Anda di halaman 1dari 45

ASMA

Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fitoterapi Dasar

Disusun oleh:

Masitoh (1608010098)

Refka Meinar Karmelia (1608010100)

Avi Anindya Salsabila (1608010102)

Lukhi Indah Saputri (1608010104)

Esti Anggita (1608010106)

Fuad Nur Fitria (1608010108)

Padmangga Banyfesko (1608010110)

Shafira Awwaliya W (1608010112)

Annisa Dwi Wijayanti (1608010114)

Aulia Normasari (1608010116)

V-B

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir
zaman, Aamiin. Alhamdulillah dari izin dan kehendak dari-Nyalah, sehingga
dapat kami selesaikan makalah ini yang berjudul “Asma”.

Dalam makalah ini menjelaskan Fitoterapi Penyakit Asma. Kami


mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen mata kuliah Fitoterapi Dasar
yang telah memberikan tugas yang harus diselesaikan dalam makalah ini. Terakhir
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih
menyempurnakan makalah ini.

Purwokerto, 29  November  2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Saluran Pernapasan....................................................................3
2.2 Definisi dan Klasifikasi Asma..................................................................5
2.3 Etiologi.....................................................................................................7
2.4 Patofisiologi..............................................................................................8
2.5 Gejala........................................................................................................9
2.6 Fitoterapi..................................................................................................10
2.7 Interaksi dengan Obat, Makanan..............................................................27
2.8 Terapi Non Farmakologi...........................................................................38
2.9 Contoh Obat Herbal di Indonesia.............................................................38

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................41
3.2 Saran.........................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................42

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu
jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia.
Sekitar 20 % telah dibudidayakan lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat
tradisional. Perkembangan argoindustri tanaman obat di Indonesia memiliki
prospek yang baik. Faktor yang mendukung pengembangan agroindustri
tanaman obat tersebut diantaranya besarnya potensi kekayaan Sumber Daya
Alam Indonesia sebagai sumber bahan baku simplisia yang dapat
diformulasikan menjadi obat tradisional (Siwabessy. R, 2009).
Di dalam kehidupan masyarakat, pemanfaatan tumbuhan obat sebagai
obat tradisional sudah dikenal sejak lama, karena lebih aman dan tidak
menimbulkan efek samping yang berarti. Masih jarang orang yang
menggunakan obat tradisional untuk mengobati asma, karena penderita asma
cenderung menggunakan obat sintetis yang memiliki efek samping cukup
tinggi untuk menyembuhkan gangguan asma. Karena itu penggunaan
tumbuhan obat untuk pengobatan asma perlu lebih ditingkatkan lagi. Asma
bronkhial merupakan penyakit obstruktif saluran napas yang akut, terjadi pada
bronkhus ukuran sedang dan bronkhiolus dengan diameter 1mm (Price, 1995).
Tetapi kini penggunaan obat tradisional untuk asma jarang digunakan
oleh masyarakat, oleh karena itu makalah ini mengkaji tentang peggunaan
obat tradisional untuk asma.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan asma?
2. Bagaimana patofisiologi dari asma?
3. Bagaimana dan gejala dari asma?
4. Apa saja fitoterapi dasar yang digunakan untuk asma?

1
5. Bagaimanakah interaksi antara obat herbal dengan makanan dan herbal
apa saja?
6. Bagaimana terapi non farmakologi yang bias dilakukan?
7. Sebutkan contoh produk herbal yang ada di indonesia untuk asma?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisa makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang asma
2. Untuk mengetahui patofisiologi dari asma
3. Untuk mengetahui penyebab gejala dari asma
4. Untuk mengetahui fitoterapi dasar yang digunakan untuk asma
5. Untuk mengetahui interaksi antara obat herbal dengan makanan dan
herbal lain
6. Untuk mengetahui terapi non farmakologi yang bias dilakukan
7. Untuk mengetahui contoh produk herbal yang ada di indonesia untuk
asma

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Saluran Pernafasan

Anatomi saluran pernapasan terdiri dari :

1. Hidung
Merupakan tempat masuknya udara, memiliki 2 (dua) lubang
(kavum nasi) dan dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga
hidung mempunyai permukaan yang dilapisi jaringan epithelium.
Epithelium mengandung banyak kapiler darah dan sel yang mensekresikan
lender. Udara yang masuk melalui hidung mengalami beberapa perlakuan,
seperti diatur kelembapan dan suhunya dan akan mengalami penyaringan
oleh rambut atau bulu-bulu getar. Rongga hidung mempunyai fungsi
sebagai panyaring udara pernapasan oleh bulu hidung dan menghangatkan
udara pernapasan oleh mukosa. (Syaifudin, 1997).
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur
kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring
udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai
pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir, dan enzim
lisozim. (Irman Somantri, 2008:4).

3
2. Faring (Tekak)
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan. Faring atau tekak terdapat dibawah 13
dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas
tulang leher. (Syaifudin, 1997:102).
Dalam faring terdapat tuba eustachii yang bermuara pada
nasofarings. Tuba ini berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada
kedua sisi membran timpani, dengan cara menelan pada daerah
laringofarings bertemu sistem pernapasan dan pencernaan. Udara melalui
bagian anterior ke dalam larings, dan makanan lewat posterior ke dalam
esofagus melalui epiglotis yang fleksibel. (Tambayong, 2001:79).
3. Laring (Pangkal Tenggorokan)
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk kedalam trakea dibawahnya. Pangkal
tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu
kita menelan makanan manutupi laring. (Syaifudin, 1997).
Dalam laring terdapat pita suara yang berfungsi dalam
pembentukan suara. Suara dibentuk dari getaran pita suara. Tinggi rendah
suara dipengaruhi panjang dan tebalnya pita suara. Dan hasil akhir suara
ditentukan oleh perubahan posisi bibir, lidah dan platum mole.
(Tamabayong, 2001:80).
4. Trachea (Batang Tenggorokan)
Dindingnya terdiri atas epitel, cincin tulang rawan yang berotot
polos dan jaringan pengikat. Pada tenggorokan ini terdapat bulu getar
halus yang berfungsi sebagai penolak benda asing selain gas. (Pearce,
1995).
5. Bronkhus (Pembuluh Napas)
Bronchus merupakan cabang batang tenggorokan. Cabang
pembuluh napas sudah tidak terdapat cicin tulang rawan. Gelembung paru-

4
paru, berdinding sangat elastis, banyak kapiler darah serta merupakan
tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida. (Pearce, 1995).
6. Alveolus
Alveolus merupakan saluran akhir dari alat pernapasan yang
berupa gelembung-gelembung udara. Dindingnya tipis, lembap, dan
berlekatan erat dengan kapiler-kapiler darah. Alveolus terdiri atas satu
lapis sel epitelium pipih dan di sinilah darah hampir langsung bersentuhan
dengan udara. Adanya alveolus memungkinkan terjadinya perluasan
daerah permukaan yang berperan penting dalam pertukaran gas O2 dari
udara bebas ke sel-sel darah dan CO2 dari sel-sel darah ke udara.
(Purnomo. Dkk, 2009).

2.2 Defenisi dan klasifikasi Asma


Asma adalah penyakit asma kronik saluran nafas yang disebabkan
oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-
limphocytes terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala
dyspnea,whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan nafas yang bersifat
reversible dan terjadi secara episodic berulang (Brunner and suddarth, 2011).
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernafasan yang
melibatkan banyak sel dan elemennya (Gina, 2013).
Menurut GINA, Tahun 2013 Klasifikasi asma berdasarkan tingkat
keparahnya dibagi menjadi empat yaitu :
a. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam kondisi
serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas, bisa
mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR) meningkat.
Biasanya tidak ada gejala retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤
2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV 1 Variabel PEF ≥ 80% atau
<20 %.
b. Step 2 (Mild intermitten)
Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan
asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Membaik ketika duduk, bisa

5
mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang- kadang
menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2X dalam
sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau 20% –
30%.
c. Step 3 (Moderate persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata
per kata, RR 30x/menit, Biasanya menggunakan retraksi iga ketika
bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau
PEV1 Variabel PEF 60% - 80% atau > 30%.
d. Step 4 (Severe persistent)
Gejala perhari, Sering dan Aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi:
Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam Sering. Fungsi
paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.

Brunner & suddarth (2002) menyampaikan asma sering di


rincikan sebagai alergik, idiopatik, nonalergik atau gabungan, yaitu :
a. Asma alergik
Disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal
(misal: serbuk sari, binatang, amarah dan jamur ) kebanyakan alergen
terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu
ekzema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap alergen pencetus asma.
b. Asma idiopatik atau nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik tidak ada hubungan dengan
alergen spesifik faktor-faktor, seperti comand cold, infeksi traktus
respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan yang dapat
mencetuskan rangsangan. Agen farmakologis seperti aspirin dan
alergen anti inflamasi non steroid lainya, pewarna rambut dan agen
sulfit (pengawet makanan juga menjadi faktor). Serangan asma
idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan

6
empizema.
c. Asma gabungan
Adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau
nonalergik.
2.3 Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor presdiposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma menurut Baratawidjaja (2000) yaitu :
a. Faktor presdiposisi
Berupa genetik dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunanya yang jelas. Penderita
denganpenyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga yang
menderita menyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitifitas saluran pernafasan juga bisa di turunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Inhalan yaitu yang masuk melalui saluran pernafasan misalnya
debu, bulu binantang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi.
b. Ingestan yaitu yang masuk melalui mulut misalnya makanan dan
obat obatan.
c. Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak denga kulit misalnya
perhiasan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa penggunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atsmosfir yang mendadk dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.

7
3) Stress
Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang alami
stress perlu diberi nasehat untuk menyelesaiakan masalah pribadinya.
Karena juka stresnya belum diatasi maka gejala asma belum bisa
diobati.

4) Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan


asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes atau
polisi lalul intas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

5) Olah raga atau aktivitas yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan asma jika


melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Menurut NANDA (2013) etiologi asma adalah dari :

a. Lingkungan, yaitu berupa aspa dan rokok

b. Jalan napas,yaitu berupa spasme inhalasi asap,


perokok, pasif, sekresi yang tertahan, dan sekresi di
bronkus.
c. Fisiologi, yaitu berupa inhalasi dan penyakit paru
obstruksi kronik.
2.4 Patofisiologi

Corwin (2000) berpendapat bahwa pada penderita asma, terjadi


bronkokonsentriksi. Proses bronkokonsentriksi ini diawali dengan proses
hypersensitivitas yang distimulasi agent fisik seperti suhu dingin, debu,
serbuk tanamana dan lainya. Asma juga dapat terjadi karena adanya stimulasi
agent psikis seperti kecemasan dan rasa takut. Pada suatu serangan asma otot-
otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran

8
udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan
lendir ke dalam saluran udara.

Hal ini memperkecil diameter dari saluran udara (disebut


bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus
berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel tertentu didalam
saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggung jawab terhadap awal
terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan
seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya konstraksi otot
polos, peningkatan pembentukan lender dan perpindahan sel darah putih
tertentu ke bronki.

Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap


sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari,
debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang. Tetapi asma
juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama
terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca
dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu dilepaskanya histamin dan
leukotrien.
2.5 Gejala
Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala
yang di timbulkan berupa batuk-batuk pada pagi hari, siang hari, dan malam
hari, sesak napas/susah bernapas, bunyi saat bernapas (whezzing atau mengi)
rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas atau
susah bernapas. Gejala ini terjadi secara reversibel dan episodik berulang
(Brunner & Suddarth, 2011).

Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan, seperti


berhadapan dengan bulu binatang, uap kimia, perubahan temperature, debu,
obat (aspirin, beta-blocker), olahraga berat, serbuk, infeksi sistem respirasi,
asap rokok dan stress (GINA, 2004). Gejala asma dapat menjadi lebih buruk
dengan terjadinya komplikasi terhadap asma tersebut sehingga bertambahnya
gejala terhadap distress pernapasan yang di biasa dikenal dengan Status
Asmaticus (Brunner & Suddarth, 2011).

9
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa
pernapasan whizing, ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika
bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored (pepanjangan
ekshalasi), perbesaran vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi
sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin
besarnya obstruksi di bronkus maka suara whizing dapat hilang dan biasanya
menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan (Brunner & Suddarth, 2011).

Begitu bahayanya gejala asma (Dahlan, 1998). Gejala asma dapat


mengantarkan penderitanya kepada kematian seketika, sehingga sangat
penting sekali penyakit ini dikontrol dan di kendalikan untuk kepentingan
keselamatan jiwa penderitanya (Sundaru, 2008; Dahlan, 1998).

2.6 Fitoterapi
a. Belladonna (Atropa spp.)

Termasuk Grade C (unclear or confliting scientific evidence).

Mekanisme aksi :

Mekanisme tindakan alkaloid belladonna adalah inhibitor


kompetitif dari aksi muskarinik asetilkolin. Mereka bertindak direseptor
yang terletak di kelenjar eksokrin, otot halus dan jantung, dan neuron
intramural. Agen anti kolinergik seperti belladonna dapat mengendurkan
otot-otot halus saluran nafas dan mengurangi produksi lendir.
Bukti ilmiah efektifitas meskipun mekanisme yang dikenal agen
antikolinergik seperti Belladonna yang menarik dan telah diterima
sebagai pengobatan pada asma kronis, keberhasilan dan penelitian yang
samar-samar. Belladonna mungkin lebih efektif untuk asma kronik.
Individu menggunakan konsentrasi 30 C belladonna omeopati dilaporkan
tidak berpengaruh pada menghilangkan gejala asma. Satu studi tentang
pengobatan obstruksi saluran nafas selama tidur bayi menunjukkan efek
menguntungkan dari belladonna. Dua puluh bayi usia 4 hingga 46
minggu dengan riwayat “mantra tahan nafas” menerima tingtur oral

10
belladonna setara dengan 0,01mg/kgBB atropine. Belladonna
menginduksi penghentian episode bernafas terhambat pada 10 bayi.
Dosis untuk mencegah obstruksi saluran nafas, uji coba terkontrol
diberikan 0,01 mg/kg atropine, diwaktu tidur bayi. Efek samping yang
umum termasuk mulut kering, sembelit, retensi urin, fushing, takikardia,
midriasis, fotopobia, penglihatan kabur, pelebaran pupil, pusing,
mengantuk, tidak stabil, kebingungan, halusinasi, bicara cadel, sedasi,
hyperreflexia, kejang dan vertigo.

b. Eucalyptus (Eucalyptus spp)

Grade C : unclear or conflicting scientific evidence

Mekanisme aksi :

Mekanisme tindakan monoterpen siklik eter eukaliptol adalah agen


aktif minyak eukaliptus aktif. Persiapan dapat mengandung hingga 80%
dari 1,8 – sineol. Aktivitas antiinflamasi minyak kayu putih telah
ditunjukkan pada model binatang, mungkin terkait dengan aktivitas
antioksidan yang diusulkan. Dalam penelitian laboratorium, 1,8-sineol
ditemukan sebagai penghambat kuat sitokin, yang dapat membuat
bermanfaat untuk peradangan saluran nafas pada asma bronkial.

Bukti ilmiah Efektivitas Eucalyptus dilisensikan di Jerman sebagai


teh obat untuk bronkitis atau peradangan tenggorokan dan telah disetujui
oleh Komisi E Jerman untuk radang selaput lendir (peradangan selaput
lendir) saluran pernapasan. Minyak kayu putih biasanya digunakan sebagai
dekongestan dan ekspektoran untuk infeksi saluran pernapasan atas atau
peradangan. Minyak ini ditemukan dalam berbagai batuk over the counter
(OTC) dan pelega tenggorokan dingin, serta uap inhalasi atau salep
topikal. Penelitian awal melaporkan bahwa terapi sistemik jangka panjang
dengan eucalyptol dapat menurunkan jumlah kortikosteroid oral yang
diperlukan pada asma yang tergantung steroid. Perbandingan masih

11
diperlukan dengan agen lain yang digunakan pada asma, seperti inhibitor
leukotrien, salmeterol, dan kortikosteroid inhalasi.

Dosis Untuk menjadi obat yang efektif, beberapa menyarankan


bahwa minyak daun kayu putih harus mengandung 70% hingga 85% 1,8-
cineole (eucalyptol). Untuk asma, konstituen eukaliptol minyak kayu putih
telah diberikan dalam dosis 200 mg tiga kali sehari.

Farmakokinetik

Eucalyptus tampaknya mudah diserap secara oral. Penyerapan


eukaliptus kemungkinan ditingkatkan oleh lipid dan susu. Metabolisme
mungkin memerlukan induksi sitokrom P450 sistem enzim. Eucalyptus
telah dilaporkan diekskresikan dalam urin. Efek merugikan Toksisitas
yang signifikan dan berpotensi mematikan telah secara konsisten
dilaporkan dengan penggunaan minyak eucalyptus pada anak-anak dan
orang dewasa secara internal (oral). Pada orang dewasa, penggunaan
topikal atau inhalasi kemungkinan lebih aman daripada penggunaan oral
tetapi juga dapat menimbulkan risiko toksisitas. Pada anak-anak,
penggunaan topikal atau inhalasi telah menyebabkan toksisitas dan
kematian yang parah dan harus dihindari. Mungkin aman bagi orang
dewasa untuk mengkonsumsi sejumlah kecil minyak kayu putih encer atau
menggunakan eukaliptus yang dioleskan secara topikal atau inhalasi untuk
periode yang singkat, meskipun diperlukan kehati-hatian. Tanda-tanda dan
gejala toksisitas eukaliptus termasuk epigastrium terbakar, mual, muntah,
pusing, kelemahan otot, pupil yang terbatas, perasaan mati lemas, sianosis,
delirium, dan kejang. Strain bakteri yang ditemukan pada eucalyptus dapat
menyebabkan infeksi. Eucalyptus juga dapat menyebabkan reaksi alergi
pada orang yang sensitif.

c. Peppermint (Mentha x piperita)


Grade C : unclear or conflicting scientific evidence
Mekanisme aksi :

12
Tindakan komponen aktif utama minyak peppermint termasuk
mentol, yang memiliki efek antinociceptive langsung. Menthol
menstimulasi reseptor sensitif-dingin dan menghasilkan sensasi dingin
yang berkepanjangan di lokasi aplikasi. Penghirupan Menthol menurunkan
sensasi ketidaknyamanan pernafasan saat bernapas, mungkin dari stimulasi
reseptor dingin di saluran napas bagian atas. Selain itu, minyak peppermint
inhalasi menginduksi perubahan yang cepat dan positif pada pasien
dengan tuberculosis paru infiltratif, termasuk regresi.
Bukti Ilmiah tentang Efektivitas Penelitian awal menunjukkan
bahwa mentol pada peppermint dapat membantu meningkatkan
hiperresponsif jalan nafas pada kasus asma ringan. Ukuran kecil percobaan
ini, tanpa perbedaan antara kelompok plasebo dan kelompok perlakuan,
menyulitkan untuk menarik kesimpulan tentang penggunaan minyak
peppermint atau mentol pada asma. Dosis Untuk asma kronis ringan,
mentol nebulisasi (10 mg dua kali sehari selama 4 minggu) telah
digunakan.

Farmakokinetik

Minyak peppermint relatif cepat diserap setelah pemberian oral dan


dihilangkan terutama melalui empedu. Metabolisme biliaris utama adalah
mentol glucuronide, yang mengalami sirkulasi enterohenati. Melabolites
urin adalah mono dan di-hydroxymenthols dan asam karboksilat, dengan
beberapa diekskresikan sebagai konjugat asam glukuronat.

Efek samping

Minyak peppermint topikal umumnya ditoleransi dengan baik


dalam jumlah yang biasa dikonsumsi dalam makanan. Ruam kulit dan
iritasi telah dijelaskan dari penggunaan minyak peppermint secara topikal.
Ketika diminum, minyak peppermint dapat menyebabkan efek
gastrointestinal seperti sakit maag, mual, dan muntah. Reaksi alergi yang
mengakibatkan flushing dan sakit kepala juga telah terjadi. Minyak
peppermint oral dapat menyebabkan ulserasi oral.

13
d. Perilla (Perilla frustencens)
Grade C : unclear or conflicting scientific evidence
Mekanisme Aksi:
Tindakan Mekanisme yang tepat dimana perilla meningkatkan
fungsi paru tidak dipahami dengan baik. Minyak biji perilla mungkin
bermanfaat pada asma karena telah terbukti dapat menekan produksi
leukotrien B4 (LTB4) dan C4 (LTC4) oleh leukosit in vitro.
Bukti Ilmiah Efektivitas Bukti awal menunjukkan beberapa
manfaat minyak perilla untuk gejala asma. Dalam satu penelitian, 14
subjek asmatik dibagi secara acak menjadi dua kelompok yang sama: satu
mengkonsumsi suplemen kaya minyak biji perilla dan yang lain
mengkonsumsi suplemen kaya minyak jagung selama 4 minggu. LTB4
dan LTC4, menurun pada subjek dengan suplementasi perilla. Juga,
peningkatan yang signifikan dalam aliran ekspirasi puncak (PEF), FVC,
FEV1, dan laju aliran udara pada 25% dari kapasitas vital paksa (V (25)
ditemukan pada subjek yang menerima minyak biji perilla. Studi
membandingkan minyak perilla dengan standar lain. perawatan
diperlukan. Dosis Untuk asma, 10 hingga 20 g minyak biji perilla telah
diminum setiap hari selama 4 minggu.
Farmakokinetik:
Bukti available tidak cukup. Efek merugikan Perilla yang
digunakan dalam dosis yang direkomendasikan umumnya dianggap aman
dan ditoleransi dengan baik karena sejarah penggunaannya dalam
makanan.
e. Teh (Camellia sinensis)
Grade C: Bukti ilmiah yang tidak jelas atau bertentangan (asma)
Mekanisme Aksi:
Mekanisme Tindakan Teofilin adalah penyusun teh (termasuk teh
hijau dan teh hitam), dan secara luas diresepkan sebagai pengobatan untuk
asma. Sebagian besar efek teh disebabkan oleh konstituen kafein. Kafein
adalah bagian dari kelompok senyawa yang dikenal sebagai

14
methyxanthines, yang juga termasuk theophylline, obat yang digunakan
untuk gangguan pernapasan. Kafein, seperti dengan theophylline,
melemaskan otot polos bronkus karena struktur kimianya yang mirip dan
kemampuannya untuk menghambat aktivitas enzim phosphodiesterase,
yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi cAMP intraseluler. Bukti
Ilmiah tentang Efektivitas Teofilin telah banyak digunakan sebagai
pengobatan yang diterima untuk asma; Namun, tidak jelas apakah
konsentrasi teofilin yang ditemukan dalam teh cukup untuk mencapai
kemanjuran farmakologis. Penelitian telah menunjukkan bahwa kafein
meningkatkan bronkodilatasi. Namun, tidak jelas apakah penggunaan teh
memiliki manfaat signifikan pada penderita asma. Dosis Dosis efektif teh
untuk asma belum ditentukan.

Farmakokinetik :
Parameter farmakokinetik teh hitam terkait dengan kandungan
kafeinnya (lihat Kafein). Teh hijau dimetabolisme di dalam tubuh menjadi
epigallocatechin gallate (EGCG), epigallocatechin (EGC), dan epicatechin
(EC). Catechin dari teh hijau cepat diserap. Peningkatan katekin dalam
darah telah ditemukan cepat, dengan perubahan maksimum rata-rata 13%
sekitar 2 jam setelah konsumsi. Kadar darah menurun dengan cepat,
dengan eliminasi paruh waktu 4,8 jam untuk teh hijau. Dampak buruk.
Studi tentang efek samping spesifik teh hitam dan hijau terbatas. Namun,
teh hitam dan teh hijau adalah sumber kafein, di mana beberapa reaksi
dilaporkan (lihat Kafein). Kafein adalah stimulan SSP dan dapat
menyebabkan insomnia pada orang dewasa, anak-anak, dan bayi
(termasuk bayi yang menyusui dari ibu yang mengonsumsi kafein).
Kafein bertindak pada ginjal sebagai diuretik, meningkatkan waktu
dan kadar natrium / kalium urin dan berpotensi menurunkan kadar natrium
/ kalium darah, dan dapat memperburuk inkontinensia. Minuman yang
mengandung kafein dapat meningkatkan produksi asam lambung dan
dapat memperburuk gejala maag. Kafein dalam dosis tertentu dapat
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, meskipun orang yang

15
mengonsumsi kafein secara teratur tampaknya tidak mengalami efek
jangka panjang. Tannin dalam teh dapat menyebabkan sembelit. Toksisitas
oral tanin tanaman rendah, karena mudah terhidrolisis dalam usus ke asam
galat dan metabolit lainnya; Namun, toksisitas hati dan ginjal telah terjadi
dengan dosis tannin tinggi yang digunakan secara topikal atau intravena.
Konsumsi tanin telah dikaitkan dengan kanker tertentu, seperti kanker
kerongkongan, namun, tidak jelas apakah ini disebabkan oleh tanin itu
sendiri atau senyawa lain yang terkait dengan tanin. Peningkatan kadar
gula darah dapat terjadi setelah minum teh hitam yang mengandung kadar
kafein tinggi. Minuman yang mengandung kafein seperti teh hitam harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien diabetes. Orang dengan penyakit
hati yang parah harus menggunakan kafein dengan hati-hati karena kadar
kafein dalam darah dapat menumpuk dan bertahan lebih lama. Ruam kulit
telah dikaitkan dengan konsumsi kafein. Dalam studi laboratorium dan
hewan, kafein telah ditemukan mempengaruhi pembekuan darah,
meskipun efek pada manusia tidak jelas.

f. Borage
Grade C : unclear or conflicting scientific evidence
Mekanisme aksi :
Minyak biji borage adalah sumber ganuma-linolenat asam (GLA).
GLA telah menunjukkan beberapa imunosupresan aktivitas yang mungkin
membantu dalam mengurangi gejala asma. GLA dipecah menjadi di-
homo-GLA (dgla), yang mungkin akan dikonversi ke prostaglandin e,
(PGE,), hormon zat seperti dengan antinflammatory properti, PGE, analog
juga bit ditampilkan untuk menghambat asam lambung sekresi dan untuk
meningkatkan duode nal bikarbonat sekresi, meningkatkan lemak dan
nutrisi absorpsi di CF.

g. Boswellia (Boswellia serrata)


Grade B: good scientific evidence (Bukti ilmiah yang baik)
Mekanisme aksi :

16
Tindakan Beberapa asam triterpenic pentasiklik, yang disebut
sebagai asam boswelia, telah diisolasi dari resin spesies Boswellia dan
diidentifikasi sebagai komponen antiinflamasi utama dari ekstrak getah
boswellia resin. Asam asetil11-keto-β-boswellic acid telah diidentifikasi
sebagai salah satu triterpen antiharus pentasiklik primer dalam ekstrak resin
Boswellia. penelitian hewan telah menunjukkan bahwa ia menghambat
pelepasan LTB4, Studi tambahan telah menemukan bahwa boswellia
menghambat human leukocyte etalase (HLE), yang terlibat dalam
patogenesis emfisema, CF, bronkitis kronis, dan ARDS.

Bukti Ilmiah Efektivitas :


Boswellia dikenal dalam pengobatan Ayurvedic sebagai salai gugal,
dan telah diusulkan sebagai terapi asma kronis potensial berdasarkan sifat
yang dikenal sebagai inhibitor dari biosintesis leukotrien. Satu uji coba
terkontrol secara acak (RCT) melaporkan perbaikan pada FEV , FVC,
jumlah eksaserbasi asma, dan mengi setelah 41 hari terapi boswellia.
Meskipun karakteristik dasar pada pasien dalam penelitian ini tidak
sebanding, data yang ada memberikan bukti awal yang baik yang
mendukung penggunaan boswellia ini. Studi masa depan dijamin untuk
menilai efikasi jangka panjang. Keselamatan akhir dari boswellia,
temporalitas efek, dan efikasi dari boswellia dibandingkan terapi standar.
Dosis kapsul Boswellia (300 hingga 1200 mg) telah diminum setiap hari
dalam tiga dosis.

Farmakokinetik :
Farmakokinetik boswellia tidak dipahami dengan baik. setelah satu
dosis 333 mg ekstrak Boswellia serrata, waktu paruh eliminasi rata-rata
dilaporkan sebagai 5,97 ± 0,95 jam. Data farmakokinetik mengungkapkan
bioavailabilitas rendah asam boswellia, bahan aktif dari boswellia. Makanan
tampaknya mengubah profil farmakokinetik boswellia. 11-keto-β-boswellic
acid, tetapi bukan 3-acetyl-11-keto-β-boswellic acid, mengalami
metabolisme fase 1 yang luas. Oksidasi menjadi metabolit hidroksilasi

17
adalah rute metabolisme utama. Metabolit dari boswellia tampaknya
diekskresikan dalam urin.

Efek samping :
Boswellia secara keseluruhan diyakini aman ketika digunakan sesuai
petunjuk, meskipun ada kurangnya studi keselamatan pada manusia. efek
gastrointestinal ringan, termasuk kepenuhan perut, nyeri epigastrium, gejala
refluks gastroesofageal, diare, dan mual, telah dilaporkan pada 6 dari 34
pasien dengan kolitis ulserativa. dermatitis juga telah dilaporkan pada 3 dari
42 pasien menggunakan produk kombinasi yang mengandung boswellia dan
agen herbal aktif lainnya, peran independen boswellia dalam reaksi ini tidak
dapat ditentukan.

h. Ephedra
Grade B : good scientific efidence
Mekanisme Aksi :
Ephedra telah digunakan secara tradisional sebagai dekongestan dan
untuk mengobati asma. konstituen utama ephedra, efedrin dan
pseudoephedrine, adalah alkaloid tanaman yang bertanggung jawab untuk
tindakan bronchodilating; pseudoephedrine (sudafed) disetujui oleh FDA
sebagai dekongestan. baik efedrin dan pseudoephedrine adalah
simpatomimetik yang bertindak langsung dan tidak langsung pada saraf
simpatetik. efek bronkodilasinya adalah hasil relaksasi otot polos bronkus
melalui stimulasi langsung reseptor beta-2.

Farmakokinetik :
Efedrin diserap dengan baik setelah pemberian oral, dengan waktu
paruh yang dilaporkan 3 sampai 6 jam. Setelah pemberian oral, 88%
diekskresikan dalam urin dalam 24 jam dan 97% dalam 48 jam. Efedrin dan
pseudoephedrine diekskresikan lebih cepat dengan menggunakan acidifier
urine (e-g, amonium klorida) dan lebih lambat dengan alkalinizers urin
(misalnya, disodium bicarbonate). Menurut laporan anekdotal, onset efek

18
bronkodilator dengan efedrin oral terjadi dalam 15 hingga 60 menit dan
berlangsung 2 hingga 4 jam. Oral efedrin menyebabkan pressor dan efek
jantung selama 4 jam. Pemberian efedrin secara intramuskular atau
subkutan pada efek jantung yang berlangsung selama 1 jam. Bentuk efedrin
alami dan sintetis memiliki serapan dan farmakokinetik yang sama pada
orang dewasa, tetapi produk alami yang tersedia mengandung konsentrasi
alkaloid aktif yang sangat berbeda. Farmakokinetik belum banyak diteliti
pada anak-anak.

i. Cordyceps (Cordyceps sinensis)


Grade C : Unclear or conflciting scientific evidence (asthma)
Mekanisme aksi :
Mekanisme kerja cordyceps tidak dipahami dengan baik, tetapi
mungkin melibatkan sifat imunomodulasi. Cordyceps telah terbukti
meningkatkan sel T-helper, memperpanjang kelangsungan hidup limfosit,
meningkatkan produksi TNF alfa dan interleukin-1 (IL-1), dan
meningkatkan aktivitas sel natural killer (NK).

Farmakokinetik :
Kinetika dua galactomannas (CI-P dan CI-A) yang diisolasi dari
Cordyceps cicadae dipelajari pada hewan di laboratorium. CI-P ditemukan
memiliki afinitas rendah untuk concanavalin A (Con-A) dan menunjukkan
aktivitas pembersihan karbon yang kuat pada tikus.

Efek yang berlawanan :


Efek samping minimal, seperti tinja kering, mual, kehilangan nafsu
makan, diare, dan obat batuk, telah dilaporkan dengan penggunaan cordy-
ceps pada manusia.

j. Coleus (Coleus forskohli)


Grade B: Bukti ilmiah yang baik (asma)
Mekanisme aksi :

19
Forskolin adalah konstituen aktif utama yang ditemukan di tumbuhan
Coleus forskohli. Forskolin telah terbukti menginhibisi pelepasan histamin
dari paru sel mast berupa IgE, dengan peningkatan bersamaan dalam tingkat
tracelilular cydlic AMP (cAMP). Forskolin memodulasi pelepasan mediator
reaksi hipersensitivitas langsung melalui aktivasi adenilat siklase pada
basofil manusia dan sel mast. Bronkospasme yang diinduksi pada marmut
peka adalah dicegah dengan cara tergantung dosis dari forskolin dengan
pemberian intravena atau intratrakeal. In vitro, forskolin menghambat
kontraksi parenkim paru yang dipicu oleh histamin, leukotrien D, atau
antigen.

Bukti Ilmiah tentang Efektivitas :


Forskolin telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengobati
gangguan pernafasan seperti asma. Alat uji melaporkan hasil yang
menjanjikan untuk penggunaan ini. Dalam RCT kecil, inhalasi forskolin
menghilangkan bronkokonstriksi pada pasien dengan asma, FEV dan
konduktansi saluran udara secara signifikan meningkat. Efek-efek forskolin
ini telah dibandingkan dengan fenoterol ilmiah, suatu agonis reseptor beta-2,
yang tampaknya memiliki efek yang lebih kuat.

Dosis :
Menurut laporan anekdotal, produk coleus menunjukkan bahwa
sebagian besar produk coleus standar distandarisasi hingga 10% hingga 18%
kandungan forskolin. Untuk bronkospasme, 10 mg serbuk forskolin, yang
dihirup dari Spinhaler, telah digunakan.

Efek Samping :
Tekanan darah rendah, pusing, mual dan peningkatan keringat

k. Butterbur (Petasites hybridus)


Grade C : bukti ilmiah yang tidak jelas atau bertentangan (asma)

Mekanisme aksi :

20
Ekstrak butterbur telah di buat dari rimpang, akar, dan daun.
Seskuiterpen yang di temukan dalam butterbur (isope tasin,oxopetasin, dan
petasin) diyakini sebagai konstituen aktif yang bertanggung jawab untuk
aktifitas farmakologinya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa petasin
mungkin merupakan komponen yang paling aktif. Petensi efek
antiinflmatori ektrak butterbur telah dikaitkan dengan pentasin. Konten,
dilaporkan menyebabkan penghambatan aktifitas lipoxygenase dan
downregulation sintesis leukotrin. Isopetasin dan ester oxopetasin dalam
Petasites hybridus juga telah dilaporkan untuk menghambat sintesis
leukotrien. Inhibisi siklooksigenase (COx-2) dan prostaglandin E2, (PGE2)
juga telah dilaporkan dalam penelitian hewan.

Bukti Ilmiah tentang Efektivitas :


Pencegahan rhinitis alergik, laporan studi praklinis bahwa ekstrak
butterbur memiliki sifat antinflamasi dan penghambat leukotriene, yang
menunjukkan mekanisme tindakan dalam pencegahan eksaserbasi alergis
tipis alergi pada individu yang rentan. Meskipun beberapa studi klinis telah
memeriksa butterbur untuk pencegahan rinitis alergi, bukti keseluruhan
telah lemah. Perbandingan mentega dengan obat-obatan yang diresepkan,
seperti fexofenadine (Allegra) dan cetirizine (Zyrtec), telah melaporkan
kemanjuran yang serupa. Karena ukuran sampel yang kecil, durasi yang
pendek, dan ukuran hasil yang bervariasi, penelitian ini dapat dianggap
sebagai "eksploratori" tetapi tidak definitif. Meskipun demikian, hasilnya
menunjukkan manfaat tetapi untuk pencegahan alergi rinitis. Studi definitif
diperlukan, terutama karena keamanan jangka panjang dari penggunaan
butterbur (di luar 12 hingga 16 minggu) tidak jelas. Asma. Butterbur
digunakan untuk mengobati asma, terutama di Yunani kuno. Penelitian
klinis awal menunjukkan manfaat yang mungkin. Sebuah penelitian kecil
mengevaluasi 16 pasien asma atopik dengan FEV1 dari 4 (78% nilai
prediksi yang diprediksi) yang menerima butterbur sebagai terapi tambahan
untuk kortikosteroid inhalasi. Adenosine monophosphate (AMP)
bronchoprovocation dinilai sebagai hasil utama dari penelitian, dengan

21
pengukuran tambahan dari oksida ni dikeluarkan, serum protein kation
eosinofil, dan jumlah eosinofil darah perifer. Semua hasil primer dan
sekunder dilaporkan secara signifikan lebih unggul dalam kelompok
butterbur secara historis (p <0,05). Dalam penelitian lain, 80 subjek (64
orang dewasa, 16 anak-anak) dengan gejala asma aktif (batuk kesulitan
bernapas sesak dada, kesulitan menghembuskan napas, mengi, ekspektasi)
diberi ekstrak butterbur (Petadolex). Jumlah rata-rata, durasi, dan keparahan
serangan asma menurun, dan laju aliran ekspirasi puncak (PEFR), FEV1,
dan semua gejala yang diukur meningkat selama terapi butterbur. Selama
penelitian, 21,3% pasien melaporkan mengalami serangan asma. Setelah 2
bulan perawatan, jumlah rata-rata serangan asma pada masing-masing
kelompok menurun 50%. Karena tidak ada plasebo yang dimasukkan, tidak
jelas sejauh mana peningkatan pada kedua kelompok disebabkan oleh "efek
plasebo," atau jika asma diselesaikan seiring waktu.

Dosis :
Saat ini, beberapa produk standar rimpang akar rimpang Butterbur
tersedia. Produk dapat distandarkan ke petasin khusus dan isopetasinnya.
Petadolex dan Petaforce adalah ekstrak karbon dioksida (CO2) bertekanan
tinggi dari rimpang P. hybridus.5 Petadolex dikandangkan untuk
mengandung 7,5 mg masing-masing petasin dan isopetasin per tablet 50 mg.
Dosis untuk asma tidak jelas karena bukti klinis tidak cukup dari
keberhasilan. Satu penelitian kecil menggunakan 50 mg butterbur standar
(Petaforce) dalam dua dosis terbagi setiap hari pada pasien yang mengambil
kortikosteroid inhalasi. Sebuah studi yang dilakukan menggunakan 150 mg
butterbur standar setiap hari dalam tiga dosis harian terbagi (Petadolex)
selama 2 hingga 4 bulan. Untuk rinitis alergi, 50 mg butterbur (Petadolex,
stan dardized mengandung 75 mg petasin dan isopetasin di masing-masing
tablet 50 mg) telah digunakan dua kali sehari. Sebuah penelitian yang lebih
besar menggunakan satu tablet CO, ekstrak standar hingga 8,0 mg dari total
petasin per tablet (Tesalin) diminum empat kali sehari. + Sebuah penelitian

22
kecil melaporkan keefektifan untuk dua tablet standar yang diminum tiga
kali sehari.

Farmakokinetik :
Farmakokinetik dari butterbur belum dipahami dengan baik. Petasins
telah dilaporkan tersedia secara hayati dan memiliki waktu paruh 4 hingga 6
jam. Efek yang merugikan Mentah, tanaman butterbur yang tidak diolah
tidak boleh dicerna karena potensi hepatotoksisitas alkaloid pyrrolizdine
dengan penggunaan jangka panjang (secara khusus, kekhawatiran penyakit
venoclusive) dan karsinogenisitas yang mungkin, berdasarkan pada
penelitian pada hewan. Ini termasuk teh, kapsul herbal mentah, atau tincture
atau ekstrak yang tidak diproses. Penggunaan harus dibatasi untuk produk
yang tersedia secara komersial yang bebas dari alkaloid pyrrolizidine.
Produk-produk ini umumnya diyakini dapat ditoleransi dengan baik,
meskipun keamanan jangka panjang (penggunaan 612-16 minggu tidak
diteliti dengan baik. Butterbur tidak boleh digunakan untuk meredakan
eksaserbasi asma akut.

l. Pycogenol (Pinus pinaster subsp. Atlantica)


Grade B: Good scientific evidence (asthma)
Mekanisme aksi :
Mekanisme aksi pycogenol pada asma tidak diketahui dengan jelas
namun kemungkinan berhubungan dengan efek antioksidan dan anti
inflamasi.

Bukti ilmiah :
Percobaan pengujian acak pycogenol pada anak-anak dan dewasa
dengan mengkombinasikan Pycogenol dengan obat-obat tradisional
ditemukan dapat menekan gejala asma dan menolong pengobatan untuk
anak usia 6-18 tahun dengan sedikit meringankan asma.

Dosis :

23
Pycogenol merupakan zat aktif utama karena memilki efek astringent
dan terkadang memiliki efek sakit perut minor. Pycogenol dikonsumsi
secara peroral setelah makan. Untuk anak-anak dengan asma 1 mg/1b BB 2
kali perhari.

Farmakokinetika:
Pycogenol di absorbsi secara cepat setelah pemberian peroral. Kondisi
keseimbangan tunak (steady state) dicapai setelah 5 hari dalam pencernaan.
Metabolit Pycogenol meliputi cathecin, cafein acid, ferulic acid, taxifollin,
dan metabolit M1 ( B-(3-4-dihydroxy-phenyl)-y-valerolactone). Pycogenol
di ekresi dalam urin. Asam ferulic dan taxifolin diekresi dalam 18 jam
dengan puncak ekresi urin dalam 2 sampai 3 jam. Recovery asam ferulic
dalam urin mencapai 36-43% dan recovery dari taxifolin mencapai 7-8%.

Efek samping :
Sakit perut minor, hipoglikemia, vertigo, sakit kepala dan nausea.

m. Danshen
Grade C : bukti ilmiah yang tidak jelas atau bertentangan (asma)
Mekanisme aksi :
Mekanisme danshen yang tepat dimana mempengaruhi asma masih belum
jelas. Danshen telah menunjukkan efek antiinflamasi. Telah ditemukan
untuk mengurangi tingkat sitokin, inkubator IL-6, IL-8 dan TNF-α.

Bukti ilmiah tentang efektivitas danshen :


Bukti klinis menunjukkan bahwa danshen dapat meningkatkan pernapasan,
mengurangi batuk dan mengi pada pasien dengan asma bronkitis kronis.
Pasien dengan asma bronkitis yang menerima manajemen rutin ditambah
dengan injeksi danshen (3gr/2ml) selama 10 hari menunjukkan
menunjukkan perbaikan fungsi paru, tekanan parsial CO₂ arteri yang lebih
rendah (PaCO₂), peningkatan tekanan parsial oksigen arteri (PaO₂), dan
peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan plasebo.

24
Dosis :
Dosis efektif danshen untuk asma bronkitis belum ditentukan. Namun,
suntikan danshen 3gr / 2mL telah digunakan selama 10 hari.

Farmakokinetik :
Farmakokinetik danshen belum bisa dipahami dengan baik. Setelah
pemberian oral tingkat asam lithospermic pulih dari seluruh saluran
gastrointestinal pada 24 jam berkisar antara 23,3% hingga 41,2 %. Danshen
tampaknya diekskresikan sebagian ginjal.

Efek yang berlawanan :


Danshen pada umumnya tampaknya ditoleransi dengan baik. Laporan efek
samping danshen jarang terjadi, dengan peningkatan perdarahan yang paling
umum ketika digunakan dengan antikoagulan atau agen yang menghambat
agregasi trombosit dan adhesi. Danshen juga dapat menyebabkan sakit perut
dan mengurangi nafsu makan.
n. Tylophora (tylophora Indica)
Grade C : bukti ilmiah yang tidak jelas atau bertentangan (asma).
Mekanisme aksi :
Mekanismenya tidak jelas. Antiasthmatic efek tylophora yang jelas, tetapi
mungkin terkait dengan peningkatan aktivitas dari kelenjar adrenal melalui
aksi langsung dari tylophora pada adrenal cortex. Kemungkinan lain
mekanisme melibatkan penekanan pada anafilaksis respon tylophora Indica
pada membran mukosa, sehingga mengurangi nasobronchial yang
menanggapi allergen alergen oleh refleks juga telah ditunjukkan untuk
menghambat asetilkolin dan histamin.

Bukti ilmiah efektivitas tlophora Indica :


Telah digunakan secara luas untuk asma di tradisional ayurveda obat-
obatan. Tersedia studi tylophora untuk asma menunjukkan hasil yang
bertentangan, awal percobaan telah melaporkan bantuan di gejala asma.

25
Namun, studi acak tidak menemukan signifikan perbedaan antara tylophora
dan plasebo di gejala skor dan fungsi pulmonary.

Farmakokinetik:
Bukti yang tersedia tidak cukup. Efek merugikan Tylophora umumnya
ditoleransi dengan baik tetapi kadang-kadang dapat menyebabkan keluhan
gastrointestinal. Telah dilaporkan menyebabkan mual, muntah, perubahan
persepsi rasa, dan nyeri mulut. Mengantuk juga telah dilaporkan.
o. English Ivy
Grade C : bukti ilmiah yang tidak jelas atau bertentangan (asma)

Mekanisme Aksi :
Secara tradisional dikenal sebagai ekspektoran herbal. Namun, penelitian
yang tersedia mengenai aktivitas mukolitik dan sekretolitiknya terbatas.

Bukti ilmiah efektivitasnya :


Telah dipelajari pada anak dengan asma bronkus. Dapat meningkatkan
fungsi pernafasan, seperti diukur oleh plethysmography tubuh dan
spirometri. Beberapa penelitian mencatat peningkatan fungsi paru (FEVi)
pada anak-anak dengan penyakit saluran pernafasan kronis berat yang
reversibel (obstruktif atau nonobstruktif). Namun, penelitian ini kurang
dalam desain metodologis secara keseluruhan. Mereka tidak menilai
keefektifan dan toleransi jangka panjang, dan tidak membandingkannya
dengan agen konvensional.

Farmakokinetik:
Bukti yang tersedia tidak cukup.

Efek samping :
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah gejala alergi, termasuk
dermatitis kontak, bronkitis asmatik dan konjungtivitis alergi. Tukang kebun

26
dan mereka yang sering terpapar mungkin memiliki risiko tinggi sensitisasi
dan harus mengenakan pakaian pelindung yang sesuai.

2.7 Interaksi dengan Obat,makanan/herbal lain


a. Belladonna (Atropa spp.)
Penggunaan alcohol bersamaan dengan belladonna telah disarankan untuk
menghasilkan depresi system saraf pusat (CNS). Agen antikolinergik :
belladonna menampilkan efek antikolinergik dan dapat menyebabkan efek
aditif bila digunakan dengan antikolinergik lain (terutama antidepresan
trisiklik).

b. Eucalyptus (Eucalyptus spp)


 Amfetamin: Studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan penurunan
kadar amphetamine ketika digunakan dengan eucalyptol. Data klinisnya
kurang. Eucalyptus telah terbukti menurunkan konsentrasi glukosa
darah pada hewan diabetes. Penggunaan dengan agen hipoglikemik
dapat menghasilkan efek aditif.
 Substrat sitokrom P450: Cineole telah ditemukan memiliki aktivitas
CYP450-merangsang pada hewan dan in vivo dan in vitro. Bukti awal
menunjukkan bahwa cineole adalah substrat CYP450-3A. Penelitian
lain telah mengisolasi metabolit eucalyptol 2-exo-hydroxy-1,8-cineole,
sebagai substrat CYP450.
 Susu: Penyerapan eukaliptus dapat ditingkatkan dengan adanya susu
atau lemak makanan.
 pyrrolizidine aikaloid-containing herbs: Berdasarkan anecdote,
eucalyptus dapat mempotensiasi toksisitas tanaman yang mengandung
alkaloid pyrrolizidine.
 sedatif dan sistem deprigan penyakit tenggara: Studi in vivo dan in vitro
telah menunjukkan penurunan tingkat pentobarbital ketika digunakan

27
dengan eucalyptol, komponen eukaliptus. Bukti klinis kurang; namun,
interaksi dimungkinkan.

c. Peppermint (Mentha x piperita)


 5-fluorouracil: Minyak peppermint dapat meningkatkan penyerapan
kulit topikal 5-FU, berdasarkan penelitian pada hewan.
 Keasaman: Beberapa ahli menyarankan agen yang menurunkan asam
lambung dan meningkatkan pH lambung dapat menyebabkan pelepasan
prematur minyak peppermint enterikcoated
 Antibiotik: In vitro, minyak peppermint dan menthol terbukti memiliki
efek sinergis dengan beberapa antibiotik.
 Asam benzoat: Berdasarkan penelitian in vitro, paparan kulit secara
bersamaan terhadap konsentrasi rendah minyak peppermint dapat
mengurangi penetrasi perkutan asam benzoat.
 Tekanan darah: Aktivitas penghambatan saluran kalsium minyak
peppermint telah diamati pada model binatang, dan secara teori, minyak
peppermint dapat menambah efek agen yang mungkin juga secara
teoritis menurunkan tekanan darah Sitokrom p450 substrat: Peppermint
telah terbukti menghambat CYP450 1A2 , 2C9, 2C19, dan 3A4 dan
dapat meningkatkan level atau bioavailabilitas agen yang
dimetabolisme oleh isoenzim ini.
 Tingkat fungsal: Penelitian in vitro telah melaporkan bahwa minyak
peppermint menunjukkan aktivitas antijamur terhadap Trichophyton
mentagrophytes.
 Oksitetrasiklin: Berdasarkan penelitian in vitro, minyak peppermint dan
mentol mungkin memiliki efek sinergis ketika dikombinasikan dengan
oksitetrasiklin.
 Tes parasitis: Penelitian in vitro telah mengungkapkan bahwa ekstrak
peppermint dapat menghambat pertumbuhan dan kepatuhan Giardia
lamblia (parasit yang menyebabkan giardiasis) dan secara teoritis dapat
berinteraksi dengan agen antiparasit.

28
d. Perilla (Perilla frustencens)
 Blood Lipids: Pada hewan, perilla telah terbukti menurunkan kadar
kolesterol HDL.
 Sitokin dan Marker Inflamasi: Secara in vitro, perilla telah ditemukan
untuk meningkatkan produksi faktor nekrosis tumor.
 Indometasin (Indosin): Perilla telah terbukti dapat menekan efek dari
obat antiinflamasi nonsteroid pada indometasin pada tikus, karena
perubahan dalam asam lemak dan status eikosanoid. Interaksi serupa
dengan NSAID lain dimungkinkan.
 Sedatives dan Sistem Depresi Nervous Tengah: Perilla frutescens telah
terbukti memperpanjang tidur heksobarbital yang diinduksi pada hewan
karena dillapiol konstituen.

e. Teh (Camellia sinensis)


Interaksi yang terkait dengan teh hitam dan hijau sebagian besar
bersifat teoritis dan sebagian besar didasarkan pada profil efek samping
kafein.
 anticoagulan / antiplatelets: Kedua katekin dalam teh hijau dan kafein
dalam teh mungkin memiliki aktivitas antiplatelet. Secara teoritis, teh
hitam dan hijau dapat meningkatkan risiko pendarahan bila digunakan
dengan antikoagulan / antiplatelets. Dalam satu laporan kasus, sejumlah
besar (% -1gallon) teh hijau memusuhi efek warfarin, mungkin dari
sejumlah kecil vitamin K dalam teh hijau. Daun teh hijau kering
mengandung vitamin K jauh lebih banyak daripada daun teh hitam; teh
hijau mungkin mengandung 1428 mcg vitamin K/100 g daun, sedangkan
teh hitam mungkin hanya mengandung 262 mcg vitamin K/100 g daun.
 Substrat sitokrom p450: Teh hijau dan teh hitam telah dilaporkan untuk
menginduksi enzim CYP450 1A1, 1A2, dan 2B1. Secara teori, perubahan
yang signifikan secara klinis dari metabolisme agen penyerta dapat
terjadi

29
 Susu: polifenol teh hitam secara signifikan mengurangi karsinogenesis
hamster sendiri dan bertindak sinergis dengan konsumsi susu bersamaan.
 Salisilat: Pemberian bersamaan dari agen yang mengandung tanin dapat
menyebabkan malabsorpsi asam salisilat. Salisilat seperti aspirin dapat
terpengaruh ketika diminum dengan teh.

f. Borage
Borage dapat menurunkan ambang kejang, dan penggunaan bersamaan
dengan agen-agen dapat meningkatkan risiko kejang. Minyak biji borage
meningkatkan risiko perdarahan atau mempotensiasi efek terapi warfarin.
Namun dalam penelitian klinis yang melibatkan sukarelawan bealthy dosis
terapi 3 g sehari dari suplemen minyak borage tidak mempengaruhi agregasi
trombosit. Meskipun demikian, kewaspadaan masih diperlukan ketika
menggunakan borage dengan agen antikoagulan dan anti platelet.

g. Boswellia
Interaksi dengan obat, makanan atau herbal lainnya diantaranya :
1. Analgesik. Berdasarkan penelitian pada hewan, resin getah boswellia
serrata menunjukkan efek analgesik yang mirip dengan morfin (4,5
mg / kg). Boswellia dapat berinteraksi dengan agen analgik lainnya.
2. Tingkat bakteri. Berdasarkan tes laboratorium, boswellia mungkin
memiliki aktivitas antibakteri.
3. Lemak darah. Getah resin dari boswellia telah dilaporkan menurunkan
kadar kolesterol dan trigliserida.
4. Substrat sitokin p450. Boswellia Carterii, B. Freeana, B. Sacra, B.
Serrata telah terbukti menjadi moderat hingga poten, inhibitor
nonselektif dari enzim CYP450 1A2, 2C8, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4.
Secara teoritis, boswellia dapat meningkatkan konsentrasi agen yang
dimetabolisme oleh enzim-enzim ini.
5. Sitokin dan penanda inflamasi. Berdasarkan in vitro dan studi pada
hewan, boswellia mungkin memiliki aktivitas antiinflamasi. Boswelia
telah ditemukan untuk menghambat pelepasan proinflamasi leukotrien

30
B4 secara in vitro, sehingga berpotensi menurunkan penanda inflamasi.
Interaksi dengan LTB, inhibitor dimungkinkan.
6. Tingkat jamur. Minyak esensial dari B. serrata telah dilaporkan
memiliki aktivitas antijamur dan lemah terhadap patogen jamur
manusia in vitro, tetapi efek yang lebih besar terhadap patogen jamur
tanaman.
7. Glikosaminoglikan. Boswellia telah dilaporkan mengurangi degradasi
GAG pada tikus dan dapat berinteraksi dengan agen yang secara efektif
mengobati osteoarthritis, seperti glucosamine dan chondroitin.
8. Makanan tinggi lemak. Studi menunjukkan bahwa asupan makanan
memiliki efek mendalam pada parameter farmakokinetik asam
boswellic. Makanan yang tinggi lemak tampaknya meningkatkan
konsetrasi boswellia di dalam tubuh, sedangkan asam boswellic tertentu
tidak terdeteksi setelah boswellia diambil dalam keadaan puasa.
9. Tes histologis. Banyak studi praklinis in vitro telah menunjukkan
bahwa asam boswellic memiliki aktivitas sitotoksik dan antiproliferatif
yang poten terhadap banyak lini sel kanker. Penggunaan bersamaan
dengan agen antiproliferatif lainnya dapat meningkatkan efek atau
toksisitas dari boswellia.
10. Tes fungsi hati. Pada tikus, dosis tinggi boswellia menyebabkan
hepatomegali dan steatosis. Meskipun laporan klinis dari boswellia,
toksisitas yang terkait adalah kurang, toksisitas hati yang serupa dan
perubahan selanjutnya dalam nilai laboratorium mungkin secara teoritis
terjadi pada manusia yang menggunakan formulasi boswellia. Toksin
yang diinduksi transaminitis pada tikus direeduksi oleh pemberian
boswellia, meskipun efek pada hati normal atau pada manusia tidak
jelas.
11. Obat penenang dan depresant sistem saraf pusat. Boswellia telah
menunjukkan efek sedatif yang sebanding dengan klorpromazin (7,5
mg / kg) pada hewan. Penggunaan bersama boswellia dengan agen
penenang mungkin memiliki efek aditif.

31
12. Jumlah sel darah putih. Penelitian telah menunjukkan bahwa asam
boswellic memiliki aktivitas imunostimulan karena mereka
memodifikasi respons limfosit dan pelepasan mediator inflamasi.

h. Ephedra
1. Alpha blocker : Efek simpatomimetik efedrin (misalnya, midriasis,
hipertensi) dapat dilawan oleh agen anutiadrenergic (misalnya,
clomidine, reserpin, terazosin).
2. Kopi : Penggunaan efedra dengan kafein, teofilin, atau methylxanthines
lainnya dapat menyebabkan efek samping neurologis, kardiovaskular,
dan kejiwaan tambahan atau toksisitas. Kematian telah dikaitkan dengan
penggunaan kafein dan efedrin secara simultan. Psikosis akut singkat
terjadi pada pria setelah mengonsumsi alkohol, caffeinc, dan tablet
Vigueur Fit yang mengandung alkaloid ephedra. Khususnya, banyak
produk komersial mengandung efedra dan kafein. Teofilin
dikombinasikan dengan efedrin dapat menyebabkan insomnia,
kecemasan, dan efek gastrointestinal yang merugikan termasuk muntah.
3. Tes fungsi hati : Peningkatan kadar transaminase telah dicatat secara
anekdot, meskipun dalam satu penelitian, ALT dan AST ditemukan
menurun secara signifikan dari awal pada pasien yang menggunakan
efedrin dan kafein.
4. Agen monoaminergik : Ketika ephedra diberikan dalam kombinasi
dengan MAO inhibitor, aktivitas sympathomimetic incrcased dapat
meningkatkan risiko hipertensi. Satu laporan kasus mencatat seorang
wanita 28 tahun yang mengembangkan ensefalopati, iritabilitas
neuromuskular, hipotensi, takikardia, rhabdomyolysis dan hipertermia
setelah mengambil tablet kombinasi yang mengandung efedrin, kafein,
dan teofilin ("Do-Do") 24 jam setelah penghentian fenelzin. pengobatan.
5. Fenotiazin : Fenotiazin dapat menghalangi efek alpha-adrenergik dari
efedra.
6. Uji fungsi pulmoner : Karena efek bronkodilator ephedra, hasil PFT
dapat terpengaruh.

32
7. Steroid : Ephedrine telah dilaporkan dalam uji klinis untuk
meningkatkan pembersihan dan mengurangi efektivitas deksametason.
Perhatian dibenarkan saat menggunakan efedra dengan agen steroid.
8. Hormon tiroid : Ephedra dapat meningkatkan kadar serum T3, dan
penggunaan kombinasi dengan hormon tiroid dapat menyebabkan efek
tambahan. Dalam satu penelitian, rasio serum T3 / T4 meningkat secara
signifikan setelah 4 minggu pengobatan dengan ephedra, meskipun rasio
ini menurun setelah 12 minggu.

i. Cordyceps
1. Antibiotika : Berdasarkan penelitian klinis, pemberian cordyceps dan
aminoglikosie antibodi secara bersamaan dapat mereduksi amikacin
yang menginduksi nefrotoksiti pada orang tua.
2. Anticoagulants / antiplatelets : Cordyceps telah dilaporkan
meningkatkan waktu pendarahan dengan menghambat agregasi platelet
in vitro dan pada hewan laboratorium dan dapat menyebabkan interaksi
serupa pada manusia. Namun, laporan klinis interaksi obat tersebut
kurang.
3. Kadar glukosa darah : Berdasarkan penelitian pada hewan dan in vitro,
Cordyceps mungkin memiliki efek menurunkan gula darah. Bukti
klinisnya kurang.
4. Lipid darah : Berdasarkan penggunaan cordyceps tradisional untuk
mengobati hiperlipidemia, cordyceps dapat menurunkan tingkat lipid
darah.
5. Tekanan darah : Berdasarkan data in vitro, Cordyceps mungkin
memiliki efek hipotensi dan vasodilator dan mungkin memiliki efek
tambahan bila digunakan dengan obat antihipertensi.
6. Creatinine : Berdasarkan laporan klinis dan data laboratorium,
penggunaan cordyceps dapat mengubah tingkat kreatinin.
7. Jenis hati : Berdasarkan penelitian pada hewan, Cordyceps mungkin
memiliki penentangan yang signifikan terhadap aritmia yang diinduksi
aconitine, dengan mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas otot

33
papiler atau atrium, dan secara teoritis dapat berinteraksi dengan agen
antiaritmia.
8. Kidney fuction test : Berdasarkan laporan klinis dan data laboratorium,
penggunaan cordyceps dapat mengubah tingkat BUN.
9. Liver fuctions test : Cordyceps dapat mengubah enzim hati, berdasarkan
penelitian in vitro dan data klinis, dalam penelitian klinis, Cordyceps
menurunkan kadar enzim ALT.
10. Agen monoaminergik : Berdasarkan data in vitro, ekstrak miselium
cordy-ceps dapat menunjukkan penghambatan signifikan MAO tipe B.
11. Steroid : Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa cordyceps dapat
menyebabkan efek seperti steroid seks, bertindak pada sumbu hipofisis
hipofisis hipotalamus, dan mengganggu terapi hormon.
12. White blood cell counts : Berdasarkan data hewan dan in vitro,
cordyceps dapat menstimulasi proliferasi dan aktivitas limfosit fagositik
dan menurunkan autoimunitas. Tes untuk parameter kekebalan dapat
diubah.

j. Coleus
1. Aciditas : Secara teoritis, coleus dapat berinteraksi dengan makanan
asam dan minuman. Coleus barbatus telah dilaporkan meningkatkan
gerakan usus dan mengurangi pergerakan lambung pada tikus. 'Coleus
harus digunakan dengan hati-hati ketika diberikan bersama dengan zat
yang bergantung pada pH dan aksi lambung untuk gangguan dan
aktivasi, seperti antibiotik cephalosporin, itraconazole, ketoconazole,
dan warfarin.
2. Anticoagulants / antiplatelft : Coleus adalah inhibitor potensial agregasi
trombosit secara in vivo dan in vitro. Penggunaan coleus secara
bersamaan dengan agen antikoagulan / antiplatelet, termasuk obat anti-
inflamasi nonsteroid (NSAID), dapat meningkatkan resiko perdarahan.
3. Gula Darah : Colenol, acompound yang diisolasi dari coleus, telah
terbukti merangsang pelepasan insulin pada tikus. Penggunaannya

34
dengan agen hipoglikemik atau insulin eksogen dapat menghasilkan
efek aditif.
4. Tekanan Darah : Forskolin telah terbukti menurunkan tekanan darah
melalui efek vasodilator. Aktivitas forotolin inotropik positif telah
ditunjukkan pada isolasi jantung marmut, atrium kiri terisolasi dari
jantung kelinci percobaan dan pada jantung anjing dan kucing.

k. Butterbur
1. Butterbur telah ditunjukkan secara in vitro ke menghambat
cyclooxygenase-2 (cox-z) dengan langsung mengikat enzim) Interaksi
dengan penghambat COX-2 lainnya adalah mungkin, meskipun laporan-
laporan dikalikal interaksi obat seperti itu kurang.
2. Dalam uji klinis, subyek yang dilengkapi dengan butterbur menunjukkan
peningkatan enzim-enzim hati.

l. Pycogenol (Pinus pinaster subsp. Atlantica)


1. Anticoagulant/antiplatelet : Penggunaan Pycogenol dengan anticoagulan
harus diperhatikan karena potensial penurunan anticoagulant.
Berdasarkan penelitian ilmiah, suplement Pycogenol kemungkinan dapat
menurunkan konsentrasi serum thromboxane. Invitro Pycogenol
menunjukkan bertambahnya efek asam salisilat (aspirin) dalam inhibisi
platelet.
2. Antibakteri : dalam immunosuppresan tikus, Cryptosporisidium parvum
menginfeksi banyak hewan yang mengkonsumsi Pycogenol secara
peroral.
3. Agent Beta Adrenergik : berdasarkan chick cardiomyocyte model,
pretreatment dengan antagonis reseptor beta dapat menurunkan
efektivitas Pycogenol.
4. Vitamin C: Penelitian invitro menunjukkan bahwa Pycogenol yang
digunakan dalam jangka panjang menyebabkan adanya radical ascorbate.

35
5. Vitamin E: Penelitian invitro menunjukkan bahwa Pycogenol dengan
vitamin E memiliki efek adiktif antioksidan. Pycogenol dapat melindungi
a-tocoferol dalam sel endothelial dan mempertinggi level a-tocoferol
pada basal endogen.
6. Diet rendah karbohidrat: Berdasarkan penelitian dalam tikus diabetes,
kombinasi diet rendah karbohidrat dengan Pycogenol menunjukkan
peningkatan retinal glutathione peroksida dan aktivitas reduktasi
glutathione.

m. Danshen
1. Alkohol :
Dalam penelitian hewan, danshen dan miltirone (konstituen dari
danshen) mengurangi asupan alkohol dan mengurangi kadar alkohol
dalam darah.
2. Antikoagulan
Pada hewan, waktu prothrombin (PT) dan keadaan stabil warfarin dari
konsentrasi plasma meningkat ketika digunakan secara bersamaan
dengan danshen. Dalam laporan kasus, dilaporkan overantikoagulasi
dari penggunaan danshen dan PT/INR yang berkepanjangan. Hati-hati
diperlukan saat menggunakan danshen dengan pengencer darah.
3. Benzodiazephin
Danshen telah terbukti mengikat reseptor benzodiazepine secara in
vitro. Secara teoritis, danshen dapat berinteraksi dengan
benzodiazepin.
4. Lemak darah
Pada manusia, danshen dalam kombinasi dengan obat penurun lipid
(tidak spesifik) menurun total, lipoprotein sangat-rendah (VLDL) dan
kolesterol LDL dan trigliserida dan peningkatan kolesterol HDL. Efek
dari Danshen sendiri masih belum jelas.
5. Tekanan darah.
Pada hewan, danshen telah terbukti menghasilkan hipotensi tergantung
dosis yang diberikan.

36
6. Captropril
Pada hewan, hipotensi yang tergantung dosis danshen diperkuat oleh
pemberian kaptopril, suatu inhibitor enzim angiostensin-covering
(ACE).
7. Kreatin kinase
Pada manusia, penggunaan danshen selama anestesi menurun plasma
creatine kinase (CK) pada anak-anak menjalani bypass
cardiopulmonary untuk cacat jantung bawaan. Tes untuk level CK
dapat diubah.
8. Denyut jantung
Danshen mungkin memiliki efek inotropik yang positif. Secara teoritis,
danshen dapat mempengaruhi denyut jantung.
9. Tes fungsi hati
Dalam penelitian klinis, danshen mengurangi tingkat ALT dan AST.
Pada manusia, danshen dikaitkan dengan normalisasi transaminase.
10. Sitokin dan penanda inflamasi
Pada hewan, danshen telah terbukti menghambat interleukin-12 (IL-
12) dan ekspresi gen interferon-gamma dan produksi. pada anak-anak
dengan sindrom nefritik primer, kombinasi penggunaan agen steroid
dan danshen menurunkan kadar endothelin serum dan reseptor
interleukin-2 terlarut (sIL-2R) ke tingkat yang lebih besar daripada
agen steroid saja. tes sitokin dapat terpengaruh.

n. Tylophora (tylophora Indica)


Tylophora dapat menghambat asam lambung. Bukti klinis tidak
ada, tetapi Tylophora dapat berinteraksi dengan antasida, antagonis H, atau
inhibitor pompa tonik (PPl) jika digunakan secara bersamaan.

o. English Ivy (Hedera Helix)


Berdasarkan studi laboratorium, hedera helix mungkin memiliki
sifat antimutagenik. Secara teoritis, dapat berinteraksi dengan agen
antineoplastik.

37
2.8 Terapi Non Farmakologi
1. Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang keadaan
penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan dijalaninya kedepan
(GINA, 2005).
2. Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang menangani
penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala, hal- hal apa saja yang
mungkin terjadi terhadap penderita asma dengan kondisi gejala yang
dialaminya beserta memonitor perkembangan fungsi paru (GINA, 2005).
3. Menghindari Faktor Resiko
Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam mengurangi
gejala asma adalah menhindari faktor pencetus yang dapat meningkatkan
gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa makanan, obat-obatan, polusi,
dan sebagainya (GINA, 2005).

2.9 Contoh Produk Herbal di Indonesia


a. ASMAFit

Komposisi:
Nigella sativa, Clerodendron serratum, Foeniculum vulgare, Andographis
paniculata dan kandungan herbal lain.

Indikasi :

38
Asma, Batuk, TBC, Sesak nafas, Bronchitis, Paru-paru, Flu, Influensa,
Alergi debu, Sinusitis.

b. ASMAFAS

Komposisi :
Madu,  jahe merah, ekstrak mint, Jintan Hitam, habbatussauda, sari kurma,
propolis, Sellaginela dan herbal lainnya
Indikasi :
Asma dan sesak nafas, memperbaiki kerusakan saluran pernafasan,
bronkhitis, batuk berdahak, dan imunostimulator.
Aturan Minum :
1th – 5th : 1sdt 2x Sehari
5th – 12th : 1sdm 3x Sehari
12th keatas : 2-3 sdm 3x Sehari
Efek Samping Madu Asmafas :
Madu ini 100% aman tidak menyebabkan efek samping dan
ketergantungan.

39
c. CLEAR LUNG

Komposisi :
Chrysantenum, Lily, Almond, Tangerine, Green Tea.
Aturan minum :
Seduh 1 bungkus dengan air panas, diamkan 5-10 menit. Dapat diseduh
berulang kali. Baik dikonsumsi 1-2 bungkus sehari.
Indikasi :
meredakan asma, membantu membersihkan flek paru-paru,
menghilangkan dahak, meningkatkan kekebalan tubuh, melindungi
saluran pernapasan, melegakan pernapasan.

40
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja)
dalam usus besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam
pengeluaran. Hal ini terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada
usus besar sehingga memicu tidak teraturnya buang air besar dan timbul
perasaan tidak nyaman pada perut .(Akmal, dkk, 2010).
2. Konstipasi dapat terjadi sebaai akibat menurunnya motitlitas kolon atau
retensi fases didalam kolon terbawah atau rectum. Pada kasus tertentu,
karena air diabsorbsi didalam kolon, fases yang lebih lama berada dalam
kolon mengalami reabsorbsi air sebesar dan menjadi kotoran yang keras
kemudian menjadi lebih sulit dikeluarkan oleh anus.
3. Untuk tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan konstipasi adalah
Aloevera, Flax, Rhubarb, Psyllium, dan Jahe
4. Terapi nonfarmakologi yang digunakan menurut Benedictus adalah
Aktifitas fisik, latian,posisi saat defekasi,konsumsi air, dan serat.
5. Produk yang terdapat di Indonesia misalnya Laxing, Laassia,Laxal, Syifa
Kids Mbelit.

3.2 Saran
Dengan terselesaikannya makalah yang kami buat ini, maka kami
sebagai penulis menyadari bahwa banyaknya kesalahan dalam pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sangat membangun dari para pembaca agar dalam pembuatan makalah kami
selanjutnya dapat lebih baik dari sebelumnya.

41
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K.G. (2000). Imunologi Dasar. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta : EGC.

Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 12. Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Dep.Kes RI.

GINA (Global Initiative for Asthma). 2011. Pocket Guide for Asthma
Management and Prevension. Based on the Global Strategi for Asthma
Management and Prevention.

NANDA. 2013. Diagnosis Keperawatan. Alih Bahasa: Made Sumarwati dan Nike
Budhi Subekti. Jakarta: EGC

Price, Sylvia. A, Lorraine, M. Wilson. (1995). Buku 1 Patofisiologi “Konsep.


Klinis Proses-Proses Penyakit” Edisi : 4. Jakarta : EGC.

Siwabessy. R. 2009. Tinjauan Tentang Persepsi Masyarakat Mengenai Cara


Pemanfaatan Dan Pengolahan Tanaman Obat Sebagai Obat-Obatan
Alternatif. Ambon : Skripsi, Unpatti.

Ulbricht, C. E., Seamon, Erica. 2010. Natural Standard Herbal


Pharmacotherapy : an evidence-based approach, 1st Ed. Missouri :
Mosby Elsevier.

42

Anda mungkin juga menyukai