Anda di halaman 1dari 13

Nama : Josua Sahat Margomgom Manurung

NIM : 18 01 1675
Tingkat/Jurusan : III-C/Teologia
Mata Kuliah : Dogmatika II
Dosen Pengampu : Pardomuan Munthe, M.Th Kelompok 4

Kontraversi ajaran keselamatan (=manusia-dosa-Allah-keselamatan)


d. Kontraversi Augustinus vs Pelagianisme dan Augustinus vs Semi-Pelagianisme
e. Dekrit Orange 529; dan Implementasinya ke dalam pembentukan doktrin Gereja abad
pertengahan
f. Ajaran keselamatan pada abad pertengahan (apa yg hrs dilakukan utk beroleh
keselamatan?)
I. Pendahuluan
Pada materi sebelumnya, kita sudah membahas bagaimana kontroversi atau
perbedaan-perbedaan pandangan mengenai ajaran keselamatan dari berbagai pihak-
pihak yang pada gilirannya berkelanjutan dengan kontroversi-kontroversi lain, seperti
pada pembahasan kali ini. Augustius sebagai tokoh gereja yang sudah lazim dikenal
juga memiliki pandangan tersendiri mengenai ajaran keselamatan yang pada masanya
berhadapan dengan pandangan-pandangan dari Pelagius ataupun pengikutnya, bahkan
juga dari pihak yang mengambil jalan tengah atau dikenal dengan istilah semi
pelagianisme. Berikut ini, saya akan memaparkan berbagai kontroversi ajaran
keselamatan yang difokuskan pada Augustinus-pelagianisme-semipelagianisme, Tuhan
Yesus memberkati.
II. Pembahasan
II.1 Ajaran Keselamatan Menurut Augustinus, Pelagianisme dan Semi-
Pelagianisme
II.1.1 Ajaran Keselamatan Menurut Augustinus
Pemahaman Luther bahwa keselamatan diperoleh bukan oleh perbuatan-
perbuatan melainkan karena dibenarkan oleh iman sebenarnya bukanlah hal baru.
Gagasan ini telah dikemukakan oleh Augustinus sebelum Luther. 1 Augustius
mempertahankan ajaran tentang iman melawan aliran Pelagianisme, yang

1
Micheal Horton, Justification and Ecumenism, (Jerman: Tabletalk, 2010), 17.
mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui perbuatan atau pahala. 2 Mulai
dengan Augustinus, dalam teologi dipersoalkan keselamatan pribadi manusia
individual. Tiap-tiap orang berada dalam situasi dosa yang baginya tak teratasi. Dan
dipandang dari sudut kebutuhan manusia akan keselamatan, rahmat diartikan sebagai
bantuan Allah untuk memperoleh keselamatan itu. 3 Ajaran Keselamatan menurut
Augustinus yakni setelah Adam jatuh ke dalam dosa dan telah menjadi kaum
kebinasaan yang berarti sudah menjadi budak dosa dan tidak dapat berbuat lagi. Oleh
karena itu, kutuk Allah ada padanya dan hidupnya menuju maut yang kekal. Akan
tetapi Tuhan Allah, oleh karena kasih karunia-Nya semata-mata telah memilih
sejumlah manusia tertentu untuk diselamatkan, Pemilihan Allah untuk sejumlah
manusia yang diselamatkan itu disebut dengan istilah Predestinasi. Jadi di dalam
Predestinasi ini, kasih Allah terhadap orang-orang yang dipilihnya sangat bersinar-
sinar. Di dalam ajaran Augustinus ini semua manusia dipandang sebagai telah berada
di dalam alam kebinasaan tetapi Allah menyatakan kasihnya kepada sejumlah
manusia di antara yang lainnya.4
II.1.2 Ajaran Keselamatan Menurut Pelagianisme
Pelagius adalah seorang rahib awam yang dilahirkan kira-kira pada pertengahan
abad ke-4 di Inggris. Ia adalah seorang cendekiawan, seorang yang berbudaya dan
memiliki karakter yang tidak bercacat. Ia belajar tentang teologia Yunani terutama
teologia mashab antiokhia. Pada tahun 400 Pelagius ditemukan berada di Roma. Di
Roma ia terkejut melihat kehidupan moral yang rusak dan ia bekerja keras untuk
memperbaiki keadaan tersebut. di Roma ia mulai menulis tafsiran singkat surat-surat
Paulus.Di Roma, ia berhasil mentobatkan seorang ahli hukum yang bernama
Coelestinus, yang kelak akan terus menemani Pelagius kemana-mana. Pelagius
seorang Kristen, seorang yang tidak hanya dikenal dalam gelarnya sebagai seorang
Kristen, tetapi dalam perbuatan-perbuatannya, yang di dalam segala sesuatu meniru
dan mengikuti Kristus.5
II.1.3 Ajaran Keselamatan Menurut Semi-Pelagianisme

2
Telhalia, Sosiologi Dialektika Teologi-Etis Menurut Surat Roma, (Banten: Animage, 2017), 162.
3
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 155.
4
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 288-289.
5
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 138-139.
Aliran ini mengajarkan bahwa, setelah manusia jatuh ke dalam dosa tabiatnya
memang tidak bercela, sebab kehendaknya telah menjadi lemah. Manusia bukan mati
seperti ajaran Augustinus juga bukan sehar seperti ajaran Pelagius, melainkan sakit.
Itulah sebabnya oleh kekuatan sendiri tidak dapat memperoleh keselamatan, ia dapat
kasih karunia Allah sehingga manusia dapat bekerja sama dengan Allah untuk
memperoleh keselamatan. Jadi keselamatan tergntung dari manusia sendiri, bukan
dari Allah. Predestinasi ajaran Augustinus juga ditolak.6
II.2 Kontraversi Augustinus Vs Pelagianisme Vs Semi Pelagianisme
II.2.1 Augustinus Vs Pelagianisme
Dalam perlawanannya dengan ajaran Pelagius, Augustinus melahirkan
pandangan theologianya tentang kehendak bebas, dosa turunan dan rahmat.7
II.2.1.1 Kehendak Bebas
Menurut Augustinus, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan
sempurna. Adam diberi kehendak yang bebas, sehingga ia dapat memilih
sendiri jalan yang mana yang akan diturutinya: taat dan patuh kepada
perintah Tuhan atau menuruti kesukaan hati dan kehendaknya sendiri.
Tuhan mengajak dia berbuat yang baik saja, serta mengaruniakan
kepadaNya pertolongan rahmatNya. Itulah sebabnya Adam dapat tidak
berdosa. Akan tetapi, Adam tidak mempergunakan kemungkinan ini. Ia
jatuh ke dalam dosa, oleh salahnya sendiri. Akibatnya sangat mengerikan.
Sekarang ia dikuasai oleh dosa, persekutuannya dengan Tuhan terputus,
pertolongan rahmat telah hilang, ia menjadi hamba keinginan badannya
dan harus mati. Tak dapat ia berbuat baik lagi, malahan mulai saat itu ia ia
tidak dapat tidak berdosa, atau harus berdosa saja.8
Pelagius sangat berkeberatan terhadap ucapan Augustinus dalam
“Confessiones”. “Berilah apa yang kau suruhkan, dan suruhkanlah apa
yang kau kehendaki”. Theologianya adalah seperti berikut: Dosa Adam
tidak menghilangkan kehendak bebas manusia. Tiap-tiap manusia lahir
dengan tidak bercacat, sama seperti Adam di Firdaus. Jadi dosa turunan

6
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 289.
7
F. D. Willem Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 32.
8
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 67.
tidak diakuinya.9 Pelagius percaya bahwa manusia tidaklah mewarisi
perbuatan dosa Adam dan memiliki kehendak bebas sehingga sanggup
berbuat baik di hadapan Allah. Keselamatan adalah hasil kerjasama kita
dengan anugerah Allah.10 Keselamatan yang kekal itu diperoleh manusia
selaku pahala karena amal dan kebajikannya yang dilakukan manusia
menurut kehendaknya yang bebas itu.11
II.2.1.2 Dosa Warisan
Augustinus berpendapat bahwa dosa sebagai suatu kuasa yang
mengurung, membelenggu dan meperbudak manusia. Kuasa dosalah yang
disebut “dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam
lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara
konkret diperbuat oleh manusia, hanya saja mengukuhkan perbudakannya
terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas
dan atas tanggung jawab sendiri. dari dirinya sendiri manusia tidak dapat
keluar dari lingkaran ini. Secara harafiah manusia berada dalam kuasa
setan.12 Di dalam Adam segala keturunannya berdosa juga (Roma 5:12).
Tubuh dan jiwa tiap-tiap manusia telah diracuni oleh dosa keturunan, yang
turun temurun dari orang-orang tua kepada anak-anaknya. Segenap umat
manusia tak lain dari suatu “kaum kebinasaan” yang tak sanggup berbuat
baik.13
Dosa bagi Augustinus merupakan suatu daya kekuatan yang
merongrong dan merusak seluruh jiwa manusia begitu rupa sehingga
kodrat manusia tidak mampu melakukan perintah Allah. Dosa Adam, dosa
asal, telah menyebabkan kelemahan fundamental dalam kodrat manusia
sehigga kita dari diri kita sendiri tidak mampu menghindari perbuatan-
perbuatan jahat yang meneguhkan dosa asal.14

9
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
10
Jonar S, Sejarah Gereja Umum, (Yogyakarta: Andi, 2014), 206.
11
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
12
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 156.
13
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 68.
14
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 159
Menurut Pelagius, dosa hanya bersifat tindakan saja, yakni tindakan
jahat. Jadi, Pelagius tidak memandang dosa sebagai suatu keadaan atau
situasi ataupun sebagai suatu kuasa yang menguasai manusia sedalam-
dalamnya. Dosa adalah perbuatan jahat yang dilakukan secara bebas. 15
Menurut Plagius, pada saat kelahirannya, manusia lepas dari dosa sama
seperti Adam sebelum kejatuhannya. Karena ia masih mempunyai
kehendak yang bebas, maka ia dapat memilih antara yang baik dan yang
jahat, sehingga ia masih mampu berbuat baik.16
Dosa turunan tidak diakuinya. Duduknya dosa bukan di dalam tabiat
manusia, melainkan dalam kehendaknya. Tiap kali kalau kehendak
manusia berbuat jahat, ketika itulah manusia berdosa. Dosa tidak
diwariskan turun temurun, tetapi teladan Adam yang jahat itu ditiru oleh
anak-anaknya. Jadii, secara teori, mungkin juga seorang manusia sama
sekali tidak berdosa seumur hidupnya. Kematian bukan akibat dosa atau
hukuman dari Tuhan, tetapi termasuk hukum alam. 17 Pelagius berkata:
dengan kekuatannya sendiri, manusia dapat bukan hanya berbuat dosa
apapun juga, melainkan juga menghindari setiap dosa dan melaksanakan
setiap kebajikan secara sempurna. Dalam ajarann Pelagius ini, tersiratlah
pandangan tentang penyelematan berupa pembebasan manusia dari dosa
asal.18
II.2.1.3 Rahmat
Bagi Augustinus, rahmat merupakan suatu daya kekuatan Allah di
dalam diri manusia yang mempengaruhi manusia itu sampai ke dalam
lubuk hatinya yang terdalam. Kekuatan itu terletak dalam kesatuan kita
dengan Kristus. Pengaruh intrinsik Allah ke dalam hati manusia tidak
hanya mengakibatkan pengampunan, tetapi juga penyembuhan dan
penguatan diri kita oleh Allah. Yang dapat menyelamatkan manusia dari
dosa itu hanyalah Allah. Allah memang membebaskan manusia dari

15
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 158.
16
Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 102.
17
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
18
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 158.
lingkaran setan itu. tindakan yang oleh Allah itulah yang disebut oleh
Augustinus sebagai “rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan
Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata
karena anugerah bebas yang diberikan Allah dengan Cuma-Cuma. Dari
dalam kebebasan cinta kasih-Nya Allah masuk ke dalam hati manusia dan
mengubahnya secara radikal. Dalam kitab suci dan pada banyak
pengarang yang pra-Augustinus kata “rahmat” biasanya menunjuk kepada
suatu anugerah istimewa, suatu kemampuan luar biasa, atau sebuah
“charisma” yang diberikan Tuhan.19
Menurut pandangan Pelagius, rahmat Tuhan hanya terdiri dari
kehendak yang bebas itu, pengajaran Perjanjian Lama dan pengajaran dan
teladan Tuhan Yesus. Jadi rahmat tidak dianggapnya sebagai suatu kuasa
rohani dari sorga yang bekerja dalam hati manusia. 20 Rahmat itu berupa
bantuan yang diberikan Allah di mana perlu. Bantuan itu terdiri dari:
Kodrat manusia yang memampukan kita untuk berbuat baik
Hukum Musa yang mendidik kita dengan memberi petunjuk untuk hidup
sesuai dengan panggilan kodrat, teladan dan ajaran Yesus Kristus sendiri.
Pengampunan dosa karena pahala Kristus.21
II.2.2 Penolakan Terhadap Ajaran Pelagius-Lahirnya Ajara Semi-
Pelagianisme
Pada waktu Alarik bersama suku bangsa Goth Timur mengepunhg kota
Roma 410), Pelagius bersama Coelestinus meninggalkan Roma dan pergi ke
Kartago. Di sana Pelagius menyebarkan ajaran-ajarannya serta mendapat banyak
pengikut. Bahkan Coelestinus ditahbiskan menjadi presbitter di Kartago. Ajaran-
ajaran Pelagius/Coelestinus menimbulkan keributan di Kartago. Augustinus,
Uskup Hippo-Regius, melawan keras ajaran-ajaran Pelagius. Untuk
mengatasinya, di Kartago diadakan sebuah komsili local untuk mengatasi.22

19
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 15156-159.
20
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
21
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 158.
22
F. D. Willem Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh, 211.
Sebelumnya, ajaran Pelagius serta teolognya Coelestinus sudah ditolak oleh
pimpinan Gereja di Afrika tahun 411, dan Paus Innocentius I mengesahkan
keputusan itu. akan tetapi, ketika kemudian Paus Zosimus (417-418) pada tahun
417 membela pasangan Pelagius-Coelestinus maka para Uskup Afrika yang
malah ditegur oleh Paus ini merumuskan keyakinan mereka sekai lagi pada tahun
418. Ajaran Pelagius ini ditolak pertama kali oleh Gereja di Kartago pada tahun
418 dan akhirnya oleh konsili di Efesus pada tahun 431, sebab Nestorius telah
menyokong pengikut-pengikut Pelagius.23
Dalam Konsili Kartago, 7 pokok ajaran Pelagius /Coelestinus dinyatakan
sesat. Pokok-pokok itu adalah sebagai berikut:24
Adam diciptakan untuk mati dan akan mati sekalipun ia berdosa.
Kematian bukanlah akibat dosa.
Kejatuhan Adam ke dalam dosa hanya dia sendiri dan tidak
mempunyai akibat bagi keturunannya.
Anak-anak yang dilahirkan tidak berdosa.
Anak-anak yang tidak dibaptiskan dan meninggal pada masa bayi
tetap memperoleh keselamatan.
Manusia mati bukan karena kejatuhan Adam ke dalam dosa dan
manusia bangkit dari antara orang mati bukan didasarkan kepada
kebangkitan Kristus.
Hukum taurat dapat memimpin orang ke dalam Kerajaan Sorga sama
seperti injil.
Sebelum Kristus ada orang yang berdosa.
Sesudah konsili Kartago selesai, Paus Zosimus mengekskomunikasi
Pelagius dan Coelestinus dan secara jelas menolak pandangan mereka.25
Sungguhpun demikian, banyak juga orang dalam Gereja yang berkeberatan
terhadap theologia Augustinus. Jikalau keselamatan hanya beralaskan pemilihan
dan rahmat, di manakah penawaran keselamatan itu kepada segenap umat
manusia dan di manakah tanggung jawab manusia? Satu abad lamanya (429-529)

23
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
24
F. D. Willem Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh, 211-212.
25
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 163-164.
perselisihan ini memanaskan hati ahli-ahli theologia di barat. Di Gallia timbul
suatu ajaran dari orang Semi (setengah) Pelagian, yang mencari suatu jalan
kompromi supaya moralisme Kristen dapat dipertahankan.26 Karena itu mereka
mencari jalan tengah antara Augustinus dan Pelagius. Untuk sebagainnya,
pendapat teolog tadi dapat dibenarkan, tetapi dalam keseluruhannya dan secara
prinsip, pandangan mereka itu toh harus dikatakan sebagai Pelagianisme
moderat (semipelagianisme).27
II.2.3 Augustinus Vs Semi-Pelagianisme
Dengan Keputusan tahun 418, maka kontroversi ajaran mengenai dosa dan
anugerah tidaklah selesai. Yang membuat kesulitan-kesulitan baru adalah
kenyataan bahwa Kartago tidaklah secara terang menjadikan ide-ide Augustinus,
yang daripadanya banyak hal dapat dipelajari, sebagai sesuatu yang mengikat.
Tidak semua orang yang setuju dengan pengutukan Pelagius dan Coelestius
bersedia mengikuti ajaran Augustinus dalam segala hal. Akibatnya dengan cepat
timbullah suatu kelompok yang menolak Pelagius, tetapi juga tidak puas
terhadap Augustinus. dalam zaman modern mereka dicap sebagai “semi
Pelagius” sebab mereka dinyatakan sebagai “setengah Pelagius”.
Di Kartago, perlawanan terhadap ajaran Augustinus mengenai anugerah
sudah dimulai dalam tahun 420. Sampai tahun 426, perlawaanan itu belum
terlalu kelihatan. Perlawanan itu baru nyata pada waktu biarawan-biarawan dari
biara Adrumentum, yang berlokasi di pantai timur Tunisia, memberontak
terhadap ajaran-ajaran Augustinus. pada waktu biarawan-biarawan dari Gaul
Selatan ikut serta dalam kontroversi itu, maka suasana menjadi panas. Dalam
kelompok terakhir ini, nama-nama seperti Yohanes Cassian (meninggal antara
430-435) dan Vincent dari Lerins (meninggal sebelum 450) patut untuk
dikemukakan. Berlawanan dengan pandangan Augustinus, Cassian mengajarkan
bahwa kehendak bebas yang terdapat pada manusia tidaklah sama sekali
dihapuskan.28
II.2.3.1 Dosa Warisan

26
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
27
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, 162-163.
28
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 156-157.
Berlawanan dengan pandangan Augustinus, Cassian mengajarkan
bahwa kehendak bebas yang terdapat pada manusia tidaklah sama sekali
dihapuskan. Ia berpendapat bahwa dosa Adam memang diwariskan
kepada generasi berikutnya dalam pengertian seperti seorang mewariskan
kesakitan.29 Oleh jatuhnya Adam, kehendak manusia hanya dilemahkan
saja, sehingga manusia dapat berbuat baik lagi. Ia tidak mati (Augustinus)
dan tidak pula sehat (Pelagius), melainkan sakit. Oleh karena itu, kekuatan
manusia sendiri tidak cukup untuk mencapai keselamtan itu. ia
memerlukan bantuan rahmat Tuhan.30
II.2.3.2 Kehendak Bebas
Oleh karena manusia tetap mempunyai kehendak bebas, walaupun
memang dilemahkan (oleh dosa), maka bisa jadi bahwa manusia dapat
mengambil prakarsa untuk datang kepada Allah. Menurut Cassian,
kehendak bebas dapat mengambil inisiatif pertama untuk datang kepada
Allah. Dengan alasan yang sama, manusia juga dapat menolak anugerah
Allah. Kehendak manusia bebas untuk menghargai atau menolak anugerah
Allah. Dengan kata lain, kehendak bebas dan anugerah haruslah bekerja
sama.31 Kehendak manusia yang bebas harus menerima pertolongan ini,
supaya dengan demikian manusia dan Allah boleh bekerja bersama-sama
sampai keselamatan itu diperoleh (ajaran sinergisme).32
II.2.3.3 Rahmat/Anugerah
Anugerah dan kehendak bebas haruslah bekerja sama. Bertentangan
dengan pandangan yang kaku dari Augustinus mengenai predestinasi, para
biarawan dari Gaul Selatan itu khususnya memegangi ajaran tentang
kehendak Allah yang mau menyelamatkan secara universal. 33 Predestinasi
yang mutlak ditolak sama sekali oleh mereka itu. Mereka berpandangan

29
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 157-158.
30
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
31
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 158.
32
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
33
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 158.
bahwa soal keselamatan dan kebinasaan itu bergantung kepada sikap
manusia sendiri saja. 34
II.3 Dekrit Orange 529 dan Implementasinya Ke Dalam Pembentukan Doktrin
Gereja Abad Pertengahan
II.3.1 Dekrit Orange 52935
Adapun hasil dari dekrit orange adalah:
a. Konsili ini menghasilkan 25 kanon atau pernyataan doctrinal diikuti
kesimpulan.
b. Penolakan terhadap Semi-pelagianisme.
c. 13 dari 20 kanon menyangkal manusia bisa mengambil inisiatif untuk
berbalik kepada Allah.
d. Kasih karunia Allah “mendahului” (artinya harus datang sebelum ada
tindakan menuju Allah dari kita)
e. Kehendak bebas disembuhkan kasih karunia Baptisan.
II.3.2 Implementasi dari Dekrit Orange 529 Dalam Pembentukan Doktrin
Gereja Abad Pertengahan
Rahmatlah yang mulai mengerjakan keselamatan manusia dan dosa
turunan diakui pula, tetapi dosa keturunan diakui pula, tetapi manusia
mempunyai kehendak yang bebas juga, meskipun lemah adanya. Singkatnya,
ajaran gerak Khatolik tentang rahmat bersandar pada dekrit orange. Ajaran
Augustinus tentang predestinasi dan jalan keselamatan barulah dihidupkan pula
dan disempurnakan oleh Luther dan Calvin pada abad ke XVI. 36 Kanon-kanon
membenarkan kebutuhan kita akan kasih karunia, tetapi kasih karunia terikat
pada sakramen-sakramen. Kehendak bebas disembuhkan oleh kasih karunia
baptisan. Dengan kasih karunia baptisan serta pertolongan dan kerjasama
Yesus Kristus kita mempunyai kuasa untuk melakukan apa saja untuk
mencapai keselamatan.37 Bagi gereja-gereja Khatolik, keputusan-keputusan
yang dibuat selama kontroversi Pelagius dan semi-pelagius mempunyai makna

34
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 69.
35
Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 81.
36
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 70.
37
Tony Lane, Runtut Pijar, 81.
yang besar. Selama periode skolastik, perhatian yang lebih besar diberikan
kepada teologi Augustinus. pada pihak lain, semi-pelagianisme dan bahkan
Pelaganisme telah mendapat hampir secara menyeluruh, yaitu bahwa manusia
dapat mencapai keselamtan dengan upaya-upaya mereka sendiri, tanpa
anugerah ilahi.38
II.4 Ajaran Keselamatan Pada Abad Pertengahan
Pada Abad Pertengahan (590-1500) pemahaman bahwa gereja adalah lembaga
keselamatan semakin diperkokoh. Gereja dilihat sebagai lembaga di mana para pejabat
atau kaum klerus membagikan keselamtan kepada kawanan kaum awam, bahkan kata
gereja hampir sinonim dengan hierarki, korps pejabat-pejabat gerejawi. 39 Dalam
memperoleh keselamatan, Gereja pada abad pertengahan mengajarkan bahwa untuk
memperoleh keselamatan maka manusia harus melalui sakramen. Sakramen-sakramen
menyalurkan anugerah Allah kepada orang-orang Kristen selama hidupnya.ketujuhnya
menurut urutan penerimaannya adalah:
a. Baptisan. Itu dianggap menghapuskan dosa turunan, dan diperlukan secara
mutlak untuk keselamatan.40 Sebelum manusia dibaptiskan, dosa turunannya
masih melekat kepadanya, sehingga ia berada dalam lingkungan di luar
rahmat dan keselamatan, dan pasti akan binasa. Berkenaan dengan anggapan
itu, Gereja Roma mengijinkan baptisan darurat, jikalau seseorang mau
meninggal dunia dan imam tak dapat dipanggil lagi. Dalam hal yang demikian
umpamanya, seorang bayi yang baru lahir tetapi barang kali akan mati
sebentar lagi, maka seorang awam boleh melakukan baptisan darurat itu.41
b. Konfirmasi (Peneguhan). Diberikan oleh Uskup kepada anak-anak yang sudah
mencapai umur kurang lebih 7 tahun. Ia menumpangkan tangannya ke atas
anak itu sambil memohon turunnya Roh Kudus ke atasnya, supaya ia dapat
menjadi seorang ksatria Kristen yang melawan iblis dan dosa dengan gagah
berani.
c. Pengakuan dosa.

38
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 167.
39
Chr. De Jonge & Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 23.
40
Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 133.
41
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 112.
d. Misa (Ekaristi). Roti dan anggur yang dibagibagikan itu dianggap adalah
benar-benar tubuh dan darah Kristus
e. Perminyakan, yang terjadi dengan minyak suci atas orang-orang sakit yang
akan meninggal.
f. Nikah, yang dipandang sebagai sakramen juga, supaya hal yang jasmani itu
diangkat ke tingkat rohani.
g. Penahbisan iman.42
III. Kesimpulan
1. Augustinus menyatakan bahwa manusia menganut dosa warisan dari Adam, dan
menjadi kaum kebinasaan, tidak dapat berbuat baik lagi, mati rohani. Manusia
beroleh keselamatan semata-mata oleh Kasih karunia Allah (predestinasi).
Manusia tidak lagi memiliki kehendak bebas yang dapat menyelamatkan diri
sendiri, melainkan kehendak yang hanya akan mengukuhkan keberdosaannya.
2. Pelagius (pelagianisme) tidak mengakui adanya dosa warisan, manusia bersih saat
dilahirkan, sehingga dimungkinkan untuk tidak berdosa selama hidup, manusia
sehat/segar bugar. Manusia memiliki kehendak bebas, terutama untuk berbuat
baik agar beroleh keselamatan. Manusia berhak menerima atau bahkan menolak
anugerah/rahmat/kasih karunia.
3. Semi pelagianisme mengambil jalan tengah, menolak Pelagianisme, tidak puas
dengan Augustinus. Manusia tidak mati dan tidak sehat/segar bugar, melainkan
sakit. Dosa keturunan diwariskan dan melemahkan kehendak bebas manusia
walaupun itu tetap ada.
4. Pelagianisme ditolak dan dinyatakan sesat dalam konsili local kartago 481 dan
Semi pelagianisme ditolak dan dinyatakan sesat dalam sinode oranye di Galilea
529. Ajaran Predestinasi kemudian dikembangkan oleh Luther dan Calvin pada
abad ke XVI
IV. Daftar Pustaka
Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
Berkhof, H. & I. H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

42
Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, 133.
de Jonge Chr. & Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.
den End, Th. Van. Harta Dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Horton, Micheal. Justification and Ecumenism. Jerman: Tabletalk, 2010.
Lane, Tony. Runtut Pijar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Lohse, Bernhard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008.
S, Jonar. Sejarah Gereja Umum. Yogyakarta: Andi, 2014.
Syukur, Nico. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Telhalia. Sosiologi Dialektika Teologi-Etis Menurut Surat Roma. Banten: Animage,
2017.
Willem, F. D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989.

Anda mungkin juga menyukai