Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sauri (2013:79) mengatakan bahwa “Kecintaan yang paling agung dan paling
mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Allah. Dimana
jika seorang hamba mencintai Allah, maka dia akan rela dan ridho untuk
melakukan seluruh hal yang diperintahkan dan menjauhi seluruh hal yang dilarang
oleh yang dicintainya tersebut”.
Jika kita ditanya mengenai kecintaan kita terhadap Allah, maka secara otomatis
kita menjawab bahwa kita mencintai-Nya. Namun, kecintaan yang kita katakan
ternyata tidak seluruhnya berbanding lurus dengan apa yang kita lakukan sehari-
hari. Memang kita melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi
larangannya, tapi untuk apakah hal tersebut? Apakah untuk dipamerkan kepada
orang lain sehingga orang lain tahu bahwa kita melaksanakan ritual keagamaan
ataukah murni dipersembahkan untuk Allah semata?
Realita mengungkapkan bahwa masih banyak orang (terutama kaum muslim)
yang senantiasa melaksanakan ritual ibadah, tetapi urusan kehidupan sehari-
harinya masih belum beres. Ada wanita yang memang sering sholat dan shaum
tetapi tetap dalam ketidakmauannya menutup aurat. Ada laki-laki yang rajin
mencari ilmu tetapi masih saja mendurhakai ibunya. Ada juga seorang ayah yang
giat mencari nafkah tapi cenderung acuh terhadap anaknya.
Berbagai permasalahan di atas melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah
yang bertajuk ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT. Lebih khususnya,
penulis memberi judul makalah ini “Implikasi Tulus Ikhlas Dalam Beribadah
Terhadap Berbagai Urusan Dalam Kehidupan Sehari-hari”.

B. Identifikasi Masalah
Dari berbagai masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis mengidentifikasi
masalah-masalah tersebut sebagai berikut:
1. Minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu ikhlas dalam
beribadah.

1
2. Acuhnya masyarakat terhadap sifat hati yang seharusnya diaplikasikan.
3. Terlalu mengagungkan “yang penting akhlak terhadap sesama kita baik”.
4. Terlalu mementingkan pelaksanaan ibadah secara zhahir tanpa
mempertimbangkan keikhlasan hati dalam melaksanakannya.
5. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang keikhlasan beribadah yang
merupakan bukti cinta kita terhadap Allah.
6. Kurangnya perhatian terhadap ilmu agama secara detail.
7. Kurangnya kepedulian untuk memperdalam ilmu agama karena terlalu
sibuk dengan urusan dunia.

C. Rumusan Masalah
1. Adapun rumusan masalah yang menjadi batasan pembahasan makalah ini
ialah:
1. Bagaimanakah konsep umum ibadah kepada Allah SWT?
2. Bagaimanakah konsep ikhlas dalam Islam yang sesungguhnya?
3. Bagaimanakah konsep tulus dalam Islam yang sesungguhnya?
4. Bagaimanakah implikasi tulus ikhlas dalam beribadah terhadap berbagai
urusan dalam kehidupan sehari-hari?

D. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini ialah:
a. Untuk mengetahui gagasan atau konsep tulus ikhlas dalam beribadah
kepada Allah SWT.
b. Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah tahdzib akhlak.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khususnya yaitu:
a. Untuk mengetahui konsep ibadah kepada Allah SWT.
b. Untuk mengetahui konsep ikhlas dalam Islam yang sesungguhnya.
c. Untuk mengetahui konsep tulus dalam Islam yang sesungguhnya.
d. Untuk mengetahui implikasi tulus ikhlas dalam beribadah terhadap
berbagai urusan dalam kehidupan sehari-hari.

2
E. Manfaat Makalah
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari makalah ini ialah:
a. Menambah wawasan keilmuan mengenai konsep ibadah kepada Allah
SWT.
b. Menambah wawasan keilmuan mengenai konsep ikhlas dalam Islam.
c. Menambah wawasan keilmuan mengenai konsep tulus dalam Islam.
d. Menambah wawasan keilmuan mengenai implikasi tulus ikhlas dalam
beribadah terhadap kehidupan sehari-hari.

2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktisnya yaitu:
1. Menjadi tadzkiroh (pengingat) untuk senantiasa meningkatkan kualitas
keimanan terhadap Allah SWT.
2. Menjadi referensi tambahan bagi siapa saja yang hendak membuat suatu
karya tulis mengenai ikhlas dalam ibadah.
3. Menjadi tambahan pedoman untuk belajar tulus dan ikhlas dalam
beribadah kepada Allah SWT.
4. Menjadi inspirasi tambahan dalam menyusun strategi untuk melakukan
gebrakan revolusi akhlak masyarakat.

F. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode penulisan secara
umum, dengan sistematika langkahnya sebagai berikut:
1. Mengumpulkan informasi dan bahan materi yang relevan.
2. Menganalisis informasi dan materi.
3. Menuangkan informasi dan hasil analisis dalam makalah.
4. Evaluasi makalah.
5. Editing makalah.
6. Fiksasi makalah.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Ibadah Kepada Allah SWT


1. Al-Qur'an
)56:‫الجن و اإلنس إاّل ليعبدون (الذاريات‬
ّ ُ
‫خلقت‬ ‫وما‬
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah” (Q.S.
Adz-Dzariyat:56)
M. Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Mishbah-nya (2002:112) menyebutkan
bahwa
...hakikat ibadah mencakup dua hal pokok. Pertama: kemantapan penghambaan
diri kepada Allah dalam hati setiap insan. Kemantapan perasaan bahwa ada
hamba dan ada Tuhan, hamba yang patuh dan Tuhan yang disembah (dipatuhi).
Tidak selainnya. Tidak ada dalam wujud ini kecuali satu Tuhan dan selain-Nya
adalah hamba-hamba-Nya. Kedua: Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak
dalam pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup.
Semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus.
2. Al-Hadits
‫ضى لَ ُك ْم أَ ْن تَ ْعبُدُوهُ َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيئًا‬ َ ْ‫إِ َّن هَّللا َ يَر‬
َ ْ‫ضى لَ ُك ْم ثَاَل ثًا َويَ ْك َرهُ لَ ُك ْم ثَاَل ثًا فَيَر‬
“Sesungguhnya Allah SWT ridho terhadap kalian pada tiga hal dan murka
kepada kalian pada tiga hal, Dia ridho terhadap kalian dengan kalian beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun…” (HR. Muslim:
3236)
3. Pendapat Ahli
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Mishbah M. Quraish Shihab
(2002:108) menjelaskan bahwa
Ibadah bukan sekadar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk
ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi.
Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada
yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.

4
Yunasril Ali (1999:15) mengatakan bahwa “ibadah adalah ketundukan atau
penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa”.

B. Konsep Ikhlas Dalam Ikhlas


1. Al-Qur'an
ّ ‫ومآ أمروآ إاّل ليعبدوا هّللا مخلصين له ال ّدين حنفآء و يقيموا ال‬
)5:‫صلوة و يؤتوا ال ّزكوة ذلك دين القيّمة (البيّنة‬
“Padahal mereka tidak diperintahkan, kecuali supaya menyembah Allah dengan
mengikhlaskan agama karena-Nya, dengan menjauhi kesesatan, dan supaya
mereka mengerjakan shalat dan menunaikan zakat karena itulah agama yang
lurus” (Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Zuhaili, dkk (2007:599) menafsirkan ayat 4-5 surat Al-Bayyinah dalam
ensiklopedia Al-Qur'an sebagai berikut
Dan tidaklah Ahli Kitab terpecah-pecah dan berbeda-beda pendapat tentang
Nabi Muhammad SAW melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang
nyata yang menunjukan kebenaran. Sebagian ada yang beriman dan sebagian
yang lain mengingkarinya. Padahal Ahli Kitab tidak disuruh dalam kitab-kitab
mereka, seperti Taurat dan Injil, kecuali supaya menyembah Allah Yang Esa
dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, menjauhi syirik dan meninggalkan
kebatilan dan menuju kebenaran, dan supaya mereka mendirikan shalat wajib
dengan sempurna tepat pada waktunya dan menunaikan zakat kepada yang
berhak menerimanya. Yang demikian itulah agama yang lurus dan berada di atas
jalan yang benar.
2. Pendapat Ahli
Dalam kitab Al-Ahyaa Imam Al-Ghazali (1981:369),
‫ اﻹخالص أن يكون سكون العبد و حركاته هّلل تعالى خاصة‬: ‫و قال سهل رحمه هّللا تعالى‬
“Sahal rahimahullah mengatakan bahwa: 'ikhlas adalah diamnya seorang hamba
dan bergeraknya karena Allah semata”
M. Fauzi Rachman (2012: 15) mengutarakan “kata ikhlas terambil dari kata
khalish yakni sesuatu yang murni, yang tidak lagi bercampur dengan sesuatu
yang lain yang mengeruhkannya”.
Yunasri Ali (1999:8) mengatakan bahwa “ikhlas artinya bersih, murni, belum
bercampur dengan sesuatu. Yang dimaksud dengan ikhlas di sini ialah niat di

5
dalam hati yang semata-mata karena Allah dan hanya untuk mengharapkan
keridhoan-Nya belaka suatu amalan dilaksanakan”.

C. Konsep Tulus Dalam Islam


1. Al-Qur'an
)23:‫من المؤمنين رجال صدقوا ما عاهدوا هّللا عليه (األحزاب‬
“Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang yang menepati janjinya
secara tulus kepada Allah” (Q.S. Al-Ahzab: 23)
2. Pendapat Ahli
Yunasri Ali (1999) mengatakan bahwa “tulus dalam bahasa Arab disebut 'shidq'.
Menurut tasawuf, shidq atau tulus ialah persesuaian isi hati dengan perbuatan
lahir”.

6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Konsep Ibadah Kepada Allah SWT


Ibadah diambil dari bahasa Arab yang artinya adalah menyembah. Konsep ibadah
memiliki makna yang luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan baik sosial,
politik maupun budaya. Ibadah merupakan karakteristik utama dalam sebuah
agama, karena pusatnya ajaran agama terletak pada pengabdian seorang hamba
pada Tuhannya.
Berdasarkan ilmu ma'ani, Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 56 merupakan
bentuk kalam khabari, yaitu kalam yang mengandung benar atau salah. Tujuan
aslinya, kalam ini berfungsi untuk memberi kabar, baik kepada orang yang belum
mengetahui kabar tersebut sebelumnya ataupun kepada orang yang sudah
mengetahuinya.
Lebih jauh lagi, ada beberapa kalam khabari yang keluar dari tujuan aslinya, yaitu
kalam khabari yang berfungsi bukan untuk memberi kabar, melainkan untuk
meminta respon dari mukhathab (lawan bicara). Respon yang diminta bisa
merupakan ucapan, perbuatan, ataupun tindakan. Qur'an surat Adz-Dzariyat
termasuk pada salah satu kalam khabari yang keluar dari tujuan aslinya. Ayat ini
mengandung suatu permintaan respon dari mukhathab-Nya. yaitu respon tindakan
untuk beribadah kepada Allah SWT.
Makhluk yang diperintahkan untuk beribadah dalam ayat ini ialah manusia dan
jin. Hal ini bukan berarti malaikat tidak diperintahkan untuk beribadah kepada
Allah. Malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu seperti manusia dan jin secara
otomatis akan beribadah kepada Allah SWT. Dua makhluk yang disebutkan
dalam ayat ini memiliki hawa nafsu yang cenderung terus mendorongnya pada
hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, (salah satunya) dalam ayat ini,
perintah beribadah disebutkan dengan jelas bagi jin dan manusia.
Ibadah merupakan fitrah manusia. Sejak dilahirkan di dunia, manusia telah
membawa beberapa kecenderungan alami yang tidak berubah, salah satunya untuk
beribadah kepada Allah Yang Maha Esa. Hal ini terlihat dari fenomena manusia
yang merasa tidak karuan jika meninggalkan salah satu ritual ibadah vertikal.

7
Ibadah bukan merupakan ritual keagamaan yang harus rutin dilakukan dengan
asal pelaksanaan. Ibadah merupakan suatu bentuk penghambaan seseorang
terhadap yang ia tuju dalam ibadahnya. Penghambaan ini tentu berlandaskan rasa
keagungan terhadap yang ia beribadah kepadanya. Selain tata cara, waktu, tempat,
dan persyaratan tertentu yang membuat ibadah tersebut dinyatakan sah secara
zhahir, ada juga beberapa setting hati yang harus diatur ketika beribadah, yaitu
pengondisian hati untuk ikhlas melaksanakan ibadah tersebut.
Ibadah adalah wujud pengabdian seorang hamba pada Tuhannya yang didasari
sikap ikhlas dan pasrah diri. Dengan demikian, tujuan ibadah tidak lain adalah
mendapat keridhaan Allah SWT semata. Oleh karena itu, hambanya yang
menjalankan ibadah dengan ikhlas dia akan merasakan dirinya akan selalu dekat
dengan Tuhannya, sehingga ibadah dapat menjadi sarana taqarub ilaa Allah atau
pendekatan diri pada Allah. Melalui jalan taqarub ilaa Allah, maka kita baru bisa
menyerap sifat-sifat Allah yang mulia, sehingga mampu melahirkan seorang
hamba yang shaleh.
Ibadah merupakan hakikat keberadaan dan inti keberagamaan manusia. Semakin
ikhlas sesorang beribadah, semakin dekat ia kepada Allah SWT. Karena itulah
para sufi tidak menyukai ibadah formal tanpa kehadiran hati di hadapan Yang
Maha Kuasa. Ibadah bukan sekedar memenuhi kewajiban syara' semata,
melainkan gerak tubuh mereka harus menyatu dengan gerak hati.
Ibadah terdiri atas 2 jenis, yaitu ibadah mahdhoh dan ibadah ghair mahdhoh.
1. Ibadah Mahdhoh
Ibadah mahdhoh ialah jenis ibadah yang dilakukan dalam rangka memelihara
serta meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah SWT. Dalam ilmu ushul
fiqih, asal dalam ibadah itu adalah haram kecuali jika ada dalil yang
memerintahkannya. Ini berarti bahwa ibadah mahdhoh dilaksanakan jika memang
ada perintahnya.
2. Ibadah Ghair Mahdhoh
Ibadah ghair mahdhoh ialah jenis ibadah yang dilakukan dalam hubungannya
antar sesama manusia. Ibadah ini sering disebut juga sebagai mu'amalah atau adat.
Dalam ilmu ushul fiqih, asal dalam adat ialah boleh kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya. Ini berarti bahwa kita boleh bertindak bagaimana saja dalam

8
hubungannya antar sesama makhluk (khususnya manusia) kecuali jika ada dalil
yang mengharamkan tindakan tersebut.

B. Konsep Ikhlas Dalam Islam


Ikhlas merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat
lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. Ibnu Mas’ud pernah berkata
'Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan
niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat
seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah SAW)'.
Yang dimaksud dengan ikhlas adalah ketika kita menjadikan niat dalam
melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, melakukannya bukan
karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah
(ingin didengar manusia), bukan pula karena ingin mendapatkan pujian serta
kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena tidak ingin
dicela oleh manusia. Apabila melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata
bukan karena kesemua hal tersebut, maka itulah ikhlas.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah
mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya,
malaikat itu bertanya “hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku
ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini”. Maka malaikat itu
kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang
menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: ”tidak, hanya saja
aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun
berkata: “sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu
bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai
saudaramu itu karenaNya. (HR Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang mengunjungi saudaranya hanya
karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah engkau menafkahi
keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah,

9
maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap
makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu” (HR Bukhari Muslim).
Sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya
amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila
kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat
gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Betapa banyak amalan yang kecil
menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil
hanya karena niat.
Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus
sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW), maka keikhlasan tersebut akan mampu
mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya.
Nu'man (2010) menyatakan bahwa ciri-ciri ikhlas adalah:
1. Takut terhadap ketenaran (syuhrah)
Orang yang takut terhadap ketenaran dan tersebarnya citra baik dirinya serta
kualias agamanya, khususnya jika ia termasuk orang yang gemar memberi,
meyakini bahwa amal yang diterima Allah ‘Azza wa Jalla adalah yang
tersembunyi tidak dipamerkan. Bahwasanya manusia jika tertutup ketenarannya,
ia hanya meniatkannya untuk Allah semata, Dialah yang akan mencukupkannya,
bukan manusia.
2. Menuduh diri sendiri
Sesungguhnya seorang yang mukhlis selalu menuduh dirinya masih lalai dalam
pengabdian kepada Allah Azza wa Jalla, sedikit menunaikan kewajiban, tidak
menjaga hatinya dengan keterpedayaan amalnya, dan ‘ujub (bangga/kagum)
dengan diri sendiri. Justru ia takut kejelekannya tidak diampuni, kebaikannya
tidak diterima. Sebagain orang-orang shalih menangis dengan tangisan yang
keras.
3. Mengutamakan amal yang tersembunyi
Ia harus lebih menyintai amal yang tersembunyi daripada amal yang terang-
terangan dan melahirkan ketenaran. Sesungguhnya ini memiliki pengaruh dalam
masyarakat, seperti akar pohon yang merupakan pokok sekaligus sumber
kehidupannya. Tetapi ia tertutup oleh perut bumi, tidak terlihat mata.
4. Tetap beramal baik menjadi pemimpin atau prajurit

10
Konsisten dengan amal shalih, baik ketika menjadi pemimpin atau prajurit. Pada
kedua posisi itu ia senantiasa mencari ridha Tuhannya, mengabdi pada da’wah-
Nya, dan membela risalah-Nya. Tidak membiarkan hatinya dikuasai keinginan
untuk terkenal, nyelonong ke shaff terdepan ketika shalat, dan gila kekuasaan
serta mengejar kedudukan sebagai pemimpin.
5. Mengharap ridha Allah, sebelum ridha manusia
Jangan pernah tergoda untuk mendapatkan ridha manusia, jika kemudian Allah
murka. Sebab manusia itu memiliki perbedaan yang sangat besar, dalam perasaan
mereka, pemikiran, kecenderungan, tujuan-tujuan dan metode. Maka, mengejar
ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah tercapai, dan tuntutan yang tidak
bisa dikabulkan.
6. Cinta dan benci karena Allah Ta’ala
Menjadikan rasa benci dan cinta, taat dan menolak, ridho dan marah, harus karena
Allah semata dan agama-Nya. Bukan karena diri atau kepentingan-kepentingan
pribadinya.
Sedikit berbeda dari apa yang disampaikan Nu'man di atas, Rahma (2012)
menyatakan ciri-ciri ikhlas sebagai berikut:
1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa
Orang yang ikhlas dia tidak akan pernah berubah sikapnya seandainya di saat dia
berbuat sesuatu kebaikan ada yang memujinya, atau tidak ada yang
memuji/menilainya bahkan dicacipun hatinya tetap tenang, karena dia yakin
bahawa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu
berubah tetapi pasrah dan hanya ingin mendapat penilaian yang sempurna dari
Allah SWT.
2.Tidak tergantung/berharap pada makhluk
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, 'orang yang ikhlas itu jangankan untuk
mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak
akan pernah mengharapkannya', karena setiap amal ibadah pada hakikatnya kita
sedang berinteraksi dengan Allah.
3.Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
4. Banyak Amal Kebaikan Yang Rahasia

11
Apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih enak
dan lebih khusyuk maka itu boleh diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Namun
bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belum ikhlas.
5. Tidak membedakan antara bendera, golongan, suku (kroni) atau organisasi

C. Konsep Tulus Dalam Islam


Menurut artikata.com, tulus ialah “sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar
dr hati yg suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas:
orang lain belum tentu berhati -- kpd kita; ia menyumbangkan tenaga dan
hartanya dng – ikhlas”.
Bersikap ikhlas saja belum cukup untuk membentuk mental muslim, perlu diiringi
dengan sikap jujur dan benar. Secara halus sering disebut dengan kata “tulus”.
Dalam bahasa kita, kata ikhlas selalu disandingkan dengan kata tulus, sehingga
menjadi “tulus ikhlas”.
Keikhlasan belum sempurna jika tidak diiringi dengan ketulusan. Bisa jadi
seseorang mengerjakan shalat dengan ikhlas tetapi dalam shalat itu ia lalai dari
mengingat Allah. Lain halnya dengan tulus. Shalat yang dikerjakan dengan tulus
kepada Allah, di dalam shalat itu ia tidak akan pernah lalai dari mengingat Allah
SWT.
Ada beberapa tingkatan tulus, yaitu:
1. Tulus dalam ucapan, yaitu dengan jalan memelihara lisan dari berdusta. Ini
adalah tingkatan tulus yang paling rendah. Pada tingkat ini, yang perlu ditaklukan
adalah lisan. Menaklukan lisan dari mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.
2. Tulus dalam niat dan kemauan. Derajat ini sama dengan sikap ikhlas yang
menerima takdir.
3. Tulus dalam bercita-cita, yaitu konsekuen dalam melakukan kebajikan yang
telah dicita-citakan oleh hati. Berani menghadapi segala rintangan dalam
mencapai cita-citanya. Tidak mudah lengah dan selalu bersemangat untuk
mewujudkan cita-cita.
4. Tulus dalam menunaikan cita-cita. Ketika cita-cita telah tercapai, pro-kontra
dari berbagai pihak terhadap pencapaian kita pasti ada. Di sinilah kita dituntut
untuk bersikap tulus dalam menjalani pencapaian cita-cita kita.

12
5. Tulus dalam sikap mental yang baik, yang telah dicapai. Tingkatan ini
merupakan tingkatan tertinggi karena mereka yang telah mencapai tingkatan ini
berarti telah istiqamah dalam jalan kebajikan.

D. Implikasi Tulus Ikhlas Dalam Beribadah Terhadap Berbagai Urusan


Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ibadah akan memiliki nilai dan makna ketika pelaksanaan ibadah seseorang dapat
mempengaruhi prilaku kehidupan sehari-hari. Akhlak manusia pada hakikatnya
dapat menjadi ukuran seberapa jauh kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
Tidak mungkin seorang hamba bisa menyerap Sifat-sifat Tuhan yang mulia jika
manusia merasa jauh dari Tuhannya. Akhlak dalam Islam merupakan salah satu
bukti kekuatan iman seseorang yang direalisasikan dalam wujud amal saleh. Oleh
karena itu seluruh ajaran agama Islam pada hakekatnya bertujuan melakukan
pembinaan akhlak.
Dalam pelaksanaan ibadah, meskipun hati kita kurang ikhlas dalam menjalankan
ibadah tersebut, tetapi Allah akan tetap memberikan kemuliaan-Nya sebagai 'upah'
dari hasil ibadah kita. Hal ini memang tidak akan terasa begitu signifikan. Hanya
ketentraman hati setelah beribadah itu akan tetap terasa.
Kita kurang ikhlas pun Allah tetap memberikan nikmat-Nya kepada kita. Apalagi
jika disertai dengan keikhlasan. Nilai-nilai Illahi dengan berbagai kenikmatannya
akan sangat menentramkan hati kita. Allah semakin mempermudah jalan hidup
kita. Entah itu kita dalam keadaan santai ataupun sedang dalam keadaan genting,
ketika hidupp kita disertai keikhlasan terhadap Allah, tidak akan ada kecemasan
yang berarti, yang menghalangi kita dari bergerak menuju ridho-Nya.
Ikhlas yang tidak disertai ketulusan dalam beribadah terasa ada yang kurang. Ini
memang sangat wajar, karena fitrah manusia yang cenderung selalu merindukan
ibadah kepada Allah SWT secara sempurna. Ketulusan dinilai lebih tinggi
derajatnya dari pada ikhlas. Hal ini didasarkan pada praktik tulus yang lebih
menyerahkan diri untuk melakukan apapun demi Dzat Yang Maha Kuasa. Tidak
peduli hal apapun yang sedang dilakukannya saat itu, ketika ada panggilan untuk
ibadah vertikal dengan Rabb-nya, maka ia bergegas memenuhi panggilan dan
meninggalkan aktivitasnya saat itu.

13
Perpaduan tulus dan ikhlas yang berbaur dalam satu hati untuk saling mendukung
dalam jalur ibadah kepada Allah akan menghasilkan pribadi bermental muslim
yang ideal. Hilang seluruh kehawatirannya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi.
Kepercayaan dan kepasrahannya berada dalam genggaman Sang Maha Kuasa
menentramkan hatinya dari berbagai gangguan kegelisahan. Apapun yang
dilakukan orang lain kepadanya tidak akan menjadi penghalang jalannya dalam
menggapai keridhoan Allah. Keadaan hati yang menjadi pusat managing jasad itu
bersih, murni, tidak terkontaminasi oleh hal-hal buruk yang bisa
menjerumuskannya ke dalam maksiat.

14
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Dari semua yang telah penulis paparkan, penulis mengambil simpulan sebagai
berikut:
1. Ibadah adalah wujud pengabdian seorang hamba pada Tuhannya yang didasari
sikap ikhlas dan pasrah diri. Ibadah merupakan karakteristik utama dalam sebuah
agama, karena pusatnya ajaran agama terletak pada pengabdian seorang hamba
pada Tuhannya. Ibadah merupakan fitrah manusia yang kecenderungannya selalu
ingin menghambakan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ibadah merupakan hakikat
keberadaan dan inti keberagamaan manusia. Semakin ikhlas sesorang beribadah,
semakin dekat ia kepada Allah SWT. Tujuan ibadah adalah mendapat keridhaan
Allah SWT semata.
2. Ikhlas adalah ketika kita menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan
hanyalah karena Allah semata, melakukannya bukan karena selain Allah. Yang
diwajibkan dalam keseharian kita bukanlah seberapa banyak amal yang kita
lakukan, tetapi seberapa besarkah keikhlasan yang kita curahkan dalam setiap
amal kita. Keikhlasan yang ada dalam diri seseorang akan mencegah setan dari
menguasai dan menyesatkannya.
3. Tulus ialah sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dr hati yg suci), jujur,
tidak pura-pura, tidak serong, tulus hati, tulus ikhlas. Ketulusan yang sempurna
terhadap sesuatu ialah ketulusan kita dalam bersikap mental yang baik secara
terus-menerus (istiqomah). Derajat tulus dapat dikatakan lebih tinggi dari pada
ikhlas, karena praktik tulus yang lebih menyerahkan diri untuk melaksanakan
apapun yang diperintahkan oleh Sang Maha Kuasa, tanpa penolakan.
4. Tulus ikhlas dalam beribadah berimplikasi positif bagi kehidupan sehari-hari.
Keadaan hati yang bersih, murni, dan suci dari hal-hal buruk sangat mendukung
kita untuk melakukan berbagai aktivitas positif dalam rangka menjemput
keridhoan-Nya.

15
B. Rekomendasi
Makalah yang penulis buat ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya
tersendiri. Untuk tindak lanjut makalah ini, penulis memberikan rekomendasi
sebagai berikut:
1. Mari kita manfaatkan ilmu yang terkandung di dalam makalah ini untuk kita
berintrospeksi menuju pribadi muslim yang ideal.
2. Hendaknya kita tingkatkan kualitas keimanan kita, kualitas ibadah vertikal dan
horizontal sesuai dengan ilmu yang telah kita dapatkan.
3. Penulis membuat makalah ini bukan berarti penulis jauh lebih baik
keimanannya dari pada para pembaca. Oleh karena itu, penulis mohon kerjasama
dari semuanya untuk kita mewujudkan pribadi muslim yang ideal serta
lingkungan hidup yang islami.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Y. (1999). Pilar-pilar Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia


Ali, Y. (2012). Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah. Jakarta: Zaman
Al-Ghazali. (1981). Al-Ahyaa'u. Pinang: Sulaiman Mar'i
Al-Ghoyami, Abu Amar. (2011). Keutamaan dan Makna Ibadah. [Online].
Tersedia di: http://alghoyami.wordpress.com/2011/04/19/keutamaan-dan-
makna-ibadah/. Diakses 4 Juni 2014.
Anonim. [Online]. Tersedia di: http://artikata.com/arti-355303-tulus.html. Diakses
4 Juni 2014.
El-Hijrah. (2011). Memahami Kaidah-Kaidah Penting Dalam Beribadah.
[Online]. Tersedia di: http://elhijrah.blogspot.com/2011/02/memahami-
kaidah-penting-dalam-beribadah.html. Diakses 4 Juni 2014.
Hassan, A. (2010). Al-Furqan Tafsir Al-Qur'an. Jakarta: Universitas Al-Azhar
Indonesia
Jalahati. (2013). Konsep Ibadah Dalam Islam. [Online]. Tersedia di:
http://jalahati.wordpress.com/2013/03/02/konsep-ibadah-dalam-islam/.
Diakses 4 Juni 2014.
Nu'man, F. (2010). Tanda-tanda Ikhlas. [Online]. Tersedia di: http://boemi-
islam.net/Ilmu/tanda-tanda-ikhlas/. Diakses 4 Juni 2014.
Rahma, K. (2012). Ciri-ciri Orang Ikhlas. [Online]. Tersedia di:
http://fafaifa.blogspot.com/2012/10/ciri-ciri-orang-yang-ikhlas.html.
Diakses 4 Juni 2014.
Rachman, M.F. (2012). Islamic Relationship. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sauri, S. (2013). Filsafat dan Teosofat Akhlak. Bandung: Rizqi Press
Sharmine. (2012). Konsep Ikhlas. [Online]. Tersedia di:
http://sharmine205omarshahab.blogspot.com/2012/08/konsep-ikhlas.html.
Diakses 4 Juni 2014
Shihab, M.Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah (vol.13). Jakarta: Lentera Hati
Zuhaili, W. dkk. (2007). Ensiklopedia Al-Qur'an. Jakarta: Gema Insani

17

Anda mungkin juga menyukai