBANG
2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kepada Allah SWT dan solawat serta salam
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “Kurikulum Montessori dan Hellen
Parkhurst”. Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Telaah Kurikulum.
Kami menyadari bahwa tanpa dukungan dan perhatian serta bimbingan baik dari
pembimbing, keluarga, dan teman-teman sekalian penyusunan makalah tidak dapat berjalan
dengan baik. Maka dari itu, dengan setulus hati kami berterima kasih kepada pihak – pihak yang
telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada tim penyusun makalah yang berjudul
“Kurikulum Montessori dan Hellen Parkhurst”.
Akhir kata kami sebagai tim penyusun menyadari bahwa makalah yang berjudul
“Kurikulum Montessori dan Hellen Parkhurst” ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami
memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan pada penyusunan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan
pendidikan kita semua. Untuk kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
dalam rangka perbaikan makalah ini.

Palembang, Desember 2018

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………….. i
Daftar Isi………………………………………………………………..…. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan............................................................................. 3
1.3 Rumusan Masalah............................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Pendidikan Montessori………………............................. 5
2.1.1 Riwayat Hidup Montessori..................................................... 5
2.1.2 Pendidikan Montessori............................................................ 6
2.1.3 Pandangan Montessori........................................................... 10
2.2 Implementasi Pendidikan Montessori.................................................. 17
2.2.1 Area-Area Dasar..................................................................... 17
2.2.2 Karakteristik Kelas Montessori.............................................. 19
2.3.2 Peranan Guru Montessori....................................................... 19
2.3 Pandangan Pendidikan Hellen Parkhurst............................................ 20
2.3.1 Sejarah Singkat Hellen Parkhurst......................................... 20
2.3.2 Pandangan Hellen Parkhurst................................................. 20
2.4 Implementasi Pendidikan Hellen Parkhurst........................................ 21
2.4.1Karakteristik Kelas Hellen Parkhurst..................................... 21
2.4.2 Tugas Pendidik…………….................................................... 21
2.4.2 Bahan dan Tugas Belajar…………...................................... 22

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paud merupakan pendidikan yang paling fundamental (utama) karena perkembangan
anak di masa selanjutnya sangat ditentukan oleh berbagai stimulasi bermakna yang diberikan
sejak usia dini. Pendidikan anak usia dini harus dipersiapkan secara terencana dan bersifat
holistik agar dimasa emas perkembangan anak mendapatkan stimulasi yang utuh, sehingga
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka pengembangan potensi tersebut adalah dengan program pendidikan yang
terstruktur. Salah satu komponen untuk pendidikan yang terstruktur adalah kurikulum.1
Kurikulum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas), Bab I Pasal I Poin 19 adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.2 Menurut
Hamid Hasan (Sudin Ali, 2014) istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, di mana
satu dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan, Keempat dimensi kurikulum tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum sebagai suatu ide
2. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenarnya merupakan perwujudan dari
kurikulum sebagai suatu ide
3. Kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering pula disebut dengan istilah kurikulum
sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoritis dimensi kurikulum ini
adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
4. Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan suatu konsekuensi dari kurikulum
sebagai suatu kegiatan

Kurikulum dalam dunia PAUD yang dikutip dalam Ahmad Mushlih (2018) dapat
diartikan sebagai seperangakat bahan ajar yang mencakup tujuan, isi dan bahan belajar,
1
Dadan Suryana, Pendidikan Anak Usia Dini Stimulasi dan Aspek Perkembangan, (Kencana, Jakarta,
2016), Hlm. 354
2
Ahmad Mushlih dkk, Analisis Kebijakan PAUD Mengungkap Isu-Isu Menarik Seputar AUD, (Mangku
Bumi, Jawa Tengah, 2018), Hlm. 216-217
khususnya pada siswa usia dini (0-6 tahun) untuk mencapai tumbuh kembang secara optimal.
Kurikulum PAUD dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan perkembangan (standard
perfomence) anak pada segala aspek perkembangan sehingga dapat membantu menyiapkan anak
beradaptasi secara kreatif dengan limgkungan masa kini dan masa depan kehidupannya. 3
Bredekamp, Copple, dan Wiliam dalam Yuliani Nuraini Sujiono (2013) menyakini bahwa
pengembangan kurikulum berhubungan dengan mutu program pembelajaran secara keseluruhan.
Ketiganya setuju dengan asumsi bahwa dalam pengembangan kurikulum anak usia dini harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kurikulum harus berfokus pada keseluruhan perkembangan anak dan dibuat secara
terprogram dengan mengintegrasikan emua bidang pengembangan.
2. Guru sebagai pengembang kurikulum harus memiliki pemahaman yang memadai tentang
teori perkembangan dan teori belajar.
3. Anak adalah pembelajar aktif, sehingga pendekatan yang paling tepat dalam
pembelajaran anak usia dini adalah melalui kegiatan bermain.
4. Kurikulum haruslah merefleksikan peranan konteks sosial dan budaya sesuai dengan
tahapan perkembangan anak.

Secara khusus pengembangan kurikulum juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip


perkembangan anak usia dini, yaitu:4
1) Proses kegiatan belajar pada anak usia dini harus dilaksanakan berdasarkan prinsip
belajar melalui bermain.
2) Proses kegiatan belajar pada anak usia dini dilaksanakan dalam lingkungan yang
kondusif dan inovatif baik didalam ruangan ataupun di luar ruangan.
3) Proses kegiatan belajar pada anak usia dini dilaksanakan dengan pendekatan tematik dan
terpadu; serta
4) Proses kegiatan belajar pada anak usia dini harus diarahkan pada pengembangan
potensikecerdasan secara menyeluruh dan terpadu.
Meniru atau menggunakan model pendidikan dari negara lain bukanlah hal yang salah
ataupun tabu. Bukan berarti model pendidikan yang ada di Indonesia itu tidak bagus. Model

3
Trianto, Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik Bagi Anak Usia Dini TK/RA & Anak Kelas Awal
SD/MI, (Kencana, Jakarta, 2011), Hlm. 8
4
Yuliani Nuraini Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Indeks, Jakarta, 2013), Hlm.200
pendidikan yang dipakai suatu lembaga pendidikan akan mempengaruhi perancangan kurikulum
lembaga tersebut. Model pendidikan anak usia dini yang sering digunakan adalah model
pendidikan Montessori. Hal ini karena pendidikan Montessori memiliki program yang
berkualitas bagi anak seperti kelas yang teratur, terarah, dan tenang dimana anak sebagai pusat
proses pembelajaran.5 Selain Montessori, ada model pendidikan dari Hellen Parkhurst yaitu
Laboratory Plan. Dalam kondisi ini Parkhurst mengibaratkan kelasnya seperti laboratorium
anak-anak, sehingga ia menamakannya ‘Laboratory Plan’. Model pendidikan yang dipelopori
oleh Montessori maupun Hellen Parkhurst memiliki program pendidikan yang memperhatikan
perbedaan individu, sehingga sangat cocok diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan anak
usia dini.

1.2 Maksud dan Tujuan


Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Telaah Kurikulum dan
sebagai bahan kajian pustaka tentang materi kurikulum Montessori dan Helen Parkhurst. Adapun
maksud dan tujuan secara khusus adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan pandangan pendidikan Montessori
2. Menjelaskan implementasi pendidikan Monteseri dalam kurikulum PAUD
3. Menjelaskan pandangan pendidikan Hellen Parkhurst
4. Menjelaskan implementasi pendidikan Helen Parkhurst dalam kurikulum PAUD
1.3 Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, ada masalah-masalah yang akan dibahas pada bab
pembahasan. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan pendidikan Montessori?
2. Bagaimana implementasi pendidikan Montessori dalam kurikulum PAUD?
3. Bagaimana pandangan pendidikan Hellen Parkhurst?
4. Bagaimana implementasi pendidikan Helen Parkhurst dalam kurikulum PAUD?

BAB II
PEMBAHASAN

5
George S. Morrison. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Terj. Suci Romadhona & Apri Widiastuti.
(PT. Indeks, Jakarta, 2012), Hlm. 110
2.1 Pandangan Pendidikan Montessori
2.1.1 Riwayat Hidup Montessori
Maria Montessori lahir di Italia pada tahun 1870 di kota Chiaravalle. Maria Montessori
adalah anak satu-satunya dari keluarga kelas menengah. sebagai anak muda, dia mempunyai
minat dan bakat yang besar pada sains, orang tuanya mengirimkannya ke Roma untuk belajar
agar Maria memperoleh kelebihan-kelebihan pendidikan sebuah kota besar. Meski orang tuanya
ingin Maria menjadi guru, dia justru memutuskan untuk menekuni bidang kedokteran. Pada
tahun 1896, dia menjadi wanita pertama di Italia yang mendapatkan gelar Doctor of Medicine.
Setelah lulus dari sekolah kedokteran, Maria bekerja di klinik psikiatrik Universitas Roma dan
pekerjaannya yang berhubungan dengan masalah cacat mental ini sangat membantunya dalam
menuangkan gagasan-gagasan pendidikan pada masa-masa yang akan datang. Maria Montessori
memiliki ketertarikan besar pada bidang reformasi sosial, ditambah juga ia seorang dokter anak,
dia menjadi agak sensitif pada keadaan buruk anak-anak yang dikurung tanpa kegiatan apapun
dan tanpa stimulasi sensori apapun. Maria Montessori yakin bahwa anak-anak tersebut bukannya
tidak berguna, hanya saja otak mereka tidak pernah distimulasi.6
Pada tahun 1899 Montessori terlibat dalam pendirian sekolah Orthoprenich di Roma,
bersama koleganya ia melatih guru-guru dengan metode spesial, untuk mengamati dan mendidik
anak dengan keterbelakangan mental. Pada tahun 1901 Maria Montessori berhenti bekerja
disekolah Orthoprenich untuk belajar lebih lanjut tentang antropologi, psikologi dan filosofi
pendidikan di universitas Roma. Sambil belajar dan menyiapkan dirinya dalam karier di bidang
pendidikan, Montessori bertemu dengan orang yang paling berpengaruh bagi hidupnya yaitu
Friedrich Froebel. Dan, pada tahun 1904 Montessori ditunjuk sebagai professor dari Pedagogi
Antropologi di Universitas Roma. Kemudian, pada tahun 1906, Montesori diminta untuk
mengorganisasi sekolah usia dini yang dibangun di daerah kumuh dan program pembangunan
kembali perumahan. Pada tahun 1909, sebagai hasil minatnya yang besar terhadap Casa dei
Bambini, Maria Montessori menerbitkan Scientific Pedagogy as Applied to Child Education in
the Children's Houses. Karyanya ini menarik perhatian masyarakat dan orang-orang Amerika
yang pertama memberikan tanggapan. Pada awal abad ke-20 Montessori ditunjuk menjadi
pemilik sekolah oleh pemerintah Italia, namun tidak berlangsung lama. Ia lalu menghabiskan

6
Lesley Britton, Monteseri Play and Learn, Terj. Ade Kumalasari, (PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta,
2017), Hlm. 2-3
waktunya di Institut Pelatihan Guru Barcelona, Spanyol. Lalu, ia meninggalkan Spanyol pada
tahun 1930-an dan metap di Belanda.7
Pada tahun 1939 Montessori menetap di India selama perang di Inggris dan mulai
membangun pergerakan pendidikannya, dan hasilnya berbuah manis, kini India menjadi pusat
pendidikan Montessori yang berkualitas. Kemudian, ia kembali ke Inggris pada tahun 1946 dan
mulai menghidupkan lagi pergerakan pendidikannya disana. Lalu, ia meninggal dunia di Belanda
pada tahun 1952.8

2.1.2 Pendidikan Montesssori


Dalam metode pendidikan Montessori, ada beberapa aspek pendidikan dimana
lingkungan menjadi prinsip metode pendidikan Montessori, diantaranya adalah :9
a) Pentingnya Kebebasan (Concept of Freedom)
Metode pendidikan Montessori menekankan pentingnya kebebasan. Karena dalam
nuansa atau iklim yang bebaslah anak dapat menunjukkan dirinya. Tugas orang dewasa
adalah bertanggung jawab dalam membantu perkembangan fisik mereka, oleh karena itu
dalam setiap aktivitasnya harus disediakan ruang yang bebas dan terbuka. Batasan sebaiknya
tidak boleh terjadi dalam lingkungan bebas, maka dari itu Montessori menyarankan
beberapa hal sebagai berikut:
 Kebebasan bergerak, anak diberi kebebasan bergerak kemana saja baik didalam
maupun diluar ruangan.
 Kebebasan memilih, anak bebas memilih aktivitasnya sendiri dalam kelas.
Kebebasan memilih ini akan membantu anak mengembangkan kebiasaan kerja dan
meningkatkan konsentrasi. Konsekuensinya kita harus menyediakan beragam
aktivitas yang telah dirancang dan disiapkan sedemikian rupa untuk kebutuhan
perkembangan mereka.
 Kebebasan berbicara, pendidikan Montessori berbeda dengan pendidikan tradisional.
Dalam pendidikan tradisional guru lebih dominan berbicara. Dalam pendidikan
Montessori sebaliknya, anak memperoleh kebebasan berbicara dengan siapa saja
yang mereka mau. Bagi yang belum siap, tidak dipaksa, tetapi diarahkan untuk
7
Ibid, Hlm. 5-9
8
Ibid, Hlm. 10
9
Dadan Suryana, Pendidikan Anak Usia Dini Stimulasi dan Aspek Perkembangan, (Kencana, Jakarta,
2016), Hlm. 17-22
bergabung dengan kelompok untuk saling berbagi.
 Kebebasan untuk tumbuh, dalam pendidikan Montessori anak memiliki kebebasan
untuk tumbuh dan membangun kemampuan mental mereka dalam lingkungan yang
dirancang. Semua benda atau alat bermain dalam kelas Montessori dirancang untuk
membantu mereka tumbuh kembang secara alami.
 Bebas untuk menyayangi dan disayangi, anak memiliki hak untuk disyangi dan
menyayangi tanpa pandang bulu (pilih kasih). Jika mereka merasa diperhatikan sama
dengan yang lain, dimana guru tanpa ada pilih kasih, maka mereka akan menghargai
orang lain dan lingkungannya dengan carayang sama.
 Bebas dari bahaya, anak memiliki hak untuk tumbuh dari bahaya. Maksudnya, anak
diberikan pengetahuan melalui pelatihan yang sistematis tentang keterampilan hidup
seperti bagaimana membawa barang mainan dengan cara yang benar jika tidak, maka
akan membahayakan dirinya
 Bebas dari persaingan, agar tidak mengganggu kebebasan anak untuk memilih, maka
tidak ada kompetisi, reward atau hukuman dalam pendidikan Montessori.

Melalui kebebasan-kebebasan dalam kelas Montessori, maka anak akan memperoleh


kesempatan-kesemapatan unik terhadap tindakannya sendiri. Mereka akan menyadari segala
konsekuensi atas apa yang ia lakukan, baik terhadap dirinya maupun orang lain. Mereka
belajar membuktikan atau menguji dirinya terhadap batasan-batasan realistis, mereka akan
belajar tentang apa saja yang membuat ia atau orang lain merasa puas atau sebaliknya
merasa kosong, tidak puas atau kecewa. Peluang untuk mengembangkan pengetahuan diri
(self-knowledge) inilah yang merupakan hasil penting dari kebebasan yang kita ciptakan
dalam kelas Montessori.

b) Struktur dan Keteraturan (Structure and Order)


Struktur dan keteraturan alam semesta harus tercermin dalam lingkungan kelas
Montessori. Dengan demikian, anak akan menginternalisasinya dan akhirnya membangun
mental dan intelegensinya sendiri terhadap lingkungan. Melalui keteraturan anak akan
belajar untuk percaya pada lingkungan dan belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan
dengan cara yang positif. Hanya dalam lingkungan yang dirancang dengan tepat dan benar,
anak dapat mengkategorisasikan persepsinya yang pada akhirnya nanti akan membentuk
pemahaman mereka yang benar terhadap realistis dunia.
Melalui keteraturan, anak tahu kemana harus mencari barang mainan yang ia
inginkan. Oleh karena itu, harus merancang penempatan barang mainan sesuai dengan
klasifikasi berdasarkan keteraturan tertentu. Sebagai contoh, alat bermain ditempatkan
dalam rak yang rendah sehingga terjangkau anak, ditata rapid an teratur sesuai dengan
kategori, begitu pula halnya dengan ruangan kelas tertata sedemikian rupa dengan penuh
keteraturan.

c) Realistis dan Alami


Lingkungan pendidikan Montessori didasarkan pada prinsip realistis dan kealamian.
Anak harus memiliki kesempatan untuk menginternalisasikan keterbatasan alam dan relistis
suapaya mereka terbebas dari sikap berangan-angan (fantasy) atau ilusi, baik yang bersifat
psikis maupun psikologis. Hanya dengan cara ini mereka mengembangkan disiplin diri dan
keamanan yang dia perlukan untuk menggali dunia eksternal dan internal mereka serta untuk
menjadikan mereka pengamat realistis hidup yang aktif dan apresiatif. Alat bermain dan
lingkungan dalam kelas Montessori didasarkan pada konsep realistis. Sebagai contoh, anak
dihadapkan dengan telepon sebenarnya, gelas sebenarnya, setrika dan pisau sebenarnya.
Semuanya adalah benda sebenarnya (nyata).

d) Keindahan dan Nuansa


Lingkungan Montessori harus sederhana. Semua yang ada didalamnya harus
memiliki desain dan kualitas yang baik. Tema warna harus menunjukkan kegembiraan.
Nuansa ruangan harus terkesan santai dan hangat sehingga mengundang anak untuk bebas
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran di kelas.

e) Alat Bermain Montessori (Montessori Materials)


Montessori Materials bukanlah semata-mata alat bermain tetapi semua benda yang
ada di dalam lingkungan. Tujuan semua benda itu bukan hanya bersifat eksternal untuk
mengajarkan anak keterampilan, tetapi tujuan utamanya adalah bersifat internal untuk
membantu perkembangan fisik dan pembangunan diri anak. Benda-benda (alat-alat) tersebut
harus membantu pembentukan internal anak, sehingga harus sesuai dengan kebutuhan
internal anak. Artinya, benda-benda tersebut harus disajikan atau diberikan pada momen
yang sesuai dengan perkembangan mereka. Berikut ini prinsip penggunaan benda-
benda/alat-alat bermain pada kelas Montessori antara lain:
 Setiap benda atau alat bermain memiliki tujuan dan bermakna bagi anak
 Setiap benda atau alat bermain harus menunjukkan perkembangan dari sederhana ke
rumit dalam desain dan penggunaannya
 Setiap benda atau alat bermain dirancang untuk menyiapkan anak secara tidak
langsung untuk belajar ke depan
 Setiap benda atau alat bermain dimulai dari ekspesi konkret dan secara bertahap
mengarahkan mereka pada representasi yang lebih abstrak
 Setiap benda atau alat bermain dirancang agar memungkinkan terjadinya autoeukai,
yaitu kontrol kesalahan berada pada benda tersebut bukan pada guru, sehingga
kesalahan ini akan membimbing anak dalam menggunakan benda tersebut dan
memungkinkan ia menyadari kealahannya sendiri dan memperbaikinya.

2.1.3 Pandangan Montessori tentang Anak


Melalui penelitiannya mengenai anak, Montessori mengidentifikasikan bahwa anak
memeiliki karakteristik universal yang menjadi ciri khas setiap anak. Karakteristik inilah yang
secara bersama-sama membentuk sebuah inti dari penerapan metode Montessori, yaitu:10
1. Semua anak memiliki pikiran yang mudah menyerap (The Absorbent Mind)
Seorang anak pada dasarnya berbeda dengan orang dewasa dalam hal cara mereka
belajar. Anak-anak mempunyai absorbent mind, yaitupikiran yang secara tidak sadar
menyerap informasi dari lingkungan dan mempelajarinya dengan kecepatan tinggi. Kapasitas
untuk belajar dengan cara ini padaanak yang masih kecil berlangsung kurang lebih selama
enam tahun pertama dalam kehidupannya. Selama ini, yang terekam dalam pikiran anak akan
membentuknya, kemudian memberi dampak pada perkembangannya yang akan datang. Oleh
karena itu, setiap pengalaman awal sangatlah penting. Hal ini terutama pada fase pertama,
yaitu the absorbent mind yang berlangsung dari lahir sampai usia 3 tahun, ketika kesadaran
belajarnya belum mulai muncul.
10
Lesley Britton, Monteseri Play and Learn, Terj. Ade Kumalasari, (PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta,
2017), Hlm. 13-31
Pada fase yang kedua, usia 3-6 tahun, pikiran anak masih mudah “menyerap” tetapi
“kesadaran” mulai muncul (The Conscious Mind). Hadirnya kesadaran ini diperoleh sebagian
dari pengetahuan dan sebagian lagi dari bahasa. Padasaat ini juga, “kehendaknya” mulai
muncul. Pada fase ini juga sebuah keterampilan baru diperoleh dengan cepat dan mudah.
Pikirannya masih akan terus menyerap, tetapi sekarang menunjukkan sebuah kesadaran yang
haus akan pengetahuan.
Proses pembelajaran selama periode ini adalah aktif. Hal ini berimplikasi pada
pemberian kebebasan terhadap anak. Dengan memberikan kebebasan kepada anak,
anak dapat menegmbangkan semua potensi yang dimilikinya. Anak diberikan
kebebasan memilih apa yang disukainya. Guru tidak boleh memaksakan materi
tertentu kepada anak. guru hanya berfungsi sebagai fasilitator.
Kebebasan ini bertujuan agar ketika tiba masa peka terhadap suatu
kemampuan yang mendorong untuk melatih satu fungsi, anak akan dapat berlatih
sesuka hatinya. Pendidikan sudah selayaknya untuk tidak dibebankan kepada
anak. Lingkungan belajar harus diciptakan dalam suasana yang kondusif yang
memberikan kesempatan kepada anak untuk bertindak secara bebas dan
mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis mata batinnya sendiri.
Montessori merasa bahwa kebebasan dalam lingkungan yang telah dimodifikasi ini
sangatlah penting untuk perkembangan fisik, mental, dan spiritualnya

2. Semua anak melewati periode sensitif (The Sensitive Periods)


Periode sensitif adalah cara belajar yang menunjukkan kecenderungan untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru melalui indranya dan mengeksplorasi
sekitarnya. Menurut Montessori, anak-anak melewati fase ini ketika mereka mengulang
aktivitas lagi dan lagi tanpa alasan yang jelas. Mereka sangat terpikat dengan apa yang
mereka kerjakan, dan untuk saat itu hanya itu yang menarik bagi mereka.
Montessori mengidentifikasi enam periode sensitif sebagai berikut:
1) sensitif pada keteraturan (sensitivity to order)
Masa peka untuk keteraturan terjadi pada tiga tahun pertama kehidupan.
Anak memiliki kebutuhan yang kuat terhadap keteraturan. Setelah anak dapat
bergerak atau berpindah, mereka suka meletakkan benda-benda sesuai dengan
tempatnya. Apabila ada buku atau pensil yang tidak terletak di tempatnya,
anak akan mengembalikan buku atau pensil tersebut ke tempatnya. Dan bahkan
sebelum memasuki periode ini, mereka sering menjadi marah jika melihat
sesuatu yang tidak pada tempatnya.
2) sensitif pada bahasa (sensitivity to language)
Periode kepekaan berbahasa dimulai dari kelahirannya. Setelah kelahirannya
bayi dapat mendengar suara dan melihat bibir dan lidah (organ bicara)
kemudian hal tersebut direkam ke dalam otaknya sepanjang waktu. Montessori
menganggap bahwa anak-anak telah dibekali suatu mekanisme untuk
mempelajari suatu bahasa dengan tidak disadarinya. Anak-anak akan
memulai dengan mengoceh terlebih dahulu sebelum ia mulai berbicara dengan
kata-kata bermakna. Setelah itu, anak akan memasuki tahapan-tahapan
kalimat dua kata untuk kemudian menguasai pembuatan kalimat dengan
struktur yang lebih lengkap. Montessori meyakini bahwa bahasa, sebagai
instrumen pemikiran kolektif manusia adalah kekuatan manusia yang
mentransformasi lingkungan mentah menjadi peradaban. Sementara semua
manusia memiliki kemampuan untuk menyerap dan menguasai bahasa, sebuah
bahasa tertentu menjadi unsur kunci dalam membatasi dan menjadikan sebuah
kelompok manusia tertentu tampak khas.
Sebagaimana unsur-unsur lain dalam lingkungan, anak-anak juga menyerap
bahasa. Pengembangan bahasa, yang oleh Montessori dibedakan dari pengajaran
bahasa adalah kreasi spontan dari sang anak. Tanpa memandang bahasa tertentu
yang digunakan dalam kebudayaan sang anak, perkembangan bahasa mengikuti
pola-pola yang sama untuk semua anak. Semua anak melalui periode di mana
mereka hanya dapat melafalkan suku-suku kata, kemudian kata-kata secara
utuh, dan kemudian mereka mulai menggunakan sintaksis dan gramatika.
Pembelajaran bahasa berlangsung dalam kegiatan dengan bunyi-bunyi dan
huruf-huruf Pada periode ini, orang dewasa harus terus menerus memperkaya
bahasa dan memberikan kesempatan kepada anak usia dini untuk belajar kata-
kata baru.
3) sensitif pada berjalan kaki (sensitivity to walking)
Kepekaan berjalan terjadi ketika anak berusia 12 -15 bulan, mereka
membutuhkan latihan untuk melangkah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Montessori memberikan contoh untuk anak usia 2-3 tahun yang berjalan
beberapa langkah dan merangkak naik turun tangga dengan tapak kaki untuk
kesempurnaan perpindahan mereka.

4) sensitif pada aspek sosial kehidupan (sensitivity to the social aspects of life)
Diantara usia 2-3 tahun, anak sadar bahwa ia merupakan bagian dari
kelompok. Anak mulai menunjukkan interaksi yang intensif dengan teman
lainnya dan mulai bermain bersama dengan permainan kelompok. Montessori
percaya bahwa hal itu bukanlah perintah tetapi datang secara spontan dari
dalam dirinya. Pada tahap ini anak-anak mulai memahami tingkah laku sosial
orang dewasa dan berangsur-angsur mendapatkan norma sosial di dalam
kelompoknya

5) sensitif pada benda kecil (sensitivity to small objects)


Pada tahap ini, ketika anak berpindah-pindah dan mengeksplorasi
lingkungan yang lebih luas. Anak memusatkan perhatiannya pada obyek yang
lebih kecil seperti serangga, batu kerikil dan rumput. Dia mengambil sesuatu,
melihatnya dan memasukkannya ke dalam mulut. Pada tahap ini anak
mempunyai usaha sendiri untuk memahami dunia.

6) sensitif pada belajar melalui indra (sensitivity to learning through the sense)
Sejak kelahirannya, anak mendapatkan rangsangan dari lingkungan
sekitarnya melalui semua indera ke dalam pikiran yang mennyerap. Anak
memerlukan kebebasan untuk mengoptimalkan semua indera. Sebagai
perkembangan terbaik pada anak di kemudian hari, Maria Montessori
menyarankan bahwa bayi harus dekat dengan perhatian orang dewasa untuknya
jadi dia (bayi) dapat melihat dan mendengar apapun yang terjadi disekitarnya.
Ketika dia secepatnya dia dapat bergerak-merangkak atau berjalan dia
membutuhkan banyak kebebasan supaya dapat mengeksplorasi. Ini mungkin
adalah ide yang sangat sulit diterima oleh para orangtua, tetapi cobalah untuk
melakukan jika kamu bisa, jika kamu mencegah eksplorasi sensor ini dengan
tetap mengatakan “tidak” dan membatasi bayimu atau batita (1-4/toodler)
dalam bermain pena atau menahannya di kursi dalam waktu yang lama, itu
akan menekan pembelajarannya.

3. Semua anak ingin belajar (Childreen Want to Learn)


Menurut Montessori, anak-anak memiliki potensi atau kekuatan dalam dirinya
untuk berkembang sendiri. Anak-anak memiliki hasrat alami untuk belajar dan
bekerja, bersamaan dengan keinginan yang kuat untuk mendapat kesenangan. Anak
lebih senang melakukan berbagai aktivitas dari pada sekedar dihibur atau
dimanja. Anak tidak pernah berfikir bahwa belajar sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan. Anak akan selalu mencari sesuatu yang baru untuk dikerjakan
yaitu sesuatu yang memiliki tingkatan yang lebih sulit dan menantang.
Selain itu, anak juga memiliki keinginan untuk mandiri. Keinginan untuk
mandiri muncul dari dalam diri anak sendiri. Keinginan ini tidak hanya muncul
dari rangsangan pembelajaran di sekolah tetapi juga muncul secara spontan yang
merupakan dorongan batin. Dorongan batin ini sewaktu-waktu akan meminta
pemenuhan dan pemuasan. Dorongan- dorongan alamiah ini akan terpenuhi
dengan memfasilitasi anak dengan aktivitas yang penuh kesibukan. Dalam
kegiatan ini, anak juga sebaiknya tidak dibantu, tetapi harus berlatih sendiri.
4. Semua anak belajar melalui bermain atau melakukan sesuatu (Learning Through Play)
Banyak orang keliru tentang peran bermain dalam metode montessori,
dimana beberapa orang tampak berpikir bahwa anak-anak di taman kanak-kanak
Montessori bermain sepanjang hari dan tidak belajar apapun. Orang lain hanya
sedikit tau tentang teorinya tapi sudah salah mengartikannya, meyakini bahwa
taman kanak-kanak merupakan tempat dimana anak-anak membuat pekerjaan
sepanjang waktu dan tidak mengizinkan memainkan semuanya. Bermain
merupakan sebuah kegembiraan, kebebasan, memiliki tujuan dan secara
spontan memilih aktifitas, kreatif, menyertakan pemecahan masalah, belajar
keterampilan sosial baru, bahasa baru dan keterampilan fisik baru.
Bermain sangat penting pada anak kecil untuk membantunya belajar ide
baru dan meletakkannya dalam praktek, untuk menyesuaikan dengan
lingkungan sosial dan mengatasi permasalahan emosional. Ada banyak
permainan yang bisa dimainkan dengan materi pengajaran Montessori melalui
cara untuk menguatkan anak belajar. Permainan itu bisa dimainkan
menggunakan perlengkapan yang dibuat di rumah. Beberapa bisa dibeli secara
komersial.

5. Semua anak melewati tahapan perkembangan (Stages of Development)


Dia mengidentifikasikan tiga periode perkembangan utama yaitu: pertama,
dari lahir hingga usia enam tahun (tahapan “otak penyerap”); kedua, dari usia
enam hingga dua belas; ketiga dari usia dua belas hingga delapan belas. Tahap
pertama dari Montessori,yaitu periode “otak penyerap”, selanjutnya dibagi lagi
menjadi dua subfase, dari lahir hingga tiga tahun dan dari tiga tahun hingga
enam tahun. Selama tahap pertama tersebut, anak-anak melalui eksplorasi-
eksplorasi lingkungan, menyerap informasi, membangun konsep-konsep mereka
tentang realitas, mulai menggunakan bahasa dan mulai masuk ke dunia yang lebih
besar dari kebudayaan kelompok mereka.
Selama periode kedua, bersamaan dengan masa kanak-kanak dari usia enam
hingga dua belas, keterampilan-keterampilan dan kemampuan- kemampuan yang
telah muncul masih terus berkembang lebih lanjut dilatih, diperkuat,
disempurnakan, dan dikembangkan. Periode ketiga, dari usia dua belas hingga
delapan belas, bersamaan dengan masa remaja, merupakan masa terjadinya
perubahan fisik yang besar, di masa sang remaja sedang berusaha manuju
kematangan yang sempurna. Periode ketiga dibagi menjadi dua subfase, usia dua
belas, usia dua belas hingga lima belas dan lima belas hingga delapan belas.
Selama periode ketiga ini, sang remaja berusaha untuk memahami peran-peran
sosial dan ekonomi dan berusaha menemuka posisinya ditengah-tengah
masyarakat.
Montessori meyakini bahwa anak-anak melewati tiga tahap perkembangan
dari lahir hingga 18 tahun. Hal ini berdasarkan peneltiannya pada anak-anak.
Adapun tahap perkembangan tersebut, yakni:
 Tahap pertama (0-6 tahun), pada tahap ini anak -anak memiliki apa yang
disebut dengan pemikiran bawah sadar (unconscious mind) atau pemikiran
yang mudah menyerap (absorbent mind). Anak- anak belajar dengan
menyerap kesan yang ada di lingkungan tanpa sadar akan proses ini.
 Tahap kedua (6-12 tahun), Montessori menyebutnya dengan periode masa
anak-anak.
 Tahap ketiga (12-18 tahun), periode ini dikenal dengan masa remaja.

6. Semua anak ingin menjadi mandiri (Encouraging Independence)


Dari awal anak anda akan mengupayakan kemandirian, dan cara terbaik membantu untuk
mencapainya adalah dengan menunjukkan seperti apa keterampilan yang diperlukan untuk
sukses. Sayangnya, orang tua mencoba untuk membantu terlalu banyak dengan cara yang
salah. Banyak hal yang bisa menjadi contoh untuk kasus ini, misalnya, daripada menunggu
dengan sabar ketika anak berusaha utnuk memasukkan kancing, mengikat dasi, atau mengikat
tali sepatunya, orang tua memilih mengerjaknnya daripada menunggu mereka
menyelesaikannya. Dengan cara seperti, orang tua tidak hanya menghambat perkembangan
anak secara alami, tetapi juga mengahalangi anak melakukan aktivitas yang merupakan
keterampilan dasar hidup dan membantunya membangun kepercayaan diri.

2.2 Implementasi Pendidikan Montessori dalam Kurikulum PAUD


Di Taman kanak-kanak, Montessori mengembangkan sebuah kurikulum yang disebut
Exercises of Practical Life. Ini adalah sebuah latihan sederhana yang berupa aktivitas rutin
sehari-hari yang dilakukan orang dewasa untuk menjaga, mengendalikan lingkungan tempat
tinggal mereka dan bekerja. Ketika aktivitas “kehidupan praktis” diajarkan di kelas TK, tingkah
laku anak-anak berubah drastic. Guru yang mengajarkan aktivitas, untuk kali pertama tidak bisa
percaya perbedaan yang anak-anak lakukan, dam mereka sangat menikmatinya. Melakukan
aktivitas harian sederhana ini sejalan dengan kebutuhan anak untuk menadiri dan karenanya, dia
menikmati saat berkonsentrasi pada tugas tersebut.
2.2.1 Area-Area Dasar Keterlibatan Anak
Dalam lingkungan yang siap, materi dan aktivitas tertentu mendukung tiga area dasar
keterlibatan anak antara lain:11
 Kehidupan Praktis (Pendidikan Motorik)
Lingkungan yang siap menekankan aktivitas motorik dasar sehari-hari, seperti berjalan
dari satu tempat ke tempat lain dalam sikap yang tertib, membawa benda seperti baki dan
kursi dan melakukan aktivitas praktis lain. Filosofi aktivitas semacam ini ialah membuat anak
tidak tergantung pada orang dewasa dan mengembangkan konsentrasi. Aktivitas berbasis air
memiliki peran besar dalam metode Montessori. Anak diajari menggosok, mencuci, dan
menuang sebagai sarana pengembangan koordinasi. Latihan kehidupan praktis juga mencakup
mengelap cermin, sepatu, dan daun tanaman; menyapu lantai; membersihkan furnitur; dan
mengupas sayur.
 Materi Sensorik untuk Pelatihan Indera
Materi sensorik adalah materi yang dirancang untuk melatih dan menggunakan indera
guna mendukung pembelajaran. Tujuan materi sensorik yang pertama adalah melatih indera
anak agar berfokus pada beberapa kualitas tertentu yang terlihat. Kedua, materi sensorik
membantu mempertajam kekuatan anak untuk mengamati dan membedakan secara visual.
Ketiga, materi sensorik meningkatkan kemampuan anak untuk berpikir, sebagai proses yang
bergantung pada kemampuan membedakan, mengklasifikasikan dan mengatur.
Materi pelatihan dan pengembangan indera memiliki karakteristik berikut ini:
1) Kontrol kesalahan. Materi ini dirancang agar anak melalui pengamatan dapat melihat
apakah mereka melakukan kesalahan dalam menyelesaikan aktivitas.
2) Pemisahan kaualitas tunggal. Materi dirancang agar variabel lain tetap konstan kecuali
kualitas tunggal yang digunkan
3) Keterlibatan aktif. Materi mendorong keterlibatan aktif daripada sekedar proses pasif
dengan cara melihat.
4) Daya tarik. Materi menarik, dengan warna dan proporsi yang memikat anak. Dengan
demikian, materi membantu memuaskan kebutuhan estetika anak.

11
George S. Morrison. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Terj. Suci Romadhona & Apri Widiastuti.
(PT. Indeks, Jakarta, 2012), Hlm. 111-115
 Materi Akademik untuk Pengajaran Menulis, Membaca, dan Matematika
Tipe ketiga materi Montessori adalah akademik, yang dirancang secra khususuntuk
mndorong kemampuan menulis, membaca dan matematika. Latihan menggunakan materi ini,
disajikan secara berurutan yang mendukung menulis sebagai basis pembelajaran membaca.
Membaca muncul setelah menulis, kedua proses ini dikenalkan secara bertahap, sehingga
mereka tidak menyadari belajar menulis dan membaca sampai mereka menyadari sendiri
sedang menulis dan membaca. Montessori yakin bahwa anak siap menulis pada usia 4 tahun,
sehingga lazim di kelas Montessori, anak yang berusia 4-5 tahun dapat membaca dan menulis.
Materi Matematika Montessori berjalan dari konsep yang nyata ke abstrak yang muncul
sebagai cara memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

2.2.2 Karakteristik Kelas Montessori


Karakteristik kelas Montessori berbeda dengan kelas anak usia dini tradisional.
Perbedaannya terlihat pada karakteristik berikut ini:12
 Anak-anak di kelas Montessori dikelompokkan secara vertikal, mereka tidak
dikelompokkan berdasarkan umur. Setiap kelas terdiri dari beragam kelompok dengan
rentang 2 sampai 6 tahun, di mana mereka berbagi kelas dan guru-guru yang sama.
 Pengaturan ruang kelas Montessori memiliki rak-rak rendah terbuka berisi banyak materi
yang diatur dengan cermat yang bisa dipilih oleh anak-anak. Memiliki ruang terbuka di
lantai membuat anak-anak bisa bekerja di lantai.
 Kegiatan siswa pada kelas Montessori berorientasi pada kerja individual dan kelompok
kecil yang mereka pilih sendiri.
 Kelas Montessori mengutamakan sikap kerja sama dan bukan persaingan dalam
menyelesaikan tugas.

2.2.3 Peranan Guru Montessori


Guru Montessori menunjukkan perilaku tertentu untuk menerapkan prinsip pendekatan
yang berpuat pada anak. Berikut ini enam peran utama guru dalam program Montessori yaitu:13
 Menghormati anak dan pembelajarannya
12
Jaipul L. Roopnarine & James E. Johnson, Pendidikan Anak Usia Dini: Dalam Berbagai Pendekatan,
Terj. Sari Narulita, (Prenadamedia Grup, Jakarta, 2009), Hlm. 382-384
13
George S. Morrison. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Terj. Suci Romadhona & Apri Widiastuti.
(PT. Indeks, Jakarta, 2012), Hlm. 111
 Membuat anak sebagai pusat pembelajaran
 Mendorong pembelajaran anak
 Mengamati anak
 Mempersiapkan lingkungan pembelajaran
 Memperkenalkan materi pembelajaran dan mendemonstrasikan pelajaran

2.3 Pandangan Pendidikan Hellen Parkhurst


2.3.1 Sejarah Singkat Hellen Parkhurst
Hellen Parkhurst lahir pad tanggal 7 Maret 1887, Durand, Wis, AS dan meninggal pada
tanggal 1 Juni 1973 di New Milford, Connecticut. Beliau adalah seorang pendidik Amerika,
penulis dan dosen yang merancang Rencana Laboraturium Dalton dan mendirikan sekolah
Dalton. Parkhurst lulus dari River Falls normal Sekolah Wisconsin State College (1907),
melakukan pekerjaan pascasarjana di Columbia University, dan belajar di universitas-universitas
di Roma dan Munich dan dengan Maria Montessori (Waluyo & Anies, 2017:133)
Helen Parkhurst lahir di Amerika. Pada umur 15 tahun ia telah membelajarkan dan
menjabat sebagai guru di Kota Dalton. Di sekolah ini, Parkhurst membelajarkan anak sekitar 40
orang disebuah kelas besar. Anak-anak di sekolah ini berbeda tingkatan, sehingga ada 8
tingkatan berbeda yang berkumpul dalam satu kelas. Teknik pembelajaran kadang-kadang
dilakukan secara klasikal dan tugas mandiri untuk masing-masing tingkatan yang berbeda.
Dalam kondisi ini Parkhurst mengibaratkan kelasnya seperti laboratorium anak-anak, sehingga ia
menamakannya ‘Laboratory Plan’. Keberhasilannya mengembangkan sistem pendidikan
tersebut diberi nama “The Dalton Laboratory Plan”.14

2.3.2 Pandangan Hellen Parkhurst


Parkhurst (Sujiono, 2013: 110) mengungkapkan bahwa kegiatan pembelajaran harus
disesuaikan dengan sifat dan keadaan individu yang mempunyai tempo irama perkembangan
masing-masing. Bahan pembelajaran dan cara guru membelajarkan harus mengikuti tempo dan
perkembangan anak. Dengan demikian seorang anak akan menguasai berbagai bahan
pembelajaran tanpa merasa terhambat oleh keunggulan dan kelemahan anak yang lain. Setiap
anak akan maju dan berkembang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

14
Yuliani Nuraini Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Indeks, Jakarta, 2013), Hlm.110
Walaupun setiap anak mempunyai tempo dan irama perkembangan, kegiatan
pembelajaran tetap memberikan kesempatan untuk berinteraksi, bersosialisasi, dan bekerja sama
dengan anak yang lain dalam mengerjakan suatu tugas tertentu. Menurut Parkhurst dalam
pembelajaran tidak hanya mementingkan aspek pengembangan individu tetapi juga
mengembangkan aspek sosial anak didik. Untuk itu bentuk pembelajaran harus merupakan
bentuk keterpaduan antara bentuk klasikal dan bentuk kegiatan individual. Kemandirian anak
dalam mengerjakan tugas hanya dapat dilakukan bila setiap anak ditumbuhkan oto aktivitasnya.

2.4 Implementasi Pendidikan Hellen Parkhurst dalam Kurikulum PAUD


2.4.1 Karakteristik Kelas Hellen Parkhurst
Ruangan kelas, seperti halnya kelas Montessori, memiliki ruang kelas yang luas untuk
memberikan pembelajaran klasikal. Ruangan kelas ini dapat dibagi menjadi kelas-kelas kecil,
yang disebut dengan sentra atau vak. Desain tersebut menunjukkan pelayanan seimbang antara
bentuk pembelajaran klasikal dan individual (Sujiono, 2013: 111).
 Ruangan klasikal digunakan untuk membelajarkan hal-hal yang bersifat umum, misalnya
bercerita, berdoa, bernyanyi, menari dan gerak badan, serta membahas kegiatan yang
akan dilakukan anak di sentra-sentra.
 Ruangan sentra terdiri atas satu bidang pengembangan. Sebagai contoh adanya sentra
persiapan, sentra balok, sentra bermain peran, sentra bahan alam, sentra imtak, dan lain-
lain.

Pada setiap sentra bahan alam misalnya memiliki bahan seperti air, lumpur, pasir, tanah
liat, tanaman, krayon, cat air. Sedangkan, pada sentra balok disiapkan bahan-bahan seperti balok
berwarna, balok berongga, puzzle. Demikian juga sentra persiapan terdiri atas alat
pengembangan bahasa, misalnya buku cerita, map, bola dunia (globe), poster.

2.4.2 Tugas Pendidik “Guru”


Setiap guru haruslah seorang ahli yang menguasai dan mencintai vak bidang studi
masing-masing. Setiap guru harus memiliki kompetensi dalam memberi penjelasan secara umum
pada anak-anak yang mengunjungi vak bidang studinya sesuai dengan topik/pokok bahasan yang
akan dipelajari anak. Berikut ini tugas guru pendidikan Hellen Parkhurst dalam Sujiono
(2013:111) adalah:
1. guru harus berusaha memperhatikan dan mengamati pekerjaan setiap anak, menanyakan
kesulitan yang dialami, memberikan bimbingan sehingga anak benar-benar menguasai
vak tersebut
2. guru juga memberi arahan ketika anak menggunakan berbagai alat untuk mengkaji suatu
bahan tertentu
3. guru vak harus mengetahui perkembangan setiap anak dalam mengerjakan berbagai
tugas, sehingga dapat mengikuti tempo dan irama perkembangan anak dalam menguasai
bahan pelajaran.

2.4.3 Bahan dan Tugas Belajar


Bahan pembelajaran disetiap sentra/vak secara umum terdiri dari:15
1. Bahan pembelajaran minimal, merupakan target minimal yang harus dikuasai setiap anak
di dalam setiap sentra. bagi anak yang telah menguasai bahan minimal maka akan
memperoleh bahan tambahan yang merupakan pengayaan dari bahan pembelajaran
minimal tersebut.
2. Bahan pembelajaran tambahan, merupakan pengayaan dari bahan minimal yang disusun
dan disesuaikan dengan kenyataan dan kondisi lingkungan hidup dimana setiap anak
berada. Bahan pembelajaran tambahan dapat diberikan pada setiap anak secara individual
sesuai dengan tempo penguasaan anak tersebut pada bahan minimal. Namun, bahan
tambahan dapat diberikan pada seluruh anak jika mereka telah menguasai bahan minimal
dengan waktu yang relatif sama. Melalui pengembangan ini anak dipersiapkan untuk
menghadapi kehidupan nyata dengan penuh rasa tanggung jawab.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

15
Yuliani Nuraini Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Indeks, Jakarta, 2013), Hlm.112
Metode pendidikan Montessori menekankan pentingnya kebebasan. Karena dalam
nuansa atau iklim yang bebaslah anak dapat menunjukkan dirinya. Tugas orang dewasa adalah
bertanggung jawab dalam membantu perkembangan fisik mereka, oleh karena itu dalam setiap
aktivitasnya harus disediakan ruang yang bebas dan terbuka. Struktur dan keteraturan alam
semesta harus tercermin dalam lingkungan kelas Montessori. Lingkungan pendidikan Montessori
didasarkan pada prinsip realistis dan kealamian. Lingkungan Montessori harus sederhana. Semua
yang ada didalamnya harus memiliki desain dan kualitas yang baik. Tema warna harus
menunjukkan kegembiraan. Nuansa ruangan harus terkesan santai dan hangat sehingga
mengundang anak untuk bebas berpartisipasi aktif dalam pembelajaran di kelas.
Montessori mengidentifikasikan bahwa anak memeiliki karakteristik universal yang
menjadi ciri khas setiap anak. Karakateristik inilah yang secara bersama-sama membentuk
sebuah inti dari penerapan metode Montessori, yaitu:
 Semua anak memiliki pikiran yang mudah menyerap
 Semua anak melewati periode sensitif
 Semua anak ingin belajar
 Semua anak belajar melalui bermain atau melakukan sesuatu
 Semua anak melewati tahapan perkembangan
 Semua anak ingin menjadi mandiri

Melakukan aktivitas harian sederhana ini sejalan dengan kebutuhan anak untuk menadiri
dan karenanya, dia menikmati saat berkonsentrasi pada tugas tersebut. Ketika aktivitas
“kehidupan praktis” diajarkan di kelas TK, tingkah laku anak-anak berubah drastis. Di Taman
kanak-kanak, Montessori mengembangkan sebuah kurikulum yang disebut Exercises of
Practical Life.
Parkhurst mengungkapkan bahwa kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan sifat
dan keadaan individu yang mempunyai tempo irama perkembangan masing-masing. Bahan
pembelajaran dan cara guru membelajarkan harus mengikuti tempo dan perkembangan anak.
Kegiatan pembelajaran memberikan kesempatan untuk berinteraksi, bersosialisasi, dan bekerja
sama dengan anak yang lain dalam mengerjakan suatu tugas tertentu.
Pembelajaran tidak hanya mementingkan aspek pengembangan individu tetapi juga
mengembangkan aspek sosial anak didik. Untuk itu bentuk pembelajaran harus merupakan
bentuk keterpaduan antara bentuk klasikal dan bentuk kegiatan individual. Kemandirian anak
dalam mengerjakan tugas hanya dapat dilakukan bila setiap anak ditumbuhkan oto aktivitasnya.
Kelas Hellen Parkhurst memiliki ruang kelas yang luas untuk memberikan pembelajaran
klasikal. Ruangan kelas ini dapat dibagi menjadi kelas-kelas kecil, yang disebut dengan sentra
atau vak. Desain tersebut menunjukkan pelayanan seimbang antara bentuk pembelajaran klasikal
dan individual. Setiap guru haruslah seorang ahli yang menguasai dan mencintai vak bidang
studi masing-masing. Setiap guru harus memiliki kompetensi dalam memberi penjelasan secara
umum pada anak-anak yang mengunjungi vak bidang studinya sesuai dengan topik/pokok
bahasan yang akan dipelajari anak. Bahan pembelajaran disetiap sentra/vak secara umum terdiri
dari bahan pembelajaran minimal dan bahan pembelajaran tambahan.

DAFTAR PUSTAKA
Britton, Lesley. 2017. Monteseri Play and Learn, Terj. Ade Kumalasari, Yogyakarta: PT.
Bentang Pustaka.

Morrison, George S. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Terj. Suci Romadhona & Apri
Widiastuti. Jakarta: Indeks.

Mushlih, Ahmad dkk. 2018. Analisis Kebijakan PAUD Mengungkap Isu-Isu Menarik Seputar
AUD. Jawa Tengah: Mangku Bumi.

Roopnarine, Jaipul L. & James E. Johnson. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini: Dalam Berbagai
Pendekatan, Terj. Sari Narulita. Jakarta: Prenadamedia Grup.

Sujiono, Yuliani Nuraini. 2013. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.

Suryana, Dadan. 2016. Pendidikan Anak Usia Dini Stimulasi dan Aspek Perkembangan. Jakarta:
Kencana.

Trianto. Desain 2011. Pengembangan Pembelajaran Tematik Bagi Anak Usia Dini TK/RA &
Anak Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai