Anda di halaman 1dari 10

Marx dan Muhammad SAW

Oleh: Tiorivaldi
“... Nah andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang memegang kitab, yaitu Al-Hadits,
sedang dalam tangan kanannya tidak ada wahyu Allah (Al-Qur’an), maka dengan tegas aku
akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak
kedua orang ini luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap
orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul
dengan para nabi dan syuhada.” (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam hal. 98)
Kata tersebut mesti akan menuai sebuah reaksi yang pro dan kontra, tergantung terhadap
setiap manusia dengan beraneka macam identitasnya. Ada sebagian orang yang akan
merasakan bahwa kata tersebut layaknya menusukkan sebilah pisau langsung kedalam hati
tanpa meninggalkan bekas lubang didalam dada. Ada pun yang akan merasakan
kegembiraan dan membenarkan perkataan tersebut. Bahkan menjadikan tulisan Ahmad
Wahib tersebut sebagai sarana pendukung yang kuat dalam melancarkan serangannya.
Apalagi ditambah dengan identitas Ahmad Wahib sebagai seorang muslim yang cukup
banyak bergulat dalam aktivitas-aktivitas keislaman. Karena Ahmad Wahib dulunya pernah
di pesantren dan juga pernah berada di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang cukup giat
dalam aktivitas pembelajaran keagamaan. Walaupun akhirnya ia keluar dari HMI
dikarenakan merasa pikiran bebasnya akan tertahan jika tetap berada di dalamnya dan demi
kebaikan HMI itu sendiri.
Perlu dimaklumi jika ucapan itu bisa terlontarkan oleh seseorang yang pada hidupnya masih
banyak kegelisahannya terhadap apa yang ada di dalam Islam. Jiwa-jiwa rasionalnya
mencoba meronta-ronta terhadap apa yang telah ditetapkan dengan ketidaksesuaian pada
apa yang ia pandang dan alami selama ini. Secara tidak langsung pun, walau tidak
dinyatakan oleh Ahmad Wahib secara langsung. Ia berupaya untuk memahami isi dari ajaran
agama Islam dengan menggunakan pendekatan hermeneutika. Dimana sejarah nabi
dijadikan acuan yang cukup penting bagi Ahmad Wahib, bahkan sebagai sumber
pemahaman agama Islam. Namun, tak ada yang tahu bagaimana manusia akan berujung
pada akhirnya. Maka bisa juga jika dikatakan, bahwa pergulatan pemikiran yang dialami
Ahmad Wahib tersebut belum selesai, hingga pada akhirnya ia meninggal dalam keadaan
masih membaca banyak kegelisahan dan pertanyaan yang sangat fundamental tentang
Islam itu sendiri.
Cukup mengerti kenapa Ahmad Wahib berupaya mengatakan hal demikian. Karena Nabi
Muhammad SAW adalah orang yang dipilih oleh Allah SWT sebagai wakil-Nya untuk
menyampaikan risalah kepada seluruh umat manusia. Sehingga Nabi Muhammad diberikan
pembukaan tabir terhadap kebenaran dan apa yang semestinya dilakukan terhadap dunia.
Sedangkan, Karl Marx dengan rekan seperjuangannya yaitu Frederick Engels. Adalah orang
yang memiliki pengaruh besar dalam membuka kedok kerusakan dunia yang disebabkan
oleh sistem kapitalisme. Mereka besar tanpa mendapatkan wahyu dari Tuhan untuk
bergerak dalam pencarian terhadap kebenaran.
Namun, selayaknya seorang yang rabun memerlukan sebuah kacamata agar dapat melihat
lebih jelas dan jernih. Kita juga mesti menggunakan kacamata dan perspektif yang
komprehensif dalam menelisik hal tersebut. Benarkah Nabi Muhammad SAW memiliki
pengaruh kuat karena posisinya sebagai pengemban Wahyu Ilahi. Atau di dalam diri seorang
Muhammad SAW memang ada sisi penggerak perubahan. Bahkan lebih jauh lagi,
mungkinkah amanat itu hanya dapat diberikan kepada dirinya seorang tanpa ada kata orang
lainnya.
Sebenarnya apa yang hendak dimaksudkan oleh Ahmad Wahib menurut hemat saya
merujuk pada kalimat sebelumnya:
“Lihatlah ulama-ulama Islam mau menerapkan hukum-hukum tertentu pada manusia. Tapi
sayang, bahwa di sini yang mereka perkembangkan hanyalah bunyi hukum itu dan sangat
kurang sekali usaga untuk mengerti dan membahas masalah manusianya sebagai obyek
hukum itu. Dengan cara-cara ini, adakah kemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri
sebagai suatu kesadaran batian dalam hati manusia? Yang terjadi malah sebaliknya, bahwa
makin lama orang-orang makin jauh dari hukum-hukum yang mereka rumuskan. Sampai
dimanakah ulama-ulama kita – walaupun tidak ahli – cukup memiliki apresiasi terhadap
antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu dan politik dan lain-lainnya?
Bagi saya ulama-ulama seperti Hasbi, Mochtar Jahja, Munawar Cholil dan lain-lain tidak
berhak untuk menetapkan hukum dalam masalah akhlaq dan khilafah. Bagaimana mreka
akan berhasil tepat, bilamana masalah manusia, masyarakat dan lain-lain tidak dikuasainya?
Tidak ada kerja kreatif yang mereka lakukan. Mereka baru dalam taraf interpretatif.”
Maksud dari pernyataan dari Ahmad Wahib tersebut, kurang lebih mengenai pemahaman
dari pemuka agama dalam memahami setiap manusia. Artinya, manusia dipahami pada
setiap individunya, maka dari itu ia juga menyayangkan karena pengabaian terhadap
keilmuan antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu dan politik. Dimana keilmuan tersebut
pada saat ini, adalah sarana-sarana agar seseorang dapat memahami manusia lainnya
dengan lebih benar. Hingga pernyataannya yang terkesan berani, bahwa Nabi Muhammad
SAW tidaklah lebih baik dari Karl Marx dan Frederick Engels jika hanya sebuah hadits yang ia
miliki tanpa adanya Al-Qur’an yang merupakan kitab yang benar-benar berasal dari wahyu
Allah SWT.
Maka ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan dalam berupaya melakukan komparasi
terhadap Nabi Muhammad SAW dan Karl Marx:
1. Historical Setting
Pernyataan tersebut sangat tidak adil jika menimbang dengan latar dan waktu yang berbeda
antara Karl Marx dan Muhammad SAW. Dimana keilmuan tersebut belum berkembang pada
bentuknya yang sudah bulat dalam sebuah cabang keilmuan pada zaman Nabi Muhammad
SAW. Dipertambahkan dengan beliau SAW adalah buta huruf (tidak bisa membaca dan
menulis). Sangat berbeda dengan zaman Karl Marx yang dimana keilmuan sudah banyak
menelurkan bentuknya, bahkan untuk menggapai dan mengakses ilmu pengetahuan
sangatlah mudah karena kertas dan percetakan sudah muncul pada saat itu.
Dengan jasa dari Ts’ai Lun (+105 M) dari China yang menemukan kertas, telah membuat
peradaban China pada saat itu dapat mengejar ketertinggalannya dengan Barat. Lalu bangsa
Arab pun mempelajarinya dari tawanan pembuat kertas China pada tahun 751. Seni
pembuatan kertas dengan perlahan dipelajari di seluruh dunia Arab dan pada abad ke-12,
orang-orang Eropa mempelajari seni ini dari orang-orang Arab. Lalu setelah itu di Eropa,
pada abad ke-15, seorang jenius bernama Johann Guttenberg mengembangkan sebuah
teknik untuk memproduksi buku secara massal. Pada saat inilah, dengan kombinasi kertas
dari Ts’ai Lun dan percetakan dari Guttenberg, peradaban ilmu pengetahuan dan
kebudayaan berkembang secara cepat. Karena akses terhadap keilmuan sudah sangat
mudah untuk diperoleh. Dan Marx, telah hidup di dunia semacam itu, sementara Nabi
Muhammad SAW bersama para sahabatnya masih sangat kesulitan dalam mengakses ilmu
pengetahuan.
2. Influence
Kita juga mesti memahami bahwa pengaruh dari kedua tokoh besar tersebut cukup
berbeda. Nabi Muhammad SAW tidak hanya memberikan pengaruh terhadap manusia
dalam bentuk doktrin maupun keilmuan. Lebih dari itu, ia adalah seseorang yang paling
ditiru setiap perilakunya. Karena memang akhlak dari beliau SAW sangat baik. Dan itu pula
yang menjadi salah satu alasan keberadaan dirinya pada masa itu dan tetap mempengaruhi
hingga kini. Karena beliau SAW pernah mengucapkan bahwa, “Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari)
Bahwa ada banyak sisi yang dimiliki Nabi Muhammad yang sebenarnya menjadikannya
sukses dalam menyebarkan seruannya. Dan kecerdasannya dalam menentukan sikap,
dengan atau tanpa bimbingan Allah SWT. Bukankah dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang paling banyak melaksanakan musyawarah (HR.
Tirmidzi). Dan bagaimana pun juga, jika kita masuk ke dalam bab fiqih dakwah. Ada dua
landasan besar sebuah dakwah dapat disampaikan. Yaitu dengan lisan dan yang kedua
dengan teladan. Disini kita akan menemukan bahwa sosok Nabi Muhammad SAW sangat
sukses karena ia memiliki teladan (akhlaq) yang tak bisa disamai oleh setiap manusia di
dunia. Inilah juga yang melandasi penulis untuk berpendapat bahwa amanat menjadi
seorang penyebar risalah yang terakhir hanya terdapat pada dirinya seorang.
Cobalah bagaimana jika kita juga patut berpikir, bagaimana jadinya jika Nabi Muhammad
SAW sejak awal dapat membaca dan menulis dan hidup dizaman modern semacam Marx.
Atau kita balikkan juga, bagaimana jadinya jika Marx hidup di gurun pasir, buta huruf dan di
zaman yang belum banyak akses ilmu pengetahuan di dalamnya.
Maka lebih baik kita berucap bahwa setiap orang memiliki sisi yang lebih baik dibanding
orang lainnya. Bahkan dalam bidang keilmuan, jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang
lebih luas dibanding diri kita sendiri. Minimal kita masih bisa meyakini, setidaknya ada satu
atau dua hal di dalam diri kita yang lebih memahami dibanding diri seseorang lainnya.
Mari kita bicara lagi lebih dalam terhadap kedua tokoh yang sangat berpengaruh dalam
menciptakan peradaban yang ada pada saat ini.
Keteladan
Nabi Muhammad SAW adalah sosok seseorang yang paling diikuti setiap saat langkah
hidupnya dari bangun tidur hingga kembali tidur di malam hari. Jika pengikutnya merasa
tidak sanggup menjalankan kebiasaan sehari-hari Muhammad SAW. Minimal tidak
mengingkari dan menganggap baik setiap sisi hidup Nabi Muhammad SAW dalam tutur kata
dan gerak tubuhnya.
Namun, pada nyatanya bahkan Karl Marx sekalipun tidak menempati posisi ini bagi para
pembelajar yang mendukungnya. Kepribadian Karl Marx apakah benar-benar langsung
merasuk kedalam setiap gerak tubuh pengikutnya. Apakah pengikutnya akan mengikuti
kebiasaan Karl Marx yang jarang mandi dan rumah yang tidak terawat. Masih banyak
kepribadian dan kehidupan sehari-hari dari Karl Marx sendiri yang tidak bisa diikuti oleh
pengikutnya. Bahkan untuk membiayai hidupnya dan keluarga, ia dibantu oleh sahabatnya
yaitu Frederick Engels. Padahal uang tersebut sebenarnya ia dapat dari ideologi yang ia
tentang yaitu kapitalisme. Bapak dari Frederick Engels adalah pengusaha pabrik tekstil
Materialisme Historis
Kebanyakan filsuf-filsuf sebelum Marx memandang dan memahami dunia secara spekulatif.
Sehingga cenderung pemikiran mereka tidak digunakan untuk secara langsung memberikan
perubahan manusia dalam bersikap dan menentukan gerak materi dunia. Marx lah,
seseorang yang berupaya membalikkan pemahaman tersebut, dengan menambahkan kata
historis di belakang kata materialisme. Filsafat materialisme Marx, tidak hanya sekedar
menyatakan materialisme sebagai realitas (apa yang dapat dipandang , dirasa, diraba,
dihirup dan didengar). Namun lebih dari itu, ia juga menjelaskan bahwa ada intervensi
subyek (manusia) dalam menggerakan dunia materi. Kebakaran yang terjadi di hutan
Sumatera dan Kalimantan, banjir Jakarta, dan banyaknya fenomena alam. Tidak selalu
terjadi secara natural, melainkan adanya intervensi manusia dalam melahirkan berbagai
kebaikan dan keburukan untuk dunia. Maka dari itu, Marx menolak sikap memandang
realitas secara natural dan mengakui adanya intervensi subyektif yang justru melakukan
konstruksi dan destruksi terhadap alam.
Hal itu sejalan dengan pemahaman tentang khalifah di dalam Islam. Bahwasanya manusia
diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah (QS. Al-Baqarah: 30). Makna dari khalifah itu
sendiri sangat banyak seperti pemimpin, pemakmur, perwakilan, penerus dan lain-lain.
Namun, semua itu mencakupi dalam kerja manusia untuk memakmurkan bumi. Karena
manusialah makhluk yang diberikan akal – hewan yang berakal (kata Aristoteles). Maka
dengan akal itulah, manusia menjadi makhluk yang bisa menumbuhkembangkan dunia
materi. Sehingga potensi alam bisa dikembangkan menjadi suatu produksi yang
mempermudah kerja manusia. Walaupun selalu ada yang dikorbankan atas keganasan dan
kerakusan manusia dalam mengelola dunia materi.
Materialisme historis yang dibawa Marx bermaksud untuk menjelaskan kaitannya tentang
aspek kebendaan (materi) sebagai jalan yang mempengaruhi proses sejarah. Dimana sejarah
lahir dari proses dialektika (tesis dan antitesis yang melahirkan sintesis) dengan adanya
kepemilikan pribadi. Sehingga kemudian hal tersebut menimbulkan pertarungan dalam
memperebutkan materi. Dari materi tersebut lahirlah ekonomi, yang menjadi titik tumpu
manusia dalam berkehidupan. Dan dari perbedaan memandang dan memanfaatkan
perekonomian inilah, Marx membedakan masyarakat antara pemilik modal dengan pekerja.
Pertarungan dan perebutan memang sejak dahulu kala sudah muncul. Bahkan semenjak
konflik anak dari manusia pertama yang turun ke bumi (Adam dan Hawa). Pembunuhan
tersebut terjadi karena menginginkan seorang pasangan yang memiliki wajah yang lebih
cantik (terlihat kemiripan dengan konsep kepemilikan pribadi). Pada zaman Nabi
Muhammad SAW sendiri, perebutan tersebut terjadi dikalangan masyarakat Mekkah. Ada
kalangan bani Ka’b, bani Adi, bani Taim, bani hasyim dan lain sebagainya yang diantara
setiap kalangan tersebut ada kelas sosial yang disusun. Dan kelas terendah dipegang oleh
para budak, jangankan untuk mendapatkan hak kepemilikan pribadi. Jiwa dan tubuhnya
sendiri sudah dirampas dan diperjualbelikan, sehingga hak kepemilikan dirinya dimiliki
kepada sang pembeli.
Kelas Sosial
Baik Nabi Muhammad SAW maupun Karl Marx memiliki sebuah perjuangan yang mirip
dalam upaya menghilangkan kelas sosial yang berada pada zamannya masing-masing. Jika
pada zaman Nabi Muhammad SAW, perjuangan tersebut dapat dilihat dalam bentuk
merubah pandangan masyarakat terhadap sesamanya. Yaitu dengan menyamaratakan
setiap manusia dan menuju kepada pengabdian kepada Allah SWT. Karena setiap manusia,
semestinya dinilai sama karena memiliki identitas yang sama sebagai hamba Allah SWT.
Namun, disinilah perbedaan yang sangat ontologis dan kosmologis antara ajaran Nabi
Muhammad SAW dengan Karl Marx. Marx adalah penganut paham materialisme, yaitu
paham yang memandang dunia hanya dalam bentuknya yang materi. Dan menyangkal akan
adanya hal-hal yang metafisika (ghaib). Sehingga ia dalam memahami antropologi, sosiologi,
etika dan filsafat kehidupannya menggunakan basis materialisme. Sedangkan Nabi
Muhammad SAW membawa sebuah hal yang tentunya sangat berkaitan erat dengan hal-hal
yang berupa metafisika. Bahkan rukun Islam dan rukun Iman adalah sesuatu yang sangat
koheren dengan hubungan manusia dengan Maha Pencipta. Padahal penyamarataan antara
setiap manusia, didasarkan pada kedua rukun ini. Jika manusia benar-benar
melaksanakannya dengan penghayatan yang mendalam, semestinya ia memahami. Bahwa
puasa tidak sekedar sebuah ibadah kepada Allah SWT, akan tetapi dapat melahirkan sikap
peduli kepada sesama manusia. Dan merasakan dengan seksama, kelaparan yang selama ini
cukup menjadi rutinitas masyarakat miskin. Seharusnya akan muncul empati kepada
masyarakat miskin yang kesulitan dalam mencari sesuap dua suap nasi. Maka dari itu, ajaran
Islam tidak hanya berupaya untuk menciptakan hubungan yang baik terhadap Allah SWT
(hablumminallah). Akan tetapi, semua itu juga harus melandasi dirinya untuk menciptakan
hubungan yang baik terhadap sesama manusia (hablumminannas)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. Orang-orang yang
berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Q.S. al-Ma’un: 1-7)
Pada saat inilah bagaimana Nabi Muhammad SAW dengan ajaran yang diturunkan
kepadanya, dapat mengubah bahkan menghapuskan perbudakan yang ada. Pendekatan
yang dilakukan tidak langsung memburukkan atau menjelekkan perilaku perbudakan. Akan
tetapi, dengan memberikan keutamaan terhadap mereka yang membebaskan seorang
budak.
“Barangsiapa yang memerdekakan budak, maka Allah akan membebaskan setiap anggota
badannya dari api neraka dengan setiap anggota badan budak yang dimerdekakan, hingga
kemaluannya dengan kemaluan (budak yang dimerdekakan.” (HR. Muslim)
Sedangkan perjuangan Karl Marx yang pada saat itu dengan melakukan pembagian kelas
yaitu borjuis dan proletar. Tentang mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang
memproduksi dalam bentuk energinya. Akan tetapi dalam persoalan ekonomi, tidak ada
perbedaan yang cukup berarti diantara perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan Karl
Marx. Karena pasalnya, pada periode awal Mekkah pada saat itu kalangan pembesarnya
adalah para pemilik modal. Di saat Nabi Muhammad SAW mengajak masyarakat Mekkah
masuk ke dalam Islam. Bukan karena mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh
beliau SAW atau pun karena khawatir akan merusak ajaran nenek moyang mereka. Akan
tetapi karena di dalam ajaran Islam, mengandung penyetaraan umat manusia. Tak ada lagi
yang akan lebih tinggi kelas sosial diantara masyarakatnya, jika mereka menerima Islam
sebagai agama. Sebab Nabi Muhammad SAW sangat terkenal akan kejujurannya, hingga
masyarakat Mekkah pun saat akan menitipkan barang-barangnya. Mereka menitipkannya
kepada Nabi Muhammad SAW. Maka pada saat Nabi Muhammad SAW menyerukan masuk
ke dalam agama Islam. Ketakutan mereka akan terciptanya masyarakat yang setara, dapat
mempersulit mereka dalam mengeksploitasi keuntungan kepada masyarakat yang berada di
tingkat di bawahnya dan menimbun harta yang mereka miliki. Hal itu sesuai dengan yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa, “Tidaklah seseorang melakukan
penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim)
Bahkan penggunaan harta secara berlebihan (pemborosan) diberikan kecaman bagi para
pelakunya langsung dalam firman Allah SWT,
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al-Isra ayat 26-27)
Karena sikap pemborosan atau penggunaan harta yang berlebihan dan sia-sia, sama saja
dengan tidak memiliki sikap peduli terhadap mereka yang kesulitan dalam hal keuangan.
Sehingga seseorang yang memberikan sedekah terhadap orang yang membutuhkan
diberikan keistimewaan
“Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api.“ (HR. At-
Tirmidzi)
Pada tahap terakhir dari tujuan dari semua itu dalam pemikiran Karl Marx yaitu terciptanya
diktator proletariat. Kapitalisme yang melahirkan diktator borjuis, dibalikkan dengan
diktator proletariat bagi Marx. Kalimat bercorak kapitalisme seperti “untuk masing-masing
sesuai dengan kerjanya”, diganti dengan corak sosialisme semacam “untuk masing-masing
sesuai dengan kebutuhannya”. Memang yang dimaksud dengan diktator proletariat
tersebut adalah peralihan dari penguasaan kaum borjuis kepada kaum proletar, demi
terciptanya masyarakat tanpa kelas. Akan tetapi, diktator proletar menemukan prakteknya
dalam bentuk yang juga menindas dan meneror kelompok lainnya. Jika landasan dasar Karl
Marx adalah kebebasan, persamaan serta humanisme. Setuju atau tidak setuju, diktator
proletariat benar-benar lahir ketika komunisme mengambil alih kekuasaan hingga
puncaknya mencapai sepertiga populasi dunia. Dengan peraturan dan pemberlakuan yang
ketat, bukannya menjadikan masyarakat bebas dan kebebasan berkarya, melainkan suatu
masyarakat yang sama sekali direncanakan dari atas ke bawah, yang masing-masing
individunya diberi suatu peranan. Dan terkesan menggunakan gaya machiavelian dalam
memberikan ketertiban terhadap negara.
Ekonomi
Salah satu gagasan penting yang ditelurkan oleh Karl Marx yaitu tentang basis struktur dan
superstruktur. Dimana basis (dasar) struktur kehidupan ini adalah ekonomi. Dan selain itu,
seperti agama, politik, sosial, dan lain sebagainya merupakan hal yang disebut sebagai
superstruktur. Untuk memudahkan dalam memahaminya, yaitu kita ambil contoh basis
struktur dari sebuah konstruksi bangunan yaitu pondasi. Dimana dengan pondasi yang kuat
tersebut, maka bangunan diatasnya akan tidak mudah goyah dan kuat. Dan bangunan akan
memperturutkan sesuai dengan kemampuan dari pondasinya. Agama dan kepercayaan pun
juga, sebenarnya tetap terikat terhadap basis struktur tersebut. Contohnya seperti ini, ada
seorang nelayan yang mencari ikan di lautan. Namun, karena ia takut akan terombang
ambing dengan lautan yang sangat besar. Akhirnya sang nelayan memberikan sesajen
kepada lautan. Bukankah seperti itu juga yang masih ada di Indonesia, semacam sesajen
ketika mendirikan bangunan. Seperti dalam pembangunan NYIA contohnya. Bahkan tidak
bisa dipungkiri perilaku keberagamaan juga ditentukan atas dasar perekonomiannya.
Seseorang yang memiliki perekonomian yang baik, akan dapat menjalankan zakat, sedekah,
haji, berdonasi, dan lain sebagainya.
Akan tetapi ada perbedaan antara sistem perekonomian yang diajukan oleh Karl Marx
dengan Nabi Muhammad SAW. Karl Marx selalu memberikan dikotomi antara mereka yang
memiliki modal dan alat produksi (kapitalisme) dengan mereka yang tidak memiliki alat
modal serta cenderung bekerja di bawah pemilik modal (buruh). Dan menyerahkan
pengaturan keuangan dan usaha yang ada kepada pengelolaan negara yang telah mencapai
diktator proletariat. Sedangkan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, membolehkan
individu untuk memiliki usahanya sendiri. Tetapi pengaturannya, lebih menjurus kepada
pengelolaan terhadap orang-orang yang memiliki perekonomian yang lebih untuk disalurkan
kepada mereka yang tidak memiliki. Sistem pengelolaan tersebut yang disebut dengan
zakat. Jadi, bukan hanya negara yang memberikan jaminan terhadap kesejahteraan
masyarakat. Elemen masyarakat juga turut andil dalam meminimalisir perbedaan
perekonomian setiap masyarakatnya.
Jadi jangan heran jika masih banyak kalangan ulama yang mengharamkan perpajakan dan
asuransi. Karena perpajakan dan asuransi, memiliki pengaturan yang dimana belum tentu
setiap individunya memiliki cukup kemampuan untuk membayarnya setiap waktu. Apalagi
dengan bentuk asuransi yang dimana seseorang membayar setiap bulannya, untuk jaminan
kesehatan dimasa sakitnya. Namun, apakah sudah pasti setiap manusia akan menggunakan
jaminan tersebut. Jika hampir setiap orang membayar dengan berkala biaya asuransi
tersebut, akan tetapi hanya sedikit orang yang benar-benar menggunakan. Bukankah itu
memberikan keuntungan yang sangat luar biasa kepada penyedia jasa asuransi kesehatan?
Namun, disini saya tidak ingin masuk ke dalam hukum halal atau haramnya atau presentase
masyarakat dan jasa asuransi dalam mengalami untung dan ruginya. Hanya sekedar sedikit
memaparkan sistem-sistem yang ada. Walau secara jelas, saya tidak begitu mengetahui
bagaimana peredaran uang itu dan apakah keuntungan bagi penyedia jasa asuransi
kesehatan benar-benar sangat besar atau tidaknya.
Agama
Bagi Marx, “agama adalah candu masyarakat”. Marx memang tidak mempercayai agama.
Namun, kritik Marx terhadap keberagamaan tidak mencapai level eksistensinya. Melainkan
esensi agama dalam perilaku manusia. Artinya, agama seringkali menjadikan seseorang
menjadi tidak sadar terhadap realita yang terjadi. Apalagi juga memang banyak doktrin
keagamaan yang dimana memuliakan mereka yang bersikap puritan. Sehingga candu
tersebut, sering menjadi keuntungan bagi penguasa dan pemilik modal untuk membuat
masyarakat tidak merasa ada yang salah di dalam hidupnya. Begitu juga yang mendasarkan
Nietzche mengatakan “Tuhan sudah mati”, karena agama dianggapnya malah melahirkan
mentalitas budak bagi para pemeluknya. Contohnya, seperti doktrin keagamaan “hidup di
dunia hanyalah ujian dari Allah SWT”. Maka dari itu, ia merasa tentram karena dirasa dirinya
dibuat susah sebagai ujian. Dan seseorang yang bisa bertahan dengan berbagai ujian
bertubi-tubi yang ada, ia akan semakin mendapatkan kemuliaan di dalam agama. Serta terus
berdoa dan meminta kepada-Nya, akan tetapi tanpa adanya usaha secara pribadi yang
cukup berarti. Perilaku semacam ini, menurut hemat penulis benar dalam satu aspek akan
tetapi keliru pada aspek lainnya. Kita memang harus berlaku sederhana, dalam artian tidak
berlebih-lebihan di dalam segala aspek kehidupan. Makan secukupnya, mengeluarkan uang
sesuai kebutuhannya, meminimalkan berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Itu
adalah satu bentuk yang baik. Namun, yang menjadi kekeliruan adalah ketika perilaku
kesederhanaan menghalangi seseorang untuk bersikap berkemajuan, baik dalam intelektual
maupun perekonomian.
Bukankah menjadi seseorang yang memiliki ekonomi yang mapan memiliki kelebihan. Kita
bisa memberi kepada mereka yang berkekurangan, berzakat, berhaji dan berdonasi dalam
pembangunan masjid atau fasilitas kemasyarakatan dan sosial. Dan bahkan memiliki
kelebihan perekenomian semacam ini pun juga disebut sebagai “ujian dari Allah SWT”.
Apakah dengan kelebihan yang kita miliki ini, menjadikan kita berhasrat merampas serta
bersikap sombong kepada orang lainnya?
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya
(dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya
bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” (HR. Al-Tirmidzi)
Disamping itu, agama adalah candu. Walaupun dijelaskan oleh Marx untuk memberi kritik
terhadap perilaku manusia terhadap keberagamaan. Namun, memang secara tidak sadar itu
menjelaskan nilai positif dari beragama. Sejauh yang dipahami, candu adalah sesuatu yang
memberikan ketentraman bagi mereka yang telah tercandu dengan sesuatu hal. Seseorang
yang telah candu dengan narkotika, ia akan merasa tidak tentram dan tenang jika lama tidak
mengkonsumsi hal tersebut. Begitu juga dengan agama. Seseorang yang telah merasakan
ketentraman dan ketenangan dalam beragama. Maka jika suatu kali tidak mendapat akses
untuk menjalankan ajaran yang ada di dalam agama tersebut. Ia akan merasa tidak tentram
yang akan memberi dampak sulit dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Agama adalah
salah satu sumber pengubah psikologis manusia, merupakan sesuatu yang faktual hingga
kini.
Pascakata
Hingga sejak dulu sampai saat ini, ajaran dan pemikiran tersebut diinternalisasikan kedalam
setiap individunya. Namun, pemahaman setiap individu yang terpengaruh oleh lingkungan
sosial tempatnya berada, akan memahamkan ajaran dan pemikiran tersebut dengan
kemampuannya masing-masing. Maka, tak jarang kita melihat penindasan, pengekangan,
dan pelanggaran seseorang dengan mengatasnamakan agama dan ideologi. Juga tak jarang
ajaran agama dan ideologi digunakan dengan sesuatu yang melahirkan penindasan yang
baru. Dalam Islam muncul lah “Mu’tazilah”, “Khawarij”, “Wahabi”, “Sunni”, “Syi’ah” dan lain
sebagainya. Serta, dalam ajaran yang didasarkan atas pemikiran Marx, juga merumuskan
“Komunisme”, “Leninisme”, “Maoisme”, “Neo-marxisme”. Memang begitu seharusnya,
karena “sejarah bergerak ke arah yang semakin rasional” katanya Hegel. Maka, setiap ajaran
dan keilmuan yang telah dibaca dan ditelaah. Akan melahirkan keilmuan baru – yang dirasa
oleh setiap individu lebih mapan dibandingkan yang telah ia masukkan ke dalam pikirannya.
Namun, apakah dengan semakin rasional. Semesta akan semakin baik atau mungkin
sebaliknya?
Referensi:
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam
Ashgar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan
Ali Syari’ati, Kritik Islam Atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya
Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah

Anda mungkin juga menyukai