Anda di halaman 1dari 19

Modul Organ Forensik

Kasus Persetubuhan Terhadap Anak

Kelompok VI

030.08.096 Faishal Latifi


030.08.097 Fani safitri
030.08.102 Ferdy
030.08.107 Gabriel Klemens Wienanda
030.08.108 Putri
030.08.109 Gerard M.A Da Cunha
030.08.113 Hana Amalia
030.08.114 Hani Amilia
030.08.115 Hasnan Habib
030.08.119 Henny Wijaya
030.08.120 Herliana Widyantari
030.08.121 Heru Alfares
030.08.126 Ines Damayanti Octaviani
030.08.291 Nor Azlyza
030.08. 292 Nor Fatehah

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Jakarta, 23 Oktober 2010

BAB I

PENDAHULUAN

0
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana, hendaknya dilakukan

dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua bukti yang ditemukan karena

berbeda dengan pemeriksaan di klinik, ia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan

pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Tetapi dalam melaksanakan

kewajiban itu, dokter jangan sampai meletakkan kepentingan korban di bawah kepentingan

pemeriksaan. Terutama bila korban masih anak-anak, hendaknya pemeriksaan itu tidak

sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.

Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk membebaskan terdakwa

dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan

korban persetubuhan yang diduga sebagai tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh

dokter ahli Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter

ahli demikian maka dokter umumlah yang harus melakukan pemeriksaan itu.

Sebaiknya korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah mengalami cedera

fisik dan/atau mental sehingga sebaiknya pemeriksaan ditangani oleh dokter di klinik.

Penundaan pemeriksaan dapat memberikan hasil yang kurang memuaskan.

BAB II

KASUS

1
Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang baru berusia 11 tahun

datang ke poliklinik anak di sebuah rumah sakit. Setelah berada di dalam ruang periksa

dokter, si ibu menjelaskan bahwa anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak dua hari

yang lalu. Dalam wawancara berikutnya dokter tidak memperoleh keterangan lain, maka

dokter pun memulai melakukan pemeriksaan fisik si anak.

Pada pemeriksaan fisik dokter menemukan robekan lama selaput dara disertai dengan erosi

dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar

kemungkinan telah terjadi “persetubuhan” beberapa hari sebelumnya. Dokter pun lebih

intensif mengorek keterangan dari si anak dan si ibu. Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si

anak telah disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah lama dikenalnya sebagai pacar si ibu.

Si ibu telah bercerai 3 tahun dengan suaminya (ayah si anak) dan saat ini sedang menjalin

hubungan dengan laki-laki lain sebagai pacarnya. Si ibu meminta kepada dokter agar jangan

membawa kasus ini ke polisi karena ia akan malu dibuatnya. Ia berjanji untuk memutuskan

hubungan dengan si laki-laki tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dokter menilai

bahwa pasien perlu dikonsultasikan kepada ahlinya.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2
Undang - Undang

Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasaran yaitu membantu
pengadilan dengan sebaik-baiknya, maka dokter harus mengenal undang-undang yang
bersangkutan dengan tindak pidana itu sehingga mengetahui unsur-unsur yang harus
dibuktikan secara medik atau yang memerlukan pendapat medik.

KUHP pasal 284


ayat 1
Dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan untuk :
1. Seorang pria yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW (Burgerly Wetboek) berlaku baginya.
2. Seorang wanita yang telah kawin, yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
pasal 27 BW berlaku baginya.

3. Seorang pria yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.

4. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku
baginya.

KUHP pasal 285


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi
paksaan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan
apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, dan apakah terdapat tanda-tanda kekerasan.
Tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.

3
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat paksaan,
mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan paksaan.
Demikian pula jika dokter tidak menemukan tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan
bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tidak dapat menentukan unsur
paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan sehingga dokter juga tidak mungkin
menentukan apakah perkosaan telah terjadi. Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut
adalah hakim karena perkosaan adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter
jangan menggunakan istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.

Dalam bagian kesimpulan Visum et Repertum hanya dituliskan


1. Ada tidaknya tanda persetubuhan
2. Ada tidaknya tanda kekerasan serta jenis kekerasan yang menyebabkannya.

KUHP pasal 286


Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahui bahwa
wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa perempuan berada dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya ketikan terjadi persetubuhan. Dokter harus mencatat dalam anamnesa
apakah korban sadar ketika terjadi persetubuhan, adakah penyakit yang diderita korban yang
sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tak berdaya misalnya epilepsi,
katalepsi, syncope, dan lainnya. Jika korban mengatakan ia pingsan maka perlu diketahui
bagaimana terjadinya keadaan pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi makanan atau
minuman.

Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas hilang
kesadaran atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh alkohol, hipnotik atau narkotik.
Apabila ada petunjuk bahwa alkohol, hipnotik atau narkotik telah dipergunakan maka dokter
perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologik.

Jika terbukti bahwa si terdakwa telah sengaja membuat wanita itu pingsan atau tak berdaya,
ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan karena dengan membuat wanita itu
pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.
4
KUHP pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

KUHP pasal 287


ayat 1
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.

ayat 2
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umur wanita itu belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang
belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahuntetapi sudah di atas 12 tahun,
penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan
itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan maka tidak ada
penuntutan.

Tetapi keadaan berbeda jika :


1. Umur korban belum cukup 12 tahun, atau
2. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat
perbuatan itu (KUHP pasal 291), atau

3. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya, anak tirinya, muridnya, anak
yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (pasal 294).

Dalam keadaan diatas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada pengaduan karena
bukan lagi merupakan delik aduan.

5
Pada pemerikasaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur
korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk
badan korban sesuai dengan umur yang dikatakannya.

Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan.


Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada
umur kira-kira 12 tahun), sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau
lebih. Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah mendapat haid bila umur korban
tidak diketahui.

Jika korban menyatakan belum pernah haid, maka penentuan ada/tidaknya ovulasi masih
diperlukan. Muller menganjurkan agar dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit
untuk menentukan adakah selama itu ia mendapat haid. Kini untuk menentukan apakah
seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan pemeriksaan
'vaginal smear'.

Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat : padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun dan kalau
umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah
haid dianggap sebagai belum patut dikawin.

KUHP pasal 294


Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak piaraannya,
anak yang dibawah pengawasannya, orang dibawah umur yang diserahkan kepadanya untuk
dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang dibawah umur,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.

 Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari


penyidik yang berwenang.
 Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Kalau
korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, tidak akan diperiksa
oleh dokter dan korban akan disuruh kembali kepada polisi.

6
 Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter.

Bila dokter telah memeriksa seorang korban yang datang di rumah sakit atau di tempat
praktek atas inisiatif sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan beberapa waktu kemudian
polisi mengajukan permintaan dibuatkan Visum et Repertum maka dokter harus menolak
karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada permintaan
untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya
(KUHP pasal 322). Dalam keadaan seperti itu dokter dapat meminta kepada polisi supaya
korban dibawa kembali kepadanya dan Visum et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang
ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak diberikan
dalam bentuk Visum et Repertum tetapi dalam bentuk surat keterangan. Hasil pemeriksaan
sebelum diterimanya surat permintaan pemeriksaan dilakukan terhadap pasien dan bukan
sebagai corpus dilicti (benda bukti).
 Ijin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta pada korban sendiri atau jika korban
adalah seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu tindakan-
tindakan apa yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan
disampaikan ke pengadilan. Hal ini perlu diketahui walaupun pemeriksaan dilakukan
atas permintaan polisi, belum tentu korban akan menyetujui pemeriksaan itu dan
menolaknya. Selain itu bagian yang akan diperiksa merupakan the most private part
dari tubuh seorang wanita.
 Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu memeriksa
korban.

 Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dan jangan ditunda terlampau lama.

Hindarkan korban dari menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar periksa.
Apalagi bila korban adalah seorang anak. Semua yang ditemukan harus dicatat, jangan
tergantung pada ingatan semata.
 Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin. Dengan adanya Visum et Repertum
perkara dapat cepat diselesaikan. Seorang terdakwa dapat cepat dibebaskan dari
tahanan bila ternyata ia tidak bersalah.
 Kadang - kadang dokter yang sedang berpraktek pribadi diminta oleh seorang
ibu/ayah untuk memeriksa anak perempuannya karena ia merasa sangsi apakah

7
anaknya masih perawan atau karena ia merasa curiga kalau-kalau telah terjadi
persetubuhan pada anaknya.

Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dahulu maksud pemeriksaan, apakah sekedar ingin
mengetahui saja atau ada maksud untuk melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan
melakukan penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Katakan bahwa
pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan biasanya dilakukan di rumah
sakit. Mungkin ada baiknya dokter memberikan penerangan pada ibu/ayah itu bahwa jika
umur anaknya sudah 15 tahun dan jika persetubuhan terjadi tidak dengan paksaan maka
menurut undang-undang, laki-laki yang bersangkutan tidak dapat dituntut. Pengaduan
mungkin hanya akan merugikan anaknya saja. Lebih baik lagi jika orang tua itu dianjurkan
untuk minta nasehat dari seorang pengacara.

Jika orang tua hanya sekedar ingin mengetahui saja maka dokter dapat melakukan
pemeriksaan. Tetapi jelaskan lebih dahulu bahwa hasil pemeriksaan tidak akan dibuat dalam
bentuk surat keterangan karena kita tidak mengetahui untuk apa surat keterangan itu.
Mungkin untuk melakukan penuntutan atau untuk menuduh seseorang yang tidak bersalah.
Dalam keadaan demikian umunya anak tidak mau diperiksa, sebaliknya orang tua malah
mendesaknya. Sebaiknya dokter meminta izin tertulis untuk memeriksa dan memberitahukan
hasil pemeriksaan kepada orang tuanya.

8
BAB IV
PEMBAHASAN

Selain aspek hukum pada tinjauan pustaka di atas, dengan berlakunya UU Perlindungan Anak
(UU No. 23 Tahun 2002) maka persetubuhan terhadap anak yakni seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun (vide Pasal 1 angka 1) mendapat pengaturan lebih khusus
yakni dalam Pasal 81 dinyatakan :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan Visum et Repertum delik kesusilaan
adalah :
 Instansi polisi yang meminta pemeriksaan
 Nama dan pangkat polisi yang mengantar korban

 Nama, umur, dan alamat korban seperti yang tertulis dalam surat permintaan

 Nama dokter yang memeriksa

 Tempat, tanggal, dan jam pemeriksan dilakukan

 Nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan

Anamnesis merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh dokter sehingga
bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif. Jadi, seharusnya anamnesis tidak dimasukkan
dalam Visum et Repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada Visum et
Repertum dengan judul "keterangan yang diperoleh dari korban". Dalam mengambil
9
anamnesis, dokter meminta pada korban untuk menceritakan segala sesuatu tentang kejadian
yang dialaminya dan sebaiknya terarah. Anamnesis terdiri dari bagian yang bersifat umum
dan khusus. Anamnesa diberikan bila diminta oleh penyidik dan tidak secara otomatis
dilampirkan dalam Visum et Repertum.

Anamnesis umum meliputi pengumpulan data tentang umur, tanggal, dan tempat lahir, status
perkawinan, siklus haid untuk anak yang tidak diketahui umurnya, penyakit kelamin,
penyakit kandungan dan penyakit lainnya seperti epilepsi, katalepsi, syncope. Keterangan
pernah atau belum pernah bersetubuh, saat persetubuhan terakhir, adanya penggunaan
kondom.

Hal khusus yang perlu diketahui adalah tanggal dan jam kejadian. Bila antara kejadian dan
pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari/minggu, dapat diperkirakan bahwa
peristiwa itu bukan perkosaan tetapi persetubuhan yang pada dasarnya tidak disetujui oleh
wanita yang bersangkutan karena berbagai alasan, misalnya merasa tertipu, cemas terjadi
kehamilan atau karena ketakutan diketahui orangtuanya bahwa dia sudah pernah bersetubuh
maka mengaku disetubuhi secara paksa. Jika korban benar telah diperkosa biasanya akan
segera melapor. Pada pelaporan yang terlambat, ada kemungkinan pula karena korban
diancam untuk tidak melapor ke polisi.

Hal selanjutnya yang ditanyakan adalah tempat kejadian. Adanya rumput, tanah dan lainnya
yang melekat pada pakaian dan tubuh korban dapat dijadikan petunjuk dalam pencarian trace
evidence yang berasal dari tempat kejadian. Perlu diketahui pula apakah korban melawan.
Jika korban melawan maka pada pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban
akan ditemukan tanda-tanda bekas kekerasan dan pada alat kelamin mungkin terdapat bekas
perlawanan. Kerokan kuku mungkin menunjukkan adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang
berasal dari pemerkosa/penyerang. Temukan adanya kemungkinan korban menjadi pingsan
karena ketakutan atau dibuat pingsan dengan pemberian obat tidur/bius. Dalam hal ini
diperlukan sampel pengambilan urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologik.Perlu
ditanyakan pula apakah setelah kejadian korban mencuci, mandi, dan mengganti pakaian.

Pemeriksaan pakaian perlu dilakukan dengan teliti helai demi helai, apakah terdapat robekan
lama atau baru sepanjang jahitan atau melintang pada pakaian, kancing yang terputus akibat

10
tarikan, bercak darah, air mani, lumpur, dan lainnya yang berasal dari tempat kejadian.
Apakah pakaian dalam keadaan rapi atau tidak. Bila tidak ada fasilitas pemeriksaan , maka
benda-benda yang melekat dan pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan dikirim ke
laboratorium forensik di kepolisian atau bagian ilmu kedokteran forensik dalam keadaan
dibungkus, tersegel dan disertai berita acara pembungkusan dan penyegelan.

Pemeriksaan tubuh korban meliputi pemeriksaan umum seperti penampilan rambut yang rapi
atau kusut, wajah dalam keadaan emosional, tenang atau sedih/gelisah. Adanya tanda-tanda
bekas kehilangan kesadaran akibat pemberian obat tidur/bius, adanya needle marks. bila ada
indikasi maka diperlukan pengambilan urin dan darah. Adanya memar atau luka lecet pada
daerah mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang. Dicatat
pula tanda perkembangan alat kelamin sekunder, pupil, refleks cahaya, pupil pinpoint, tinggi
dan berat badan, tekanan darah, keadaan jantung, paru, dan abdomen.

Pemeriksaan bagian khusus daerah genitalia meliputi adanya rambut kemaluan yang saling
melekat menjadi satu karena air mani yang mengering yang akan digunting untuk
pemeriksaan laboratorium. Jika dokter menemukan rambut kemaluan yang lepas pada badan
wanita maka harus diambil beberapa helai rambut kemaluan dari wanita dan laki-laki sebagai
bahan pembanding (matching). Perlu ditemukan bercak air mani di sekitar alat kelamin
dengan cara dikerok menggunakan sisi tumpul skapel atau swab dengan kapas lidi yang
dibasahi dengan garam fisiologis. Pada vulva, perlu diteliti adanya tanda-tanda bekas
kekerasan seperti hiperemi, edema, memar dan luka lecet (goresan kuku). Introitus vagina
apakah hiperemi/edema dan penggunaan kapas lidi untuk pengambilan bahan pemeriksaan
sperma dari vestibulum.

Pemeriksa jenis selaput dara untuk melihat adanya ruptur dan penentuan apakah ruptur
tersebut baru atau lama. Bedakan ruptur dengan celah bawaan dari ruptur dengan
memperhatikan sampai di pangkal selaput dara. Celah bawaan tidak mencapai pangkal
sedangkan ruptur dapat sampai ke dinding vagina. Pada vagina akan ditemukan parut bila
ruptur sudah sembuh, sedangkan ruptur yang tidak mencapai basis tidak akan menimbulkan
parut. Ruptur akibat persetubuhan biasa ditemukan di bagian posterior kanan atau kiri dengan
asumsi bahwa persetubuhan dilakukan dengan posisi saling berhadapan. Tentukan pula besar
orifisium apakah sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau 2 jari. Ukuran pada seorang

11
perawan kira-kira 2,5 sentimeter sedangkan lingkaran persetubuhan yang dapat terjadi
menurut Voight minimal 9 sentimeter. Pada persetubuhan tidak selalu disertai deflorasi.

Pemeriksaan selanjutnya pada frenulum labiorum pudendi dan comissura labiorum posterior
untuk melihat keutuhannya. Pemeriksaan vagina dan serviks dilakukan dengan spekulum bila
keadaan alat genital memungkinkan dan pemeriksaan kemungkinan adanya penyakit kelamin.
Pemeriksaan cairan mani dan sel mani dalam lendir vagina dilakukan dengan mengambil
lendir vagina menggunakan pipet pasteur atau diambil dengan ose batang gelas atau swab.
Bahan diambil dari forniks posterior, bila mungkin dari spekulum. Pada anak-anak atau bila
selaput dara masih utuh, pengambilan bahan dibatasi dari vestibulum saja.

Pemeriksaan terhadap kuman Neisseria gonorrhoeae dari sekret urether (urut dengan jari) dan
dipulas dengan pewarnaan Gram. Pmeriksaan dilakukan pada hari ke-I, III, V, dan VII. Jika
pada pemeriksaan didapatkan N.gonorrheae berarti terbukti adanya kontak seksual dengan
seorang penderita, bila pada pria tertuduh juga ditemukan maka ini akan menjadi bukti yang
kuat. Jika terdapat ulkus, sekret perlu diambil untuk pemeriksaan serologik atau
bakteriologik. Pemeriksaan kehamilan dan toksikologik terhadap urin dan darah juga bisa
dilakukan bila ada indikasi.

Pemeriksaan pada pria tersangka dapat dilakukan terhadap pakaian dengan menemukan
bercak semen, darah, mani dan lainnya.Darah mempunyai kemungkinan berasal dari dari
darah deflorasi. Disini penentuan golongan darah penting dilakukan. Dapat pula ditemukan
tanda bekas kekerasan akibat perlawanan korban. Untuk mengetahui apakah seorang pria
baru melakukan persetubuhan dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina
pada glans penis dengan menekankan kaca obyek pada glans penis, daerah korona atau
frenulum dan kemudian diletakkan terbalik di atas cawan yang berisi larutan lugol. Uap
yodium akan mewarnai lapisan pada kaca obyek tersebut dan sitoplasma sel epitel vagina
akan berwarna coklat tua karena mengandung glikogen. Pada sediaan ini dapat pula
ditemukan adanya spermatozoa. Perlu pula dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk
menentukan adanya penyakit kelamin.

12
Pemeriksaan DNA dalam bidang kedokteran forensik

Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa pita
DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus sekaligus dengan
pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya.

Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk
susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata
pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang
sama persis dengan orang lain.

Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban yang
ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang
menjadi donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan
cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat
dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau
pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si tersangka, karena keduanya
memiliki pita DNA yang sama persis.

Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak DNA yang
hanya melacak satu lokus saja (single locus probe) . Berbeda dengan tehnik Jeffreys yang
menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2 buah saja. Penggunaan metode
ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat
perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. Sebagai contoh,
jika pita DNA pada bahan usapan vagina ada 6 buah, maka sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3
orang pelaku. Untuk mempertinggi derajat keakuratan pemeriksaan ini, umumnya dilakukan
pemeriksaan beberapa lokus sekaligus. Adanya pita yang sama dengan tersangka
menunjukkan bahwa tersangka itu adalah pelakunya, sedang pita yang tidak sama
menyingkirkan tersangka sebagai pelaku.

Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (metode Polymerase Chain


Reaction atau PCR) oleh kelompok Cetus, membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan
DNA. Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi
masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin
yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga

13
banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA
dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim
elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode
sekuensing.

Perbedaan Visum Et Repertum Dengan Catatan Medik Dan Surat Keterangan Medik
Lainnya
Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medik beserta tindakan
pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien meskipun dipegang oleh
dokter/institusi kesehatan. Catatan medik ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322
KUHP.

Dokter boleh membuka isi catatan medik kepada pihak ketiga misalnya dalam bentuk
keterangan medik hanya setelah memperoleh izin dari pasien baik berupa izin langsung
maupun berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu
(misalnya perusahaan asuransi).

Oleh karena itu visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang maka dokter tidak
dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP
meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa
barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak
dipidana sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik
yang memintanya untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses peradilan.

Jakarta, 19 Oktober 2010


14
PRO JUSTITIA

VISUM ET REPERTUM

No. 01/VER/RS-PMI/XII/2010

Yang bertanda tangan di bawah ini, Hari, dokter Poliklinik Anak Rumah Sakit
PMI Bogor, atas permintaan dari Kepolisian Wilayah Bogor dalam suratnya nomor
021/Ver/LK/XII/2010/Wil.Bgr tertanggal sembilan belas Oktober tahun dua ribu
sepuluh, maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal sembilan belas Oktober
tahun dua ribu sepuluh pukul delapan lewat lima puluh dua menit Waktu Indonesia
bagian Barat, bertempat di RSU PMI Bogor, yang beralamat di jalan Pajajaran Bogor
telah melakukan pemeriksaan atas korban dengan nomor Registrasi 97.01.14, yang
menurut surat tersebut adalah :-----------------------------------------------------------------------

Nama : Djihan. ----------------------------------------------------------------------------------

Umur : 11 tahun ---------------------------------------------------------------------------------

Jenis Kelamin: Perempuan -----------------------------------------------------------------------------

Warganegara : Indonesia -------------------------------------------------------------------------------

Pekerjaan : Pelajar ----------------------------------------------------------------------------------

Agama : Islam. ------------------------------------------------------------------------------------

Alamat : xxxxxx, Tangerang -------------------------------------------------------------------

Pasien datang ke Poliklinik Anak RSU PMI Bogor dengan diantar ibunya dan petugas
Polri yang bernama AKBP Budi Waluyo dengan NRP 217890. --------------------------------

-------------------------------------------Hasil Pemeriksaan---------------------------------------------

Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum sakit ringan. Korban mengeluh
sakit bila ingin kencing sejak dua hari yang lalu --------------------------------------------------

1. Pada korban ditemukan -----------------------------------------------------------------------

a. Pada selaput dara terdapat luka robekan lama disertai dengan erosi-------

b. Pada vulva (bagian luar vagina) terjadi peradangan jaringan----------------


15
c. Korban dirujuk ke dokter spesialis obstetric dan ginekologi dan dokter
spesialis kejiwaan atau psikiater setelah dilakukan pemeriksaan
disimpulkan bahwa korban mengalami robekan pada selaput dara dan
peradangan vulva akibat kekerasan tumpul --------------------------------------

2. Terhadap korban dilakukan pengobatan simtomatis.------------------------------------

3. Korban dipulangkan dalam keadaan baik, dengan pesan agar kontrol seminggu
lagi. -------------------------------------------------------------------------------------------------

Kesimpulan:-------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan terhadap anak perempuan yang berusia 11 tahun ini didapatkan
adanya robekan pada selaput dara dan peradangan vulva akibat kekerasan tumpul.
Akibat luka tersebut telah mengakibatkan si anak menjadi trauma psikis dan
ketakutan.----------------------------------------------------------------------------------------------

Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan


keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. -------------------------------------------------------------------

Mengetahui, Dokter Pemeriksa

Dokter forensik klinik

Dr. Budi Susilo, SpF Dr. Hari

BAB V

KESIMPULAN

16
Dari anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik bahwa korban telah disetubuhi oleh pacar ibunya
berdasarkan pada pemeriksaan fisik dokter ditemukan robekan lama selaput dara disertai
dengan erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Akhirnya terungkap fakta bahwa si
anak telah disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah lama dikenalnya sebagai pacar si ibu.
Si ibu telah bercerai 3 tahun dengan suaminya (ayah si anak) dan saat ini sedang menjalin
hubungan dengan laki-laki lain sebagai pacarnya.

Pelaku dapat dijerat UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) pasal 81 “Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).”

Untuk memastikan tanda persetubuhan diperlukan juga pemeriksaan laboratorium untuk


mencari cairan mani atau pun spermatozoa dengan berbagai metode seperti yang telah
dijelaskan pada pembahasan di atas. Serta barang bukti medis lainnya yang memiliki
kesamaan dengan si pelaku (DNA pelaku).

DAFTAR PUSTAKA

17
1. Peranan visum et Repertum dalam tindak pidana persetubuhan. Avaiable at:
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/03/peran-visum-et-repertum-pada-
tahap.html. accesed on 13 october 2010

2. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FK-UI. Peraturan Perundang-undangan


Bidang Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1994.

3. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta : CV.Sagung Seto. 2008.

4. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Hertian S, Sampurna B, Purwadianto A. et


al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 1997.

5. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FK-UI. Teknik Autopsi Forensik. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2000.

18

Anda mungkin juga menyukai