Anda di halaman 1dari 26

Hadist

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh

mata kuliah Agama kelas I semester ganjil tahun ajaran 2015-2016

DISUSUN OLEH :

Aldi Rinaldi Nurmawan (155134004)


Mia Sukmawati (155134020)
Riza Fajriyaturrahmah (155134027)

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV


AKUNTANSI MANAJEMEN PEMERINTAHAN

JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2015

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb,
Syukur alhamdulillah puji dan syukur kami limpah curahkan kepada Allah SWT
atas limpahan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW sehinga kami dapat menyelesaikan tugas perdana ini
tepat pada waktunya dalam penyusunan makalah “AL-HADITS” yang insyaallah
akan bermanfaat menambah wawasan bagi pembacanya. Kami akui ada beberapa
hambatan yang kami hadapi dan berkat dukungan berbagai pihak, makalah inipun
mamp anda nikmati, maka kami ucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang senantiasa memberikan kesehatan, mempermudah
selesainya makalah ini
2. Orang tua yang setiap saat mendoa’akan dan selalu mendukung kami
setiap saat, dimanapun berada.
3. Pak Waway Qodratulloh selaku dosen agama yang memberi tugas ini
Kami harap makalah ini selanjutnya dapat dipergunakan dengan sebaik mungkin
bagi pembacanya, kami menerima kritik dan saran mengingat tugas ini masih belum
sempurna. Karena kekurangan adalah tempatnya manusia dan kesempurnaan
hanyalah milik-Nya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandung, Oktober 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................... 1
Kata Pengantar................................................................................................... 2
Daftar Isi...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................5
BAB II ISI
2.1 Pengertian Hadits dan Sunnah..............................................................6
2.2 Kedudukan Hadits terhadap Al-qur’an.................................................7
2.3 Macam-macam Sunnah.........................................................................7
2.4 Tingkatan Hadits ..................................................................................13
2.5 Istilah dalam Ilmu Hadits .....................................................................13
2.6 Sejarah Penulisan Hadits ......................................................................15
2.7 Kitab-kitab Hadits ................................................................................18
BAB III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan...........................................................................................24
Daftar Pustaka......................................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua umat Islam telah sepakat bahwa Hadits Rasul adalah sumber
dan dasar hukum Islam setelah Al – Qur’an.Umat Islam diwajibkan
mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti
dan mengamalkan Al – Qur’an.. Dilihat dari sudut periwayatannya, jelas
antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan
Hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi
berlangsung secara ahad.
Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat
Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami
syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua
sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak
diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu
keduanya.
Banyak kita jumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits yang
memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum islam
selain Al-Qur’an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah yang dapat


dirumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimana kedudukan hadist terhadap Al-Quran?
2) Apa saja macam-macam sunnah?
3) Apa saja istilah dalam ilmu hadist?
4) Bagaimana sejarah penulisan hadist?
5) Apa saja kitab-kitab hadist?

4
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


1) Untuk mengetahui kedudukan hadist terhadap Al-Quran
2) Untuk mengetahui macam-macam sunnah
3) Untuk mengetahui istilah-istilah dalam ilmu hadist
4) Untuk mengetahui sejarah penulisan hadist
5) Untuk mengetahui apa saja kitab-kitab hadist

5
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Hadits dan Sunnah

As-Sunnah dan Al-Hadits merupakan dua hal yang berbeda. As-


Sunnah adalah segala ucapan dan perbuatan Rasulullah saat beliau masih
hidup. Sedangkan Al-Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru
dilakukan setelah Rasulullah wafat. Saat Rasulullah masih hidup, beliau
justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan perbuatan beliau.
Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan al-qur’an yang sedang
dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian.Hal itu
diungkap, salah satunyadalam muqadimah Al-qur’an keluaran Arab Saudi
dalam bab penyusunan Al-Qur’an.
Maka pengertian khusus hadits adalah segala perkataan (sabda),
perilaku dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Secara umum pengertian Hadits Rasulullah SAW adalah catatan tentang:
1] Segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW.
2] Segala sesutu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
3] Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh
Nabi Muhammad SAW.
4] Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif
oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada juga catatan khusus mengenai perkataan atau perilaku beberapa
Sahabat (secara pribadi dan independen tanpa melibatkan unsur Rasulullah
SAW) yang juga dicatat didalam kitab-kitab hadits. Hal tersebut boleh
dimanfaatkan sebagai petunjuk atau bimbingan, namun tidak bisa
dikategorikan sebagai Hadits Rasulullah SAW.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-
Qur’an, Ijma Sahabat dan Qiyas Ulama, dimana dalam hal ini, kedudukan
hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dari para Imam periwayat hadits hanya Imam Bukhari dan Imam
Muslim yang secara khusus hanya meriwayatkan hadits-hadits berderajat
shohih saja. Sedangkan selain beliau berdua, para Imam periwayat hadits
juga mencatat hadits-hadits yang derajatnya dibawah kriteria shohih, namun
biasanya para Imam tersebut selalu menyebutkan derajat hadits yang ditulis
dalam kitab sunannya apakah derajatnya shohih, atau dhoif, bahkan hadits
palsu, dsb. Bahkan ada imam ahli hadits yang secara khusus menulis kitab

6
yang hanya mengumpulkan dan membahas hadits-hadits palsu saja (dengan
tujuan sebagai ‘peringatan’ bagi pembaca agar berhati-hati jangan sampai
menggunakan hadits-hadits palsu tersebut).

2.2 Kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an

Keharusan mengikuti hadits bagi umat islam (baik berupa perintah


atau larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal
ini terjadi karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap al-qur’an
karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-qur’an tanpa memahami
dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al-
qur’an karena Al-qur’an merupakan dasar hukum pertama yang didalamnya
berisi garis besar syariat. Dengan demikian antara hadits dan Al-qur’an
mempunyai kaitan yang sangat erat untuk memahami dan mengamalkan
tidak dapat dipisahkan atau berjalan dengan sendiri-sendiri.

2.3 Macam-macam sunnah

Macam Sunah atau hadist bisa dibedakan menjadi tiga yakni sunnah
qauliyyah, sunnah fi'liyyah dan sunnah taqririyyah.
Berikut ini penjelasan mengenai ketiga sunah atau hadist tersebut disertai
contohnya :

2.3.1 Sunnah Qauliyyah

Yaitu sunnah yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW


dalam bentuk perkataan . Artinya adalah sunah yang terdapat dalam hadist
- hadist yang bersifat perintah dalam bentuk ucapan Nabi Muhammad
SAW.
Contoh:

"Setiap amal perbuatan tergantung pada niat, dan setiap orang


mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa berhijrah ( menuju
kebenaran) karena Allah dan Rasul-Nya , maka sesungguhnya hijrah yang
dia lakukan benar - benar menuju Allah swt  dan Rasul-Nya. Dan barang
siapa berhijrah karena dunia atau wanita yang hendak dinikahi , maka dia
akan mendapatkannya " (Muttafaq Alaih)

"Termasuk hal yang dapat menyempurnakan keislaman seseorang ialah


kerelaannya untuk meninggalkan apa yang tidak berguna" (H.R.Muslim)

2.3.2 Sunnah Fi’liyyah

7
Yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
dalam bentuk perbuatan. Sunnah ini dapat ditemukan dalam hadist - hadist
Nabi yang memerintahkan kepada sahabat untuk mengikuti perbuatan nabi
Muhammad SAW.
Contoh: 

"Dalam sebuah perjalanan , Rasullulah saw salat di atas kendaraan


menghadap sesuai arah kendaraan.Apabila beliau hendak melakukan salat
fardu, beliau turun sebentar , terus menghadap kiblat " (H.R. Muslim)

""Konon Nabi Muhammad saw mengenakan jubah sampai di atas mata


kaki" (H.R.Al-Hakim)

2.3.3 Sunnah Taqririyyah

Yaitu perbuatan sahabat yang mendapatkan persetujuan dari Nabi


Muhammad SAW.
Contoh:

"Tidak (maaf) , berhubung (binatang) itu tidak terdapat di kampungku,


aku jijik kepadanya! , Khalid berkata, "Segera aku memotongnya dan
memakannya, sedangkan Rasullulah saw melihatku"." (Muttafaq
Alaih)

Dari tiga jenis sunah di atas , menurut para ulama , sunah qauliyyah
merupakan yang paling tinggi tingkatannya, disusul fi'liyyah dan taqriyyah

2.4 Tingkatan Hadits

Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2


(dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang
diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan.
Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.

2.4.1 Hadits Yang Diterima (Maqbul)

Hadits yang diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum


dibagi menjadi 2, yaitu :

2.4.1.1 Hadits Shahih

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang


dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah:

8
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak
janggal.
Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah
disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah:
Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan
maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

Syarat-Syarat Hadits Shahih:


Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah
memenuhi kriteria berikut ini:
 Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan
menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan
perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti
pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
 Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih
banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada
kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya
dan maknanya
 Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat
dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu
dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
 Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshahihan suatu hadits)
 Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lebih rajin daripadanya.

2.4.1.2 Hadits Hasan

Secara bahasa Hasan adalah sifat yang bermakna indah.


Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti
yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar :
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya,
yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan
datangnya sampai kepada Nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya
keganjilan.
At-Tirmizy dalam Al-Ilal :
Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan
diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi :
Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para
perawinya.
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia
meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu

9
Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk
kalangan Makkah.

Jumhur ulama :
Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu
kuat
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat
serta kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada
sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat
kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu
jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.

Klasifikasi Hadits Hasan


 Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits
yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang
kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan
untuk menggosok gigi setiap waktu shalat
 Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak
nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak
adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik
berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang
lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah),
namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi
hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan
wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
"Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang
sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun
membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy
dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan
bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur
lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.

Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya


ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya
ialah yang bersanad ahsanualasanid.

10
Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang
lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada
derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu
kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain
yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.

2.4.2 Hadits Mardud (Tertolak)


Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih
dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits
yang tertolak.
Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu.
Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang
bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits
dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu,
hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.

2.4.2.1 Hadits Dhaif

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan
hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk
dijadikan dasar hukum.

Penyebab Tertolak
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif,
yaitu:

1) Adanya Kekurangan pada Perawinya


Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya
karena:
 Dusta (hadits maudlu)
 Tertuduh dusta (hadits matruk)
 Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
 Banyak waham (prasangka) disebut hadits mua’allal
 Menyalahi riwayat orang kepercayaan
 Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
 Penganut Bid’ah (hadits mardud)
 Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2) Karena Sanadnya Tidak Bersambung


 Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits
Mu’allaq
 Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut
hadits mursal

11
 Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih
berturut-turut disebut hadits mu’dlal
 Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathia’

3) Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah


Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa
juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan
suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’a
Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits
dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka
tidak mengingkarinya

Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif


Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif)
untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang.
Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq
dan lain-lain.
Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk
menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul
a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan
pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits
dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal.
Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul
Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun
menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat
periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran
mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu
hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah
keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing
adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah
Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits
dari Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa
hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari
Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-
Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha
membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan
targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada
derajat maudhu' (palsu).
Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah.
Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu

12
membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang
hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah.
Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah
hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh
menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu
berpahala besar.
Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits
yang kuat. Lagi pula kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk
memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga
harus terpenuhi, antara lain:
o Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi
yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai
pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya
tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat
parah kelemahannya.
o Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar
yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya
dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan
hadits yang lemah.
o Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang
disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini
bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita
terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah
SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.

2.5 Istilah dalam ilmu Hadits

2.5.1 Sanad Hadits

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu


yang berati mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang
dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadist itu
bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis difinisi sanad ialah : ” silsilah orang-orang
yang mehubungkan kepada matan hadis”.
Silsilah orang maksudnya ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang
meyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai
kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya
merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan
sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut
pribadi secara perorangan.

13
2.5.2 Matan Hadits

Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa


irtafa’amin al-aradhi(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah
matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi
atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana
misalnya, disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad .
Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis
setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan
dengan :”lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna
tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut
matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya
ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

2.5.3 Rawi Hadits

Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang
memberitakan hadis. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang
merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir
sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga
disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi yabaqah berikutnya.
Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika dilihat dari
dalam dua hal yaitu:

a. Dalam hal pembukuan hadits


Orang-orang yang menerima hadits kemudian megumpulkanya
dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi
dapat disebutkan dengan mudawwin, kemudian orang-orang yang
menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain, tanpa
membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat
disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi pada setiap tabaqagnya,
tetapi tdak setiap perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang
langsung membekukanya.

14
b. Dalam penyebutan silsilah hadits
Untuk susunan sanad, berbeda dengan peyebutan silsilah susunan
rawi.
Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang
lasung meyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya. Sedangkan pada
rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW. Dengan
demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya.
Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi terakhir

2.5.4 Rijalul Hadits

Ilmu rijalul hadits adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan-
keadaan perowi, perjalanan hidup mereka baik dari kalangan sahabat dan
tabi’in. Dalam definisi lain dapat disimpulkan bahwa ilmu rijalul hadits
adalah sejarah perowi-perowi hadits dan mazhab-mazhab yang mereka
pegang yang dengan mempelajari sejarahnya dapat diterima atau ditolaknya
riwayat mereka.
Tidaklah sempurna ilmu seseorang dalam bidang hadits apabila dia tidak
mengetahui atau mendalami ilmu ini.

Sekilas pentingnya hubungan sanad dan matan


Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada
pada setiap hadist, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan
tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa
ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat
disebutkan hadits, sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung
sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut
hadist.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan
sanad diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan
perlunya penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar
sumbernya dari rasul atau bukan.Upaya ini akan menentukan bagaimana
kualitas hadits tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at
islam.
Dan untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa itu unsur-unsur hadis
dan kaitan lainya yang berhubungan dengan unsur-unsur hadis seperti rawi,
dan sebagian lainya perlu kita pelajari

2.6 Sejarah penulisan hadits

15
Hadist merupakan salah satu pilar utama dalam agama islam setelah
Al Quran. Pentingnya hadist dalam islam membuat Rasulullah serta para
sahabat dan orang orang yang mengikuti jalannya menaruh perhatian besar
atasnya. Penulisan hadist adalah satu bukti perhatian besar Rasulullah dan
para sahabat akan hadist.
Sejarah penulisan dimulai pada awal masa kenabian, awalnya
Rasulullah melarang para sahabatnya menulis hadist, seperti riwayat dari
Abu Said Al Khudry,

‫ال تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه‬

“Janganlah kalian menulis dari ku, dan barangsiapa yang telah menulis
dari ku selain al Quran maka hapuslah”. (HR. Muslim).

Namun di akhir hayatnya Rasulullah mengizinkan penulisan hadits


seperti yang diriwayatkan, dari Abdulllah bin Amr bin Ash, beliau
mengatakan,

ُ‫ أَتَ ْكتُب‬: ‫الُوا‬jjَ‫ َريْشٌ َوق‬jُ‫ فَنَهَ ْتنِي ق‬، ُ‫ه‬j‫ظ‬ َ ‫ ُد ِح ْف‬j‫لم أُ ِري‬jj‫ت أَ ْكتُبُ ُك َّل َش ْي ٍء أَ ْس َم ُعهُ ِم ْن َرسُو ِل هللاِ صلى هللا عليه وس‬ُ ‫ُك ْن‬
،‫ب‬ ِ ‫ا‬jjَ‫ت َع ِن ْال ِكت‬ ُ ‫ ْك‬j‫ فَأ َ ْم َس‬، ‫ا‬j‫ض‬
َ ‫ َوال ِّر‬، ‫ب‬ َ ‫ُك َّل َش ْي ٍء تَ ْس َم ُعهُ َو َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم بَ َش ٌر يَتَ َكلَّ ُم فِي ْالغ‬
ِ ‫َض‬
ْ ُ ‫أ َ بِأ‬jj‫ فَأَوْ َم‬، ‫ت َذلِكَ لِ َرسُو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
‫ا‬jj‫ ِد ِه َم‬jَ‫ي بِي‬j‫ ا ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِس‬: ‫ا َل‬jjَ‫ فَق‬، ‫ ِه‬j‫بُ ِع ِه ِإلَى فِي‬j‫ص‬ ُ ْ‫فَ َذكَر‬
ٌّ ‫يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ إِالَّ َح‬.
‫ق‬

“Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah karena aku
ingin menghafalnya. Kemudian orang orang Quraisy melarangku, mereka berkata,
“Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah? Dan Rasulullah adalah
seorang manusia, kadang berbicara karena marah, kadang berbicara dalam
keadaan lapang”. Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi, sampai aku
bertemu dengan Rasulullah dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau
bersabda sambil menunjukkan jarinya ke mulutnya, “tulislah! Demi yang jiwaku
ada di tanganNya, tidak lah keluar dari mulutku ini kecuali kebenaran”. (HR.
Adu Dawud, Ahmad, Al Hakim).

Dua hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melarang


penulisan hadits, dan membolehkan penulisan hadist.
Para ulama Rabbani mereka mempunyai pendapat akan dua hadits
tersebut:
Pendapat pertama

16
Mereka menjamak semua hadits pelarangan dan pembolehan, dan
berpendapat bahwa Rasulullah melarang penulisan hadits karena beberapa sebab
diantaranya :
1. Pelarangan penulisan hadits terjadi jika hadits di tulis dalam lembaran
yang sama
bersama Al Quran.
2. Pelarangan penulisan hadits terjadi saat wahyu Al Quran masih turun,
karena Nabi takut tercampurnya Al Quran dengan hadist.
3. Pelarang penulisan hadits terjadi karena Nabi takut kaum muslimin
akan sibuk terhadap hadist melebihi kesibukkannya terhadap Al Quran.
4. Pelarangan penulisan hadits dikhususkan untuk yang mempunyai
hafalan yang kuat dan di bolehkan jika tidak memiliki hafalan yang kuat.
Pendapat kedua
Ulama berpendapat bahwa hadits-hadits tentang pelarangan penulisan
haditstidak ada yang shohih, karena menurut sebagian para Ulama hadist dari Abu
Sa’id di atas adalah mauquf seperti yang di nukilkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab
Fathul Bari.
Pendapat ketiga
Dari para ulama seperti Imam Al Baghowi, Ibnu Qutaibah, Imam Nawawi,
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimyah mengatakan bahwa hadits -hadits pelarangan
itu terhapus dengan hadits -hadits pembolehan penulisan hadits , bahkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menukil bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.

Kesimpulan :
Dari semua pendapat Ulama, bahwasanya penulisan hadits itu di bolehkan,
bahkan di sunnahkan menulisnya dan sudah terjadi di zaman Rasulullah.
Bahkan terdapat Ijma dari para ulama akan bolehnya penulisan Hadist Nabi
seperti yang di cantumkan oleh Al Qodi Iyadh dalam kitab Ikmal AlMu’lim, Ibnu
Solah dalam kitab Ulumu Al Hadist, Ibnu Atsir dalam kitab Jami’ Al Usul, dan
Imam Dzahabi dalam kitab Siyar, Juga Al Iraqi dalam Alfiyah.
Pada zaman Sahabat radhiallahu’anhum terdapat beberapa kemajuan
pengumpulan dan penulisan hadist, itu di tandai dengan adanya Suhuf atau
lembaran lembaran yang di milki oleh sebagian sahabat seperti :
Shohifah Abu Bakar As Sidiq (Lembaran Abu Bakar As Siddiq)
Di riwayatkan dari Anas Bin Malik Sesungguhnya Abu Bakar pernah
mengutusnya untuk mengambil sedekah dari kaum muslimin, dan menuliskan di
lembaran tersebut faraid Sedekah dan disana juga terdapat cap cincin Rasulullah”.
Sohifah Ali Bin Abi Tholib (Lembaran Ali Bin Abi Tholib)
Di riwayatkan oleh Abi Juhaifah

17
‫ا في‬jj‫لم أو م‬jj‫ل مس‬jj‫ إال كتاب هللا أو فهم أعطيه رج‬، ‫ ال‬:‫ قلت لعلي هل عندكم كتاب ؟ قال‬:‫عن أبي جحيفة قال‬
‫ العقل وفكاك األسير وال يقتل مسلم بكافر‬:‫ قلت فما في هذه الصحيفة ؟ قال‬:‫ قال‬. ‫هذه الصحيفة‬.

“Aku bertanya kepada Ali Bin Tholib, apakah engkau mempunyai sesuatu
yang tertulis dari Rasulullah?”. Ali menjawab, “ Tidak, kecuali Kitabullah, atau
pemahaman yang ku berikan kepada seorang muslim, atau yang ada di lembaran
ini”.
Aku berkata, apa yang di dalam lembaran itu?, beliau menjawab,
“ Al Aql, serta hukum tentang tawanan perang, dan janganlah seorang
muslim membunuh orang kafir”.

Sohifah Abdullah bin Amr bin Ash atau di kenal dengan Sohifah
Sodiqoh (Lembaran Kebenaran)
Di riwayatkan dari Mujahid, “Aku pernah mendatangi Abdullah bin Amr,
kemudian aku membaca lembaran yang berada di bawah tempat tidurnya, lalu ia
melarangku, akupun bertanya kepadanya mengapa melarangku membacanya,
beliau menjawab,

‫هذه الصادقة هذه ما سمعت من رسول هللا صلى هللا عليه ليس بيني وبينه أحد‬

“Ini adalah lembaran (yang berisi) kebenaran, ini adalah yang aku dengar
langsung dari Rasulullah”.

Para sahabat saling menulis hadits

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat Nabi berpencar mendakwah agama


yang mulia ini, maka jauhnya jarak mereka membuat sebagian mereka tidak
mengetahui hadist yang ada pada suadaranya,hal ini membuat mereka saling
menulis hadist yang mereka punya, kemudian memberikan kepada sahabat yang
lain yang tidak mengetahui hadist tersebut, seperti tulisan Jabir bin Samuroh
kepada Amir bin Saad bin Abi Waqqash, juga tulisan Usaid bin Khudoir kepada
Marwan bin Hakam berisi hadist Nabi dan beberapa keputusan atau pendapat Abu
Bakar, Umar, Ustman, dan tulisan Zaid bin Arqom kepada Anas bin Malik.

2.7 Kitab-kitab hadits

Muslim Sunni melihat enam kitab hadis utama ini sebagai himpunan hadis
yang terpenting. Berikut merupakan senarai kitab-kitab tersebut, mengikut aturan
ketulenan:

18
1. Sahih Bukhari, himpunan Imam Bukhari (m. 870), mengandungi 7275
ahadith
2. Sahih Muslim, himpunan Imam Muslim (m. 875), mengandungi 9200
ahadith
3. Sunan al-Sughra, himpunan Imam Nasa'i (m. 915)
4. Sunan Abu Daud, himpunan Imam Abu Daud (m. 888)
5. Jami' at-Tirmizi, himpunan Imam Tirmidzi (m. 892)
6. Sunan Ibnu Majah, himpunan Imam Ibnu Majah (m. 887)
Dua yang pertama, lazimnya dirujuk sebagai Dua Sahih sebagai tanda
ketulenan mereka, mengandungi sekitar 7 ribu hadis semuanya, tanpa mengira
yang berulang, mengikut Ibnu Hajar.

2.7.1 Kitab Al-Jami’

Menurut etimologinya al-Jami’ artinya “yang menghimpun” sehingga


dapat dipahami bahwa kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun banyak hal.
Karena itulah, menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua
macam, yaitu:
Dilihat dari segi pokok kandungan hadis yang dihimpunnya, pengertian
kitab al-Jami’ adalah kitab hadis yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya
terhadap semua pembahasan agama. Di antaranya masalah iman, thaharah, ibadah,
mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah
dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan antara kitab al-jami’ dan kitab al-
Musannaf. Karena hanya disusun berdasarkan permasalahan tertentu dan
umumnya adalah mengenai persoalan fikih, sedangkan al-Jami’ lebih umum.
Dilihat dari segi sumber rujukan hadis-hadis yang dihimpunnya,
pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berasal
dari kitab-kitab hadis yang telah ada.
Hanya saja secara umum, kitab al-Jami’ dimaknai dalam pengertiannya
yang pertama yaitu kitab disusun berdasarkan bab dan mencakup hadis-hadis dari
berbagai sendi ajaran Islam.
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari (194-256 H),
kitab tersebut ia beri nama “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min umuri
Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi". kitab tersebut
dinamakan al-Jami’ karena di dalamnya mencakup masalah yang beraneka ragam,
termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.

2.7.2 Kitab As-Sunan

19
As-sunan yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqhi
dan hanya memuat hadis-hadis yang marfu’ saja agar dijadikan sumber bagi para
Fuqaha dalam mengambil sebuah kesimpulan. As-sunan tidak terdapat
pembahasan tentang Sirah, Aqidah, Manaqib, dan lain-lain. As-sunan hanya
membahas masalah fiqhi dan hadis-hadis hukum saja. Al-Kittana mengatakan
bahwa susunan kitab sunan berdasarkan bab-bab tentang fiqhi mulai bab tentang
Iman, Tharah, Sholat, Zakat, Puasa, Haji, dan seterusnya.
Kitab-kitab sunan yang terkenal adalah : Sunan Abu Daud karya Sulaiman
Bin Asy’ast As-Sijistani (W 275 H), Sunan An-nasa’i karya Abdurrahman Ahmad
Bin Syu’aib An-nasa’I (W 303 H), Sunan Ibnu Majah karya Muhammad Bin
Yazid bin Majah Al-Qazwiniy (W 275 H), dan yang lainnya.
Salah satu kitab yang disusun secara sunan adalah kitab Sunan Abu
Dawud. Kitab tersebut disusun berdasarkan fiqhi dan hanya memuat hadis-hadis
marfu’ dan tidak memuat hadis-hadis mauquf dan maqtu’, sebab menurutnya
keduanya tidak disebut sunnah. Dalam Sunan Abu Dawud terdapat beberapa kitab
dan setiap kitab terbagi dalam beberapa bab. Adapun perinciannya adalah : 35
Kitab, 1871 Bab, dan 4800 hadis. Ada juga yang mengatakan bahwa hadis dalam
Sunan Abu Dawud berjumah 5274 hadis.

2.7.3 Kitab Al-Mushannaf

Menurut istilah ahli hadis mushannaf adalah sebuah kitab hadis yang
disusun berdasarkan bab-bab fiqhi, yang didalamnya terdapat hadis marfu’,
mauquf, dan maqtu’. Karena mushannaf adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan kitab fiqih, maka Muwatta’ termasuk didalamnya.
Salah satu contoh hadis yang menggunakan metode ini adalah kitab al
muwatta’ karya Imam Malik. Secara eksplisit tidak ada pernyataan yang tegas
tentang metode yang dipakai oleh Imam Malik dalam menghimpun kitabnya al
muwatta’, namun secara implicit dengan melihat paparan Imam Malik dalam
kitabnya dapat diketahui bahwa metode yang ia gunakan adalah metode
mushannaf atau muwatta’.
Disamping itu Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan
penyeleksian terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, kepada sahabat
atau fatwa sahabat, fatwa tabi’in, ijma' ahli Madinah, dan pendapat Imam Malik
sendiri. Dalam hal ini ada empat kriteria yang diutarakan oleh Imam Malik dalam
mengkritisi para periwayat hadis yaitu:
o Periwayat hadis bukan orang yang berprilaku jelek
o Bukan ahlul bid’ah
o Bukan orang suka berdusta
o Bukan orang yang tau ilmu tapi enggang mengamalkannya.

20
Meskipun Imam Malik telah berusaha seselektif mungkin dalam
Memfilter hadis-hadis yang ia terima untuk dihimpun, tetap saja
ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap
kualitas hadis-hadisnya. Misalnya Sufyan bin Uyainah dan al Suyuti
mengatakan seluruh hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik adalah
sahih karena diriwayatkan dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Abu Bakar Al Abhari berpendapat tidak semua hadis dalam kitab al
muwatta’ sahih, ada yang mursal, mauquf, dan maqtu’. Ibnu Hazm berpendapat
bahwa dalam kitab All Muwatta’ terdapat 300 hadis mursal dan 70 hadis dhaif.
Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa didalamnya terdapat hadis mursal
bahkan hadis mungqati’.
Berdasarkan kitab yang telah ditahqiq oleh M. Fuad abdul Baqi’, kitab al
muwatta’ Malik terdiri dari 2 juz, 61 bab, dan 1824 hadis. Berbeda dengan
pendapat M. Syuhudi Ismail yang mengatakan bahwa kitab almuwatta’ terdiri
dari 1804 hadis.

2.7.4 Kitab Al-Mustadrak

Penyusun kitab al mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat


hadis-hadis yang tidak dimuat didalam kitab-kitab hadis sebelumnya, padahal
hadis itu shahih menurut syarat yang dipergunakan oleh ulama tersebut. Salah satu
kitab Mustadrak yang terkenal adalah al Mustadrak ala Shahihaini karya al Hakim
al Naisabury (321-405 H).

2.7.5 Kitab Al-Mustakhraj

Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang


diriwayatkan oleh Bukhary atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya,
kemudian sipenyusun meriwayatkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad
sendiri yang berbeda. Misalnya: mustakhraj shahih bukhary susunan Al Jurjaniy.

2.7.6 Kitab Al-Musnad

Sebuah kitab hadis dinamakan musnad apabila ia memasukkan semua


hadis yang pernah ia terima dengan tanpa menerangkan derajat ataupun nyaring
hadis-hadis tersebut. Kitab musnad berisi tentang hadis-hadis kumpulan hadis,
baik itu hadis shahih, hasan dhaif. Atau kitab hadis yang disusun menurut nama
rawi pertama yang menerima dari Rasul selanjutnya sampai pada perawi terakhir.

21
Mencari suatu hadis dalam kitab ini sangatlah rumit, tapi dengan terbitnya
Tiftah Kunusi, al-Mu’jam al-Mufahrasy dan Taysirul Manfaah, maka kesukaran
itu pun hilang.
Al-masanid yang dibuat oleh para ulama hadis sangatlah banyak. Menurut
al-Kattani jumlahnya sebanyak 82 musnad dan menurutnya lebih banyak dari itu.
Adapun Musnad yang terkenal adalah : Musnad Imam Ahmad Bin Hambal (W
241 H), Musnad Abu Dawud Sulaiman Bin Dawud Ar-rashili (W 204 H), Musnad
Abu Bakar Abdullah Bin Azzubair Al-humaidy (W 219 H), dan lain-lain.
Musnad-musnad ini sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak hanya
berisi kumpulan-kumpulan hadis shahih saja, tetapi mencakup semua kualitas
hadis dan berurutan sesuai bab fiqhi saja tetapi juga berdasarkan urutan nama
sahabat.
Karena kitab Musnad jumlahnya cukup banyak maka dalam menentukan
title sahabat ada yang berdasarkan alphabet atau abjad berdasarkan sahabat yang
pertama tama masuk Islam, ada yang berdasarkan Al-asyaratul Mubassyirina Fil
Jannah atau sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga dan lain-lain.
Salah satu kitab musnad yang dijadikan kitab Al-ushuliy (sumber) adalah
musnad Ahmad Bin Hambal. Musnad Ahmad Bin Hambal termasuk kitab
termasyhur yang disusun pada periode tahun kelima perkembangan hadis (abad
ketiga Hijriyah). Kitab ini menghimpun dan melengkapi kitab-kitab hadis yang
ada sebelumnya dan merupakan satu kitab yang yang dapat memenuhi kebutuhan
kaum muslimin dalam dalam hal agama dan dunia pada masanya. Seperti halnya
ulama-ulama abad ketiga semasanya, Imam Ahmad Bin Hambal menyusun kitab
haditsnya secara musnad. Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnadnya
tersebut tidak semua diriwayatkan olehnya, akan tetapi sebagiannya merupakan
tambahan dari putranya Abdullah dan juga Abu Bakar Al-qat’i.
Musnad Ahmad Bin Hambal memuat 40.000 hadis dan 10.000 diantaranya
dengan berulang serta tambahan dari putranya Abdullah dan Abu Bakar Al-qat’i
kurang lebih 10.000 hadis.
Secara umum terdapat tiga penilaian ulama yang berbeda tentang derajat
hadis dalam kitab hadis Musnad Ahmad Bin Hambal antara lain : 
o Seluruh hadis yang terdapat dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal
dapat dijadikan sebagai Hujjah
o Dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih, dhaif,
dan bahkan maudhu
o Dalam kitab Musnad Ahmad Bin Hambal terdapat hadis shahih dan
dhaif dan mendekati hasan
Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Zahadi, Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Ibnu Taimiyah dan Assuyuti.

22
2.7.7 Kitab Al-Mu’jam

Mu’jam disusun mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut susunan nama
guru-guru mereka. Nama guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama
atau laqob mereka.
Mu’jam juga hanya mengumpulkan Hadis-hadis Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tanpa melihat kwalitas Hadis-hadisnya.
Contoh kitab-kitab mu’jam ialah Mu’jam Tabrani, Mu’jam kabir, Mu’jam
as-Sayuti, dan Mu’jam as-Saghrir, Mu’jam Abi Bakr, ibn Mubarak, dan
sebagainya.
Kitab rijal yang mengumpulkan orang-orang yang tersebut dalam
meriwayatkan Hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
mengikiut ejaan bersama dengan kuniyyahnya. Ini semua adalah untuk
memastikan kesahihan sesebuah Hadis.

23
BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Hadits dan sunnah merupakan dua hal yang berbeda dimana sunnah
merupakan model kehidupan Nabi sedangkan Hadits adalah periwayatan dari
model kehidupan Nabi yang ditulis oleh para ulama, namun keduanya sama-sama
berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Hadits merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-qur’an dimana
merupakan penjelas (mubayyin) dari ayat-ayat Al-qur’an maka keduanya harus
dilakukan secara beriringan.
Sunnah itu sendiri dibagi menjadi 3 yaitu Sunnah Qauliyyah, Sunnah
Fi’liyyah, Sunnah Taqririyah. Dari tiga jenis sunah tersebut, menurut para ulama,
sunah qauliyyah merupakan yang paling tinggi tingkatannya, disusul fi'liyyah dan
taqririyyah.

24
Daftar Pustaka

http://e-nasehat.blogspot.co.id/2011/05/perbedaan-makna-as-sunnah-dan-al-

hadits.html?m=1

http://akhmadandikfirdaus.blogspot.co.id/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-

terhadap-al.html?m=1

http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/01/mengenal-kitab-kitab-
hadits.html#ixzz3nOSnMDIh

http://pendidikan.blogspot.co.id/2010/12/kemajuan-ilmu-pengetahuan-dan.html?m=1

https://nuranimahabbah.wordpress.com/2009/08/23/makalah-tentang-hadits/

25
26

Anda mungkin juga menyukai