Anda di halaman 1dari 22

KONSEP DAN ARTI PENTING MANAJEMEN PIUTANG

MANAJEMEN KEUANGAN

Dosen Pengampu :
Dr. Ida Bagus Panji Sedana, S.E., M.Si.

Disusun Oleh :
Kelompok 5

1. Ida Ayu Ary Mahadewi (1907531028)


2. Putu Nadya Shari (1907531039)
3. Sella Lolita (1907531134)
4. Adinda Shavina Putri Hermanto (1907531151)
5. Ni Wayan Sari Utami (1907531170)
6. Ratna Ditha Apsari (1907531209)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap perusahaaan menginginkan penjualan barang dagangannya dibayar secara tunai.
Namun di lain pihak, penjualan secara kredit justru akan memberi peluang untuk perluasan
pasar sehingga dapat menambah laba usaha, meski hal ini juga bukan tanpa resiko.
Biasanya keberhasilan suatu perusahaan dilihat dari segi finansialnya, yaitu seberapa besar
laba yang diperoleh dari hasil usahanya. Sehingga setiap perusahaan berlomba-lomba
menaikkan besaran profit yang didapat. Namun untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
suatu perusahaan harus mengoptimalkan segala kegiatan dalam perusahaan tersebut, baik
itu produuksi, pemasaran, maupun penjualannya.
Masalah yang umum dihadapi perussahaan ialah penagihan piutang yang telah jatuh
tempo tidak selalu dapat diselesaikan seluruhnya. Jika keadaan itu tersu berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka modal perusahaan akan semakin kecil. Dengan begitu
penagihan piutang perlu mendapat perhatian dan penanganan serius agar resiko yang
mungkin timbul dapat dihindari sekecil mungkin. Dalam hal ini, pimpinan perusahaan
seharusnya juga turut aktif mengelola penagihan piutang agar tidak menghambat operasi
atau kegiatan perusahaan.
1.1 Rumusan Masalah
1.1.1 Seperti apakah konsep dan arti penting manajemen piutang?
1.1.2 Bagaimana penentuan kebijakan kredit, syarat kredit dan standar kredit dalam
perusahaan?
1.1.3 Seperti apakah aplikasi perubahan standar kredit?
1.1.4 Bagaimana konsep dan pentingnya manajemen persediaan?
1.1.5 Apa saja yang termasuk metode penentuan persediaan?
1.1.6 Bagaimana penentuan jumlah minimum persediaan dengan analisis EOQ, Reorder
Point, dan Safety Stock.
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Untuk mengetahui seperti apa konsep dan arti penting manajemen piutang
1.2.2 Untuk mengetahui penentuan kebijakan kredit, syarat kredit, dan standar kredit
dalam perusahaan
1.2.3 Untuk mengetahui seperti apa aplikasi perubahan standar kredit
1.2.4 Untuk mengetahui bagaimana konsep dan pentingnya manajemen persediaan
1.2.5 Untuk mengetahui apa saja metode-metode yang digunakan dalam penentuan
persediaan
1.2.6 Untuk mengetahui cara penentuan jumlah persediaan dengan berbagai analisis
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang konsep dan arti penting
manajemen piutang
1.3.2 Mahasiswa dapat memahami dan mengerti bagaimana penentuan kebijakan kredit,
syarat kredit, dan standar kredit dalam perusahaan
1.3.3 Mahasiswa dapat mengerti dan memahami seperti apa aplikasi perubahan standar
kredit
1.3.4 Mahasiswa dapat mengerti dan memahami bagaimana konsep dan pentingnya
manajemen persediaan
1.3.5 Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami apa saja metode-metode yang
digunakan dalam penentuan persediaan
1.3.6 Mahasiswa dapat mengetahui dan mengerti cara penentuan jumlah persediaan
dengan berbagai analisis
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Arti Penting Manajemen Piutang


Persaingan yang semakin tajam akan memaksa perusahaaan untuk berlomba
memberikan kemudahan dalam persyaratan penjualan. Hal ini dapat dilakukan
misalnya semula melakukan penjualan secara tunai kemudian dirubah menjadi
penjualan secara kredit. Dengan demikian timbul piutang. Semakin longgar persyaratan
kredit yang diberikan tentunya dengan asumsi langganan tidak mengubah kebiasaan
membayarnya maka semakin besar jumlah piutang yang dimiliki.
Perusahaan melakukan penjualan secara kredit dimaksudkan untuk
meningkatkan penjualannya atau untuk mencegah penurunan penjualannya. Dengan
semakin meningkatnya penjualan maka semakin besar harapan untuk memperoleh
keuntungan. Namun demikian memiliki piutang juga menimbulkan biaya bagi
perusahaan.
Dengan Manajemen Piutang, selain untuk memastikan bahwa piutang dapat
sepenuhnya tertagih juga dapat membantu perusahaan menghindari risiko-risiko yang
terjadi, antara lain:
- Piutang tidak dibayarnya seluruh tagihan
Risiko ini terjadi jika jumlah piutang tidak dapat direalisasikan sama sekali.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya karena seleksi yang kurang
baik dalam memilih langganan sehingga perusahaan memberikan kredit kepada
langganan yang tidak potensial dalam membayar tagihan, juga dapat terjadi adanya
stabiitas ekonomi dan kondisi negara yang tidak menentu sehingga piutang tidak
dapat dikembalikan.
- Piutang tidak dibayarnya sebagai piutang
Hal ini akan mengurangi pendapatan perusahaan, bahkan bisa menimbulkan
kerugian jika jumlah piutang yang diterima kurang dari harga pokok barang yang
dijual secara kredit.
- Keterlambatan pelunasan piutang
Hal ini akan menimbulkan adanya tambahan dana atau biaya penagihan.
Tambahan dana ini akan menimbulkan biaya yang lebih besar.
- Tertanamnya modal dan piutang
Risiko ini terjadi karena adanya tingkat perputaran piutang yang rendah
sehingga akan mengakibatkan modal kerja yang tertanam dalam piutang semakin
besar dan hal ini bisa mengakibatkan adanya modal kerja yang tidak produktif.
Selain itu, Manajemen Piutang dilakukan untuk menghindari risiko kecurangan
yang terjadi pada piutang, seperti kegagalan untuk menagih pelanggan, kesalahan
dalam penagihan, kesalahan dalam memasukan data ketika memperbarui piutang
usaha, pencurian kas, kehilangan data dan kinerja yang buruk. Untuk menghindarkan
risiko-risiko tersebut, perusahaan dapat melakukan kegiatan Manajemen Piutang antara
lain, perencanaan jumlah dan pengumpulan piutang, pengendalian piutang,
penyaringan langganan, penentuan risiko kredit, penentuan potongan-potongan,
penetapan ketentuan-ketentuan dalam menghadapi para penunggak dan pelaksanaan
administrasi yang berhubungan dengan penarikan kredit.
Perusahaan perlu melakukan Manajemen Piutang untuk memastikan bahwa piutang
perusahaan telah dikelola dengan baik. Manajemen Piutang ini akan membantu
perusahaan dalam pengelolaan piutang dan memastikan bahwa semua piutang dapat
ditagih dan menjadi kas yang akan menambah laba perusahaan.
2.2 Penentuan Kebijakan Kredit, Syarat Kredit dan Standar Kredit
Secara umum kredit perdagangan menurut Kasmir (2013: 243-250) diartikan
sebagai: “Penjualan barang di mana pembayarannya dilakukan secara angsuran
(cicilan) sesuai kesepakatan yang dibuat antara penjual dan pembeli untuk jangka waktu
tertentu dengan masing-masing hak dan kewajibannya”. Dari pengertian ini terkandung
bahwa dalam transaksi penjualan secara kredit adanya suatu kesepakatan untuk
melakukan transaksi. Di dalam kesepakatan tersebut tertuang hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Misalnya, jumlah yang harus dibayar pihak penerima berikut
jangka waktu pembayaran. Di samping itu, adanya kebijakan terhadap penjualan kredit
tersebut apabila misalnya dilunasi sebelum jangka waktunya.
Untuk perusahaan dagang pengaruh dari hasil penjualan kredit ini akan terlihat
komponen pos piutang di aktiva lancar bagi perusahaan yang menjual barang.
Sebaliknya bagi perusahaan yang membeli secara kredit, maka akan terlihat di sisi
pasiva pada pos utang dagang.
Dalam rangka meningkatkan penjualan secara kredit, maka perusahaan dagang
perlu menetapkan kebijakan kredit (credit policy). Tujuannya agar penjualan kredit
yang diberikan akan memberikan keuntungan seperti yang diinginkan. Penundaan atau
keterlambatan pembayaran oleh debitur akan merugikan perusahaan pemberi, apalagi
debitur yang tidak mampu untuk mengembalikannya. Oleh karena itu, dalam
memberikan atau menjual barang secara angsuran ada beberapa kebijakan yang harus
dilakukan. Kebijakan kredit ini meliputi:
1. Standar Kredit
Penjualan barang atau jasa yang diberikan ke pelanggan mengandung suatu
risiko bagi perusahaan yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan entah
keterlambatan waktu pembayaran atau kerugian karena nasabah tidak mampu lagi
membayar barang yang sudah dibelinya. Dalam praktiknya risiko yang dihadapi
perusahaan berkaitan dengan penjualan kredit adalah:
 Pelanggan terlambat untuk membayar tagihannya kepada perusahaan, misalnya
melewati batas tanggal jatuh tempo. Hanya saja walaupun terlambat atau
tersendat-sendat pelanggan masih mau dan mampu untuk membayar
tagihannya.
 Perjalanannya terkadang pelanggan tidak memiliki kemampuan untuk
membayar sesuai kesepakatan, sehingga kredit benar-benar macet, sekalipun
pelanggan masih berusaha untuk membayar.
 Pelanggan kabur sehingga tidak dapat ditagih sama sekali dan ini benar-benar
macet, alias tidak tertagih.

Untuk menghindari atau meminimalkan risiko yang dihadapi perusahaan, maka


sebelum penjualan kredit diberikan, maka perlu dilakukan analisis kredit. tujuannya
adalah untuk mengetahui kemauan dan kemampuan pelanggan dalam membayar
kewajibannya. Analisis kredit yang diberikan tidak jauh berbeda dengan pinjaman
yang diberikan bank, misalnya dengan analisis “the Five C’s of Credit” yaitu:

a. Character: melihat bagaimana karakter dan latar belakang calon peminjam atau
nasabah yang mengajukan kredit. Kriteria character ini akan dilihat dari
wawancara yang dilakukan oleh pihak bank, biasanya bagian customer
service. Dari karakter ini akan dapat dilihat juga bagaimana reputasi calon
peminjam tersebut, apakah pernah memiliki catatan tindak kriminal atau
kebiasan buruk dalam keuangan seperti tidak melunasi pinjaman.
b. Capacity: kerap disebut juga dengan capability, yaitu bagaimana kemampuan
calon peminjam dalam membayar kreditnya. Kriteria ini dilihat dari bagaimana
nasabah tersebut menjalankan usahanya atau seberapa besar penghasilan yang
diterima tiap bulannya. Jika pihak bank menilai bahwa nasabah tersebut tidak
memiliki kemampuan cukup untuk membayar kredit, maka besar kemungkinan
ajuan kreditnya akan ditolak.
c. Capital: modal yang dimiliki calon peminjam, yang khususnya diberlakukan
pada nasabah yang meminjam untuk usaha atau bisnisnya. Dengan mengetahui
modal atau aset yang dimiliki usaha nasabah tersebut, pihak bank dapat sumber
pembiayaan yang dimiliki. Selain itu, pihak bank juga dapat melihat bagaimana
laporan keuangan dari usaha yang dijalankan nasabah untuk kemudian
dijadikan acuan apakah memang layak diberikan kredit atau tidak.
d. Collateral: jaminan yang diberikan pada calon peminjam saat mengajukan
kredit kepada bank. Sesuai dengan namanya, jaminan ini akan menjadi
penjamin atau pelindung bagi pihak bank jika nantinya nasabah tidak dapat
membayar pinjaman yang diambil. Oleh karena itu, idealnya besaran jaminan
yang bersifat fisik ataupun nonfisik lebih besar jumlahnya lebih besar dari kredit
yang diberikan.
e. Condition: kondisi perekonomian baik yang bersifat general atau khusus pada
bidang usaha yang dijalankan nasabah. Jika memang kondisi perekonomian
sedang tidak baik atau sektor usaha nasabah tidak menjanjikan, biasanya bank
akan mempertimbangkan kembali dalam memberikan kredit. Hal ini terkait
kembali dengan bagaimana kemampuan nasabah dalam membayar
pinjamannya nanti yang tentu terpengaruhi atas kondisi ekonomi.
2. Persyaratan Kredit
Kebijakan kredit juga berkaitan erat dengan persyaratan kredit yang diberikan.
Persyaratan kredit ini berguna untuk meningkatkan penjualan kredit dan
merangsang pelanggan untuk segera membayar tagihannya. Di samping itu, jangka
waktu kredit yang diberikan juga memberikan ruang gerak pelanggan untuk
membayar kredit yang diterimanya.
Sebagai contoh, perusahaan memberikan persyaratan kredit 2/10, net 30 yang
artinya pelanggan akan diberikan potongan pembayaran 2% dari total penjualan
apabila perusahaan membayar dalam waktu 10 hari. Sedangkan jangka waktu kredit
adalah 30 hari yang artinya kredit harus dibayarkan dalam jangka waktu 30 hari.
Bila perusahaan memberikan persyaratan kredit 2/10, net 60 yang artinya
pelanggan akan diberikan potongan pembayaran 2% dari penjualan apabila
perusahaan membayar dalam waktu 10 hari. Sedangkan jangka waktu kredit adalah
60 hari yang artinya kredit harus dibayar dalam jangka waktu 60 hari.

Selanjutnya, perusahaan dapat memperpanjang jangka waktu kredit guna


meningkatkan penjualan. Akan tetapi memperpanjang jangka waktu kredit
mengandung suatu risiko tertanamnya dana dalam piutang, makin besar dan makin
berpotensi membuat kredit tersebut macet.

Kemudian untuk merangsang kecepatan pembayaran kredit dapat pula


dilakukan dengan potongan kas (cash discount). Pemberian potongan ini dapat
dilakukan dengan menaikkan potongan seperti 2/10, net 30 menjadi 3/10, net 30 atau
sesuai dengan kebijakan perusahaan.

3. Kebijakan Pengumpulan Piutang


Kebijakan kredit dan pengumpulan piutang menurut Sartono (2014: 435-436)
mencakup beberapa keputusan: (1) kualitas account accepted, (2) periode kredit,
(3) potongan tunai, (4) persyaratan khusus dan (5) tingkat pengeluaran untuk
pengumpulan piutang.
Apabila pelanggan terlambat untuk membayar tagihannya, maka perusahaan
perlu mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan kredit tersebut agar tidak
macet. Tindakan atau kebijakan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal sebagai
berikut:
Pertama, melalui teguran yang dilakukan melalui surat atau telepon. Teguran
ini dapat bersifat mengingatkan, misalnya sebelum kredit jatuh tempo pelanggan
ditelpon dengan teguran halus. Kemudian teguran dapat pula bersifat menyuruh
nasabah untuk segera membayar dan memastikan tanggal kapan pelanggan akan
dibayar.
Kedua, apabila melalui teguran baik surat maupun telepon sudah tidak
ditanggapi, maka perusahaan dapat menyerahkannya ke badan penagih (collection
agency) semacam debt collector untuk menagih kredit tersebut hingga tertagih
2.3 Aplikasi Perubahan Standar Kredit
Berikut merupakan contoh dari pengaplikasian perubahan standar kredit dalam
suatu perusahaan:
PT TRI WISTA merupakan suatu perusahaan dagang selama ini menjual tunai dengan
penjualan yang mencapai Rp. 800 juta. Untuk meningkatkan penjualan, perusahaan
mempertimbangkan penjualan kredit yang awalnya bersyarat n/60 menjadi 2/30 n.60.
penjualan tersebut diperkirakan meningkat menjadi Rp. 1.150 juta. 50% pelanggan
diperkirakan memanfaatkan diskon. Piutang tak tertagih tetao 1%. Apakah perrusahaan
tersebut akan mengubah kebijakan kredit?
Penyelesaiannya :

n/60 2/30 n.60


(juta rupiah) (juta rupiah)
Penjualan 1.050 1.150
Keuntungan 15% 157.7 172.5
Rata-Rata Hari Pengumpulan Piutang 60 hari 50% (30) + 50% (60) = 45 hari
Perputaran Piutang 360 : 60 = 6x 360 : 45 = 8x
Rata-Rata Piutang 1.050 : 60 = 175 1.150 : 8 = 143.75
Investasi Pada Piutang 85% x 175 = 148.75 85% x 143.75 = 122.19
Biaya Modal 16% 16% x 148.75 = 23.80 16% x 122.19 = 19.55
Piutang Tak Tertagih 1% 1% x 1.050 = 10.5 1% x 1.150 = 11.50
Biaya Diskon 0 50% x 2% x 1.150 = 11.50
Manfaat :

Tambahan keuntungan

( Rp 172.5 jt – 157.5 jt ) Rp. 15 juta

Penghematan biaya modal

Rp. 23.80 jt – Rp 19.55 jt Rp. 4.25 juta

Jumlah Rp. 19.25 juta

Pengorbanan

Biaya discount Rp. 11.5 juta

Tambahan kerugian Rp. 1 juta

Jumlah Rp. 12.5 juta

Manfaat bersih Rp. 6.75 juta

Kesimpulan
Ternyata dengan perubahan persyaratan kredit tersebut perusahaan memperoleh
tambahan keuntungan yang lebih besar sehingga kebijakan kredit tersebut dapat
dibenarkan
2.4 Konsep dan Pentingnya Manajemen Persediaan
Persediaan merupakan elemen utama dari modal kerja, karena jumlahnya cukup
besar dalam suatu perusahaan. Jenis persediaan yang ada dalam perusahaan akan
tergantung dari jenis perusahaannya. Sebagai contoh perusahaan jasa persediaan yang
biasanya timbul seperti persediaan bahan pembantu atau persediaan habis pakai (kertas,
karbon, stempel, dan lainnya). Sedangkan untuk perusahaan manufaktur jenis
persediaannya meliputi persediaan bahan pembantu, persediaan barang jadi, persediaan
barang dalam proses, dan persediaan bahan baku. Dan untuk perusahaan dagang, jenis
persediaannya mencangkup persediaan bahan dagangan, dan persediaan bahan
penolong.
Bagi perusahaan manufaktur, persediaan ini menjadi begitu penting karena
kesalahan dalam investasi persediaan akan mengganggu kelancaran operasi
perusahaan. Apabila persediaan terlalu kecil, maka kegiatan operasi besar
kemungkinan akan mengalami penundaan atau perusahaan beroprasi dengan kapasitas
rendah. Dan begitupun sebaliknya
Persediaan yang cukup bagi perusahaan dapat memenuhi pesanan dengan cepat.
Namun persediaan yang besar itu juga membawa konsekuensi berupa biaya yang timbul
untuk mempertahankan persediaan itu. Biaya yang berkaitan dengan persediaan itu
mencangkup biaya pemesanan dan biaya penyimpanan dan required rate of return atas
kelebihan investasi pada persediaan. Selain itu biaya yang mungkin timbul adalah
keusangan atas persediaan. Selain itu bahaya yang mungkin timbul adalah keusangan
atas persediaan. Jadi besarnya peserdiaan dapat ditingkatkan sepanjang ada
penghematan bersih dengan tambahan persediaan. Keseimbangan antara penghematan
dan biaya yang timbul sangat tergantung atas tambahan biaya simpan dan pengendalian
persediaan yang efisien.
Terdapat empat metode dalam menentukan persediaan, yaitu identifikasi secara
spesifik, first-in first-out, last in first-out, dan rata-rata tertimbang atau weight average.
Metode pertama dengan cara mengidentifikasi biaya-biaya yang secara fisik melekat
pada persediaan. Ini hanya memungkinkan kalau jenis usahanya mudah diidentifikasi
secara jelas. Seperti agen penjualan mobil, real estate, dan produk yang nilai harganya
tinggi sementara perputarannya rendah. Metode kedua firsti-in first-out
mengasumsikan bahwa persediaan yang pertama masuk diganti dengan persediaan
yang baru. Dengan ini, HPP ditentukan oleh persediaan lama dan sebagian persediaan
baru. Dimana hal ini hanya dalam proses akuntansinya saja, meskipun dalam
kenyataannya persediaan yang dijual sama saja antara persediaan yang masuk terakhir
dan pertama. Last-in first-out merupakan kebalikan dari first-in first-out. HPP
ditentukan oleh persediaan yang terakhir masuk, sementara persediaan akhir terdiri atas
persediaan yang masuk lebih awal. Dan metode terakhir adalah rata-rata tertimbang,
dimana metode ini dalam menentukan besarnya persediaan dengan cara mengalikan
rata-rata tertimbang dengan setiap jenis persediaan. Berikut illustrasi penilaian investasi
antara keempat metode tersebut:
Satu dealer mobil Toyota memiliki persediaan mobil yang dibuat pada tahun
yang sama hanya beda karoserinya. Harga beli masing-masing mobil dalam jutaan
rupiah adalah:
A B C D E
160 180 130 190 210

Misalkan dalam satu bulan dealer tsb menjual mobil kijang karoseri B, D, dan
F. Jika perusahaan dalam menentukan persediaan menggunakan metode identifikasi
spesifik, maka harga pokok barang yang dijual aalah sebesar 550 juta dan persediaan
akhir adalah 500 juta. Sementara itu jika perusahaan menggunakan metode first-in
first out, maka harga barang pokok barang yang dijual adalah 580 juta dan persediaan
akhir adalah 470 juta. Apabila metode rata-rata tertimbang, maka HPP barang yang
dijual adalah sebesar [3 x (1.050.000/6)] = 525 juta dan persediaan akhir adalah
sebesar 525 juta

2.5 Metode Penentuan Persediaan


A. Identifikasi Spesifik
Pengukuran biaya pada persediaan dengan metode identifikasi khusus memang
jarang digunakan pada perusahaan. Tapi tidak sedikit pula perusahaan atau entitas
yang menggunakan metode ini. Perusahaan atau entitas menggunakan metode
identifikasi khusus jika memiliki persediaan yang dapat diidentifikasi dan pada saat
penjualannya tidak dapat disubtitusikan. Misalnya, mobil karena memiliki nomer
seri yang unik, sehingga sebuah diler mobil dapat menghitung biaya unit yang
terjual melalui metode identifikasi spesifik. Metode ini bisa juga digunakan untuk
toko perhiasan dan galeri seni.
Persediaan yang dimiliki baik persediaan awal, pembelian, sampai persediaan
akhir dapat diidentifikasi masing-masing nilai perolehannya. Persediaan yang tidak
dapat disubtitusi penjualannya atau pemakaiannya dapat dicontohkan pada
perusahaan dagang yang menjualkan mobil. Jika konsumen sudah menunjuk satu
mobil yang disukai dan hendak dibeli, maka mobil tersebut yang langsung keluar.
Metode identifikasi khusus juga berbeda dengan metode rata-rata tertimbang
dalam menentukan nilai persediaan. Pada metode identifikasi khusus, nilai
persediaan adalah benar-benar sebesar harga perolehan nya. Jadi, tidak dilakukan
perhitungan nilai persediaan dengan menggunakan rata-rata atas nilai persediaan
yang ada dan nilai persediaan yang masuk. Harga pokok penjualan pada metode
identifikasi khusus sebesar nilai perolehan mobil yang dijual tersebut.
Berikut adalah contoh penentuan persediaan identifikasi khusus. Data transaksi
pada perusahaan mobil antik yang sangat langka pada bulan Januari 2020 adalah
sebagai berikut.
Tanggal Keterangan
02 Membeli sebuah mobil A dengan nilai Rp 1.000.000.000,00
10 Membeli sebuah mobil B dengan nilai Rp 2.000.000.000,00
15 Membeli sebuah mobil C dengan nilai Rp 3.000.000.000,00
20 Membeli sebuah mobil D dengan nilai Rp 5.000.000.000,00
25 Menjual mobil A (Rp 1.500.000.000,00) dan mobil C (Rp 4.000.000.000,00)
Dari data di atas, yang terjual adalah mobil yang dibeli tanggal 2 dan 15 Januari.
Jadi, dengan metode identifikasi khusus tidak terikat kapan persediaan diperoleh
seperti metode FIFO dan LIFO. Oleh karena itu, harga pokok penjualan perusahaan
sebesar nilai perolehan mobil yang terjual sebesar Rp 4.000.000.000,00 (Rp
1.000.000.000,00 + Rp 3.000.000.000,00).
Metode identifikasi juga berbeda dengan metode rata-rata tertimbang yang
memiliki satu harga untuk semua jenis produknya. Berdasarkan metode identifikasi
khusus, persediaan dinilai sesuai harga perolehan masing-masing. Jadi, persediaan
akhir perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Keterangan Nominal
Mobil B Rp 2.000.000.000,00
Mobil D Rp 5.000.000.000,00
Jumlah Rp 7.000.000.000,00

B. FIFO (First In, First Out)


Dengan menggunakan metode FIFO, biaya sisa persediaan pada akhir periode
berasal dari biaya perolehan paling akhir. Metode FIFO ini cocok diterapkan kepada
perusahaan yang bergerak dibidang produsen makanan atau barang yang memiliki
tanggal kadaluarsa. Sebagai ilustrasi mengenai metode penilaian persediaan FIFO
dalam sistem persediaan periodik, berikut adalah contoh ayat jurnal persediaan awal
dan pembelian barang pada bulan Januari 2018.

Perhitungan fisik pada tanggal 31 Januari 2018 terdapat sisa persediaan


sebanyak 150 unit. Biaya 150 unit dalam persediaan akhir pada tanggal 31 Januari
2018 dihitung sebagai berikut.

Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 dari


biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga
pokok penjualan sebesar Rp 2.630.000 sebagaimana ditunjukkan seperti berikut ini.

Persediaan akhir 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 berasal dari biaya


perolehan paling akhir. HPP sebesar Rp 2.630.000 berasal dari biaya persediaan
awal dan biaya paling awal. Berikut adalah gambaran hubungan antara harga pokok
penjualan (HPP) untuk bulan Januari 2018 dan persediaan akhir per 31 Januari
2018.
C. LIFO (Last In, First Out)
Saat metode penilaian persediaan LIFO digunakan, sisa biaya persediaan pada
akhir periode berasal dari biaya perolehan paling awal. LIFO dapat diaplikasikan
pada perusahaan dengan persediaan yang tahan lama, tidak mudah rusak, mudah
disimpan sehingga dapat dibedakan mana persediaan yang pertama dibeli dengan
persediaan yang terakhir dibeli. Contoh bidang usaha yang menerapkan metode ini
adalah usaha toko garmen/pakaian, elektronik atau produk teknologi, dan toko
buku.
Berdasarkan data seperti yang sama dengan contoh metode FIFO, biaya 150
unit dalam persediaan akhir per 31 Januari 2018 dihitung sebagai berikut.

Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 dari


biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga
pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.830.000 sebagaimana ditunjukkan berikut ini.

Persediaan akhir per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 berasal dari biaya
perolehan paling awal. HPP (harga pokok penjualan) sebesar Rp 2.830.000 berasal
dari biaya persediaan paling akhir. Hubungan harga pokok penjualan untuk bulan
Januari 2018 dan persediaan akhir per 31 Januari 2018 bisa dilihat pada gambar
ilustrasi berikut ini.
D. Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Method)
Ketika metode ini digunakan, biaya dipadankan terhadap pendapatan sesuai
dengan rata-rata biaya unit yang terjual. Biaya unit rata-rata tertimbang yang sama
digunakan dalam menghitung biaya persediaan pada akhir periode. Untuk
perusahaan yang memiliki barang penjualan yang terdiri dari berbagai pembelian
unit yang identik, penerapan metode biaya rata-rata hampir menyerupai arus fisik
barang. Biaya unit rata-rata tertimbang dihitung dengan membagi jumlah biaya unit
setiap barang yang tersedia untuk dijual selama periode tertentu dengan jumlah unit
barang terkait.
Dengan menggunakan data biaya yang sama dengan contoh metode FIFO
dan LIFO, biaya rata-rata 280 unit adalah sebesar Rp 21.000, dan biaya 150 unit
dalam persediaan akhir, dihitung sebagai berikut.
Biaya unit rata-rata : Rp 5. 880.000/280 unit = Rp 21.000
Persediaan 31 Januari 2018, 150 unit dengan biaya Rp 21.000 per unit = Rp
3.150.000
Mengurangi biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.150.000
dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan
harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.730.000, seperti ditunjukkan berikut ini.

Penggunaan FIFO, LIFO, dan rata-rata tertimbang biasanya akan menghasilkan


jumlah yang berbeda untuk :
 Persediaan akhir
 Harga pokok penjualan (HPP) untuk periode berjalan
 Laba kotor dan laba bersih untuk periode tersebut
Dengan menggunakan contoh sebelumnya, dengan penjualan misalnya sebesar
Rp 3.900.000 yaitu hasil dari perhitungan 130 unit x Rp 30.000, penggalan laporan laba
rugi berikut ini menunjukkan pengaruh setiap metode saat harga naik.
2.6 Penentuan Jumlah Minimum Persediaan
A. Economical Order Quantity (EOQ)
Apabila jumlah kebutuhan persediaan dalam satu periode dapat diketahui
dengan pasti maka Economical Order Quantity (EOQ) bisa diterapkan untuk
menentukan jumlah pembelian yang paling ekonomis. Secara lebih spesifik
pengertian Economical Order Quantity (EOQ) adalah jumlah kuantitas barang yang
dapat diperoleh dengan biaya yang minimal, atau sering dikatakan sebagai jumlah
pembelian yang optimal. Dalam menentukan besarnya jumlah pembelian yang
optimal kita memperhatikan biaya variabel dari penyediaan persediaan tersebut,
baik biaya variabel yang perubahannya searah dengan perubahan jumlah persediaan
yang dibeli atau disimpan maupun biaya variabel yang perubahannya berlawanan
dengan perubahan jumlah persediaan tersebut. Biaya variabel persediaan pada
prinsipnya dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu sebagai berikut.
1. Biaya-biaya yang berubah-ubah sesuai dengan frekuensi pesanan, yang sering
dinamakan procurement costs atau set-up costs,
2. Biaya yang berubah-ubah sesuai dengan besamya "average inventory” yang
sering disebut "storage" atau "carry- ing costs".

Procurement costs atau set-up costs merupakan biaya yang berubah-ubah


sesuai dengan frekuensi pesanan, yang ini terdiri dari :
1. biaya selama proses perjalanan
a. Persiapan-persiapan yang diperlukan untuk pesanan
b. Penentuan besarnya kuantitas yang akan dipesan
2. biaya pengiriman pesanan
3. biaya penerimaan barang yang dipesan
a. Pembongkaran dan pemasukan kegudang
b. Pemeriksaan material yang diterima
c. Mempersiapkan laporan penerimaan
d. Mencatat ke dalam material record cards
4. biaya-biaya processing pembayaran
a. Auditing dan perbandingan antara laporan penerimaan dengan pesanan
yang asli
b. Persiapan pembuatan cek untuk pembayaran
c. Pengiriman cek dan kemudian auditingnya
Set-up costs akan semakin besar apabila Order Quantity semakin besar

Storage atau carrying costs adalah biaya yang berubah-ubah dengan


besarnya persediaan. Penentuan besarnya biaya ini didasarkan atas rata-rata
persediaan, dan biaya ini kadang_ kadang dinyatakan dalam prosentase dari nilai
dalam rupiah dari rata-rata persediaan atau dinyatakan dalam rupiah per unit. Biaya-
biaya yang termasuk dalam carrying cost adalah :
1. Biaya penggunaan/sewa ruangan gudang
2. Biaya pemeliharaan material dan pembebanan untuk kemungkinan rusak
3. Biaya untuk menghitung/menimbang barang yang dibeli
4. Biaya asuransi
5. Biaya modal
6. Pajak dari persediaan yang ada di gudang
Carrying cost akan semakin kecil apabila jumlah material yang dipesan
makin kecil. Besarnya EOQ dapat ditentukan dengan dua formula :

a) Apabila carrying costs-nya dinyatakan dalam prosentase dari persediaan rata-


rata

b) Apabila carrying costs-nya dinyatakan dalam rupiah per unit

Dimana :
R = Kebutuhan bahan selama satu periode
S = Biaya pemesanan
C = Biaya simpan dalam Rp/unit
P = harga persediaan perunit
I = Biaya simpan dalam prosentase
Contoh:
Biaya penyimpanan dan pemeliharaan di gudang adalah 40% dari nilai
rata-rata persediaan. Biaya pemesanan adalah Rp 15.000 setiap kali pesan. Jumlah
material yang dibutuhkan selama setahun sebanyak 1.200 unit dengan harga Rp
1.000 per unitnya.
2𝑅𝑆
EOQ = √ 𝑃𝐼

2(1200)(15000)
=√ 0,40(1000)

= 300 unit
Total Biaya yang dikeluarkan adalah:
Biaya Pemesanan (S) ( 1200/300 x Rp 15.000) = Rp 60.000
Biaya Simpan (C) (300/2xRp 1.000x0,40) = Rp 60.000
Total Biaya = Rp 120.000
Hubungan antara biaya pesanan, biaya penyimpanan barang digudang dan
jumlah biaya selama suatu periode dapat digambarkan sebagai berikutnya.
Berdasarkan gambar diatas tampak bahwa biaya pesan akan semakin
menurun apabila jumlah pemesanan semakin besar untuk setiap kali pesan.
Sebaliknya biaya simpan akan semakin besar apabila jumlah pemesanan
semakin besar setiap kali pesan. Dengan demikian total biaya persedian mula-
mula akan menurun dengan samakin besarnya jumlah pemesanan, tetapi sampai
pada satu titik total biaya akan meningkat. Titik pada saat total biaya terendah
menunjukkan besarnya jumlah persedian yang optimal.

B. Reorder Point dan Safety Stock


Reorder point adalah saat atau titik di mana harus diadakan pesanan lagi
sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan bahan baku yang dipesan
itu adalah tepat waktu. Misalkan kebutuhan bahan selama satu periode adalah
20.000 unit, biaya setiap kali pesan adalah Rp 10.000,- Biaya simpan per unit
sebesar Rp 100. Harga perunit bahan Rp 1.000,- dan EOQnya 2.000 unit.

Kebutuhan akan bahan baku diketahui secara pasti, tetapi untuk melakukan pesanan
diperlukan waktu 8 hari. Dalam satu tahun perusahaan beroperasi selama 320 hari,
selama setahun perusahaan harus melakukan pemesanan sebanyak 10 kali pesanan
atau perusahaan harus memesan setiap 32 hari. Itu berarti bahwa persediaan sebesar
2.000 unit akan habis untuk diproses selama 32 hari.
Dengan demikian perusahaan harus melakukan pemesanan saat persediaan
yang ada hanya cukup untuk beroperasi selama waktu menunggu hingga pesanan
yang baru tiba atau lead time.
2000
Reorder Point (ROP) = 32
× 8 = 500 𝑢𝑛𝑖𝑡
Berarti pesanan harus dilakukan pada saat persediaan mencapai 500 unit.

Apabila pemakaian setiap periode tidak pasti maka perusahaan perlu


mempertahankan safety stock agar ketidakpastian atau keterlambatan datangnya
pesanan yang baru dan pemakaian bahan tidak menunggu operasi perusahaan.
Andaikan perusahaan menentukan safety stock sebesar 200 unit, maka dengan data
yang sama reorder point harus dilakukan saat persediaan mencapai 700 unit, atau
sebesar pemakaian selama lead time ditambah dengan safety stock. Untuk jelasnya
nampak seperti gambar berikut ini.

Pada gambar diatas nampak bahwa beberapa kemungkin dalam pemakaian


dan lead time itu terjadi. Ada kemungkinan besarnya pemakaian setiap periode tidak
pasti, atau kemungkinan lain yakni lead time selama 8 hari tetap kenyataannya
pesanan sudah tiba dalam waktu 7 hari dengan demikian persediaan menjadi lebih

besar dari yang seharusnya. Keadaan lain misalnya pemakaian yang jauh lebih besar
sehingga persediaan yang ada akan habis dalam waktu yang lebih cepat, sementara
pesanan yang baru belum tiba. Oleh karena itu, untuk menghindari masalah
ketidakpastian itu perusahaan perlu mempertahankan persediaan pengaman (safety
stock). Dan safety stock menjadi begitu penting untuk mempertahankan agar
kontinuitas operasi dapat terjamin.

Besarnya persediaan pengaman dipengaruhi oleh banyak faktor, yitu sebagai


berikut.

1. Perkiraan penggunaan di masa yang akan datang. Apabila pemakaian bahan


sangat berfluktuasi dan sulit untuk diramalkan maka sebaiknya perusahaan
mempertahankan persediaan dalam jumlah yang cukup besar.
2. Lead time, apabila lead time sangat sulit untuk diketahui maka persediaan
pengaman juga sebaiknya dalam jumlah yang besar
DAFTAR PUSTAKA

Wiagustini, Ni Luh Putu. 2014. Manajemen Keuangan. Denpasar: Udayana University Pers.
http://duniaakuntan10.blogspot.com/2014/10/persediaan-dengan-metode-identifikasi.html
https://manajemenkeuangan.net/perbandingan-metode-fifo-lifo-dan-biaya-rata-rata/

Anda mungkin juga menyukai