Syar U Man Qablana Mazhab Sahabat Dan Sadd As Zari Ah PDF
Syar U Man Qablana Mazhab Sahabat Dan Sadd As Zari Ah PDF
Fathu Rozi
Hasrul
Fakultas Ushuluddin
Semester III
ِ ِ ََ صي نَاَبَِِهَإِب َر ِاه ََ وحاَ َوالَّ ِذيَأَو َحي نَاَإِلَي ِ َّ عَلَ ُكمََ ِم َنَالدِّي َِنَماَو
َيموا
ُ يسىَأَنََأَق َ وسىَ َوع َ يمَ َوُم َّ كَ َوَماَ َو ً ُصىَبَِهَن َ َ َ ََ َش َر
َُ ِاءَُ َويَه ِديَإِلَي َِهَ َمنََيُن
َ.يب َش َ َوهمََإِلَي َِهَاللَّ َهَُيَجتَبِيَإِلَي َِهَ َمنََي ََ ِيهَ َكبُ ََرَ َعلَىَال ُمش ِرك
ُ ُينَ َماَتَدع َِ ِّينَ َوََلَتَتَ َف َّرقُواَ ِف
ََ الد
﴾۳۱َ:َ﴿َسوَرةَالشورى
Artinya:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah
Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama 2 dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-
Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
(QS. As-Syura’ : 13).
Al-Quran dan Hadis juga mengisahkan hukum-hukum Syar’i yang diyariatkan Allah
kepada umat terdahulu sebelum kita. Ada hukum-hukum syar’i yang disampaikan
kepada umat Nabi Muhammad SAW yang telah disampaikan juga kepada umat dahulu
kala. Syariat-syariat terdahulu ada kalanya tidak berbeda dari apa yang disyariatkan
kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti.3 Mengenai syariat
terdahulu dalam hubungannya dengan syariat umat Muhammad SAW, maka syariat
sebelum kita dibagi dua:4
Syariat yang tidak ditetapkan syariat kita, bagian ini dibagi dua:
Syariat yang diceritakan kepada kita, baik melaui al-Qur’an atau Hadis Nabi tetapi
tidak tegas diwajibkan atas kita sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kita
seperti yang disebut dalam al-Qur’an “kami wajibkan atas mereka (bani Israil)
dalam kitab taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka sebagai
qisas. (QS. al-Maidah 45)
Syariat yang tidak disebut-sebut sama sekali. Bagian ini tanpa diperselisihkan lagi
untuk tidak boleh menjalankannya. Bagian ini tidak kita ketahui kecuali
dengan jalan berturut-turut melalui pengamatan sejarah dan tidak dapat
menerimanya dari ahli kitab sendiri, sebab mereka telah mengubah isi kitab
mereka. (QS. an Nisa’ : 41 dan al-Maidah: 13).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu terdahulu yang tidak
tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah tidak berlaku lagi bagi umat islam.
Pandangan ini berargumentasi bahwa kedatangan syariat islam telah mengakhiri berlakunya
syariat-syariat terdahulu. Demikian pula, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat
terdahulu yang dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku bagi umat Islam bila mana ada
ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun,
keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena
ditetapkan oleh Al-Quran.5
1) Hukum-hukum dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tampa melalui
sumber-sumber hukum Islam. Maka, penukilan syariat tidak dipandang sah jika tidak
disandarkan pada sumber-sumber tersebut. Sebab yang bisa dijadikan hujjah dalam
hukum bagi kaum muslimin adalah sumber-sumber hukum Islam. Hal ini merupakan
kesepakatan para ahli fiqh.
2) Sesuatu yang telah dinasakh berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil. Begitu
pula apabila terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan hukum berlaku
khusus untuk kaum tertentu. Ketentuan itu tidak bisa bertlaku meluas kedalam syariat
Islam seperti diharamkannya bagian-bagian tertentu dari daging sapi dan kambing bagi
bani Israil. Hal ini juga berdasarkan kesepakatan para ahli fiqh.
5
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 163, Cet. III
6
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 465-466, Cet. XIV
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 4
Ushuluddin III
3) Suatu hukum yang diakui dalam Islam sebagaiman halnya diakui dalam Agama-Agama
Samawi terdahulu, status hukumnya adalah didasarkan dengan nash Islami, bukan dengan
hikayat umat terdahulu. Contoh seperti firman Allh SWT:
﴾۳۸۱َ:َين َِمنَقَ بلِ ُكمََلَ َعلَّ ُكمَتَتَّ ُقو َنَ﴿َالبقرة ِ َّ َ َالصيامَ َكماَ ُكتِب
َ َعلَىَالذ َ َ ُ َ ِّ َعلَي ُك ُم
َ ب ِ
َ َآمنُواَ ُكت
َ ين
ِ َّ
َ يَاَأَيُّ َهاَالذ
Artinya:
Perselisihan para ulama terhadap syariat terdahulu mengenai syariat mereka yang
diceritakan kepada kita melalui al-Quran atau hadis akan tetapi tidak diterangkan bahwa
syariat itu masih tetap berlaku atau sudah dihapuskan.7 Contohnya seperti firman Allah SWT:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah : 45).
Pada bagian ini, para ulama ahli fiqh berselisih pendapat. Menurut kalangan
Hanafiyah, Malikiyah dan mayoritas Syafi’iyyah serta golongan hambali bahwa hal itu
tergolong syara’ dan termasuk sumber pokok yang berdiri sendiri. Sebab menurut hukum
asal, syariat-syariat samawi merupakan satu kesatuan. Disamping itu terdapat pula nash-nash
yang menerangkan agar kita kita mengikuti Nabi-Nabi terdahulu.8 Firman Allah SWT:
Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah
petunjuk mereka. (QS. Al-An’am : 90)
Oleh karena itu, Ulama Mazhab Hanafi menetapkan hukum mati terhadap terhadap
seorang muslim yang membunuh non-muslim.9 Hal ini berdasarkan firman Allah:
َِ ََبِالنَّف
... َ َّ ِ ِ َ ََوَكتَب ن
َ اَعلَيهمَف َيهاَأَنَالنَّف
7
A. Hanafie, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1980) Hal. 149, Cet VII
8
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 165, Cet. III
9
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 468, Cet. XIV
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 5
Ushuluddin III
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan syafi’iyah dan salah satu
pendapat Ahmad bin Hambal bahwa syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Quran
tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW kecuali ada ketegasan untuk itu.10
Diantara alasan mereka ialah:
Selain dalil diatas, mereka juga berargumen dengan riwayat mengenai percakapan
Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus untuk menjadi hakim di Yaman.
Menurut mereka bahwa dalam hadis ini tidak terdapat petunjuk Rasulullah SAW untuk
merujuk kepada syariat-syariat nabi terdahulu.13
Abdul wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul Fiqh’ menjelaskan bahwa yang
terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapa yang pertama diatas. Alasannya bahwa
syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh
karena itu, segala hukum-hukum para Nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Quran tampa
ada ketegasan bahwa hukum itu telah dihapus, maka hukum itu berlaku umat Nabi
Muhammad SAW. Disamping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam al-Quran yang
merupakan petunjuk bagi umat Islam menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad
SAW.14
10
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166, Cet. III
11
Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam
Kitab-Kitab sebelumnya.
12
Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya
13
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 168, Cet. III
14
Ibid.
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 6
Ushuluddin III
B. MAZHAB SAHABAT
Mazhab Sahabat adalah ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus
dimana hukum-hukumnya itu tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah.15 Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW yang langsung
menerima risalahnya dan mendengar langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri. Oleh
karena itu, jumhur Fiqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah
sesudah dalil-dalil Nash.
Setelah Rasulullah wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu
itu ialah Jemaah Sahabat. Mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah
disbanding orang lain. Dengan demikian mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’
lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Quran. Oleh karena
itu, banyak kita dapatkan fatwa-fatwa sahabat yang secara tegas tidak dinyatkan dalam
al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi Pendapat atau Fatwa
sahabat ke dalam empat kategori:16
1) Fatwa sahabat yang hukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud bahwa
batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh
dirham. Fatwa-fatwa semacam ini bukan merupakan bukan hasil ijtihad para sahabat dan
besar kemungkinan hal itu mereka teriam dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa
semcam ini disepakati menjadi landasn hukum bagi generasi susadahnya.
2) Fatwa sahabat yang disepkati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan Ijma
Sahabat. Fatwa semacam ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3) Fatwa sahabat secara perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid
dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah karena adanya
perbedaan tempat dan kondisi di antara mereka.
4) Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh Ra’yu dan Ijtihad.
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut yang
merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Jelasnya, fatwa-
fatwa sahabat itu tidak keluar dari lima kemungkinan berikut ini:17
15
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 169, Cet. III
16
Ibid, Hal. 169-170
17
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 331, Cet. XIV
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 7
Ushuluddin III
Mazhab sahabat tidak menjadi hujjah bagi sahabt lain, ini adalah Ittifaq. Adapun yang
menjadi ikhtilaf adalah apakah pendapat sahabat (mazhab sahabat) bisa dijadikan pedoman
bagi kaum tabi’in atau umat setelah mereka. Persoalan ini mengandung tiga pendapat antara
lain:18
1) Pendapat sahabat tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut mereka, perkataaan mujtahid
bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Adapun sahabat dikatakan sebagai mujtahid.
2) Pendapat sahabat dapat dijadikan Hujjah dan didahulukan dari pada Qiyas. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam as-Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki. Bahkan imam Hambali
mendahulukan mendahulukan pendapat sahabat daripada hadis Mursal dan Dha’if.
3) Pendapat sahabat dapat menjadi hujjah jika dikuatkan dengan Qiyas atau tidak
bertengtangan dengan qiyas.
Pertama: menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan pendapat
terkuat dari Ahmad bin Hambal bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan Hujjah oleh generasi
sesudahnya. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
18
A. Syafi’i Karim, Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), Hal. 88, Cet. II
19
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 170-171, Cet. III
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 8
Ushuluddin III
Kedua: Menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, Mu’tazilah dan
kalangan Syi’ah bahwa fatwa sahabat tidak mengikat oleh generasi setelahnya.diantara alasan
yang mereka kemukakan adalah:
Firman Allah:
ِ
َ فَاعتَبِ ُرواَيَاَأُوليَاَْب
﴾َ۲َ:صا َِرَ﴿َسورةَالحشر
Artinya:
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.
Maksud mengambil pelajaran menurut mereka dalam ayat tersebut ialah “Ijtihad”.
Dengan demikian berarti ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang memiliki
kemampuan untuk melakukan ijtihad.
Para sahabat bukan orang yang terbebas dari kesalahan (Ma’sum) sama dengan para
mujtahid lainnya
Berdasarkan keterangan diatas, jelaslah bahwa para Imam dari empat Mazhab
mengikuti pendapat para sahabat. Akan tetapi, ada diantara ulama pengikut mereka yang
tidak menganggap pendapat sahabat sebagai Hujjah bahkan menganggapnya tidak munkin
(Mustahil) sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukhani “sebenarnya pendapat sahabat tidak
dapat dijadikan hujjah. Imam asy-Syaukhani mengulanginya berkali-kali ungkapan ini dan
mengakhiri perkataanya “ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT tidak mengutus seorang
utusan kepadamu dan kepada seluruh umat Muhammad kecuali Nabi Muhammad SAW dan
Allah tidak menyuruh kamu mengikuti seseorang selain Nabi Muhammad dan mensyariatkan
sesuatu melalui lisan umatnya meskipun hanya satu huruf dan tidak menjadikan hujjah
terhadap perbuatan seseorang selain pendapat Rasulullah SAW”. (Irsyadul Fuhul, hal. 214).20
20
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 334-335, Cet. XIV
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 9
Ushuluddin III
Muhammad Abu Zahrah, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir menganggap pendapat
yang pertama, yaitu pendapat sahabat dapat dijadikan pegangan lebih kuat untuk dipegang.
Alasannya, bahwa generasi para sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan rasulullah.
Meerka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari rasulullah dan banyak mengetahui
tentang latar belakang turunnya ayat serta orang yang paling tahu setelah nabi tentang
maksud dari hadis-hadis Rasulullah.
Contoh fatwa sahabat diantaranya ialah Menurut Aisyah, batas maksimal kehamilan
seorang perempuan selama dua tahun dengan mengatakan “anak tidak berada dalam perut
ibunya lebih dari dua tahun”; menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu haid seorang
perempuan adalag tiga hari; dan menurut Umar bin Khattab, lelaki yang menikahi seorang
wanita yang sedang dalam ‘iddah harus dipidahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi
selamnya.21
C. SADD AS-ZARIAH
Kata sadd menurut bahasa berarti menutup dan kata as-zari’ah berarti wasilah atau
jalan ke suatu tujuan. Dalam tinjauan yag lain, zariah berarti wasilah (perantara), sedangkan
menurut istilah ahli hukum Islam ialah suatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang
diharamkan atau dihalalkan. Dengan demikian, sadd as-Zariah secara bahasa berarti menutup
jalan kepada suatu tujuan.22 Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim
Zaidan bahwa sadd as-Zariah ialah:
َ. أنهَمنَبابَمن َالوسائَِالوديََإلىَالمفاسد
“Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan”.
Sadd as-Zariah merupakan salah satu sumber pokok (ashl) yang secara eksplisit
dituturkan dalam kitab-kitab dari madzhab Maliki dan Hanbali. Adapun kitab-kitab madzhab
yang lain tidak menuturkannya dengan judul itu. Tetapi secara implisit bab ini dibahas dalam
fiqih madzhab Hanafi dan Syafi’i, meski terdapat perbedaan pada bagian-bagian tertentu dan
ada ada pula kesamaan pada bagian-bagian yang lain.
b) Macam-Macam Zariah
1) Zariah yang mengarah pada mafsadah, seperti meminum Arak menyebabkan Mabuk.
Zariah ini dilarang atau haram.
2) Zariah yang menyebabkan kepada sesuatu yang mubah dan tidak bermaksud sampai
haram, tetapi biasanya membawa pada yang haram. Seperti wanita yang kematian
suami lalu berdandan sedang dia dalam keadaan iddah.
21
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 172, Cet. III
22
Iyad bin Nahi’ as-Salimy, Ushul Fiqih (Riyadh: Dar al-Tadrumiyah, 2006) Hal. 211, Cet II
23
A. Syafi’i Karim, Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), Hal. 87, Cet. II
MAKALAH | Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat dan Sadd as-Zariah
Ushul Fiqh 10
Ushuluddin III
3) Zariah yang dibuat pada sesuatu yang mubah tetapi suatu ketika terkadang akan
menyebabkan pada mafsadah seperti meminang wanita.
4) Zariah yang dibuat pada sesuatu yang mubah tetapi dimaksudkan supaya sampai
kepada mafsadah, seperti nikah dan tahlil.
Sedangkan, hadis-hadis nabi yang menerangkan tentang zariah cukup banyak, antara
lain:
َِ َخ
َاط ٌَئ ََ ََلََتحََتَ َِك َُرََإََِّل
Artinya:
“tidak berbuat menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah”.
Nabi Muhammad SAW melarang orang yang mengutangi, menerima hadiah dari
orang yang berutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan Riba dimana
peneriam hadiah itu dianggap sebagai ganti dari bunga.
Nabi Muhammad SAW melarang memotong tangan pencuri pada masa perang yang
tidak bergabung dengan orang-orang (kaum) musyrikin. Oleh karena itu, Nabi
mencegah panglima perang menerapkan hukum had.
Para ulama salaf as-Shalih dari kalangan sahabat memberikan hak warisan kepada
perempuan yang ditalak ba’in oleh suaminya pada saat sakit yang membawa
kematiannya agar perceraian itu tidak menjadi zariah (perantara) bagi terhalanginya Si
Istri dari mendapatkan bagian warisan.
Daftar Pustaka
As-Salimy, Iyad bin Nahi’. Ushul Fiqih, Riyadh: Dar al-Tadrumiyah, 2006, Cet II
Effendi, Satria. Zein, Muhammmad. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005, Cet. III
Karim, A. Syafi’i. Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001, Cet. II
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, Cet. I
Zahrah, M. Abu. Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011, Cet. XIV
Info:
Teman-teman yang berbahagia, kritik dan sarannya dapat melalui
akun email berikut
(rul.19bs1@gmail.com)
Terima kasih