Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ILMU FIQIH

MURADIF DAN MUSYTARAK

Disusun Oleh : Kelompok 5


Hider Maulana Mahfud (60100120029)
Alfath Prasatya (60100120027)
Muh.Habil Alfarabi (60100120001)

TEKNIK ARSITEKTUR
SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2020/2021

i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang,
Kami Panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Ilmu Fiqih Mengenai Muradif dan Musytarak.”

Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal.Oleh karena itu, tidak ada hal yang tidak dapat diselesaikan dengan
sempurna.Begitu pula dengan makalah ini yang masih terdapat kekurangan baik dari segi
susunan maupun tata bahasa.Kami melakukannya semaksimal kemampuan yang kami miliki.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.Dan dengan menyelesaikan makalah ini
kami mengharapkan banyak manfaat yang dapat dipetik dan diambil dari makalah ini.

Penyusun

KELOMPOK 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN.....................................................................................................................4

A. Latar Belakang.............................................................................................................4

B. Rumusan Masalah........................................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN........................................................................................................................5

A. Muradif ………………………...................................................................................5

B. Musytarak………………………….……………………...........................................8

BAB III

PENUTUP................................................................................................................................15

A. Kesimpulan................................................................................................................15

B. Saran..........................................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fiqih Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling terkenal atau dikenal
oleh masyarakat. Ini terjadi karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, dan
itu terjadi dari sejak lahir sampai dengana meninggal dunia, manusia itu selalu berhubungan
dengan Fiqih.

Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu
al-hal. Ilmu al-hal yaitu Ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan
juga termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh manusia, karena dengan Ilmu itu pula
seseorang baru bisa atau seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada
Allah SWT melalui ibadah seperti dalam melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji, dan lain
sebagainya.

Fiqih selalu menyertai seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari mulai dari
bangun tidur hingga tidur kembali dan selalu menyertai semua kegiatan seorang muslim. Jadi
fiqih mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam terutama dalam mengarahkan
apa dan bagaimana seorang muslim bertindak dan melakukan kegiatannya dalam kehidupan
sehari-hari.

Secara sederhana, fiqih bisa dipahami sebagai hasil dari pemikiran manusia tentang
sesuatu hal yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dari
pengertian diatas, dapat dipahami bahwa fiqih merupakan penjabaran yang lebih rinci dari
tentang syari’at untuk memudahkan dalam mengamalkan syari;at. Adapun ruang lingkup
yang dikaji fiqih meliputi hubungan manusia dengan Allah SWT yang biasa disebut dengan
ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya atau yang biasa disebut dengan mu’amalah.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah digunakan untuk membatasi pembahasan materi yang dibahas dalam
pembuatan makalah ini. Adapun yang dipakai penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:

1. Apa Itu Muradif?

2. Apa Itu Musytarak?

C. TUJUAN

1. Untuk Mengetaui Penjelasan Muradif

2. Untuk Mengetahui Pwnjelasan Musytarak

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. MURADIF
1. PENGERTIAN MURADIF

Muradhif menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ikut serta. Muradhif yang


dimaksudoleh ahli ushul fiqih adalah: “Beberapa lafaz terpakai untuk satu makna”.
Contohnya seperti kata, aman, janahu, dhimmah, salam, sulhu, hudnah memiliki makna yang
sama yaitu “damai”. Lafal muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna
(sinonim). Jumhur Ulama mengatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang
lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Sebagaimana kaidah para jumhur
Ulama:

Artinya: Mendudukan dua muradhif itu pada tempat yang sama diperbolehkan jika ditetapkan
oleh syara’.

Hendaklah diketahui bahwa, perbedaan ini hanyalah dalam selain Al-Qur’an, karena ia
adalah yang kita pergunakan untuk berubadah kepada Allah Swt dengan lafal-Nya dan karena
itu ada penjelasan tambahan dalam pembicaraan mengenai Al-Qur’an. Al-Qur’an semenjak
diturunkannya hingga datangnya hari akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertamakali
diturunkannya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi refisi,
ataupun penguranga kosakata, begitu sangat sempurna, Dialah Allah yang akan menjaga
keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-Nya juga kepaa Rasulullah Saw
melalui delegasi terpercaya Malaikat Jibril as.

Maka dari itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir
shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak
diperbolehkan kecuali kalimat “Allah Huakbar”, sedangkan Imam Syafi’i hanya
memperbolehkan “Allahhu akbar” atau “Allahu akbar” sedangkan Abu Hanifah
memperbolehkan semua  lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat “Allahul A’djom”,
“Allahul Ajal” dan sebagainya.

2. HUKUM MURADIF

     Maksud dari hukum muradif disini yaitu tentang munculnya persoalan yang


dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama mempersoalkan tentang
hukumnya, semisal apakah boleh satu lafadz diganti dengan lafadz lain yang memiliki makna
sama. Seperti lafadz Al-As adu diganti dengan lafadz Al-Laitsu.

     Pada umumnya para ulama berpendirian bahwa bacaan Alquran yang memiliki
sifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz. Muradif-nya dikarenakan Alquran dan
seluruh lafadznya mengandung mukjizat, sedangkan muradif satu lafadz dalam Alquran
bukan merupakan teks Alquran yang dengan sendirinya tidak mengandung mukjizat.

5
     Sehubungan dengan permasalahan muradif ada juga perselisihan pendapat  para ulama
dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam masalah dzikir. Dalam masalah dzikir menurut
golongan yang membenarkan muradif dengan memberikan dua syarat yang harus dipenuhi
yaitu;

 Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, bila penggantian lafadz muradif tersebut


tidak mendapat halangan dari Agama, baik secara jelas maupun samar-samar. 
 Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, jika penggantian lafadz boleh
digunakan lafadz muradif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa
Arab misalnya.

Hukum lafadz muradif ini memiliki perbedaan pendapat dari para ulama’, apakah dua
lafadz atau lebih yang memiliki arti sama bisa digantikan dalam pemakaiannya atau tidak.
Berkenaan dengan masalah ini, para ulama mempunyai argumen yang berbeda-beda. Ada
yang memperbolehkan namun ada juga yang tidak memperbolehkan. Akan tetapi untuk
argumen yang kuat memperbolehkan selama tidak terdapat halangan syar’i. Pembolehan ini
dibatasi pada lafadz-lafadz yang terdapat selain di Alquran. Sementara para
ulama  menyepakati bahwa di dalam Alquran dua lafadz atau lebih yang memiliki makna
sama tidak boleh dipertukarkan dalam pemakaiannya.

Sedangkan jika berkaitan dengan lafadz muradif yang terdapat dalam dzikir-dzikir dalam


shalat terdapat perbedaan pendapat antar para ulama.

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membaca takbir
selain dengan lafadz Allahu Akbar, sementara Imam Abu Hanifah mengatakan jika
diperbolehkannya takbir dengan lafadz yang memiliki arti sama dengan Allahu Akbar,
misalnya Allah A’dham atau Allah A’la.

3. IMPLIKASI HUKUM DAN KAIDAHNYA

a. Dilalah muradif

Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan dua
mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’.
Kaidahnya adalah sebagai beikut :

‫ايقاع المترادفين فى مكان االخر يجوز اذا لم يقم عليه مانع شرعى‬

“mendudukkan dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’
syar’iy.”
Al-Quran adalah mukjizat baik dari sudut lafadh maupun artinya.Oleh karena itu tidak
diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiyah mengatakan bahwa takbir dalam shalat tidak
diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Syafi’iyah hanya memperbolehkan “Allahu
Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Hanafiyah memperbolehkan semua lafadh yang
semisal dengannya, seperti “Allahul A’dhom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.

6
4. CONTOH MUDARIF

Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti
berikut :

1) Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi
jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

ِ ‫ُوص َل َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَخَافُونَ سُو َء ْال ِح َسا‬


‫ب‬ َ ‫صلُونَ َما أَ َم َر هَّللا ُ بِ ِه أَ ْن ي‬
ِ َ‫َوالَّ ِذينَ ي‬

“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya


dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya
untuk Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-
khouf berfaedah melemahkan atau dha’if.

2) Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl
dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-
bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :

‫ضنِي ٍن‬ ِ ‫َو َما ه َُو َعلَى ْال َغ ْي‬


َ ِ‫ب ب‬

“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi
ilmihi.

3) Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

َ َ‫َسيَقُو ُل ْال ُم َخلَّفُونَ إِ َذا ا ْنطَلَ ْقتُ ْم إِلَى َمغَانِ َم ِلتَأْ ُخ ُذوهَا َذرُونَا نَتَّبِ ْع ُك ْم ي ُِري ُدونَ أَ ْن يُبَ ِّدلُوا كَاَل َم هَّللا ِ قُلْ لَ ْن تَتَّبِعُونَا َك َذلِ ُك ْم ق‬
‫ال هَّللا ُ ِم ْن قَ ْب ُل‬
‫فَ َسيَقُولُونَ بَلْ تَحْ ُسدُونَنَا بَلْ َكانُوا اَل يَ ْفقَهُونَ إِاَّل قَلِياًل‬

“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk
mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak
merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian
Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada
kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”

4) As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

َ‫ت َولِتَ ْستَبِينَ َسبِي ُل ْال ُمجْ ِر ِمين‬


ِ ‫ص ُل اآْل يَا‬
ِّ َ‫َو َك َذلِكَ نُف‬

“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang
saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.

7
B. MUSYTARAK

1. PENGERTIAN MUSYTARAK

Musytarak menurut bahasa adalah berserikat atau berkumpul. Musytarak dalam ushul fiqih
adalah: “Lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”.Dari pengertian
secara bahasa ini, selanjutnya para ulama ushul merumuskan penegertian musytarak menurut
istilah. Adapun defenisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah:

Artinya: “Satu lafaz (kata) yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan
penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahsa tersebut”.

Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul fiqih, yang menyatakan bahwa:
“Satu lafadz yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan
jalan bergantian”.

Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua
makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan
dengan arti salah satunya. Seperti kata‫قروء‬ yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti
masa suci dan bisanya masa haid, lafaz‫عىن‬ bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga,
orang yang memata-matai dan emas, lafaz as sanah diartikan dengan Hijriyah dan Maladiyah
(Masehi), lafaz al yad diartikan dengan tangan kanan dan tangan kiri dan lafaz al Qursy yang
diartiakan dengan sepuluh dan lima milimat (nama uang di Mesir).

2. HUKUM MUSTARAK

Hukum musytarak di sini maksudnya yaitu tentang diperbolehkan atau tidaknya memakai


lafadz musytarak. Berkaitan dengan hal ini terjadi perselisihan pendapat para ulama, ada satu
pihak yang berpendapat membolehkan, namun pihak yang lain berpendapat sebaliknya.

Jumhur ulama mengatakan bahwa menggunakan lafadz musytarak dalam dua makna atau


beberapa makna adalah boleh. Dalam hal ini mereka beralasan dengan menggunakan firman
Allah QS. Al-Hajj ayat 18, yang memiliki arti :

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah SWT bersujud apa yang ada di langit,
di bumi, matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohonan-pepohonan, binatang-binatang
yang melata, dan sebagian besar dari pada manusia?”

Disini terdapat lafadz sujud yang menunjukkan arti musytarak, dikarenakan bisa memiliki
arti meletakkan dahi di tanah dan bisa juga berarti tunduk. Dalam ayat tersebut ditujukan
kepada manusia dan makhluk yang tidak berakal misalnya buah, langit, bumi dan sebagainya.

Selain itu, terdapat pula ulama yang memiliki anggapan bahwa digunakannya
lafadz musytarak dua makna atau lebih itu tidak diperbolehkan.

Dalam hukum lafadz musytarak jika terdapat lafadz musytarak yang tidak memiliki


penjelasan maknanya, padahal yang dikehendaki yaitu salah satu artinya, maka lafadz
yang musytarak itu di tinggalkan, adapun yang menyebabkan hal ini yaitu karena tidak

8
mungkin kita dapat beramal selain dengan cara mengetahui maksud dari lafadz yang
sesungguhnya. Maka dari itu masing-masing lafadz musytarak yang terdapat dalam naskh
baik Alquran ataupun sunnah harus di sertai dengan qorinah,
baik qorinah qauliyah ataupun haliyah (keadaan).

3. SEBAB-SEBAB TERJADINYA LAFADZ MUSYTARAK

Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun


ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai
berikut :

*    Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk


menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata ‫يد‬ , dalam
satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” ( ‫ذراع‬ ‫)كل——ه‬.
Satu kabilah untuk menunjukkan (‫)الس————اعدوالكف‬. Sedangkan kabilah yang lain untuk
menunjukkan khusus “telapak tangan”.

*    Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ‫)تردد‬ ) antara makna hakiki dan majaz.

*    Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ‫ ))تردد‬antara makna hakiki dan makna


istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah,
seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz ‫الصالة‬ yang dalam arti
bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah
tertentu yang telah kita ma’lumi.

4. IMPLIKASI HUKUM DAN KAIDAHNYA

a. Dilalah musytarak
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar
dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang
dikehendaki, atau berbagai makna.Kaidahnya :

‫استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز‬

“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”

Alas an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :

َ‫ض َوال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر َوالنُّجُو ُم َو ْال ِجبَا ُل َوال َّش َج ُر َوال َّد َوابُّ َو َكثِي ٌر ِمن‬ ِ ْ‫ت َو َم ْن فِي األر‬ ِ ‫أَلَ ْم تَ َر أَ َّن هَّللا َ يَ ْس ُج ُد لَهُ َم ْن فِي ال َّس َما َوا‬
‫ق َعلَ ْي ِه ْال َع َذابُ َو َم ْن يُ ِه ِن هَّللا ُ فَ َما لَهُ ِم ْن ُم ْك ِر ٍم إِ َّن هَّللا َ يَ ْف َع ُل َما يَ َشا ُء‬ ِ َّ‫الن‬
َّ ‫اس َو َكثِي ٌر َح‬

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan

9
sebagian besar daripada manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab
atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

Lafadh yasjudu bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti
pada surah al-Ahzab : 56 sebagaimana berikut :

‫إن هللا ومالئكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما‬

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang


yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.”

Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti memberikan rahmat, bila dating dari
malaikat berarti memintakan ampunan (istighfar) dan bila dari manusia biasa berarti do’a

Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’
lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa
maknanya itu tidak diperbolehkan (Yahya, 1986:257-258).

5. CONTOH MUSYTARAK

Sebab terdapat lafadz musytarak di dalam bahasa itu banyak. Khususnya karena ada beberapa
kaum yang menggunakan lafadz-lafadz itu untuk menunjukan suatu pengertian. Beberapa
kaum mengartikan ‫اليد‬ (tangan) sebagai seluruh harta ada pula yang mengartikan sebagai
lengan dan telapak tangan, yang lain mengartikan hanya tangan saja. Secara bahasa
kata ‫اليد‬dalam bahasa Arab memiliki tiga arti sehingga digolongkan menjadi lafadz
musytarak. Beberapa orang memaknai lafadz tersebut dengan makna hakiki dan lebih banyak
memaknai dengan makna majazi sehingga orang lupa kalau lafadz tersebut sebenarnya adalah
majazi.

Musytarak merupakan isim atau kata benda seperti yang dijelaskan diatas. Ketika lafal-lafal
musytarak tersebut terdapat di dalam nash syar’i, bergabung dengan makna istilahi dan
makna lughawi oleh karena itu orang harus menentukan yang dimaksud dengan arti istilah
syar’i, seperti lafal shalat secara istilah artinya ibadat tertentu. Seperti terdapat dalam firman
Allah yang artinya: “Dirikanlah kepadamu sembahyang”. Berarti disini menurut arti syar’i,
adalah tertentu ialah ibadat tersebut bukan sekedar makna lughowi yang artinya do’a.

Seandainya lafadz musytarak terdapat di nash tasyri’, bergabung dengan beberapa arti
lughowi, maka ijtihad harus menjelaskan apa yang dimaksudksn tersebut. Kemudian
mujtahid mengambil dalil qarinah dan perintah-perintahnya. Penunjukan tersebut
menjelaskan maksud dari lafal quru’ yang terdapat pada firnan Allah SWT yang
berbunyi :“perempuan-perempuan yang ditalak itu harus menahan diri atau menunggu tiga
kali quru”. Di sini musytarak-nya adalah antara suci dan haidh. Sebagian mujtahid
10
berpendapat bahwa kata quru’ diartikan sebagai suci dan juga sebaliknya, sebagian mujtahid
yang lain berpendapat bahwa quru’ diartikan haidh.

ٌ‫ث كَاَل لَةً أَ ِو ا ْم َرأَة‬


ُ ‫ُور‬
َ ‫َوإِ ْن َكانَ َر ُج ٌل ي‬

Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak (Q.S An-Nisa 12)

Kalalah disini merupakan lafal musytarak. Secara bahasa, kalalah adalah orang yang tidak
meninggalkan anak dan tidak mempunyai orang tua (ayah dan ibu) dan ada pula yang
mengartika  karib kerabat dari pihak yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua.
Kemudian, para mujtahid menetapkan bahwasannya maksud dari ayat tersebut adalah yang
pertama (orang yang tidak meninggalkan anak dan tidak mempunyai orang tua).

Dengan demikian apabila ada musytarak yang didalamnya terdapat beberapa makna lughowi,
sedangkan syari’at tidak menerangkan arti tersebut maka harus dilakukan ijtihad dengan cara
perantaraan teks lain pada undang-undang itu, selain itu juga bisa dengan cara
mengembalikan kepada peraturan-peraturan tasyri’. Disini tidak sah apabila musytarak
digunakan untuk lebih dari satu arti. Karena lafal musytarak hanya ditempatkan pada satu arti
tetapi melingkupi dua makna atau lebih.

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Muradif

Yang di maksud mudarif adalah yang memiliki arti satu seperti lafadz al-asad dam al-laitis
artinya singa maksudnya lafadznya banyak tetapi artinya cuma satu, akan tetapi memiliki
beberapa lafadh. Dalam mengetahui bentuk muradif hal utam yang harus di perhatikan adalah
siyaqul qalamnya.

2. Musytarak

Yang di maksud musytarak adalah yang memiliki lafadh satu akan tetapi arti lebih dari satu.
Maksudnya satu lafadz mengandung beberapa makna yang berbeda. Dalam mengetahui
bentuk muradif hal utama yang harus di perhatikan adalah siyaqul qalamnya. Jadi lafadz
dapat di artikan lafadz yang letakkan atas dua makna atau lebih dengan peletakan macam-
macam dimana lafads itu menunjukkan makna yang di letakkan secara bergantian, artinya
lafadz itu mengartikan makna ini atau makna itu.

B. SARAN

Dengan terciptanya makalah ini semoga kita bisa lebih memahami tentang muradif dan
musytarak, sebagai salah satu metode untuk memecahkan masalah yang tidak ada pada
sumber  al-Qur’an dan Hadits, dan mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat khususnya
bagi pemakalah dan bagi kita semua. Amiin.

12

Anda mungkin juga menyukai