Anda di halaman 1dari 14

BAB III : Gambaran Hasil Identifikasi

3.A. Hasil Identifikasi


1. Identitas Anak:
1. Nama : M. Fauzan
2. Tempat dan tanggal lahir/umur : Sungai Tiung, 23 April 2011
3. Jenis kelamin : Laki – Laki
4. Agama : Islam
5. Status anak : Kandung
6. Anak ke dari jumlah saudara :2
7. Nama sekolah : SLB 2 Martapura
8. Kelas : 4D
9. Alamat : Sungai Tiung RT. 30
RW 10
2. Riwayat Kelahiran:
1. Perkembangan masa kehamilan : Normal
2. Penyakit pada masa kehamilan : Tidak ada
3. Usia kandungan : 9 Bulan
4. Riwayat proses kelahiran : Normal
5. Tempat kelahiran : Rumah ( Bidan )
6. Penolong proses kelahiran : Bidan
7. Gangguan pada saat bayi lahir :
Pendarahan pada otak dan kejang
8. Berat bayi : 3.4 kg
9. Panjang bayi : 50 cm
10. Tanda-tanda kelainan pada bayi : Normal
Perkembangan Masa Balita:
1. Menyusu ibunya hingga umur : 2 tahun
2. Minum susu kaleng hingga umur : Tidak pernah
3. Imunisasi (lengkap/tidak) : Lengkap
4. Pemeriksaan/penimbangan rutin/tdk : Rutin
5. Kualitas makanan : Normal
6. Kuantitas makan : Normal
7. Kesulitan makan (ya/tidak) : Ya
Perkembangan Fisik:
1. Dapat berdiri pada umur : 12 bulan
2. Dapat berjalan pada umur : 17 bulan
3. Naik sepeda roda tiga pada umur : 2 Tahun
4. Naik sepeda roda dua pada umur : 2 tahun
5. Bicara dengan kalimat lengkap : 2 Tahun
6. Kesulitan gerakan yang dialami : Gerakan tangan
7. Status gizi balita (baik/kurang) : baik
8. Riwayat kesehatan (baik/kurang) : baik
9. Penggunaan tangan dominan : Kiri
Perkembangan Bahasa :
1. Meraba/berceloteh pada umur
: 5 bulan
2. Mengucapkan satu suku kata yang bermakna
kalimat (mis. Pa berarti bapak) pada umur
: 7 Bulan
3. Berbicara dengan satu kata bermakna pada umur
: 7 Bulan
4. Berbicara dengan kalimat lengkap sederhana pada
umur : 2 Tahun
Perkembangan Sosial:
1. Hubungan dengan saudara : Anak pertama
2. Hubungan dengan teman : Jahil
3. Hubungan dengan orangtua : Baik
4. Hobi : Mendengarkan music seperti Shalawat
5. Minat khusus : Olahraga Basket
Perkembangan Pendidikan:
1. Masuk TK umur : 3
tahun
2. Lama Pendidikan di TK : 2
tahun
3. Kesulitan selama di TK :
Hyperaktif
4. Masuk SD umur : 8
tahun
5. Kesulitan selama di SD :
Hyperaktif
6. Pernak tidak naik kelas :
tidak pernah
7. Pelayanan khusus yang pernah diterima anak :
Tidak ada
8. Prestasi belajar yang dicapai :
Tenis meja tingkat sekolah
9. Mata Pelajaran yang dirasa paling sulit
: Matematika
10. Mata Pelajaran yang dirasa paling disenangi :
Tidak ada
11. Keterangan lain yang dianggap perlu :
3. DATA ORANG TUA ATAU WALI
A. Identitas Orang tua/wali
Ayah:
1. Nama Ayah : Muhammad Zaid
2. Umur : 32 tahun
3. Agama : Islam
4. Status ayah : Kandung
5. Pendidikan Tertinggi : SLTP
6. Pekerjaan Pokok : Wirausaha
7. Alamat tinggal : Sungai Tiung RT 30 RW 10 Kelurahan Sungai Tiung
Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru
Ibu:
1. Nama Ibu : Maisaroh
2. Umur : 31 tahun
3. Agama : Islam
4. Status Ibu : Kandung
5. Pendidikan Tertinggi : SLTP
6. Pekerjaan Pokok : IRT
8. Alamat tinggal : Sungai Tiung RT 30 RW 10 Kelurahan Sungai Tiung
Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru
B. Hubungan Orang tua-anak
1. Kedua orang tua satu rumah : Iya
2. Anak satu rumah dengan kedua orang tua : Iya
3. Anak diasuh oleh salah satu orang tua : Iya.
4. Anak diasuh wali/saudara : Tidak
C. Sosial Ekonomi Orangtua
1. Jabatan formal ayah di kantor (jika ada) : Wirausaha
2. Jabatan formal ibu di kantor (jika ada) :
3. Jabatan informal ayah di luar kantor (jika ada) : Tidak ada
4. Jabatan informal ibu di luar kantor (jika ada) : Tidak ada
5. Rata-rata penghasilan (kedua orangtua) perbulan : Rp 1.500.000,-
D.Tanggungan dan Tanggapan Keluarga
1. Jumlah anak :1
2. Ysb. Anak yang ke :2
3. Persepsi orang tua terhadap anak ysb. : Anak Tunggal, kaka meninggal
dunia
4. Kesulitan orang tua terhadap anak ysb. : Mendampingi belajar
5. Harapan orang tua terhadap pendidikan anak ysb. : Dapat melanjutkan
pendidikan lebih Tinggi
6. Bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak ysb.: Beasiswa

4. Hasil Pengisian Instrumen Identifikasi

a. Hasil Pengisian Lembar Checklist Observasi Kegiatan Identifikasi Anak


dengan Hambatan Fisik dan Motorik.

Seluruh masalah pengelompokan, atau pelabelan, individu penyandang disabilitas


telah menjadi subjek kontroversi. Pelabelan, tentu saja, adalah fakta kehidupan yang
nyaris tak terhindarkan. Bagaimana Anda akan melabeli diri Anda sendiri? Apakah
Anda menganggap diri Anda seorang Demokrat atau Republik? Apakah Anda
kelebihan berat badan atau kurus, Muslim atau non-Muslim, dan liberal atau
konservatif? Bergantung pada konteksnya, beberapa label dapat dianggap positif atau
negatif. Label mungkin permanen, seperti cerebral palsy, atau sementara, seperti
korban bencana alam. Bagaimanapun, label itu kuat, biasa, dan sering diisi dengan
harapan tentang bagaimana orang harus berperilaku dan bertindak. Label, baik yang
dipaksakan secara formal oleh psikolog atau pendidik atau diterapkan secara santai
oleh teman sebaya, mampu menstigmatisasi dan, dalam kasus tertentu, menghukum
anak-anak. Label yang diberikan kepada seseorang dapat mempengaruhi secara
signifikan bagaimana individu memandang diri mereka sendiri dan bagaimana orang
lain di lingkungan berhubungan dengan mereka. Memberi label atau
mengelompokkan anak-anak tertentu adalah proses merendahkan yang sering
berkontribusi pada stigmatisasi dan mengarah ke isolasi sosial dan pendidikan; di sisi
lain, label dapat mengakibatkan siswa menerima layanan dan dukungan luar biasa.
Terlepas dari manfaat pelabelan anak-anak, juga ditemukan bahwa pelabelan
terlalu sering mempromosikan stereotip dan diskriminasi dan memungkinkan menjadi
sebuah faktor yang berkontribusi terhadap praktik eksklusif di arena pendidikan dan
sosial. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah label yang diterapkan untuk anak-
anak sering kurang memiliki relevansi pendidikan. Membubuhkan label pada anak,
meskipun akurat, bukan jaminan layanan yang lebih baik. Jarang ada label yang
memberikan panduan pengajaran atau menyarankan taktik manajemen yang efektif.
Pemberian pembelajaran dan layanan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak
daripada diberikan berdasarkan label siswa. Meskipun program nonkategori
semakin populer, namun juga masih sering diperlukan untuk mengklasifikasikan
siswa berdasarkan tingkat keparahan gangguan mereka — misalnya, ringan/sedang
atau berat/mendalam.
Alimin (2004), terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab
musabab timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) faktor internal
pada diri anak, 2) faktor eksternal dari lingkungan dan, 3) kombinasi dari faktor
internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang bersangkutan.
Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar
karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami
kesulitan untuk bergerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang
bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada
di dalam diri anak yang bersangkutan.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan
anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar,
sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga
dalam jangka panjang mengakibatkan anak tersebut kehilangan konsentrasi,
menarik diri dan ketakutan. Akibatnya anak tidak dapat belajar. Contoh lain, anak
yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau konflik sosial/perang. Anak ini
menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan orang yang belum dikenal, ketakutan
jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan dengan banjir besar yang pernah
dialaminya. Keadaan seperti ini menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan
dalam belajar, dan memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.
3. Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal
Kombinasi antara faktor eksternal dan faktor internal dapat menyebabkan terjadinya
kebutuhan khusus pada sorang anak. Kebutuhan khusus yang disebabkan oleh faktor
eksternal dan internal sekaligus diperkirakan akan anak akan memiliki kebutuhan
khusus yang lebih kompleks. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami
gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal
berada pada lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak menerima kehadiran
anak, tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak
seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat
perlakuan orang tua yang tidak tepat.
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang mendahului proses asesmen.
Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai
proses penjaringan atau proses menemukan anak apakah mempunyai
kelainan/masalah, atau proses pendeteksian dini terhadap anak yang di duga memiliki
berkebutuhan khusus. Identifikasi mempunyai dua konsep yaitu konsep penyaringan
(screening) dan identifikasi aktual (actual identification).
Setiap anak unik. Anak-anak memiliki kekuatan dan kelemahan mereka sendiri.
Perkembangan mereka berkembang sesuai dengan urutan tertentu, tetapi langkahnya dapat
bervariasi. Wajar jika beberapa anak dapat unggul di bidang tertentu tetapi memiliki
kekurangan di bidang lain. Namun, jika anak-anak menampilkan masalah atau kesulitan yang
ditandai dalam satu (atau lebih banyak) bidang perkembangan, dan kinerjanya menunjukkan
perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan anak-anak lain pada usia yang sama,
disarankan untuk merujuk anak-anak untuk penilaian profesional.
Anak-anak berkembang pesat di tahun-tahun awal mereka dan banyak perubahan
diharapkan dalam waktu satu tahun atau bahkan sebulan. Karena itu, bahkan para ahli
mungkin merasa sulit untuk membuat diagnosis tegas berdasarkan kondisi anak kecil. Di sisi
lain, justru plastisitas perkembangan anak-anak yang membuat identifikasi dan intervensi dini
menjadi penting. Dengan identifikasi dini masalah perkembangan dan pembelajaran anak dan
rujukan yang cepat untuk penilaian, ini membantu kami memahami dan mendukung kondisi
dan kebutuhan anak-anak dalam pengembangan dan pembelajaran.
Masalah perkembangan dan pembelajaran anak-anak dapat dikaitkan dengan
kombinasi beberapa faktor. Kondisi perkembangan anak itu sendiri dan faktor
lingkungan lainnya, seperti keluarga, sekolah atau masyarakat, dapat berperan. Oleh
karena itu, ketika anak-anak menunjukkan suatu masalah tertentu, misalnya masalah
emosional atau perilaku, selain menyadari keparahan, durasi dan frekuensi masalah
ini, guru juga harus mengumpulkan informasi dari sumber yang berbeda untuk
memahami setiap faktor yang mungkin terkait dengan perilaku anak-anak.
Terkadang, sebuah masalah dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya, jika
anak-anak lalai dan tidak dapat berkonsentrasi di kelas, alasan yang mungkin adalah:
 Mereka memiliki masalah dalam kontrol perhatian.

 Konflik keluarga baru-baru ini telah mengecewakan mereka dan


memengaruhi konsentrasi mereka di kelas.

 Lingkungan sekolah yang berisik dengan mudah mengalihkan perhatian


mereka.

 Kurikulum mungkin terlalu sulit bagi mereka sehingga mereka kehilangan


minat di kelas.

Karenanya, guru harus memperhatikan berbagai faktor ketika mengamati kinerja


anak-anak. Para siswa yang memiliki cacat fisik merupakan salah satu kategori
pembelajar yang paling beragam dalam pendidikan khusus karena beragam penyakit
dan gangguan yang termasuk dalam kategori ini. Siswa dengan cacat fisik dapat
berkisar dari mereka yang memiliki kondisi fisik yang parah yang mengakibatkan
ketidakmampuan total, berjalan, menunjuk, atau melakukan gerakan yang bertujuan
untuk para siswa dengan hanya beberapa kesulitan berjalan atau kelainan kerangka
yang tidak terlihat.
Identifikasi melalui Checklist observasi anak dengan Hambatan fisik dan motoric
dengan subjek M. Fauzan usia 11 tahun bersekolah di SLB 2 Martapura, tempat
ceklist di Sekolah. Checklist observasi berdasarkan pengamatan langsung dari bentuk
fisik maka dapat dikategorykan sebagai Tunadaksa saraf adalah mereka yang
mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak yang berakibat pada
gangguan organisme fisik, emosi, dan mental. Mangunsong (2011), tunadaksa
diklasifikasikan menjadi:
 Tunadaksa bagian D, merupakan seseorang yang mengalami ketidaknormalan
dalam fungsi tulang, otot atau kerja sama fungsi otot-otot, namun masih
berkemampuan normal.

 Tunadaksa bagian D1, merupakan seseorang yang mengalami gangguan sejak


lahir atau cerebral palsy, yang berakibat pada hambatan jasmani karena tidak
berfungsinya tulang, otot sendi, dan syaraf-syaraf. Kemampuan inteligensinya
di bawah normal atau terbelakang.
Subjek mengalami kerusakan pada otak yang bersifat nonprogresif yang terjadi
pada proses tumbuh kembang. Pada waktu bayi mengalami 37 hari panas dan kejang-
kejang dan didiagnosa pendarahan otak. Kekejangan atau kekauan pada sebagian atau
seluruh otot ketika akan digerakkan sesuai dengan kehendak, sulit bergerak dari
posisi satu ke posisi yang lain, gerakan yang dibuat tidak normal, otot kaku dan
kejang.

b. Hasil Pengisian Pedoman Wawancara Identifikasi Anak dengan Hambatan


Fisik dan Motorik
Berdasarkan hasil observasi, teknik yang digunakan untuk bagi anak bernama M.
Fauzam menggunakan teknik wawancara untuk mengetahui riwayat dan
pekembangan anak, observasi yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan
(emosi, sosial, kondisi fisik, dan komunikasi), dan dokumentasi hasil belajar siswa
sebelumnya atau layanan yang sudah diterima anak sebelumnya serta pengisian
angket untuk mengetahui identitas anak dan orang tua. Hal itu sudah sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan yaitu agar komprehensif, pengumpulan data harus
menggunakan beberapa pendekatan, termasuk wawancara dengan orang tua,
observasi alamiah secara terus menerus, dan yang lainnya.
Hasil tes khusus, misalnya inteligensi dan psikologis tim meminta kepada orang
tua sebagai salah satu persyaratan awal siswa masuk di sekolah tersebut, tetapi dalam
kriteria dijelaskan bahwa penggunaan tes standar harus sangat hati-hati, karena
disamping secara teknis lebih sulit, hasilnya sering kurang akurat dan kurang
prediktif. Karena itu, penggunaan asesmen yang sifatnya formal harus dibarengi
dengan hasil observasi, termasuk observasi dari orang tua. Meskipun pihak sekolah
tidak melakukan tes tersebut, tetapi dalam menggunakan informasi berdasarkan hasil
tersebut juga harus sangat hati-hati mengingat terkadang pada saat dilakukan tes
siswa sedang tidak dalam kondisi prima sehingga hasil tes yang telah dilakukan
kurang akurat.
Teknik atau metode yang digunakan tersebut juga harus memenuhi persyaratan
atau kriteria yang meliputi :
a. Autentik, perilaku nyata dalam setting nyata.
b. Konvergen, sumber informasi yang beragam.
c. Kolaborasi, dilakukan bersama terutama sekali dengan pengasuh.
d. Ekuiti, mampu mengakomodasi kebutuhan khusus anak.
e. Sensitivitas, dapat memasukkan materi yang cukup untuk perencanaan
keputusan maupun untuk mendeteksi perubahan.
f. Kongruen, ada kesamaan prosedur yang diterapkan, baik dalam perkembangan
maupun evaluasinya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, beberapa teknik yang
digunakan oleh tim untuk melakukan asesmen dapat dikatakan sudah dapat
memenuhi dari beberapa kriteria yang disebutkan. Pada teknik observasi, dilakukan
dalam perilaku nyata dalam setting nyata (autentik) karena dalam pelaksanaannya
anak dibiarkan untuk mengikuti kelas dan membaur dengan siswa lain. Sumber
informasi yang digunakan juga beragam (konvergen) dengan melakukan wawancara
oleh orang tua, melihat hasil tes intelligensi dan psikologis, dan melakukan studi
dokumentasi pada hasil belajar dan layanan yang telah diberikan sebelumnya. Tim
juga melakukan kolaborasi pada orang tua untuk memperoleh informasi identitas
anak dan oang tua, riwayat anak, dan perkembangan anak. Pada aspek kongruen juga
sudah sesuai karena teknik yang digunakan dalam proses perkembangan dan evaluasi
menggunakan teknik yang sama. Pada aspek ekuiti dan sensitivitas beberapa teknik
yang digunakan pada pelaksanaan asesmen bagi anak tunadaksa belum
mengakomodasikan kebutuhan khusus dalam hal ini kemampuan fisik anak dan
belum memasukkan materi yang cukup untuk perencanaan keputusan maupun untuk
mendeteksi perubahan karena teknik yang digunakan untuk melakukan asesmen bagi
anak tunadaksa masih kurang teknik khusus yang digunakan untuk mengungkap
kebutuhan ketunadaksaannya sangat penting informasinya dalam pemberian materi
pada anak sehingga selain dalam perkembangan kemampuan akademik bagi anak
tunadaksa juga sangat penting untuk perkembangan kemampuan fisiknya.
Berdasarkan hasil temuan dan kriteria yang dipaparkan di atas, teknik yang
digunakan sudah sesuai dengan kriteria karena sudah menggunakan teknik yang
beragam serta sudah berhati-hati dalam menganalis tes standar yang diberikan oleh
orang tua, tetapi dari teknik yang digunakan tersebut belum memenuhi persyaratan
ekuiti dan sensitivitas kerana belum mampu mengakomodasi kebutuhan anak
khususnya dan belum memasukkan materi yang cukup khususnya yang berkaitan
dengan ketunadaksaannya.
Subjek berdasarkan hasil wawancara mengalami hambatan fisik dan motoric
dikarenakan mengalami pendarahan bagian otak dan kejang-kejang ketika lahir.
Subjek memiliki sifat Hyperaktif, tidak ada permasalahan dalam hal interaksi social.
Subjek dapat dikategorikan usil atau jahil terhadap teman-temannya. Subjek
menyenangi olahraga khususnya basket. Subjek juga pernah berprestasi dalam
olahraga tenis meja. Dapat dilihat bahwa subjek tidak mengalami hambatan terhadap
keterbatasan yang dimilikinya. Hanya saja subjek kesusahan dalam hal belajar seperti
mudah bosan dan pengenalan kata – kata atau huruf ABCD.

c. Hasil Temuan Dokumentasi Identifikasi Anak dengan Hambatan Fisik dan


Motorik
Dari data dokumentasi yang berupa kondisi kemampuan dan ketidakmampuan
anak, riwayat pertumbuhan dan perkembangan, riwayat pendidikan dan riwayat
kesehatan dapat disimpulkan bahwa terjadi Precipitating Factor ( Faktor pemercepat
terjadinya kecacatan ). Faktor-faktor yang terjadi saat postnatal yaitu pendarahan otak
dan kejang-kejang setelah melahirkan. Dari bentuk fisik anak dapat dilihat bahwa
keterbatasan anak pada tangan kanannya.

3.B Analisis Hasil Identifikasi


Dari hasil observasi baik metode checklist ataupun wawancara maka dapat
dianalisa bahwa anak yang bernama M. Fauzan
Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif ada empat aspek yang turut
mewarnai yaitu: pertama, kematangan yang merupakan perkembangan susunan saraf
misalnya mendengar yang diakibatkan kematangan susunan saraf tersebut. Kedua,
pengalaman yaitu hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungan dan
dunianya. Ketiga, transmisi sosial yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya
dengan lingkungan sosial. Keempat, ekuilibrasi yaitu adanya kemampuan yang
mengatur dalam diri anak. Wujud konkrit dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan
(IQ). Kondisi ketunadaksaan sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan
perkembangan kognitif. Dapat dilihat dari wawancara guru M. Fauzan, bahwa anak
tersebut kesulitan dalam belajar.
M. Fauzan termasuk Tunadaksa bagian D1, merupakan seseorang yang
mengalami gangguan sejak lahir atau cerebral palsy, yang berakibat pada hambatan
jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi, dan syaraf-syaraf. Kemampuan
inteligensinya di bawah normal atau terbelakang.
Ada beberapa hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian
anak tunadaksa atau cacat fisik, di antaranya: pertama, terhambatnya aktivitas normal
sehingga menimbulkan perasaan frustrasi. Kedua, timbulnya kekhawatiran orang tua
biasanya cenderung over protective. Ketiga, perlakuan orang sekitar yang
membedakan terhadap penyandang tunadaksa menyebabkan mereka merasa bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang
dialaminya menimbulkan sifat harga diri rendah, kurang percaya diri, kurang
memiliki inisiatif atau mematikan kreativitasnya. Selain itu yang menjadi problem
penyesuaian penyandang tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu
membesar-besarkan ketidakmampuannya. Selain potensi yang harus berkembang,
aspek fisik juga merupakan potensi yang harus dikembangkan oleh setiap individu.
Akan tetapi bagi penyandang tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian
tubuh yang tidak sempurna. Secara umum perkembangan fisik tunadaksa dapat
dinyatakan hampir sama dengan orang normal pada umumnya kecuali pada bagian-
bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau terpengaruh oleh kerusakan tersebut.
Tetapi hal ini berbeda dengan anak bernama M. Fauzan, subjek lebih cenderung
Hyperaktif dan jahil terhadap teman-temannya. Kesukaannya dalam olahraga bukti
bahwa keterbatasan bukan halangan. Setiap manusia memiliki potensi untuk
berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui
proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori
motoriknya. Pada penyandang tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa atau
bicaranya tidak begitu normal, lain halnya dengan penyandang cerebral palsy.
Gangguan bicara pada penyandang cerebral palsy biasanya berupa kesulitan
artikulasi, fonasi, dan sistem respirasi.

Anda mungkin juga menyukai