Anda di halaman 1dari 36

Dispepsia + Hipertensi Emergensi

Oleh :

Cita Laelika Novialianti Putri

19360047

Pembimbing :

dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RS PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR LAMPUNG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling umum.

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, tetapi

sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Hipertensi didefinisikan

sebagai peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik diatas 140/90

mmHg.

Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi

dimana terjadi kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol

yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif. Berbagai sistem

organ yang menjadi organ target pada hipertensi emergensi ini adalah

system saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi ensefalopati, infark

serebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; system

kardiovaskular yang dapat mengakibatkan infark miokard, disfungsi

ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta dan system organ lainnya

seperti gagal ginjal akut, retinopati, eklamsia dan anemia

hemolitik mikroangiopatik. Kondisi hipertensi emergensi, tekanan darah

harus diturunkan secara agresif dalam hitungan waktu menit sampai jam.


BAB II

LAPORAN KASUS

STATUS PENDERITA

Identitas Pasien

Nama lengkap : Rahayu

Tanggal Lahir : 17-07-1974

Umur : 46 tahun

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Sumber Sari, Mandah, Natar

No. MR : 152898

Tanggal masuk RS : 29 November 2020, pukul 19:31WIB

Tanggal Keluar RS : 02 Desember 2020, pukul 11.20 WIB

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.

 Keluhan utama

Nyeri ulu hati menyesak ke dada sejak +/- 2 hari sebelum masuk rumah sakit

 Keluhan tambahan

Nyeri kepala (+) , Mual (+)

 Riwayat Perjalanan Penyakit

Os datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak +/- 2 hari yang lalu dan

dirasakan semakin memberat. Sebelumnya Os pernah mengalami hal serupa.


Nyeri di rasakan memberat jika terlambat makan, perut terasa kembung dan

sering merasa mual. Pasien sering makan tidak teratur.Os juga mengeluhkan

nyeri kepala. Tidak terasa berputar. Tidak nyeri telinga. Os merasakan mual

tetapi tidak muntah. Tidak nyeri dada. Tidak sesak napas BAB tidak ada

keluhan. BAK tidak ada keluhan. Os mengeluhkan tengkuknya terasa berat.

Os memiliki riwayat penyakit hipertensi yang diketahui sudah ± 5

tahun ini. Os hanya berobat ke puskesmas dan tidak meminum obat secara

rutin. Hanya minum obat jika terdapat keluhan seperti nyeri kepala. Namun

pasien tidak mengetahui obat apa yang diminumnya jika terdapat keluhan.

 Riwayat penyakit dahulu

Thypoid - Infeksi saluran kemih - Diabetes - Batu empedu -


Tuberkulosi

s - Hepatitis - Pneumonia - Batu ginjal -

Varisel a - Penyaktit jantung - Alergi - Demensia -

Batuk rejan - Hipotensi - Cholesterol - Stroke -

Campak - Hipertensi √ Athritis Gout - Malaria -

Influenza - Gastritis - Alergi - Cephalgia -


 Riwayat penyakit keluarga

Hubunga
Diagnosis Kondisi kesehatan Penyebab meninggal
n
Kakek - - -
Nenek - - -

Ayah - - -
Ibu - - -
Saudara Hipertensi - -
Anak - - -

 Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, kebiasaan

Konsumsi obat jangka panjang - Konsumsi alkohol -


Konsumsi jamu - Merokok -
Konsumsi minuman bersoda - Makan jengkol -
Makan jeroan - Makan petai -
Makan tempe tahu - Sayuran hijau -
Makan buah - Minum kopi -

 Anamnesa Organ

Kulit :

Bisul - Luka - Kering -


Bintik merah - Kuning - Keringat malam -

Kepala :

Pusing - Pandangan kabur - Tengkuk tegang √


Sakit kepala - Mimisan - Trauma -
Nyeri telinga - Telinga berdenging - Benjolan di leher -
Gusi berdarah - Gangguan penciuman - Nyeri menelan -

Thoraks :

Nyeri dada - Sesak nafas saat beraktiviatas √


Sesak nafas saat berbaring - Batuk berdarah -
Berdebar – debar - Batuk berdahak -

Abdomen :

Rasa kembung - Perut membesar -


Mual √ Wasir -
Muntah - Mencret -
Nyeri perut - Tinja berdarah -
Susah kentut - Tinja seperti air cucian beras -
Muntah darah - Tinja berwarna hitam -

Saluran Kemih :

Nyeri saat BAK - Tidak BAK -


BAK sedikit – sedikit - Tidak ada kemampuan berkemih -
BAK seperti teh - Kencing menetes -
BAK darah - Kencing nanah -
Kencing batu - Air kencing keruh/tidak jernih -

Saraf & Otot :

Sensitifitas menurun - Sering lupa / hilang ingatan -


Kesemutan - Gangguan koordinasi otot -
Otot melemah - Sensitivitas meningkat -
Kejang - Pingsan -
Tremor - Kedutan (TIK) -
Gangguan berbicara - Pusing (vertigo) -
Ekstremitas Superior & Inferior :

Ekstremitas superior Ekstremitas inferior


Bengkak - Bengkak -
Nyeri sendi - Nyeri sendi -
Perubahan bentuk - Perubahan bentuk -
Kebiruan - Kebiruan -
Bintik – bintik merah - Bintik – bintik merah -
Luka/bekas luka - Luka/bekas luka -

Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan fisik umum

KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda – tanda vital

TD :180 /110 mmHg RR : 22 x/menit

Nadi : 89 x/menit Suhu : 36,7 oC

BB : 50 kg

TB : 155 cm

Aspek kejiwaan

Tingkah laku : Wajar/Gelisah/Hipoaktif/Hiperaktif

Alam Perasaan : Biasa/Sedih/Gembira/Cemas/Takut/Marah

Proses berfikir : Wajar/Cepat/Waham/Fobia/Obsesi/Menurun

 Pemeriksaan fisik khusus

Kepala

Normocephal (+) Muka simetris (+) Hematoma (-) Rambut (Normal)

Mata
Kongjungtiva Anemis (-) ikterik (-) eksoftalmus (-) enoftalmus (-)

nistagmus (-)

Telinga

Tidak ada kelainan. Tuli (-) darah (-) seruman (-) sekret (-) edem (-)

perforasi membran (-)

Hidung

Tidak ada kelainan. Trauma (-) nyeri (-) sekret (-) epitaksis (-) fraktur (-)

pernafasan cuping hidung (-)

Mulut

Tidak ada kelainan. Sianosis (-) Bibir kering (-) Trismus (-) Tonsil (T1/T1)

Faring hiperemis (-)

Leher

Tekanan JVP : Normal tidak ada peningkatan

Kelenjar tiroid : Normal tidak ada pembesaran

Kelenjar limfe : Normal tidak ada pembesaran

Kelenjar Getah Bening (KGB)

Submandibula : Tidak teraba

Subclavikula : Tidak teraba

Leher : Tidak teraba

Ketiak : Tidak teraba

Lipat paha : Tidak teraba

Paru – paru

Ispeksi : Hematoma (-), retraksi (-), pergerakan (simetris)


Palpasi : Krepitasi (-), edema (-), nyeri tekan (-), massa (-)

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Kanan (vesikuler) Kiri (vesikuler)

Jantung

Ispeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Thrill (-)

Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis sinistra

Batas kiri ICS IV linea midclavikula sinistra

Batas kanan ICS IV linea parasternalis sinistra

Auskultasi : S1 (+) S2 (+), Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Ispeksi : Bentuk datar (+) Striae (-) Caput medusa (-)

Auskultasi : Peristaltik usus (normal), metalic sound (-)

Palpasi : Nyeri tekan (+) Hati dan Ginjal (tidak teraba)

Perkusi : Timpani pada lapang perut

Ekstremitas

Superior dextra dan sinistra

Motorik : Kanan 5 – Kiri 5

Refleks fisiologis : (+/+)

Sensitbilitas : Normal

Edem : Tidak ada

Sendi : Nyeri (-) deformitas (-) edema (-)

Tremor : Tidak ada

Inferior dextra dan sinistra


Motorik : Kanan 5 – Kiri 5

Refleks fisiologis : (+/+)

Refleks Patologis : (-/-)

Sensitbilitas : Normal

Edem : ada

Sendi : Nyeri (-) deformitas (-) edem (-)

Tremor : Tidak ada

 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi (29 November 2020)

Pemeriksaan Hasil Normal Satuan


Hemoglobin 12,3 Lk 14 – 18 Wn 12 – 16 gr/dl
Leukosit 5.200 4.500 – 10.700 %
Hit. Jenis leukosit basophil 0 0–1 %
Hit. Jenis leukosit eosinofil 0 0–3 %
Hit. Jenis leukosit batang 1 2–6 %
Hit. Jenis leukosit segmen 47 50 – 70 %
Hit. Jenis leukosit limfosit 39 20 – 40 %
Hit. Jenis leukosit monosit 8 2–8 %
Eritrosit 5,0 Lk 4,6-6,2 Wn 4,2-6,4 10 6/ul
Hematokrit 38 Lk 50-54 Wn 38-47 %
Trombosit 206.000 159.000-400.000 Ul
MCV 79 80-96 Fl
MCH 25 27-31 Pg
MCHC 31 32-36 g/dl
ALC (Absolute Lymphocyte
2.028
Count)
NLR (Neutrophil
1,23
Lymphocyte Ratio)

KIMIA DARAH (29- 11- 2020)


No Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
1. Urea 30 10-50 mg/dl
2. Creatinine 0,5 LK 0,6 – 1,1 PR 0,5 – 0,9 mg/dl

IMUNOLOGI (29- 11- 2020)


No Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
1. SARS-CoV-2 IgG Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)
2. SARS-CoV-2 IgM Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)

KIMIA DARAH (01- 12- 2020)


No Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
1. Asam Urat 4,0 LK 2,5 – 7,0 PR 1,5 – 6,0 mg/dl
2. Cholesterol total 206 <220 mg/dl

 EKG :Normal
 Rongen :

Kesan tampak gambaran kardiomegali, scoliosis ringan vertebra

thoracalis

 Resume

Os datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak +/- 2 hari yang lalu

dan dirasakan semakin memberat. Sebelumnya Os pernah mengalami hal

serupa. Nyeri di rasakan memberat jika terlambat makan, perut terasa

kembung dan sering merasa mual. Pasien sering makan tidak teratur. Os

juga mengeluhkan nyeri kepala. Tidak terasa berputar. Tidak nyeri telinga.

Os merasakan mual tetapi tidak muntah. Tidak nyeri dada. Tidak sesak

napas BAB tidak ada keluhan. BAK tidak ada keluhan. Os mengeluhkan

tengkuknya terasa berat.


Os memiliki riwayat penyakit hipertensi yang diketahui sudah ± 5

tahun ini. Os hanya berobat ke puskesmas dan tidak meminum obat secara

rutin. Hanya minum obat jika terdapat keluhan seperti nyeri kepala.

Namun pasien tidak mengetahui obat apa yang diminumnya jika terdapat

keluhan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 180/110 mmHg, dan yang

lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium

tidak ditemukan kelainan yang bermakna. Pada pemeriksaan EKG tidak

didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan rontgen thorax tampak kesan

kardiomegali tampak gambaran kardiomegali dan scoliosis ringan vertebra

thoracalis.

 Daftar Masalah

1. Nyeri ulu hati

2. Hipertesi

3. Mual

 Diagnosa

Dyspepsia + Hipertesi emergensi

 Diagnosa Banding

- Sindrom dispesia

- Hipertensi emergensi
- Hipertensi Grade III

 Penatalaksanaan

Non-Farmakologi :

 Pengobatan nonfarmakologi berupa saran kepada pasien untuk :

1. Tirah baring

2. Tidak menunda makan, mengatur pola makan dengan makan secara

teratur dan sebaiknya mengkonsumsi makanan berserat tinggi,

bergizi, serta perbanyak minum air putih.

3. Kurangi mengkonsumsi makanan pedas, kecut, banyak mengandung

gas yang dapat menimbulkan gas di lambung (kubis, kol, kentang,

semangka, melon) dan berlemak tinggi yang menghambat

pengosongan isi lambung.

4. Menghindari konsumsi obat –obat yang dapat mengiritasi lambung

seperti obat anti inflamasi, misalnya yang mengandung ibuprofen,

aspirin dan ketoprofen. Sebaiknya di ganti dengan Acetaminophen

karena tidak mengakibatkan iritasi pada lambung.

5. Menghindari stress.

Farmakologi :

 IVFD RL 20 xx gtt/menit

 Inj Omeprazol 1 x 1 vial / 12 jam

 Inj Ondansetron 1 x 1 amp / 12 jam

 Amlodipine 1 x 10 mg tab

 Sucralfat syr 3 x 2 c
BAB III

ANALISA KASUS

Pada kasus ini yaitu di dapatkan pasien seorang perempuan berusia 47

tahun di diagnosis dengan Dispepsia + Hipertensi emergensi berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis

didapatkan pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati. Nyeri ulu hati dirasakan

sejak ± 2 hari SMRS. Sebelumnya pasien pernah mengalami hal serupa. dari

anamnesis pasien datang dengan keluhan nyeri pada ulu hati yang berada pada

regio epigastrium, sehingga dapat memberikan gambaran secara anatomi keluhan


berasal dari lambung/gaster. Dugaan ini diperkuat dengan nyeri yang dialami

bertambah parah jika terlambat makan, disertai rasa mual. Hal ini merupakan

gejala-gejala dari terjadinya dispepsia dimana terjadi produksi asam lambung

yang meningkat. Satu hal lagi yang mendukung diagnosis adalah adanya nafsu

makan yang berkurang. Gejala-gejala tersebut kemungkinan besar disebabkan

makan yang tidak teratur dan stress psikologi yang sangat berperan dalam sekresi

asam lambung yang berlebihan sampai akhirnya timbul gejala. Pasien juga

mengeluhkan nyeri kepala sejak 2 hari yang lalu nyeri dirasakan seperti di tusuk-

tusuk jarum. Tidak terasa berputar. Nyeri berkurang ketika pasien beristirahat.

BAB tidak ada keluhan. BAK tidak ada keluhan. Pasien memiliki riwayat

penyakit hipertensi yang diketahui sudah ± 5 tahun ini. Namun pasien tidak

meminum obat secara rutin.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 180/110 mmHg, dan yang lainnya

dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium tidak ditemukan

kelainan yang bermakna. Pada pemeriksaan EKG tidak didapatkan kelainan. Pada

pemeriksaan rontgen thorax tampak kesan kardiomegali dan scoliosis ringan

vertebra thoracalis mengacu pada data rersebut maka dapat ditegakkan diagnosis

kerja pada pasien tersebut yaitu dyspepsia + hipertensi emergensi. Berdasarkan

dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengarah

kepada adanya gejala kerusakan organ sasaran, dengan demikian jenis hipertensi

yang terjadi pada pasien ini mengarah kepada hipertensi emergensi.

Hal ini didasarkan dengan adanya kenaikan tekanan darah secara

mendadak yang ditandai oleh peningkatan TD sistole ≥ 180mmHg dan/atau


diastolik > 120 mmHg disertai adanya keluhan - keluhan yang mengarah kepada

kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran.

Penatalaksaan pada pasien ini :

 Pada keadaan ini diperlukan obat untuk meredakan nyeri pada ulu hati

pada pasien ini yang berasal dari gaster/lambung maka diberikan obat

injeksi Omeprazole. Obat ini merupakan golongan PPI (proton pump

inhibitor) adalah kelompok obat yang digunakan untuk menurunkan

kadar asam lambung dan meredakan gejala yang disebabkan oleh

penyakit refluks asam lambung. Selain itu, penghambat pompa proton

juga digunakan untuk mengobati dan mencegah beberapa kondisi

medis lain terkait asam lambung seperti dispepsia. guna mencegah

timbulnya perburukan kondisi pasien.

 Untuk menurunkan tekanan darah pada pasien ini diberikan obat

Amlodipine 10 mg. Amlodipine merupakan obat antihipertensi

golongan CCB (Calsium Channel Blockers) . Obat berkerja dengan

menghalangi kalsium masuk ke dalam sel-sel otot halus pada dinding

pembuluh darah jantung. Kalsium merukapan zat yang berperan

dalam kontraksi otot, dengan dihambatnya kalsium, maka jumlah

kalsium yang masuk ke dalam sel-sel otot berkurang dan pembuluh

darah menjadi lebih rileks dan melebar, sehingga meningkatkan

pasokan darah dan oksigen ke jantung, sehingga akan terjadi

penurunan tekanan darah.


 Untuk meredakan rasa mual pada pasien ini, maka diberikan obat

injeksi Ondansetron. Obat ini merupakan golongan antiemetic,

kelompok obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati mual

dan muntah dengan cara menghentikan lepasnya senyawa kimia yang

bernama serotonin di dalam usus dan sistem saraf. Ondansetron

menimbulkan efek antagonis terhadap reseptor serotonin 5-HT3.

Reseptor serotonin 5-HT3 terdapat di bagian perifer yaitu pada nervus

vagal dan di sentral pada area postrema yang merupakan

chemoreceptor trigger zone, Dengan demikian, ondansetron membuat

serotonin tidak bisa menyebabkan mual.

 Selain itu juga pasien diberikan sucralfate (sukralfat). Sucralfate

(sukralfat) adalah obat golongan antiulkus untuk mengatasi tukak

pada lambung dan usus halus. Sucralfate bekerja dengan cara

membentuk lapisan pelindung pada tukak untuk melindunginya dari

infeksi dan kerusakan lebih lanjut. Lapisan pelindung ini akan

membantu mempercepat proses penyembuhan tukak (peradangan)

yang menyebabkan dyspepsia.


BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman diepigastrium, mual, muntah, kembung, rasa
penuhatau cepat kenyang, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat
disebabkan oleh kelainan organik (misalnya tukak peptik, gastritis,
kolesistitis, dan lainnya), bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. maupun yang bersifat nonorganik/fungsional/
dyspepsia non ulkus, bila tidak jelas penyebabnya.1.2,5
3.2 Etiologi 4,5
Penyebab Dispepsia meliputi :
1. Dispepsia Organik .
- Gangguan dalam lumen saluran cerna (Tukak peptic, Gastritis,
Keganasan, dll)
- Gastroparesis
- Obat-obatan ( AINS, Teofilin, Digitalis, Antibiotik )
- Hepato Biller ( Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiatis, Keganasan,
Disfungsi spincter odii )
- Pancreas ( Pankreatitis, Keganasan )
- Keadaan Sistematik ( DM, Penyakit tiroid, Gagal ginjal, Kehamilan,
PJI )

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak


jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-
dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan
produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada
lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls
muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan

2. Dispepsia Non organik atau fungsional


- Stress psikososial
- Faktor lingkungan (makanan, genetik)
Rangsangan psikis/ emosi sendiri secara fisiologis dapat
mempengaruhi lambung dengan 2 cara, yaitu:
1. Jalur neuron: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus
vagus, nervus vagus dan selanjutnya ke lambung.
2. Jalur neurohumoral: rangsangan pada korteks serebri →
hipotalamus anterior → hipofisis anterior (mengeluarkan
kortikotropin) → hormon → merangsang korteks adrenal
(menghasilkan hormon adrenal) → merangsang produksi asam
lambung
Faktor psikis dan emosi (seperti pada anksietas dan depresi) dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan
sekresi asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi
mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri.Pasien
dyspepsia umumnya menderita anksietas, depresi dan neurotik lebih
jelas dibandingkan orang normal.

3.3 Manifestasi Klinis 5,6


Berdasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi 3 tipe :
1)     Dispepsia dan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan
gejala :
a)     Nyeri epigastrium terlokalisasi.
b)    Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid.
c)     Nyeri saat lapar.
d)    Nyeri episodik.
2)     Dispepsia dengan GFI seperti dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia), dengan gejala :
a)     Mudah kenyang
b)    Perut cepat terasa penuh saat makan
c)     Mual
d)    Muntah
e)     Upper abdominal bloating
f)      Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
3)     Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas)

3.4 Diagnosis 3,5


Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama,
seperti halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya
merupakan kumpulan gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka
perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka
perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga
perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan lain-lain.
 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan
untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis
kronik, diabets mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional
biasanya hasil laboratorium dalam batas normal.
 Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit
di saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan
radiologis terhadap saluran makan bagian atas, dan sebaiknya
menggunakan kontras ganda.
 Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran
endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik.
 USG (ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin
banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari
suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping,
dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun
dapat dimanfaatkan
 Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak.
Pada dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 –
40 % kasus.

3.5 Pengobatan 1,3,4,5


Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu :
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan
menetralisir sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya
terdapat dalam antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg
(OH)2 dan Mg trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya jangan
diberikan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg trisilikat dapat dipakai dalam waktu
lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat
nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor
muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28-
43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin dan famotidin
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam
lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung.
Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(sebagai site protective), yang senyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom
peridon dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk
mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan
mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid
clearance).
Penatalaksanaan non farmakologis
 Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
 Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang pedas,
obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, stress,dll.
 Atur pola makan

3.6 Pencegahan 3,5


Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang
dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak
mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan
pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya
sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi
lambung.

3.7 HIPERTENSI
3.7.1 DEFINISI
Hipertensi adalah penyakit akibat peningkatan tekanan darah dalam
arteri dengan tekanan darah sistolik dan diastolik lebih atau sama
sdengan 140 dan 90mmHg. Krisis hipertensi ialah keadaan klinik yang
gawat yang disebabkan karena tekanan darah yang meningkat,
biasanya tekanan diastolic 140mmHg atau lebih, disertai
kegagalan/kerusakan target organ. Yang dimaksud target organ disini
ialah: otak, mata (retina), ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Batas
tekanan darah untuk timbulnya krisis hipertensi, bisa lebih rendah dari
140 mmHg, misalnya 130 atau 120 mmHg. Hal ini terutama
tergantung dari cepatnya kenaikan tekanan darah.
Menurut tingkat kegawatannya, krisis hipertensi dibagi menjadi :
3.7.1.1 Hipertensi gawat (hpertensive emergency).
Hipertensi gawat ialah keadaan klinik yang memerlukan penurunan
tekanan darah dalam waktu kurang dari satu jam.
3.7.1.2 Hipertensi darurat (hypertensive urgency)
Hipertensi darurat ialah keadaan klinik yang memerlukan
penurunan tekanan darah dalam beberapa jam.

3.7.2 ETIOLOGI
1. Primer Hipertensi (idiopatik)
2. Hipertensi Sekunder
a) Peningkatan kardiac output ( peningkatan sekunder dalam
tahanan pembuluh darah )
 Uremia dengan cairan overload
 Akut renal disease (glomerulonefritis, krisis
skleroderma)
 Peningkatan Hyperaldosteronprime
b) Peningkatan resistensi pembuluh darah
 Renovaskular hipertensi ( renal artery stenosis )
 Pheochromosytoma
 Obat – obatan ( kokain, makanan, atau obat yang
berinteraksi dengan monoamine oxidase inhibitors )
 Cerebro – vascular ( infark, intracranial atau
subarchnoid hemorragi )

3.7.3 FAKTOR RESIKO


Faktor Risiko yang Mendorong Timbulnya Kenaikan Tekanan
Darah :
a. Faktor risiko spt: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
merokok, genetis
b. Sistem saraf simpatis: tonus simpatis dan variasi diurnal
c. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan
vasokonstriksi: endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi
remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga
memberikan konstribusi akhir
d. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem
renin, angiotensin,aldosteron

Gambar 1. Faktor yang berpengaruh terhadap pengendalian


tekanan darah
3.7.4 KLASIFIKASI HIPERTENSI
2.1.4.1 Menurut Tekanan Darah

Gambar 2. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC-7


Gambar 3. Klasifikasi menurut kreteria orang dewasa

2.1.4.2 Menurut Tingkat Kegawat Daruratan


a) Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi
peningkatan tekanan darah yang disertai kerusakan atau
yang mengancam kerusakan terget organ dan memerlukan
penanganan segera untuk mencegah kerusakan atau
keparahan target organ. The Fifth Report of the Joint
National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure (JNC-7, 2004) membagi krisis
hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi
emergensi (darurat) dan Hipertensi urgensi (mendesak).
Kedua hipertensi ini ditandai nilai tekanan darah yang
tinggi, yaitu ≥180 mmHg/120 mmHg dan ada atau
tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi.
Membedakan kedua golongan krisis hipertensi
bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ
sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita
dianggap sebagai suatu keadaan emergensi bila terjadi
kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf
sentral, miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi perlu dibedakan karena cara
penanggulangan keduanya berbeda.
a. Hipertensi emergensi (darurat)
Ditandai dengan TD Diastolik >120 mmHg,
disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag
disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut.
Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan
sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit
atau (ICU) .
Penanggulangan hipertensi emergensi :
Pada umumnya kondisi ini memerlukan terapi
obat antihipertensi parenteral. Tujuan terapi hipertensi
darurat bukanlah menurunkan tekanan darah ≤ 140/90
mmHg, tetapi menurunkan tekanan arteri rerata (MAP)
sebanyak 25 % dalam kurun waktu kurang dari 1 jam.
Apabila tekanan darah sudah stabil, tekanan darah
dapat diturunkan sampai 160 mmHg/100-110 mmHg
dalam waktu 2-6 jam kemudian. Selanjutnya tekanan
darah dapat diturunkan sampai tekanan darah sasaran
(<140 mmHg atau < 130 mmHg pada penderita
diabetes dan gagal ginjal kronik) setelah 24-48 jam.

b. Hipertensi urgensi (mendesak)


Hipertensi mendesak ditandai dengan TD diastolik
>120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi
minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan
secara bertahap dalam 24 jam sampai batas yang aman
memerlukan terapi oral hipertensi.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan
rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita
ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan
TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah
tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai
pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral
antihipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.
Penanggulangan hipertensi urgensi :
Pada umumnya, penatalaksanaan hipertensi
mendesak dilakukan dengan menggunakan atau
menambahkan antihipertensi lain atau meningkatkan
dosis antihipertensi yang digunakan, dimana hal ini
akan menyebabkan penurunan tekanan darah secara
bertahap. Penurunan tekanan darah yang sangat cepat
menuju tekanan darah sasaran (140/90 mmHg atau
130/80 mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal
kronik) harus dihindari. Hal ini disebabkan autoregulasi
aliran darah pada penderita hipertensi kronik terjadi
pada tekanan yang lebih tinggi pada orang dengan
tekanan darah normal, sehingga penurunan tekanan
darah yang sangat cepat dapat menyebabkan terjadinya
cerebrovaskular accident, infark miokard dan gagal
ginjal akut.

3.7.5 PATOGENESIS
Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu Peningkatan
tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan
perifer .
Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu
penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis
antara faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan
darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau
tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi
sodium, turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf
simpatis, meningkatnya aktifitas renin angiotensin alosteron,
perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi endotel
merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme
hipertensi.
Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya
dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin aldosteron, dimana
hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja dengan
mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin aldosteron
adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin
aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi
aldosteron mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium.
Sistem ini secara signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh
darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasi
tekanan darah .
Gambar 4. Patogenesis Hipertensi
3.7.6 TATALAKSANA

Gambar 5. Algoritma Terapi Hipertensi berdasarkan JNC-7

3.7.7 KOMPLIKASI
1. Stroke
Hipertensi adalah faktor resiko yang penting dari stroke dan
serangan transient iskemik. Pada penderita hipertensi 80%
stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik,yang disebabkan
karena trombosis intra-arterial atau embolisasi dari jantung dan
arteri besar. Sisanya 20% disebabkan oleh pendarahan
(haemorrhage), yang juga berhubungan dengan nilai tekanan
darah yang sangat tinggi. Penderita hipertensi yang berusia
lanjut cenderung menderita stroke dan pada beberapa episode
menderita iskemia serebral yang mengakibatkan hilangnya
fungsi intelektual secara progresif dan dementia. Studi populasi
menunjukan bahwa penurunan tekanan darah sebesar 5 mmHg
menurunkan resiko terjadinya stroke.
2. Penyakit jantung koroner
Nilai tekanan darah menunjukan hubungan yang positif dengan
resiko terjadinya penyakit jantung koroner (angina, infark
miokard atau kematian mendadak), meskipun kekuatan
hubungan ini lebih rendah daripada hubungan antara nilai
tekanan darah dan stroke. Kekuatan yang lebih rendah ini
menunjukan adanya faktor-faktor resiko lain yang dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner. Meskipun demikian,
suatu percobaan klinis yang melibatkan sejumlah
3. Gagal jantung
Bukti dari suatu studi epidemiologik yang bersifat retrospektif
menyatakan bahwa penderita dengan riwayat hipertensi
memiliki resiko enam kali lebih besar untuk menderita gagal
jantung daripada penderita tanpa riwayat hipertensi. Data yang
ada menunjukan bahwa pengobatan hipertensi, meskipun tidak
dapat secara pasti mencegah terjadinya gagal jantung, namun
dapat menunda terjadinya gagal jantung selama beberapa
decade.
4. Hipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi sebagai respon kompensasi
terhadap peningkatan afterload terhadap jantung yang
disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi. Pada akhirnya
peningkatan massa otot melebihi suplai oksigen, dan hal ini
bersamaan dengan penurunan cadangan pembuluh darah
koroner yang sering dijumpai pada penderita hipertensi, dapat
menyebabkan terjadinya iskemik miokard. Penderita hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri memiliki peningkatan resiko
terjadinya cardiac aritmia (fibrilasi atrial dan aritmia ventrikular)
dan penyakit atherosklerosis vaskular (penyakit koroner dan
penyakit arteri perifer)
5. Penyakit vaskular
Penyakit vaskular meliputi abdominal aortic aneurysm dan
penyakit vaskular perifer. Kedua penyakit ini menunjukan
adanya atherosklerosis yang diperbesar oleh hipertensi.
Hipertensi juga meningkatkan terjadinya lesi atherosklerosis
pada arteri carotid, dimana lesi atherosklerosis yang berat
seringkali merupakan penyebab terjadinya stroke .
6. Retinopati
Hipertensi dapat menimbulkan perubahan vaskular pada mata,
yang disebut retinopati hipersensitif. Perubahan tersebut
meliputi bilateral retinal falmshaped haemorrhages, cotton woll
spots, hard exudates dan papiloedema. Pada tekanan yang sangat
tinggi (diastolic >120 mmHg, kadang-kadang setinggi 180
mmHg atau bahkan lebih) cairan mulai bocor dari arteriol-
arteriol kedalam retina, sehingga menyebabkan padangan kabur,
dan bukti nyata pendarahan otak yang sangat serius, gagal ginjal
atau kebutaan permanent karena rusaknya retina.
7. Kerusakan ginjal
Ginjal merupakan organ penting yang sering rusak akibat
hipertensi. Dalam waktu beberapa tahun hipertensi parah dapat
menyebabkan insufiensi ginjal, kebanyakan sebagai akibat
nekrosis febrinoid insufisiensi arteri-ginjal kecil. Pada hipertensi
yang tidak parah, kerusakan ginjal akibat arteriosklerosis yang
biasanya agak ringan dan berkembang lebih lambat.
Perkembangan kerusakan ginjal akibat hipertensi biasanya
ditandai oleh proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko
bebas untuk kematian akibat semua penyebab, dan kematian
akibat penyakit kardiovaskular. Proteinuria dapat dikurangi
dengan menurunkan tekanan darah secara efektif).
DAFTAR PUSTAKA

1. http://tbmcalcaneus.org/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=73
2. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/penanganan%20dispepsia%20pada
%20lanjut%20usia%20(prof%20wibawa).pdf
3. http://info-medis.blogspot.com/2009/01/dispepsia.html
4. http://drlizakedokteran.blogspot.com/2007/12/dispepsia-fungsional.html
5. (KULIIDispepsi ppt)
http://images.viepharmacy.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/Sq
x6WgoKCpwAACRKLH81/KUL%20II%20DISPEPSIA.ppt?
nmid=282754117
6. http://nieziz09.co.cc/dispepsia

Anda mungkin juga menyukai