OLEH
I KADEK INDRAYANA
(189011997)
DENPASAR
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
RHABDOMYOSARCOMA
2. Epidemiologi
Secara umum, tumor ini dapat dikatakan memiliki insidensi yang
relative jarang. Insidensi rhabdomyosarcoma yakni sekitar 4,3 kasus per satu
juta kasus yang lebih banyak terjadi pada anak-anak. Rhabdomyosarcoma
merupakan keganasan pada anak dengan presentase sekitar 5% dari
keseluruhan keganasan pada anak dan 20% dari bentuk keganasan di
jaringan lunak yang terjadi pada anak. Usia rata-rata anak yang mengalami
rhabdomyosarcoma yaitu anak usia dibawah 15 tahun, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan 5:3. Terdapat dua puncak angka kejadian, yang
pertama diantara 2-5 tahun dan yang kedua pada masa adolsen (15-19
tahun).
3. Etiologi
Penyebab dari rhabdomyosarcoma sendiri sampai saat ini belum jelas.
Beberapa sindroma genetik dan faktor lingkungan dikatakan berkaitan
dengan peningkatan prevalensi dari rhabdomyosarcoma.
a. Beberapa sindroma genetik yang berhubungan dengan angka kejadian
rhabdomyosarcoma :
1) Li-Fraumeni syndrome : Gangguan genetik bawaan yang jarang
terjadi yang umumnya disebabkan oleh mutasi gen pada gen
supresor tumor p53. Kelainan ini mengurangi kemampuan tubuh
untuk menghentikan pertumbuhan sel yang menghasilkan
pembentukan tumor kanker. Pasien dengan LFS memiliki
peningkatan risiko mengembangkan berbagai jenis kanker termasuk
RMS, leukemia, dan kanker payudara, antara lain.
2) Beckwith-Wiedemann syndrome : Gangguan regulasi pertumbuhan
yang meningkatkan risiko tumor pada masa kanak-kanak serta
hipoglikemia dan kelainan ginjal. Sindrom ini terkait dengan
perubahan gen kromosom 11 dan dapat diwariskan dari generasi ke
generasi dalam sebuah keluarga.
3) Costello’s syndrome : Tanda-tanda gangguan ini termasuk kelainan
skelet, tonus otot yang lemah, dan kelainan struktural otak. Dimulai
pada anak usia dini, pasien dengan gangguan ini berada pada
peningkatan risiko mengembangkan tumor kanker termasuk
rhabdomyosarcoma.
b. Beberapa faktor lingkungan yang diduga berperan dengan prevalensi
rhabdomyosarcoma :
1. Penggunaan orang tua terhadap ganja dan kokain
2. Penyinaran sinar X
3. Makanan dan pola makan
4. Penggunaan alkohol sebelumnya
5. Kontak dengan zat-zat karsinogen di daerah tempat bekerja
khususnya pada orang dewasa
4. Patofisiologi
Meskipun rhabdomyosarcoma berasal dari sel otot skeletal, tumor ini
bisa menyerang bagian manapun dari tubuh kecuali tulang. Botrioid adalah
bentuk dari embrional rhabdomyosarcoma yang berasal dari mukosa daerah
yang berongga, seperti kandung kencing, vagina, nasofaring dan telinga
tengah. Lesi pada ekstremitas lebih lebih banyak merupakan alveolar
rhabdomyosarcoma. Metastasis ditemukan terutama di paru, sumsum tulang,
tulang, kelenjar limfe, payudara dan otak.
Walaupun merupakan tumor yang paling sering dijumpai pada anak-
anak, etiologi dari rhabdomyosarcoma tidak diketahui. Rhabdomyosarcoma
diduga timbul dari mesemkim embrional yang sama dengan otot serat
lintang. Atas dasar gambaran mikroskopik cahaya, rhabdomyosarcoma
termasuk kelompok “tumor sel bulat kecil”, yang meliputi sarkoma Ewing,
neuroblastoma, tumor neuroektodermal primitif dan limfoma non hodgkin.
Diagnosis pasti adalah histopatologi atau perlu ditambah pemeriksaan
imunohistokimia dengan menggunakan antibodi terhdap otot skelet (desmin,
aktin khas otot) dan mikroskop elektron untuk membedakan gambaran khas.
5. Klasifikasi
a. Alveolar rhabdomyosarcoma cancer (ARMS) - ARMS agresif dan
tumbuh cukup cepat. Dengan demikian, pasien memerlukan perawatan
intensif segera. Ini lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih tua
atau remaja dan biasanya dimulai di kaki, lengan atau badan.
b. Embryonal rhabdomyosarcoma (ERMS) - Umumnya menyerang anak-
anak di bawah lima tahun dan biasanya dimulai di organ reproduksi,
kepala dan leher, dan kandung kemih.
c. Anaplastic rhabdomyosarcoma - Jenis paling umum yang lebih umum
pada orang dewasa daripada anak-anak.
6. Gejala Klinis
Gejala klinik sesuai dengan tempat di mana tumor tersebut tumbuh:
a. Kepala dan leher : jika mengenai mata atau alis mata, maka dapat
menyebabkan mata menonjol, bengkak pada palpebra, atau paralisis
otot-otot mata. Jika mengenai sinus, maka dapat menyebabkan hidung
tersumbat, terkadang sekret hidung berupa darah atau nanah. Bila
mengenai parameningeal, maka dapat terjadi kelumpuhan saraf kranial.
(William.W.H., Levin.M.J., Sondhimer.J.M., Deterding.R.R., 2005).
Pada lokasi lain kepala dan leher, gejala umum yang timbul adalah
benjolan yang tidak sakit atau bengkak yang cepat membesar.
Rhabdomyosarcoma yang terdapat dekat dengan tulang tengkorak
b. Tractus genitourinaria : sulit berkemih, hematuria, kontipasi, benjolan
pada vagina, sekret vagina yang mengandung darah, atau pembesaran
salah satu scrotum namun tidak sakit.
c. Ekstremitas dan batang tubuh : berupa benjolan dengan atau tanpa rasa
sakit, lunak, dan berwarna kemerahan. (Rudolph. A. M., 2002.)
Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS) membuat klasifikasi
laboratoris dan pembedahan untuk rhabdomyosarcoma yaitu :
a. Kelompok I : Penyakit hanya lokal, limfonodi regional tidak ikut
terlibat, dapat direseksi komplit
1) Terbatas pada otot atau organ asli
2) Infiltrasi keluar otot atau organ asli
b. Kelompok II :
1) Tumor dapat direseksi secara luas dengan sisa mikroskopis
(limfonodi negatif)
2) Penyakit regional, dapat direseksi komplit (limfonodi positif atau
negatif)
3) Penyakit reginal dengan melibatkan limfonodi dapat direseksi
secara luas tetapi
4) dengan sisa mikroskopis
c. Kelompok III : reseksi tidak komplit atau hanya dengan biopsi dengan
penyakit sisa cukup besar
d. Kelompok IV : telah ada metastasis saat ditegakkan diagnosis
7. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan digunaan untuk mengetahui adanya kanker yang telah
bermetastasis (menyebar kebagian organ lain) pemeriksaan ini dilakukan
sesuai standart penyembuhan penyakit kanker. Cara pemeriksaan ini yaitu
dengan menganjurkan pasien masuk ke dalam alat yang berbentuk tube
(tabung) serta menganjurkan pasien untuk diam tanpa adanya gerakan
untuk memberikan hasil yang maksimal, biasanya pasien dalam keadaan
berbaring. Hasil dari gambar jaringan lunak dan pembuluh darah terlihat
lebih jelas dan lebih detail serta menyediakan informasi yang lebih rinci
mengenai cedera, bahawa adanya daerah yang terinfeksi (metatase) pada
organ lain
b. Bone-scans digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan yang terjadi
di tulang yang diakibatkan kanker rhabdomyosarcoma (RMS). Cara
pemeriksaan ini yaitu dengan menganjurkan pasien untuk mengambil
posisi di depan alat dengan menganjurkan pasien diam dalam posisi tegak
dan tangan dalam keadaan terbuka (tidak boleh menggenggamkan
tangan). Hasil dari pemeriksaan ini adalah gambar yang akurat mengenai
tulang yang terinfeksi, lebih akurat pada bagian tulang. Dengan adanya
lesi tulang akibat kanker ini.
c. X-rays pemeriksaan ini menggunakan penyinaran dengan sinar x yang
berfungsi untuk melihat organ dalam dan mendeteksi adanya gangguan
pada organ tersebut serta melihat apakah organ itu berfungsi atau tidak.
Cara pemeriksaan ini yaitu dengan menganjurkan pasien dalam posisi
berdiri atau duduk dengan pandangan ke depan menghadap kearah sinar
x, dan berposisi yang tegak. Hasilnya yaitu mengetahui organ-organ yang
terserang pada daerah sekita kanker ini, dan mengetahui seberapa parah
akibat dari keganasan kanker tersebut.
8. Therapy
a. Farmakologi
1) Golongan Alkilator
a) Siklofosfamid
Sediaan : Siklofosfamid tersedia dalam bentuk kristal 100, 200,
500 mg dan 1,2 gram untuk suntikan, dan tablet 25 dan 50 gram
untuk pemberian per oral.
Indikasi : Leukemia limfositik Kronik, Penyakit Hodgkin,
9. Komplikasi
a. Impetigo
Infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya lelupuhan kecil berisi
nanah
b. Cellulitis
Peradangan dari syaraf dibawah kulit. Biasanya akan terjadi
pembemkakan dan kemerahan dibagian kulit itu.
c. Mastitis
Pada wanita-wanita yang menyusui, staph dapat berakibat mastitis
(peradangan payudara) atau bisul bernanah dari payudara. Bisul-bisul
bernanah staph dapat mengeluarkan bakteri-bakteri kedalam susu ibu.
d. Edocarditis
Infeksi dari katup-katup jantung. Dapat menyebabkan gagal jantung.
e. Osteomyelitis
Peradangan yang parah/berat dari tulang. Dapat menyebabkan demam
tinggi, kelelahan, dll.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan leher
1) Kepala
Inspeksi: terdapat bengkak, penyebaran rambut tidak merata, mudah
rontok.
Palpasi: terdapat benjolan, adanya nyeri tekan pada bagian luka.
2) Muka
Inspeksi: Tidak simetris, warna kulit kemerahan karena adanya
inflamasi.
Palpasi: ada nodul, dan nyeri pada muka.
3) Mata
Inspeksi: tidak simetris, pada muka tampak mata menonjol, bengkak
pada palpebra, bulu mata rontok.
Palpasi: adanya nyeri tekan pada bola mata.
4) Hidung
Inspeksi: tidak simetris, hidung tersumbat, sekret hidung berupa
darah atau nanah.
Palpasi: ada nodul yang lebih dari 1 cm yang berisi pust.
5) Leher
Inspeksi: tidak simetris, ada bengkak pada daerah kanker,
pemebsaran pada daerah kelenjar tiroid.
Palpasi: Ada massa pada sekitar kelenjar tiroid. Tekstur kasar pada
kulit.
b. Dada dan Thorax
Inspeksi: Bengkak, adanya lesi kulit.
Palpasi: ada massa pada dada.
(pada dada dan thorax jarang di temukannya penyakit kanker
Rhabdomyosarcoma)
c. Ektremitas
Inspeksi:Lesi, dan berwarna kemerahan.
Palpasi: Berupa benjolan dengan tanpa rasa sakit, lunak
d. Genetalia
Inspeksi: Terdapat lesi pada vagina, sekret vagina yang mengandung
darah (pada wanita), pembesaran di salah satu scrotum (pada laki-laki).
Palpasi: ada benjolan pada sekitar kemaluan/pubis yang lunak.
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan.
5. Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan kriteria hasil yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
.
Djajadiman Gatot dan Bulan G.M. 2005. Rabdomiosarkoma. Dalam: Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. Editor: Bambdang Permono, d.k.k.Jakarta : Badan
Penerbit IDAI. Halaman 270-272.
Gloria M. Bulechek, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th
Edition. Missouri: Mosby Elsevier
Harry Raspati, Lalani Reniarati, Susi Susanah. 2005. Bab 9. Hemato-Onkologi.
Rabdomiosarkoma. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. edisi ke 3. Editor: Herry Garna dan Heda Melinda.Bandung : Bagian
Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. RS. Dr.
Hasan Sadikin. Halaman 504-506.
Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
William.W.H., Levin.M.J., Sondhimer.J.M., Deterding.R.R., 2005.
Rahbdomyosarcoma. In: Lange Current Pediatric Diagnosis and Treatment.
17nd edition. USA: McGraw Hill Companies. p.934-935.
No DX Tujuan Intervensi Rasional
1 Bersihan jalan Setelah diberikan askep Respiratory monitoring
napas tidak efektif selama … x 24 jam, 1. Pantau rate, irama, 1. Mengetahui tingkat
b/d obstruksi diharapkan bersihan jalan kedalaman, dan usaha gangguan yang terjadi
saluran pernafasan nafas klien kembali efektif respirasi dan membantu dalam
d/d sesak napas, dengan kriteria hasil: menetukan intervensi
batuk, ronkhi. a. Frekuensi pernapasan yang akan diberikan.
dalam batas normal (16- 2. Perhatikan gerakan dada, 2. Menunjukkan keparahan
20x/mnt) amati simetris, penggunaan dari gangguan respirasi
b. Irama pernapasn normal otot aksesori, retraksi otot yang terjadi dan
c. Kedalaman pernapasan supraclavicular dan menetukan intervensi
normal intercostal yang akan diberikan
d. Klien mampu 3. Monitor suara napas 3. Suara napas tambahan
mengeluarkan sputum tambahan dapat menjadi indikator
secara efektif gangguan kepatenan jalan
e. Tidak ada akumulasi napas yang tentunya akan
sputum berpengaruh terhadap
kecukupan pertukaran
udara.
4. Mengetahui
4. Monitor pola napas : permasalahan jalan napas
bradypnea, tachypnea, yang dialami dan
hyperventilasi, napas keefektifan pola napas
kussmaul, napas cheyne- klien untuk memenuhi
stokes, apnea, napas biot’s kebutuhan oksigen tubuh.
dan pola ataxic
5 Retensi urine b/d Setelah diberikan asuhan 1. Awasi tanda-tanda vital 1. Kehilangan fungsi ginjal
obstruksi uretra keperawatan selama …. x 24 dengan ketat, observasi mengakibatkan penurunan
d/d distensi jam diharapkan masalah adanya hipertensi, edema, eliminasi cairan sehingga
kandung kemih, retensi urine dapat diatasi dan perubahan mental. terjadi edema serta
dysuria dengan kriteria hasil: hipertensi dan akumulasi
a. Pasien mengatakan merasa toksik yang dapat
puas saat berkemih, menyebabkan perubahan
berkurangnya tetesan mental.
urine pada akhir miksi, 2. Observasi aliran urin 2. Untuk mengevaluasi
dan pancaran urine perhatikan ukuran dan obstruksi dan pilihan
adekuat. kekuatan pancaran urin intervensi
b. Pasien mampu berkemih 3. Awasi dan catat waktu serta 3. Retensi urine
dalam jumlah normal (1- jumlah setiap kali berkemih meningkatkan tekanan
2cc/kg BB/jam) dalam saluran perkemihan
c. Pasien mampu berkemih yang dapat mempengaruhi
tanpa mengejan dan aliran fungsi ginjal. Adanya
urine lancar. defisit aliran darah ke
d. Tidak teraba distensi ginjal mengganggu
vesika urinaria kemampuannya untuk
e. Urine residu kurang dari memfilter dan
50 cc. mengkonsentrasi
f. Frekuensi berkemih di substansi.
malam berkurang. 4. Berikan cairan sampai 3000 4. Peningkatkan aliran cairan
ml sehari dalam toleransi meningkatkan perfusi
jantung. ginjal serta membersihkan
ginjal, kandung kemih dari
pertumbuhan bakteri.
5. Dorong pasien untuk 5. Meminimalkan retensi
berkemih tiap 2-4 jam dan urina distensi berlebihan
bila tiba-tiba dirasakan. pada kandung kemih
6. Ajarkan rendam duduk 6. Meningkatkan relaksasi
sesuai dengan medikasi otot, penurunan odema,
dan dapat meningkatkan
upaya berkemih.
7. Berikan obat sesuai indikasi 7. Mengurangi spasme
(antispamodik) kandung kemih dan
mempercepat
penyembuhan
Self-Care Assistance
9. Monitor kemampuan pasien 9. Untuk mengetahui
dan melakukan perawatan kebutuhan perawatan diri
diri secara mandiri. klien, menentukam yang
mana saja yang perlu
dibantu.
10. Untuk memberikan
10. Monitor kebutuhan pasien perawatan diri yang tepat
untuk personal hygiene, pada klien
berpakaian, berhias,
toileting, dan makan. 11. Membantu pemenuhan
11. Berikan pasien bantuan kebutuhan diri klien.
pemenuhan perawatan diri
hingga pasien memiliki
kemampuan penuh untuk
melakukan perawatan diri. 12. Agar kebutuhan
12. Lakukan aktivitas perawatan perawatan diri klien
diri secara rutin. selalu terpenuhi.
10 Risiko infeksi b/d Setelah diberikan askep Wound Care Wound Care
barrier tubuh rusak selama … x 24 jam 1. Monitor karakteristik, 1. Untuk mengetahui
diharapkan pasien dapat warna, ukuran, cairan dan keadaan luka dan
terhindar dari risiko infeksi, bau luka perkembangannya
dengan kriteria hasil : 2. Normal salin
2. Bersihkan luka dengan merupakan cairan isotonis
Tissue Integrity: Skin and normal salin yang sesuai dengan cairan
Mucous membranes di tubuh
a. Integritas kulit klien 3. Rawat luka dengan 3. Agar tidak terjadi
normal konsep steril infeksi dan terpapar oleh
b. Temperatur kulit klien kuman atau bakteri
normal 4. Ajarkan klien dan 4. Memandirikan pasien
c. Tidak adanya lesi pada keluarga untuk melakukan dan keluarga
kulit perawatan luka
Wound healing: primary and 5. Berikan penjelasan 5. Agar keluarga pasien
secondary jaringan: kepada klien dan keluarga mengetahui tanda dan
d. Tidak ada tanda-tanda mengenai tanda dan gejala gejala dari infeksi
infeksi dari infeksi 6. Pemberian antibiotic
e. Menunjukkan pemahaman 6. Kolaborasi pemberian untuk mencegah
dalam proses perbaikan antibiotic timbulnya infeksi
kulit dan mencegah Infection Control
terjadinya cidera berulang Infection Control 7. Meminimalkan risiko
f. Menunjukkan terjadinya 7. Bersihkan lingkungan infeksi
proses penyembuhan luka setelah dipakai klien lain 8. Meminimalkan patogen
8. Instruksikan pengunjung yang ada di sekeliling
untuk mencuci tangan saat pasien
berkunjung dan setelah
berkunjung 9. Mengurangi mikroba
9. Gunakan sabun anti mikroba bakteri yang dapat
untuk cuci tangan menyebabkan infeksi