1. Identitas Anak: 1. Nama : M. Fauzan 2. Tempat dan tanggal lahir/umur : Sungai Tiung, 23 April 2011 3. Jenis kelamin : Laki – Laki 4. Agama : Islam 5. Status anak : Kandung 6. Anak ke dari jumlah saudara :2 7. Nama sekolah : SLB 2 Martapura 8. Kelas : 4D 9. Alamat : Sungai Tiung RT. 30 RW 10 2. Riwayat Kelahiran: 1. Perkembangan masa kehamilan : Normal 2. Penyakit pada masa kehamilan : Tidak ada 3. Usia kandungan : 9 Bulan 4. Riwayat proses kelahiran : Normal 5. Tempat kelahiran : Rumah ( Bidan ) 6. Penolong proses kelahiran : Bidan 7. Gangguan pada saat bayi lahir : Pendarahan pada otak dan kejang 8. Berat bayi : 3.4 kg 9. Panjang bayi : 50 cm 10. Tanda-tanda kelainan pada bayi : Normal Perkembangan Masa Balita: 1. Menyusu ibunya hingga umur : 2 tahun 2. Minum susu kaleng hingga umur : Tidak pernah 3. Imunisasi (lengkap/tidak) : Lengkap 4. Pemeriksaan/penimbangan rutin/tdk : Rutin 5. Kualitas makanan : Normal 6. Kuantitas makan : Normal 7. Kesulitan makan (ya/tidak) : Ya Perkembangan Fisik: 1. Dapat berdiri pada umur : 12 bulan 2. Dapat berjalan pada umur : 17 bulan 3. Naik sepeda roda tiga pada umur : 2 Tahun 4. Naik sepeda roda dua pada umur : 2 tahun 5. Bicara dengan kalimat lengkap : 2 Tahun 6. Kesulitan gerakan yang dialami : Gerakan tangan 7. Status gizi balita (baik/kurang) : baik 8. Riwayat kesehatan (baik/kurang) : baik 9. Penggunaan tangan dominan : Kiri Perkembangan Bahasa : 1. Meraba/berceloteh pada umur : 5 bulan 2. Mengucapkan satu suku kata yang bermakna kalimat (mis. Pa berarti bapak) pada umur : 7 Bulan 3. Berbicara dengan satu kata bermakna pada umur : 7 Bulan 4. Berbicara dengan kalimat lengkap sederhana pada umur : 2 Tahun Perkembangan Sosial: 1. Hubungan dengan saudara : Anak pertama 2. Hubungan dengan teman : Jahil 3. Hubungan dengan orangtua : Baik 4. Hobi : Mendengarkan music seperti Shalawat 5. Minat khusus : Olahraga Basket Perkembangan Pendidikan: 1. Masuk TK umur : 3 tahun 2. Lama Pendidikan di TK : 2 tahun 3. Kesulitan selama di TK : Hyperaktif 4. Masuk SD umur : 8 tahun 5. Kesulitan selama di SD : Hyperaktif 6. Pernak tidak naik kelas : tidak pernah 7. Pelayanan khusus yang pernah diterima anak : Tidak ada 8. Prestasi belajar yang dicapai : Tenis meja tingkat sekolah 9. Mata Pelajaran yang dirasa paling sulit : Matematika 10. Mata Pelajaran yang dirasa paling disenangi : Tidak ada 11. Keterangan lain yang dianggap perlu : 3. DATA ORANG TUA ATAU WALI A. Identitas Orang tua/wali Ayah: 1. Nama Ayah : Muhammad Zaid 2. Umur : 32 tahun 3. Agama : Islam 4. Status ayah : Kandung 5. Pendidikan Tertinggi : SLTP 6. Pekerjaan Pokok : Wirausaha 7. Alamat tinggal : Sungai Tiung RT 30 RW 10 Kelurahan Sungai Tiung Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru Ibu: 1. Nama Ibu : Maisaroh 2. Umur : 31 tahun 3. Agama : Islam 4. Status Ibu : Kandung 5. Pendidikan Tertinggi : SLTP 6. Pekerjaan Pokok : IRT 8. Alamat tinggal : Sungai Tiung RT 30 RW 10 Kelurahan Sungai Tiung Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru B. Hubungan Orang tua-anak 1. Kedua orang tua satu rumah : Iya 2. Anak satu rumah dengan kedua orang tua : Iya 3. Anak diasuh oleh salah satu orang tua : Iya. 4. Anak diasuh wali/saudara : Tidak C. Sosial Ekonomi Orangtua 1. Jabatan formal ayah di kantor (jika ada) : Wirausaha 2. Jabatan formal ibu di kantor (jika ada) : 3. Jabatan informal ayah di luar kantor (jika ada) : Tidak ada 4. Jabatan informal ibu di luar kantor (jika ada) : Tidak ada 5. Rata-rata penghasilan (kedua orangtua) perbulan : Rp 1.500.000,- D.Tanggungan dan Tanggapan Keluarga 1. Jumlah anak :1 2. Ysb. Anak yang ke :2 3. Persepsi orang tua terhadap anak ysb. : Anak Tunggal, kaka meninggal dunia 4. Kesulitan orang tua terhadap anak ysb. : Mendampingi belajar 5. Harapan orang tua terhadap pendidikan anak ysb. : Dapat melanjutkan pendidikan lebih Tinggi 6. Bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak ysb.: Beasiswa
4. Hasil Pengisian Instrumen Identifikasi
a. Hasil Pengisian Lembar Checklist Observasi Kegiatan Identifikasi Anak
dengan Hambatan Fisik dan Motorik.
Seluruh masalah pengelompokan, atau pelabelan, individu penyandang disabilitas
telah menjadi subjek kontroversi. Pelabelan, tentu saja, adalah fakta kehidupan yang nyaris tak terhindarkan. Bagaimana Anda akan melabeli diri Anda sendiri? Apakah Anda menganggap diri Anda seorang Demokrat atau Republik? Apakah Anda kelebihan berat badan atau kurus, Muslim atau non-Muslim, dan liberal atau konservatif? Bergantung pada konteksnya, beberapa label dapat dianggap positif atau negatif. Label mungkin permanen, seperti cerebral palsy, atau sementara, seperti korban bencana alam. Bagaimanapun, label itu kuat, biasa, dan sering diisi dengan harapan tentang bagaimana orang harus berperilaku dan bertindak. Label, baik yang dipaksakan secara formal oleh psikolog atau pendidik atau diterapkan secara santai oleh teman sebaya, mampu menstigmatisasi dan, dalam kasus tertentu, menghukum anak-anak. Label yang diberikan kepada seseorang dapat mempengaruhi secara signifikan bagaimana individu memandang diri mereka sendiri dan bagaimana orang lain di lingkungan berhubungan dengan mereka. Memberi label atau mengelompokkan anak-anak tertentu adalah proses merendahkan yang sering berkontribusi pada stigmatisasi dan mengarah ke isolasi sosial dan pendidikan; di sisi lain, label dapat mengakibatkan siswa menerima layanan dan dukungan luar biasa. Terlepas dari manfaat pelabelan anak-anak, juga ditemukan bahwa pelabelan terlalu sering mempromosikan stereotip dan diskriminasi dan memungkinkan menjadi sebuah faktor yang berkontribusi terhadap praktik eksklusif di arena pendidikan dan sosial. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah label yang diterapkan untuk anak- anak sering kurang memiliki relevansi pendidikan. Membubuhkan label pada anak, meskipun akurat, bukan jaminan layanan yang lebih baik. Jarang ada label yang memberikan panduan pengajaran atau menyarankan taktik manajemen yang efektif. Pemberian pembelajaran dan layanan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak daripada diberikan berdasarkan label siswa. Meskipun program nonkategori semakin populer, namun juga masih sering diperlukan untuk mengklasifikasikan siswa berdasarkan tingkat keparahan gangguan mereka — misalnya, ringan/sedang atau berat/mendalam. Alimin (2004), terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) faktor internal pada diri anak, 2) faktor eksternal dari lingkungan dan, 3) kombinasi dari faktor internal dan eksternal. 1. Faktor Internal Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang bersangkutan. Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami kesulitan untuk bergerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada di dalam diri anak yang bersangkutan. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga dalam jangka panjang mengakibatkan anak tersebut kehilangan konsentrasi, menarik diri dan ketakutan. Akibatnya anak tidak dapat belajar. Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau konflik sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan orang yang belum dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan dengan banjir besar yang pernah dialaminya. Keadaan seperti ini menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam belajar, dan memerlukan layanan khusus dalam pendidikan. 3. Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal Kombinasi antara faktor eksternal dan faktor internal dapat menyebabkan terjadinya kebutuhan khusus pada sorang anak. Kebutuhan khusus yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal sekaligus diperkirakan akan anak akan memiliki kebutuhan khusus yang lebih kompleks. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak menerima kehadiran anak, tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat perlakuan orang tua yang tidak tepat. Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen. Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai proses penjaringan atau proses menemukan anak apakah mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendeteksian dini terhadap anak yang di duga memiliki berkebutuhan khusus. Identifikasi mempunyai dua konsep yaitu konsep penyaringan (screening) dan identifikasi aktual (actual identification). Setiap anak unik. Anak-anak memiliki kekuatan dan kelemahan mereka sendiri. Perkembangan mereka berkembang sesuai dengan urutan tertentu, tetapi langkahnya dapat bervariasi. Wajar jika beberapa anak dapat unggul di bidang tertentu tetapi memiliki kekurangan di bidang lain. Namun, jika anak-anak menampilkan masalah atau kesulitan yang ditandai dalam satu (atau lebih banyak) bidang perkembangan, dan kinerjanya menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan anak-anak lain pada usia yang sama, disarankan untuk merujuk anak-anak untuk penilaian profesional. Anak-anak berkembang pesat di tahun-tahun awal mereka dan banyak perubahan diharapkan dalam waktu satu tahun atau bahkan sebulan. Karena itu, bahkan para ahli mungkin merasa sulit untuk membuat diagnosis tegas berdasarkan kondisi anak kecil. Di sisi lain, justru plastisitas perkembangan anak-anak yang membuat identifikasi dan intervensi dini menjadi penting. Dengan identifikasi dini masalah perkembangan dan pembelajaran anak dan rujukan yang cepat untuk penilaian, ini membantu kami memahami dan mendukung kondisi dan kebutuhan anak-anak dalam pengembangan dan pembelajaran. Masalah perkembangan dan pembelajaran anak-anak dapat dikaitkan dengan kombinasi beberapa faktor. Kondisi perkembangan anak itu sendiri dan faktor lingkungan lainnya, seperti keluarga, sekolah atau masyarakat, dapat berperan. Oleh karena itu, ketika anak-anak menunjukkan suatu masalah tertentu, misalnya masalah emosional atau perilaku, selain menyadari keparahan, durasi dan frekuensi masalah ini, guru juga harus mengumpulkan informasi dari sumber yang berbeda untuk memahami setiap faktor yang mungkin terkait dengan perilaku anak-anak. Terkadang, sebuah masalah dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya, jika anak-anak lalai dan tidak dapat berkonsentrasi di kelas, alasan yang mungkin adalah: Mereka memiliki masalah dalam kontrol perhatian.
Konflik keluarga baru-baru ini telah mengecewakan mereka dan
memengaruhi konsentrasi mereka di kelas.
Lingkungan sekolah yang berisik dengan mudah mengalihkan perhatian
mereka.
Kurikulum mungkin terlalu sulit bagi mereka sehingga mereka kehilangan
minat di kelas.
Karenanya, guru harus memperhatikan berbagai faktor ketika mengamati kinerja
anak-anak. Para siswa yang memiliki cacat fisik merupakan salah satu kategori pembelajar yang paling beragam dalam pendidikan khusus karena beragam penyakit dan gangguan yang termasuk dalam kategori ini. Siswa dengan cacat fisik dapat berkisar dari mereka yang memiliki kondisi fisik yang parah yang mengakibatkan ketidakmampuan total, berjalan, menunjuk, atau melakukan gerakan yang bertujuan untuk para siswa dengan hanya beberapa kesulitan berjalan atau kelainan kerangka yang tidak terlihat. Identifikasi melalui Checklist observasi anak dengan Hambatan fisik dan motoric dengan subjek M. Fauzan usia 11 tahun bersekolah di SLB 2 Martapura, tempat ceklist di Sekolah. Checklist observasi berdasarkan pengamatan langsung dari bentuk fisik maka dapat dikategorykan sebagai Tunadaksa saraf adalah mereka yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak yang berakibat pada gangguan organisme fisik, emosi, dan mental. Mangunsong (2011), tunadaksa diklasifikasikan menjadi: Tunadaksa bagian D, merupakan seseorang yang mengalami ketidaknormalan dalam fungsi tulang, otot atau kerja sama fungsi otot-otot, namun masih berkemampuan normal.
Tunadaksa bagian D1, merupakan seseorang yang mengalami gangguan sejak
lahir atau cerebral palsy, yang berakibat pada hambatan jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi, dan syaraf-syaraf. Kemampuan inteligensinya di bawah normal atau terbelakang. Subjek mengalami kerusakan pada otak yang bersifat nonprogresif yang terjadi pada proses tumbuh kembang. Pada waktu bayi mengalami 37 hari panas dan kejang- kejang dan didiagnosa pendarahan otak. Kekejangan atau kekauan pada sebagian atau seluruh otot ketika akan digerakkan sesuai dengan kehendak, sulit bergerak dari posisi satu ke posisi yang lain, gerakan yang dibuat tidak normal, otot kaku dan kejang.
b. Hasil Pengisian Pedoman Wawancara Identifikasi Anak dengan Hambatan
Fisik dan Motorik Berdasarkan hasil observasi, teknik yang digunakan untuk bagi anak bernama M. Fauzam menggunakan teknik wawancara untuk mengetahui riwayat dan pekembangan anak, observasi yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan (emosi, sosial, kondisi fisik, dan komunikasi), dan dokumentasi hasil belajar siswa sebelumnya atau layanan yang sudah diterima anak sebelumnya serta pengisian angket untuk mengetahui identitas anak dan orang tua. Hal itu sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan yaitu agar komprehensif, pengumpulan data harus menggunakan beberapa pendekatan, termasuk wawancara dengan orang tua, observasi alamiah secara terus menerus, dan yang lainnya. Hasil tes khusus, misalnya inteligensi dan psikologis tim meminta kepada orang tua sebagai salah satu persyaratan awal siswa masuk di sekolah tersebut, tetapi dalam kriteria dijelaskan bahwa penggunaan tes standar harus sangat hati-hati, karena disamping secara teknis lebih sulit, hasilnya sering kurang akurat dan kurang prediktif. Karena itu, penggunaan asesmen yang sifatnya formal harus dibarengi dengan hasil observasi, termasuk observasi dari orang tua. Meskipun pihak sekolah tidak melakukan tes tersebut, tetapi dalam menggunakan informasi berdasarkan hasil tersebut juga harus sangat hati-hati mengingat terkadang pada saat dilakukan tes siswa sedang tidak dalam kondisi prima sehingga hasil tes yang telah dilakukan kurang akurat. Teknik atau metode yang digunakan tersebut juga harus memenuhi persyaratan atau kriteria yang meliputi : a. Autentik, perilaku nyata dalam setting nyata. b. Konvergen, sumber informasi yang beragam. c. Kolaborasi, dilakukan bersama terutama sekali dengan pengasuh. d. Ekuiti, mampu mengakomodasi kebutuhan khusus anak. e. Sensitivitas, dapat memasukkan materi yang cukup untuk perencanaan keputusan maupun untuk mendeteksi perubahan. f. Kongruen, ada kesamaan prosedur yang diterapkan, baik dalam perkembangan maupun evaluasinya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, beberapa teknik yang digunakan oleh tim untuk melakukan asesmen dapat dikatakan sudah dapat memenuhi dari beberapa kriteria yang disebutkan. Pada teknik observasi, dilakukan dalam perilaku nyata dalam setting nyata (autentik) karena dalam pelaksanaannya anak dibiarkan untuk mengikuti kelas dan membaur dengan siswa lain. Sumber informasi yang digunakan juga beragam (konvergen) dengan melakukan wawancara oleh orang tua, melihat hasil tes intelligensi dan psikologis, dan melakukan studi dokumentasi pada hasil belajar dan layanan yang telah diberikan sebelumnya. Tim juga melakukan kolaborasi pada orang tua untuk memperoleh informasi identitas anak dan oang tua, riwayat anak, dan perkembangan anak. Pada aspek kongruen juga sudah sesuai karena teknik yang digunakan dalam proses perkembangan dan evaluasi menggunakan teknik yang sama. Pada aspek ekuiti dan sensitivitas beberapa teknik yang digunakan pada pelaksanaan asesmen bagi anak tunadaksa belum mengakomodasikan kebutuhan khusus dalam hal ini kemampuan fisik anak dan belum memasukkan materi yang cukup untuk perencanaan keputusan maupun untuk mendeteksi perubahan karena teknik yang digunakan untuk melakukan asesmen bagi anak tunadaksa masih kurang teknik khusus yang digunakan untuk mengungkap kebutuhan ketunadaksaannya sangat penting informasinya dalam pemberian materi pada anak sehingga selain dalam perkembangan kemampuan akademik bagi anak tunadaksa juga sangat penting untuk perkembangan kemampuan fisiknya. Berdasarkan hasil temuan dan kriteria yang dipaparkan di atas, teknik yang digunakan sudah sesuai dengan kriteria karena sudah menggunakan teknik yang beragam serta sudah berhati-hati dalam menganalis tes standar yang diberikan oleh orang tua, tetapi dari teknik yang digunakan tersebut belum memenuhi persyaratan ekuiti dan sensitivitas kerana belum mampu mengakomodasi kebutuhan anak khususnya dan belum memasukkan materi yang cukup khususnya yang berkaitan dengan ketunadaksaannya. Subjek berdasarkan hasil wawancara mengalami hambatan fisik dan motoric dikarenakan mengalami pendarahan bagian otak dan kejang-kejang ketika lahir. Subjek memiliki sifat Hyperaktif, tidak ada permasalahan dalam hal interaksi social. Subjek dapat dikategorikan usil atau jahil terhadap teman-temannya. Subjek menyenangi olahraga khususnya basket. Subjek juga pernah berprestasi dalam olahraga tenis meja. Dapat dilihat bahwa subjek tidak mengalami hambatan terhadap keterbatasan yang dimilikinya. Hanya saja subjek kesusahan dalam hal belajar seperti mudah bosan dan pengenalan kata – kata atau huruf ABCD.
c. Hasil Temuan Dokumentasi Identifikasi Anak dengan Hambatan Fisik dan
Motorik Dari data dokumentasi yang berupa kondisi kemampuan dan ketidakmampuan anak, riwayat pertumbuhan dan perkembangan, riwayat pendidikan dan riwayat kesehatan dapat disimpulkan bahwa terjadi Precipitating Factor ( Faktor pemercepat terjadinya kecacatan ). Faktor-faktor yang terjadi saat postnatal yaitu pendarahan otak dan kejang-kejang setelah melahirkan. Dari bentuk fisik anak dapat dilihat bahwa keterbatasan anak pada tangan kanannya.
3.B Analisis Hasil Identifikasi
Dari hasil observasi baik metode checklist ataupun wawancara maka dapat dianalisa bahwa anak yang bernama M. Fauzan Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif ada empat aspek yang turut mewarnai yaitu: pertama, kematangan yang merupakan perkembangan susunan saraf misalnya mendengar yang diakibatkan kematangan susunan saraf tersebut. Kedua, pengalaman yaitu hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungan dan dunianya. Ketiga, transmisi sosial yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial. Keempat, ekuilibrasi yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak. Wujud konkrit dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif. Dapat dilihat dari wawancara guru M. Fauzan, bahwa anak tersebut kesulitan dalam belajar. M. Fauzan termasuk Tunadaksa bagian D1, merupakan seseorang yang mengalami gangguan sejak lahir atau cerebral palsy, yang berakibat pada hambatan jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi, dan syaraf-syaraf. Kemampuan inteligensinya di bawah normal atau terbelakang. Ada beberapa hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa atau cacat fisik, di antaranya: pertama, terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustrasi. Kedua, timbulnya kekhawatiran orang tua biasanya cenderung over protective. Ketiga, perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap penyandang tunadaksa menyebabkan mereka merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialaminya menimbulkan sifat harga diri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif atau mematikan kreativitasnya. Selain itu yang menjadi problem penyesuaian penyandang tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Selain potensi yang harus berkembang, aspek fisik juga merupakan potensi yang harus dikembangkan oleh setiap individu. Akan tetapi bagi penyandang tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Secara umum perkembangan fisik tunadaksa dapat dinyatakan hampir sama dengan orang normal pada umumnya kecuali pada bagian- bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau terpengaruh oleh kerusakan tersebut. Tetapi hal ini berbeda dengan anak bernama M. Fauzan, subjek lebih cenderung Hyperaktif dan jahil terhadap teman-temannya. Kesukaannya dalam olahraga bukti bahwa keterbatasan bukan halangan. Setiap manusia memiliki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori motoriknya. Pada penyandang tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa atau bicaranya tidak begitu normal, lain halnya dengan penyandang cerebral palsy. Gangguan bicara pada penyandang cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, fonasi, dan sistem respirasi.