Disusun Oleh:
Kelompok 1
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Puji syukur Kami panjatkan kepada Allah Subhnahu Wata’ala karena rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah IAD/ISD/IBD
dengan judul Manusia dan Pemikiran.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Solehah Muchlas, M.Pd sebagai
dosen pengampuh pada Mata Kuliah IAD/ISD/IBD yang telah memberikan tugas
makalah serta membantu kami dengan memberikan arahan dan penjelasan sehingga
dapat mempermudah kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang ikut serta dalam
membantu penyusunan dan menyelesaikan makalah ini.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
B. Rumusan masalah................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 4
BAB III
PENUTUP .................................................................................................................... 22
A. Kesimpulan........................................................................................................... 22
B. Saran .................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT dengan
sebaik baiknya penciptaan, manusia berbeda dengan makhluk hidup lain nya.
Manusia diberi keistimewaan yaitu otak untuk berfikir. Berbeda hal nya dengan
hewan yang tidak memiliki pola fikir dan tidak mampu dalam berfikir.
Setiap Manusia memiliki banyak perbedaan, baik dari asal negara, ras, suku,
agama, bahkan warna kulit dan bentuk fisik sekalipun. Ada sebagian manusia yang
terlahir dengan fisik yang tidak sempurna. Namun, seperti apapun bentuk nya dan
dari manapun asal negara atau daerahnya semua manusia pasti memiliki otak dan
kemampuan untuk berfikir.
Otak memiliki 3 bagian utama yaitu, otak besar, otak kecil dan batang otak.
Masing masing bagian nya memiliki fungsi yang berbeda beda. Dalam pola fikir
1
I Gusti Bagus Rai Utama, MA,2013 ” Filsafat Ilmu dan logika”, (Universitas Dhyana Pura
Bandung,2013) Hlm 22
1
atau pemikiran otak dibagi menjadi 2 bagian yaitu otak kiri dan kanan. Otak kiri
berfungsi untuk hal hal yang berkaitan dengan logika serta kemampuan dalam
berfikir pengetahuan sains sedangkan otak kanan memiliki fungsi hal hal yang
berkaitan dengan seni, kreatifitas, musik dan lain sebagainya.
Otak akan melahirkan suatu pola fikir atau yang sering kita sebut dengan
kata “pemikiran”. Hal inilah yang membedakan Manusia dengan hewan, karena
hewan walaupun memiliki otak tetapi tidak dapat berfikir dan bekerja secara
maksimal, berbeda hal nya dengan manusia yang memiliki akal untuk berfikir.
Untuk itu, apa yang harus diketahui oleh manusia tentang pemikiran? Kita
sebagai makhluk hidup yang dikaruniai otak untuk berfikir harus paham dan tahu
apa saja yang harus kita ketahui tentang pemikiran, lahir nya pemikiran dan
bagaimana tahapan pola fikir manusia itu agar bisa memanfaatkan nya dengan
semaksimal mungkin.
B. Rumusan masalah
3. apa saja tahapan tahapan yang dilalui manusia dalam proses berfikir?
C. Tujuan penulisan
2
2. untuk mengetahui serta memahami bagaimana keterkaitan antara manusia
dengan pemikiran
3
BAB II
PEMBAHASAN
2
Moh pribadi, 2017,”Tahapan pemikiran Masyarakat dalam pandangan ibn
khaldun”sosiologi reflektif,Vol 11,No2 April 2017.
4
membuktikan/ indikasi bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa
Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan
kehidupannya di dunia.
Dalam konteks yang lebih luas yaitu pada perintah Iqra (bacalah) yang
tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan
pada manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun yang banyak
tersebar dalam Al-Quran Selain itu juga Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan
bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam
segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang
mereka pikirkan.
5
perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung
dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah,
maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, bahkan
dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan
keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
Ada beberapa ahli yang telah mengkaji mengenai perbedaan manusia
dengan makhluk hidup lain nya yaitu hewan. Secara umum komparasi manusia
dengan hewan dapat dilihat dari sudut pandang biologis dan sudut pandang
sosiopsikologis. Secara biologis pada dasarnya manusia tidak banyak berbeda
dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel(1834 – 1919) mengemukakan bahwa
manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang
belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751)
menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan manusia dan
karenanya manusia itu adalah suatu mesin.
manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia adalah
makhluk yang berbudaya (Antropologis), manusia adalah hewan yang ketawa,
sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain
karena manusia adalah hewan yang berfikir/bernalar (the animal that
reason) atau Homo Sapien..3
Definisi manusia menurut beberapa pendapat atau beberapa ahli diantaranya yaitu:
1. Plato (427-328)
Dalam pandangan Plato manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad
dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi
(kekuatan) yaitu logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan
epithymetikon (Keinginan).
3
Dr.Uhar suharsaputra: filsafat. Manusia, berfikir dan pengetahuan
6
2. Aristoteles (384 – 322 SM).
5. Harold H. Titus
Beliau menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he is able to
study himself as organism and to compare and interpret living forms and to inquire
about the meaning of human existence.
7
6. William E. Hocking
Beliau menyatakan : Man can be defined as the animal who thinks in term
of totalities.
7. C.E.M. Joad.
Beliau Menyatakan : every thing and every creature in the world except man
acts as it must, or act as it pleased, man alone act on occasion as he ought.
8. R.F. Beerling.
Beliau Menyatakan bahwa manusia itu tukang bertanya. Dari uraian dan
berbagai definisi tersebut, maka kesimpulan yang dapat diambil mengenai siapa itu
manusia yaitu :
a. Secara fisikal, manusia sejenis hewan juga.
oleh karena itu jika manusia dalam kehidupannya hanya mengurusi urusan
fisik biologis seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh
8
berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi
adalah penggunaan akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan
pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah .masyarakat
beradab dan berbudaya,serta mempunyai keyakinan tentang agama serta tuhan nya.
1. Tidak nyata.
4
Reza A.A Wattimena 2016: tentang manusia, Dari pikiran,pemahaman, sampai dengan
perdamaian dunia, Yogyakarta
9
2. Sementara.
Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca berubah, maka
pikiran juga berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. Dan sebaliknya, ketika perut
kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.
3. Rapuh
Pikiran itu rapuh. Apa yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar.
Bahkan, keyakinan kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada
kesalahan dan penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran
kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan dari semua
bentuk pikiran kita.
Dari tiga ciri mendasar pemikiran manusia tersebut, maka dari mana asal
dan lahirnya pemikiran manusia sebenarnya, selain dari proses bekerjanya akal?
Proses lahirnya pemikiran manusia biasanya berawal dari Kesan yang muncul dari
pengamatan, kemudian Kita melihat dan mengamati sesuatu, lalu timbul kesan
tertentu tentang sesuatu itu.
Oleh karena itu dari pengamatan lalu muncullah pemikiran, dan kemudian
kesan terhadap pengamatan tersebut akan masuk dalam ingatan atau fikiran.
Namun, pengamatan pun selalu membutuhkan pola fikir. Urutan sederhananya
yaitu, Pengamatan dengan indera dan pikiran, lalu melahirkan kesan. Kesan lalu
melahirkan pendapat,dan pendapat lalu mendorong tindakan. Tindakan lalu
membentuk realitas, dan akhirnya, realitas itu diamati lagi dengan indera dan
pikiran. Begitu seterusnya.
Realitas adalah hasil dari bentukan pikiran kita. Karena pikiran kita berubah
berdasarkan dengan pengamatan dan kesan, maka realitas hidup kita pun berubah.
Hari ini, kita bahagia. Besok, mungkin ada masalah yang datang. Pikiran kita begitu
10
mudah berubah, karena berbagai hal, mulai dari kondisi biologis sampai sosial
politik. 5
Oleh karena itu yang harus kita pahami dalam proses lahirnya pemikiran
manusia yaitu lahirnya pemikiran kita bukanlah kebenaran yang sebenarnya Ia bisa
salah, dan bahkan seringkali salah. Realitas dari hasil pemikiran kitapun, bukanlah
realitas sesungguhnya. Karena pada dasar nya pemikiran manusia sering kali
bersifat rapuh, sementara, dan tidak nyata. Apa yang kita pikirkan adalah hal yang
belum menjadi suatu realitas atau kenyataan. Oleh karenanya kita sebagai manusia
harus mampu mengendalikan akal kita.
2. Tahap Metafisis, Manusia merombak cara berpikir lama, yang dianggap tidak
sanggup lagi memenuhi keinginan manusia untuk menemukan jawaban yang
memuaskan tentang kejadian alam semesta.
Ketika berpikir, kita membangun suatu konsep. Proses ini seringkali terjadi
begitu cepat, tanpa disadari. Kita mulai menilai dan memisahkan. Peristiwa, yang
sejatinya adalah peristiwa netral, kini mendapat label baik atau buruk, benar atau
salah, nyaman atau tidak nyaman dan sebagainya. Konsep ini lalu berubah, ketika
5
Reza A.A Wattimena 2016: tentang manusia, Dari pikiran,pemahaman, sampai dengan
perdamaian dunia, Yogyakarta
6
Abidin, Z.2000, Filsafat Manusia: “Memahami manusia melalui filsafat”, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
11
mendapatkan pengalaman atau pengetahuan baru. Kadang, ia lenyap sama sekali.
Dalam konteks lain, ia membesar, karena terus terbuktikan oleh pengalaman.
Dalam kesempatan lain, konsep yang baru pun lahir.
Ada tiga tahapan akal budi atau pemikiran manusia menurut ibn khaldun
yang juga bermakna tahapan masyarakat karena manusia sebagai bentuk individu
dari anggota masyarakat dalam perspektif akal budi. Oleh karena itu, akal budi dan
manusia adalah laksana dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Demikian pula manusia dengan masyarakat.
12
Pada dasarnya manusia itu bodoh. Namun, karena akal budinya ia dapat
berkembang menjadi insan yang berakal budi tidak terbatas. Proses
perkembangannya tampak saat manusia telah mencapai sifat-sifat kemanusiaannya
yang bersumber dari akal. Sifat-sifat kehewanan manusia, bagi manusia, terus
meningkat lagi menuju suatu fase yang oleh Ibn Khaldûn disebut akal pembeda (al-
‘aql al-tamyîzî) dan ini tidak berlaku bagi dunia binatang.
Fase akal budi atau pola pemikiran manusia sebelum al-‘aql al-tamyîzî
relatif sama dengan binatang karena memang manusia pada awalnya bodoh laksana
hewan. “Manusia itu pada hakekatnya bodoh dan menjadi pintar (‘âlim) karena
usaha. (Inna al-Insân jâhilun bi al-dzât ‘âlimun bi al-kasb),” kata Ibn Khaldûn.
Ketika sifat-sifat kehewanan yang melekat pada manusia sampai pada
kesempurnaannya, maka manusia baru mulai memasuki alam akal budi yang
diawali dengan al-‘aql al-tamyîzî tersebut. Pada tahap al-‘aql al-tamyîzî akal budi
manusia masih relatif rendah. Pada tahap ini dapat dikatakan bahwa manusia, dari
sisi mental, baru beranjak pada tahapan setingkat di atas antara manusia dan
binatang.
Tahapan ini merupakan kunci penutup bagi dunia binatang dan sebagai
kunci pembuka bagi manusia untuk maju melebihi hewan dari aspek mental.
Tahapan ini, al-‘aql al-tamyîzî, penting dan dapat membedakan antara manusia dan
hewan. Ibn Khaldûn menyatakan bahwa melalui ‘aql tamyîzî manusia dapat
berpikir dengan tertib. Dikatakan demikian karena pada fase ini manusia mulai
mampu berpikir sampai pada derajat rasio minimalnya yang membedakan benda-
benda dan objek lainnya secara tertib. Ketika perilaku manusia belum tertib,
misalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan, sebagaimana seekor ular
atau binatang lain yang kehidupannya tidak tertib dan tercurahkan untuk memenuhi
rasa lapar dan rakus, maka manusia pada tahap ini (pikirannya) sama seperti hewan.
13
perkembangan pemikiran sama sekali, atau berkembang tetapi sedikit dan lamban.
Sebaliknya, alam pikiran manusia itu dinamis dan cepat berkembang jauh melebihi
makhluk lain, termasuk malaikat.Di balik kebutuhan makan yang harus dicarinya,
manusia dengan otak dan dengan cara-cara yang tertib dan teraturnya berbeda jauh
dengan hewan.
Cara-cara yang sistematis dan tertib ini, menurut Ibn Khaldûn, disebut
sebagai tahapan manusia paling mendasar yaitu, tahap ‘aql tamyîzî, sebagaimana
dinyatakan dalam al-‘Ibar jilid pertama, Muqaddimah.Tahapan pertama akal budi
manusia terwakili oleh daya pikir manusia yang baru mencapai tahap keteraturan
berperilaku. Hal itu berarti bahwa keteraturan perilaku manusia dinilainya sebagai
aspek dasar yang membedakan manusia dengan hewan lainnya. Pada fase ini
manusia baru mencapai satu tahap keistimewaannya sebagai manusia yang berbeda
dengan hewan. Sementara itu, ilmu pengetahuan tentang alam masih terbatas dan
hal-hal di luar itu masih asing. Dengan kekuatan otaknya yang masih terbatas itu,
manusia berada di alam, tempat ia akan mengaitkan kejadian alam dengan “yang
ghaib”atau supranatural.
14
Akal budi manusia pada tahap ini belum dapat berfungsi secara maksimal
meskipun kriteria “luar biasa” yang diberikan kepadanya tetap mengungguli hewan
lainnya. Jelaslah bahwa manusia dan masyarakat pada fase al-‘aql al-tamyîzî belum
mampu melihat atau membaca halhal di luar konteks pembeda. Fenomena di luar
konteks pembeda dianggapnya sebagai hal yang ghaib yang selanjutnya
diserahkannya kepada yang ghaib, sebagaimana yang dalam istilah Comte disebut
fase teologis.
Masyarakat atau manusia pada tahap ini baru dapat menggunakan akalnya
dalam gagasan-gagasan terbatas yang tercermin pada kebutuhan pokok atau dasar
manusia, seperti masalah makan dan minum dan bagaimana cara memperolehnya.
Sementara itu, jaminan keberhasilan untuk mendapatkannya yang didasarkan pada
perhitungan ilmiah, bagi manusia tahap ini, masih lemah. Mereka belum sampai
pada tahapan, saat akal budinya dapat memprediksi dan mengatasi gangguan secara
rasional dalam proses pekembangan awal suatu bibit, budi daya, panen, sampai
menjadi bahan pokok makanan siap saji. Dengan kata lain, dalam mengatasi
gangguan dan rintangan proses kehidupan, akal budi manusia pada tahap ‘aql
tamyîzî cenderung bersifat religi, kepercayaan dan keimanan.
Pada tahapan ini, akal budi manusia naik satu tingkat di atas tahapan akal
pembeda yang identik dengan tahapan teologis. Pada tahap metafisik ini, akal budi
manusia tidak lagi mengatakan bahwa semua peristiwa alam ini disebabkan oleh
ruh, dewa atau tuhan. Pada tahap ini akal budi manusia, di samping berusaha
memenuhi kebutuhan dasar kehidupan secara tertib sebagaimana pada tahapan ‘aql
tamyîzî, lingkupnya mulai meluas pada mencari sebab-sebab lain atas terjadinya
gejala alam dan menempatkan tuhan hanya sebatassebagai sebab (awal).
Sebenarnya pada tahap ini dasar pengetahuan akal budi manusia juga belum
empiris. Ia masih berpikiran apriori dan tidak jelas, tetapi ia sudah berbeda dengan
pola-pola pikiran pada fase teologis meskipun relatif masih metafisik.
15
Ibn Khaldûn memandang manusia pada tahapan kedua ini, di samping
telah memiliki sifat-sifat kehewanan yang sempurna yang sudah mencapai ‘aql
tamyîzî, akal budinya mulai memasuki satu tahapan berikutnya, yaitu ‘aql tajrîbî.
Bagi manusia, tahap ‘aql tajrîbî mengantarkannya kepada satu tahap lebih tinggi
dari tahapan ‘aql tamyîzî, saat sebagai manusia, ia telah mampu memiliki ilmu
pengetahuan. Manusia pada tahap ‘aql tajrîbî, menurutnya, meningkat lagi sehingga
melalui ilmu pengetahuannya mampu menggunakan akal budinya untuk
menghadapi masalah kehidupan yang lebih luas. 7 Wawasan pikirannya tidak lagi
terbatas pada masalah makan dan minum saja. Dengan ilmu pengetahuannya yang
merupakan hasil dari usahanya dalam menjawab sebab akibat atas problem sosial,
manusia pada tahap ini mampu berbuat dan memilih sesuatu yang bermanfaat dan
yang tidak, yang membangun dan yang merusak, yang positif dan yang negatif.
Akal budi manusia pada tahapan ini disebutnya ‘aql tajrîbî (experimental intellect:
percobaan ilmiah). Dinamakan ‘aql tajrîbîkarena lahirnya ilmu pengetahuan
manusia tahap kedua ini telah melalui percobaan, pengalaman dan pengulangan
(tajrîb diambil dari kata kerja jaraba yang artinya mencoba). 8
Tahapan kedua akal budi manusia ini disebut Comte sebagai tahap
metafisik. Comte secara langsung menyebutnya sebagai tahapan pemikiran
masyarakat yang relatif masih bersifat metafisis. Ia tidak berbicara tentang manusia
secara individu, tetapi melihatnya secara kelompok atau sosial. Jika pendapat ini
dikembalikan kepada pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah anak
masyarakat sebagaimana masyarakat adalah kenyataan dari individu-individu
anggotanya9, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldûn
sebagai al-‘aql al-tajrîbî yang berlaku bagi manusia tentu juga berlaku bagi
masyarakat yang notabene bentuk kumpulan manusia.
7
Istilah ilmu pengetahuan yang dimaksud ialah ‘ilm (arab) atau knowledge (inggris),
yaitu pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya; Mulyadhi kartanegara, menembus
batas waktu: Panaroma Filsafat islam (Bandung ;Mizan,2002),hlm.57
8
Ibn khaldun, Muqaddimah, Hlm.374
9
Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif.
Manusia produks sosial. Berger, Tafsir sosial, Hlm 87.
16
3. Al-‘aql al-nadzarî versus tahapan positif
Ada dua kata kunci dalam al-‘aql al-nazharî, yaitu konkret wujûd dan
ghaib. Istilah yang kedua ini (ghaib) cocok disebut sebagai problem atau masalah
yang belum dapat terjawab secara ilmiah dan empiris. Ibn Khaldûn menyatakan
hakekat tahapan ketiga dari perkembangan akal budi manusia yang disebut Ibn
Khaldûn dengan istilah al-‘aql al-nazharî. Jika dibandingkan dengan konsep
tahapan akal budi manusia yang diutarakan oleh Comte, maka tahapan ini
menunjuk pada tahapan positif.
10
Veeger,realitas sosial, hlm 140-141
11
Veeger,realitas sosial, hlm.9
12
Veeger,realitas sosial, hlm.9
17
Kebebasan individu tidak mungkin dipikirkan tanpa adanya ikatan dan
keterikatan dengan orang lain. Independensi individu tidak mungkin ada tanpa
dependensi dari masyarakat. Dengan demikian, bahwa pola-pola positivistik itu
secara tidak langsung sebagai dasar bagi masyarakat modern atau masyarakat baru,
juga berlaku bagi pengertian manusia baru/modern itu sendiri. Akibatnya, dalam
gagasan sosiologi yang bercorak positivistis, ditawarkan konsep tuhan yang,
menurutnya, tidak lebih dari rekayasa masyarakat itu sendiri sebagaimana tampak
dalam definisi tentang agama.
Secara garis besar, akal budi manusia pada tahap positif sudah benar-benar
mengkaji gejala alam melalui hukum-hukum alam yang dapat ditinjau, diuji dan
dibuktikan secara empiris, sebagaimana ilmu pengetahuan positif. Namun,
sebagaimana konsep Ali Syari’ati bahwa manusia itu dapat berkembang secara
tidak terbatas, pembahasan positif akal budi manusia terhadap suatu objek (sosial
khususnya) seharusnya tidak berhenti sampai di situ. Gejala-gejala misterius, dalam
konteks keterbatasan akal budi manusia yang dapat berkembang tidak terbatas itu
menjadi bagian penting sebagai keseimbangan dari yang empiris. Ketiga tahapan
pemikiran manusia menurut ibn khaldun ini sangat penting untuk kita pahami agar
dalam proses berfikir bisa sesuai dengan pemikiran yang sebenar benarnya.
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti
pengetahuan (al-ma’rifah), kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang
hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam. Dari asal kata ‘ilm ini selanjutnya
di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan. Dalam perspektif Islam,
ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh
(ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalanpersoalan
duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyu Allah.
18
dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir
yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak. 13
13
Siti Makhmudah, “Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Modern dan Islam”. AL-
MURABBI Volume 4, Nomor 2, Januari 2018 ISSN 2406-775X
19
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian
Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada satu
konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan
peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu.
Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh
dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas
keesaan Tuhan),
14
Mohammad Kosim,” ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM” (Perspektif Filosofis-Historis).
Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008
20
Adam as, diberi pengaetahuan tentang konsep- konsep seluruhnya (al-asma
kullaha), dan malaikat disuruh bersujud kepadanya, QS. Al- Baqarah/2; 31-33.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22
Ilmu pengetahuan menurut perspektif islam memiliki kedudukaan yang
sangat agung,tinggi dan mulia, nama nya banyak disebutkan didalam alquran serta
banyak jaminan bagi siapapun yang tholabul ilmi. ilmu pengetahuan merupakan
bagian terpenting dalam segala aspek bidang. Khususnya aspek agama. dengan
ilmu pengetahuan kita bisa mempelajari apa itu tauhid, akhlak, ibadah, serta ilmu
ilmu lainnya yang dapat mendekatkan kita kepada sang-pencipta yaitu Allah
SWT.
B. Saran
Dari penjabaran materi di atas mengenai manusia dan pemikiran,
diharapkan agar kita sebagai manusia bisa terus mensyukuri karunia yang telah
Allah SWT berikan kepada manusia, yaitu akal dan pikiran dengan selalu
memanfaatkan nya dengan hal-hal yang dapat bermanfaat tidak hanya untuk diri
sendiri, tetapi banyak orang, Serta mennggunakan akal semaksimal mungkin dalam
segala hal ataupun aspek-aspek dalam kehidupan.
Selain itu juga, diharapkan manusia untuk selalu menuntut ilmu dimanapun,
kapanpun dengan siapapun dengan syarat ilmu yang di pelajari tersebut adalah hal-
hal yang posistif, terlebih lagi persoalan agama yang dapat mendekatkan kita
kepada sang-kholiq yaitu Allah SWT.
23
DAFTAR PUSTAKA
I Gusti Bagus Rai Utama, MA, 2013 ” Filsafat Ilmu dan logika”, (Universitas
Dhyana Pura Bandung,2013)
24