Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

DISREKSI DAN FREIES ERMESSEN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara

DOSEN PENGAMPU : Wa Ode Reni,S.Pd,M.H

Oleh Kelompok III :

Azhar Arrahman A1O119013

Dilla Agustiani A1O119017

Dwi Nur Rahmawati A1O119018

Feli Maulanti A1O119020

Hardiyanti H A1O119021

Jurdil A1O119024

Rahmi A1O119035

Resky Amalia Syamsuddin A1O119036

Satri Dian Indrana A1O119037

Sri Rubiani A1O119039

Andri Arpan A1O119041


Wa Yeni A1O119063

JURUSAN PPKn

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Disreksi dan Freies Ermessen" dengan tepat
waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara.


Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Disreksi dan Freies Ermessen bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wa Ode Reni,S.Pd,M.H selaku dosen Mata Kuliah
Hukum Administrasi Negara. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Kendari,8 Oktober 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kewenangan diskresi sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari ide-ide atau gagasan
tentang negara hukum. Gagasan tentang Negara hukum berkembang secara bertahap dalam
rentang waktu yang sangat panjang, pemikiran Negara hukum pertalna kali muncul dalam
peradaban Yunani Kuno yang dicetus oleh Plato, seorang ahli pikir (filsuf) bangsa yunani
melalui karya nya nomoi (The Law). Menurut Plato penyelenggaraan pemerintahan yang baik
ialah yang diatur oleh hukum.

Untuk memperlancar peran, tugas dan tanggung-jawab pemerintah melaksanakan tugas


pembangunan serta tugas servis publik yang demikian luas dan berat, kepada pemerintah
diberikan pula wewenang berupa freies Ermessen atau diseretionaire. Dalam melaksanakan atau
menyelenggarakan proses pembangunan tersebut, selama ini banyak sekali ditemukan pejabat
tata usaha negara menuangkan berbagai tindakan-tindakannya dalam bentuk freies Ermessen,
seperti peraturan, surat edaran, pengumuman, pedoman dan sebagainya. Kesemua tindakan
tersebut dilakukan dengan tidak didasari atribusi kewenangan peraturan perundang-undangan
untuk membuat atau mengeluarkannya.

Dalam perspektif Hukum Administrasi setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh


pemerintah yang tidak memiliki dasar hukum atau dasar wewenang untuk mengeluarkannya,
secara yuridis tidak memiliki kekuatan mengikat umum. Karenanya kebijaksanaan tersebut tidak
mempunyai kekuatan memaksa. Kekuatannya tidak lebih sama dengan sebuah pengumuman,
pemberitahuan, surat edaran atau petunjuk.

Berkembangnya konsep negara hukum menjadi negara hukum modern, menimbulkan


akibat tugas administrasi negara semakin bertambah luas. Administrasi negara sebagai
penyelenggara tugas service publik, akhirnya memasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat
untuk melayani kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan rumit. Namun,
konsekuensinya, pada sisi lain semakin banyak pula ditemukan tindakan administrasi yang
dituangkan dalam bentuk freies Ermessen, sehingga banyak menimbulkan kekhawatiran. Sebab
tindakan demikian bila tidak dilakukan dengan hati-hati dan selektif, dapat menimbulkan
ancaman serius bagi eksistensi dan perkembangan serta perwujudan cita-cita Negara Hukum
Indonesia. Negara Hukum Indonesia akan hanyut, berlayar semakin jauh meninggalkan daratan
cita-cita negara hukum. Idealitas Negara Hukum Indonesia akan semakin jauh dari
realita.Apabila praktek-praktek tindakan freies Ermessen dibiarkan terus tumbuh dan
berkembang, maka pada akhirnya Negara Hukum Indonesia akan tumbuh dan berkembang
menjadi Negara Kebijaksanaan atau menurut istilah Mattulada sebagaimana dikutip oleh
Nurhadiantomo dan Lance Castle (1983;41) adalah Negara Pejabat atau Negara Kekuasaan atau
menurut istilah Clifford Geertz sebagai power house state.

Untuk melaksanakan tugas service publik tersebut, dibutuhkan lembagalembaga dan


standar tertentu guna menjamin terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui
hukum, khususnya hukum administrasi. Tetapi, karena semakin luas dan kompleksnya
permasalahan masyarakat yang dihadapi, tidak semua tindakan yang akan dilakukan oleh
administrasi negara tersedia aturannya. Hal ini menimbulkan konsekuensi administrasi negara
semakin memerlukan kemerdekaan atau kebebasan bertindak atas inisiatif atau kebijaksanaannya
sendiri, utamanya dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah genting dan penting
yang timbul dengan sekonyong-konyong, sedangkan peraturan untuk menyelesaikannya belum
ada atau samar-samar atau rumusan kalimatnya bersifat sangat umum. Tindakan administrasi
negara mengambil kebijaksanaan tersebut, dalam Hukum Administrasi disebut discretionary
power atau pouvoir dismefionuire atau freies Ermessen.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Konsepsi Disreksi?

2. Apa saja Batas – Batas Disreksi?

3. Bagaimana Disreksi sebagai Instrumen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan?

4. Bagaimana Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keputusan Disreksi?

5. Apa Pengertian Freies Ermessen?

6. Bagaimana Penerapan Asas Freies Ermessen?


7. Apa saja Asas – Asas Freies Ermessen?

8. Apa saja Kelebihan dan Kekurangan Freies Ermessen?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Konsepsi Disreksi.

2. Untuk Mengetahui Batas – Batas Disreksi.

3. Untuk Mengetahui Disreksi sebagai Instrumen Pemerintah dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan.

4.Untuk Mengetahui Pertanggungjawaban Pemerintahan atas Keputusan Disreksi.

5.Untuk Mengetahui Pengertian Freies Ermessen.

6.Untuk Mengetahui Penerapan Asas Freies Ermessen.

7.Untuk Mengetahui Asas – Asas Freies Ermessen.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsepsi Diskreksi
Konsep diskresi adalah konsep tentang kekuasaan, dalam hal ini adalah kekuasaan
pemerintah dalam arti sempit (bestuur). Kebebasan disini memilik pengertian yang netral, yaitu
menggambarkan adanya suatu kekuasaan memilih berbagai tindakan.

Konsep diskresi adalah konsep tentang kekuasaan, dalam hal ini adalah kekuasaan
pemerintah dalam arti sempit (bestuur). Diskresi sebagai konsep kekuasaan adalah kekuatan
dalam pengertian spesifik, tidak dalam pengertian rutin. Kekuasaan diskresi disini adalah
kebebasan bertindak pemerintah. Kebebasan disini memilik pengertian yang netral, yaitu
menggambarkan adanya suatu kekuasaan memilih berbagai tindakan. Pembahasan ini memiliki
tujuan untuk memberikan kejelasan atas konsep kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang masih kontroversial dari berbagai aspek supaya konsep kekuasaan diskresi
tersebut tidak hanya akseptabel secara kekuasaan, tetapi jugasekaligus akseptabel secara yuridis
dan secara moral/etis. Pembahasan dilengkapi dengan aspek empiris penerapan diskresi pada
penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia. Pemerintah pusat menjamin perlindungan
kepada kepala daerah yang melakukan diskresi untuk mempercepat pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat. Kementrian Dalam Negeri, menjelasakan saat ini sudah ada Undang
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 30
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yangmenjamin diskresi oleh kepala daerah. Pada
prinsipnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014
menjadi pedoman kepala daerah untuk berinovasi dan melakukan diskresi tanpa ragu dan takut.
Akan tetapi kekuasaan diskresi pemerintah harus tetap beroperasi di bawah suatu sistem hukum
yaitu the rule of law. Di bawah preskripsi asas the rule of law , kekuasaan diskresi pemerintah
hidup berdampingan dengan asas the rule of law, kekuasaan diskesi pemerintah hidup
berdampingan dengan asas responsible goverment.

Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah yang spesifik dan make sense
tidak hanya secara kekuasaan, tetapi juga secara yuridis dan filosofis. Dari perspektifanalitik,
perluasan fungsi pemerintah dalam menjawab makin luasnya tuntutan masyarakat teradap
pemerintah merupakan dasar lahirnya konsep kekuasaan diskresi sebagai kebebasan pemerintah.

Sedangkan dari perspektif yuridis, kekuatan diskresi adalah sebuah keharusan karena
kurang memadainya skema legislasi dari legislator untuk diimplementasikan oleh pemerintah
atau dengan kata lain adanya kaidah kabur dan gap. Sebagai bentuk kekuasaan yuridis,
pemerintah selaku pembuat tindakan diskresi memiliki imunitas atas tindakan tesebut.

Adapun dari perspektif, kekuasaan diskresi adalah kekuasaan yang bertujuan, bukan
kekuasaan buta. Asepk aksiologi dari kekuasaan diskresi adalah pengupayaan tujuan hidup
paling fundamentel dari negara yaitu public good. Penertian yang fundamental dari negara, yaitu
asas legalitas merupakan sarana dalam rangka public good. Oleh sebab itu dalam public good
tidak dapat dikesampingkan oleh asas legalitas (tujuan tidak boleh dikesampingkan oleh sarana).

Hakikat kekuasaan diskresi pada pemerintah memperlihatkan fungsinya dalam hal:

1. Menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat.

2. Menyelesaikan soal-soal genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan
penyelesaiannya belum ada

Kekuasaan diskresi pemerintah dalam pengertian sebagai kebebasan bertindak pemerintah


memilik dua bentuk, yaitu :

1. Kebebasan Kebijakan (beleidsvrijheid)Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti


sempit) ada manakala peraturan perundang-undangan memberi kewenangan tertentu kepada
organ pemerintahan sementara organ tersebut bebas untuk menggunakannya meskipun syarat-
syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.

2. Kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid)Kebebasan penilaian (wewenang diskresi tidak


dalam arti sesungguhnya) ada manakala sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ
pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan
suatu kewenangan secara sah telah dipenuh dipenuhi.

B. Batas – Batas Diskreksi

Kekosongan regulasi dalam sistem hukum di Indonesia sebenarnya diberikan ruang untuk
mengambil diskresi. Untuk kebijakan diskresi sendiri bisa diambil dan dilaksanakan akan tetapi
dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti adanya kekosongan hukum atau peraturan
yang mengatur kebijakan dan adanya kondisi yang mendesak. “Diskresi pada dasarnya tidak
boleh digunakan apabila peraturan tersebut ada dan kondisi dalam keadaan normal. Tindakan
diskresi yang diambil Kepala Daerah bisa terjadi kapan saja. Agar tidak terjadi pelanggaran,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Kepala Daerah
harus memahami konsep diskresi yang ada di dalamnya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pembatasan tindakan
diskresi didalamnya menegaskan penggunaan freies ermessen merupakan norma yang mengikat
sehingga bisa digunakan dalam menghindari dari pejabat dalam menyalahgunakan wewenang
yang ada dan melekat padanya (detournement de pouvoir) serta segala tindakan yang sewenang-
wenang. Salah satu dari tujuan utama dituangkannya diskresi dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 ialah semata-mata menciptakan dan menunjang kepastian hukum serta jaminan
perlindungan hukum di bidang administrasi negara khususnya bagi warga negara.
Undang-Undang Nomor30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pemberian
diskresi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan diatur secara tegas. Pembatasan diskresi
bisa dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang berbunyi : Syarat bagi
Pejabat Pemerintahan untuk menggunakan diskresi harus: Sesuai dengan tujuan diskresi seperti
yang ada Pasal 22 ayat (2), Tindakan tersebut sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, khususnya sesuai dengan AUPB, memilki alasan dan landasan yang objektif, tidak
membuat adanya konflik kepentingan, serta harusdilakukan dengan suatu iktikad yang baik.
Diskresi bukan berarti menggunakan keleluasaan yang ada padanya tanpa ada batasan. Pada
prinsipnya kekuasaan atau wewenang tersebut dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan
keyakinannya dan lebih menekankan moral daripada pertimbangan hukum. Meskipun
diskresi memberikan ruang unutk pengambilan tindakan diluar aturan hukum, akan tetapi
bukan tanpa masalah. Sebab adanya suatu tindakan bebas juga berarti adanya suatu peluang
untuk menyahgunakan suatu wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan
sewenang-wenang (willekeur) yang pada akhirnya bisa memberikan kerugian khususnya
keuangan negara. Mengenai dasar pelaksanan fungsi dari hukum adminitasi Negara berkaitan
dengan konsep Negara kesejahteraanwelfare stateyang merupakan alternatif bagi
penyelenggaraan yang bersih di pemerintahan.
Pemberian kekuasaan untuk bertindak secara bebas tentunya harus diberikan batasan
sehingga penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) tidak terjadi. Pada Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pemberian diskresi yang dilakukan
oleh pejabat pemerintahan diatur secara tegas di dalam pasal-pasalnya.
Tujuan utama dari dituangkannya diskresi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
ialah semata-mata menciptakan dan menunjang kepastian hukum serta jaminan perlindungan
hukum di bidang administrasi negara khususnya bagi warga negara. Pembatasan diskresi bisa
dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, didalamnya di jelaskan
bahwa Diskresi harus memenuhi syarat: sesuai sebagiaman tujuan utama dari diskresi yang
berada pada Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang kedua yakni
diskresi tidak bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, ketiga diskresi sesuai
dengan Asas Umum Pemerintahan yang baik, keempat diskresi harus berdasar alasan-alasan
yang objektif, kelima diskresi tidak menimbulkan konfl ik kepentingan dan yang terakhir diskresi
sesuai dengan iktikad baik.
Batasan penggunaan diskresi ini menunjukkan tidak semua hal dapat diambil tindakan
dis kres i. Menurut pandangan dari Muchs an pembatasan penggunaan diskres i
atau freies ermessen adalah sebagai berikut :
1. Freis Ermessenharus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang
berlaku pada suatu Negara
2. Freis Ermessen hanya ditunjukkan untuk dan demi kepentingan umum.

Pandangan diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa sekalipun ada ruang dalam
mengambil tindakan diskresi, akan tetapi tetap harus berpatokan pada sistem hukum yang
berlaku, dan tidak kalah pentingnya adalah untuk kepentingan umum. Kepentingan umum
yang dimaksud dalam hal ini adalah kepentingan umum yang sifatnya berpengaruh
langsung dalam semua bidang kehidupan masyarakat. Bidang masyarakat yang dimaksud adalah
bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Selain itu kepentingan umum yang harus dikedepankan
ialah akibat hukum yang akan berdampak kepada masyarakat khususnya pengelolaan keuangan
daerah. Berkembang tidaknya perekonomian daerah itu tergantung dari bagaimana kepala daerah
dapat mengelola dan mengatur semua sendi keuangannya.Pembatasan ini diatur karena
diskresi akan memiliki akibat hukum jika melampaui wewenang. Pasal 30 Undang-
Undang Administrasi pemerintahan mengenai akibat hukum diskresi bahwa diskresi
dapat dikategorikan melampaui Wewenang apabila: Tindakan tersebut melewati atau melampaui
dari batas waktu dari berlakunya suatu wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan, tindakan dsikresi tersebut melewati batas wilayah berlakunya .
Wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibat
hukum diskresi dikategorikan menjadi tidak sah apabila melampauisegala wewenang seperti
yang telah disebutkan diatas. Merujuk pada penjelasan diatas, salah satu hal yang menarik dan
dikaji bersamaadalah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 terkait penetapan diskresi yang dilakukan oleh kepala daerah. Untuk melaksanakan
setiap program dari pemerintah, maka suatu kepala daerah bisa menetapkan dan mengambil
tindakan diskresi pada penggunaan anggaran selama belumada regulasi dan aturan perundang-
undangan yang mengaturnya.

C. Diskreksi sebagai Instrumen Pemerintah dalam Penyelenggara Pemerintahan

Di dalam melakukan tindakan hukum (rechtshandelingen) Pejabat/Badan administrasi


pemerintahan memiliki instrumen pemerintahan. Instrumen pemerintah yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh pemerintah atau
administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menjalankan tugas-tugas
pemerintahan tersebut, pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan
berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan, mengatur dan menjalankan urusan
pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan,
peraturan kebijaksanaan, perizinan, dan sebagainya. 22

Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi pemerintahan yang berupa dokumen-


dokumen yang mengandung materi penetapan yang bersifat konkrit, individual dan final dalam
hukum administrasi disebut dengan keputusan (Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen
yang mengandung materi pengaturan yang bersifat umum disebut peraturan (regeling). Adapun
perizinan (vergunning) merupakan suatu bentuk pengecualian dari larangan yang terdapat dalam
suatu peraturan. Instrumen pemerintahannya dituangkan dalam bentuk peraturan mengenai izin
atas hal tertentu, sedangkan landasan pelaksanaan/operasional bagi masyarakat atau
badan/pejabat administrasi pemerintahan adalah berupa keputusan administrasi pemerintahan
mengenai izin atas hal tersebut.

Sedangkan peraturan kebijakan (beleid regels), adalah merupakan produk hukum yang
lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freies
ermessen23. Artinya ketika freies ermessen atau diskresi ini dituangkan dalam bentuk tertulis, ia
menjadi peraturan kebijakan, yakni peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi
pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara
atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki
dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung.

Artinya, peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan


undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang
mengikat umum tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara
dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya. Dalam hal ini, peraturan kebijakan
(beleidsregel) adalah sarana hukum tata usaha negara yang bertujuan mendinamisir keberlakuan
peraturan perundang-undangan24.

Dengan diberikan kewenangan untuk membuat peraturan kebijakan (beleid regels) yang
berdasar pada prinsip freies ermessen tersebut, sesungguhnya merupakan implikasi dari negara
kesejahteraan (welfare state). Karena sebagai negara yang bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum, pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial
ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public
service. Agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada
administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri
menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat,
sementara terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar
hukumpenyelesaiannya oleh lembaga legislatif25.

Dengan adanya freies ermessen ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang
oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan ke dalam tangan pemerintah/administrasi
negara, sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan legislatif diganti oleh supremasi badan
eksekutif26 karena administrasi negara melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu
perubahan undang-undang dari badan legislatif27. Hal tersebut karena pada prinsipnya
Badan/Pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas,
sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.

Seringkali ditemui dalam praktik keputusan diskresi itu dituangkan dalambentuk


Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Dalam hal ini Keputusan Presiden dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai keputusan (beschikking), dan peraturan kebijakan
(beleidsregel/policy rules)28. Oleh karena satu produk hukum

berupa Keputusan Presiden dapat diklasifikasikan menjadi dua hal sebagaimana disebut
diatas, maka konsekuensinya adalah bahwa untuk menguji suatu Keputusan Presiden tidak dapat
dilihat pada nomenklaturnya saja, akan tetapi harus dilihat materi muatannya apakah sebagai
keputusan (beschikking), atau peraturan kebijakan (beleidsregel/policy), sebab secara substansi
pengujiannya akan berbeda. Peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan sehingga
tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid). Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih
diarahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu uji adalah asas-asas umum penyelenggaraan
pemerintah yang baik29.

Adapun secara keseluruhan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan yang memiliki
kewenangan untuk menetapkan keputusan diskresi adalah30:

a. Presiden;

b. Para Menteri atau Pejabat setingkat Menteri;

c. Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara;

d. Kepala Kepolisian Negara;

e. Ketua Komisi/Dewan dan Lembaga setara;

f. Gubernur;

g. Bupati dan Walikota;

h. Pejabat Eselon I di Pemerintah Pusat dan Provinsi;

i. Sekretraris Daerah Kabupaten/Kota;


j. Pimpinan Badan. Serta pejabat operasional yang memiliki kewenangan untuk

menetapkan keputusan diskresi karena tugasnya berhubungan langsung dengan

pelayanan masyarakat seperti:

1) Kepala resort Kepolisian Negara;

2) Camat

Selain jabatan-jabatan tersebut diatas, pada prinsipnya setiap pejabat yang menjalankan
urusan pemerintahan yang memiliki kewenangan secara atributif maupun delegasi memiliki
kewenangan diskresi karena kewenangan diskresi merupakan pelengkap dari asas legalitas. Bagi
Negara yang menganut ajaran welfare state, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan
secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat yang berkembang pesat sejalan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, diskresi ini muncul sebagai
alternative untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas
(wetmatigheid van bestuur).

D. Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keputusan Diskresi

Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai
dengan prinsip "green bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid" yakni tidak ada kewenangan
tanpa pertanggungjawaban.32 Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam
implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan, maka
pertanggungjawabannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) sebagai tanggungjawab
jabatan, dan (2) sebagai tanggungjawab pribadi.

Apabila perbuatan hukum seseorang untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve), maka
pertanggungjawabannya terletak pada jabatan. Jika ada ganti rugi atau denda, maka dibebankan
pada APBN atau APBD. Sedangkan perbuatan seseorang dalam kapasitas selaku pribadi, maka
konsekuensi dan pertanggungjawabannya terletak pada orang yang bersangkutan, tidak dapat
dibebankan pada jabatan, tidak juga dibebankan pada APBN atau APBD ketika ada ganti rugi
atau denda akibat kesalahan pribadi. Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi
dalam penggunaan wewenang maupun public service. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas
dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia
melakukan tindakan maladministrasi.

Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to
manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang
buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah

"Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melamapui wewenang menggunakan

wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,

termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan

pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan

yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan

orang perorangan"

Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik Indonesia, disebutkan dua puluh
macam maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan (berlarut-larut), tidak menangani,
melalaikan kewajiban, persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata
berpihak, pemalsuan, pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan hukum, diluar
kompetensi, tidak kompeten, intervensi, penyimpangan prosedur, bertindak sewenang-wenang,
penyalahgunaan wewenang, bertindak tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi,
penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.33

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
didalamnya ada unsur maladministrasi dan merugikan warga negara, tanggung jawab dan
tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan tindakan maladministrasi
tersebut.

Dalam lapangan hukum administrasi, tidak semua administrasi atau jabatan yang
menjalankan kewenangan pemerintah itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum,
tergantung dengan cara apa jabatan itu memperoleh kewenangan. Jabatan yang menjalankan
kewenangan atas dasar atribusi dan delegasi adalah sebagai pihak yang memikul tanggung jawab
hukum. Sedangkan yang menjalankan kewenangan atas dasar mandat bukan pihak yang memikul
tanggung jawab hukum dan tanggung jawab dibebankan kepada pemberi mandat (mandans).
Secara teoretik, pada atribusi dan delegasi itu terjadi peralihan wewenang dari attribuans dan
delegans kepada attributaris dan delegetaris, sementara dalam hal mandat terjadi peralihan
wewenang dari mandans kepada mandataris. Peralihan wewenang inilah yang menjadi dasar
peralihan tanggungjawab sebagaimana prinsip diatas.34

Dalam konsep hukum publik, pertanggungjawaban hukum itu berkaitan dengan


penggunaan kewenangan yang tidak sesuai dengan norma hukum, baik dalam bentuk
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyalahgunaan wewenang,
nyata-nyata tidak masuk akal, maupun ada unsur sewenang-wenang yang mengkibatkan
terlanggarnya hak-hak warga negara.

Adapun pertanggungjawaban hukum pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi harus


dibedakan dari segi administrasi, perdata dan pidana. Dari segi administrasi, keputusan diskresi
wajib dilaporkan secara tertulis kepada atasan langsung pejabat yang menerbitkan keputusan
diskresi. Apabila menurut penilaian atasan pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi,
keputusan diskresi tersebut tidak dapat dibenarkan dari segi hukum dan dari segi kebijakan,
maka atasan pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi harus memerintahkan agar keputusan
diskresi tersebut dicabut.

Selanjutnya, keputusan diskresi yang menimbulkan akibat tindakan pidana, harus


menjadi tanggung jawab Pejabat Administrasi Pemeritahan atau Badan yang bersangkutan dan
Keputusan diskresi yang menimbulkan akibat pada kerugian perdata bagi perorangan, kelompok
masyarakat, atau organisasi menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintah yang menetapkan
keputusan diskresi serta keputusan diskresi yang diakibatkan oleh kelalaian Pejabat Administrasi
Pemerintahan atau Badan, atau karena adanya kolusi, korupsi dan nepotisme, yang dapat
merugikan keuangaan negara/daerah dan atau bertentangan dengan kebijakan negara,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah atau dapat menguntungkan pihak ketiga, dan pihak lain
menjadi tanggung jawab pribadi (foult de personale) Pejabat Administrasi Pemerintahan yang
tidak dapat dibebankan kepada negara baik perdata maupun pidana.

Untuk mengukur tindakan yang menyalahi wewenang diskresi dalam lapangan hukum
administrasi negara adalah sebagai berikut:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;

2. Penyalahgunaan kewenangan berupa penyimpangan dari tujuan umum

3. Penyalahgunaan kewenangan untuk mencapai tujuan tertentu melalui penggunaan prosedur


lain35; disamping itu dapat pula berupa:

4. Perbuatan yang tidak tepat, dalam hal terdapat beberapa opsi/pilihan tindakan; dan

5. Perbuatan yang tidak bermanfaat.

Terhadap tindakan/keputusan diskresi sebagaimana tersebut diatas yang menimbulkan


kerugian perdata atau berakibat pada tindakan pidana serta melanggar batas-batas diskresi harus
dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat administrasi
pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) yang dimuat di dalam amar putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara.

Sebagaimana disebutkan diatas, keputusan diskresi tidak dapat diuji secara hukum
(wetmatigheid), pengujiannya lebih diarahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya
adalah Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AUPB). Adapun macam-macam AUPB adalah
sebagai berikut:36

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);

4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);

6. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence);

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);

8. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness);

9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of


meeting raised expectation);

10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the

concequences of an annulled decision);

11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of

protecting the personal way of life);

12. Asas kebijaksanaan (sapientia);

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).

Dalam hukum positif, asas-asas umum pemerintahan yang baik ini ditemukan
diantaranya terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dalam Pasal 20 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada
Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:37

a. Asas kepastian hukum;

b. Asas tertib penyelenggaraan Negara;

c. Asas kepentingan umum;

d. Asas keterbukaan;

e. Asas proporsionalitas;

f. Asas profesionalitas;

g. Asas akuntabilitas;

h. Asas efisiensi;

i. Asas efektivitas

Sedangkan berdasarkan Pasal 53 ayat (2) bagian b UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan
bahwa Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "asas-asas
umum pemerintahan yang baik" adalah meliputi asas:38
a. kepastian hukum;

b. tertib penyelenggaraan negara;

c. keterbukaan;

d. proporsionalitas;

e. profesionalitas; dan

f. akuntabilitas.

Di dalam Undang-Undang Administrasi Negara, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang


Baik dipertegas di dalam Pasal 10, yang meliputi asas:

a. kepastian hukum;

b. kemanfaatan;

c. ketidakberpihakan;

d. kecermatan;

e. tidak menyalahgunakan kewenangan;

f. keterbukaan;

g. kepentingan umum; dan

h. pelayanan yang baik.

Apabila masyarakat merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan diskresi dapat


mengajukan keberatan kepada pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi. Terhadap keberatan
masyarakat tersebut, pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi tersebut wajib menjawabnya.
Apabila masyarakat yang merasa kepentingannya dirugikan tersebut masih belum puas terhadap
jawaban pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi, maka dapat mengajukan banding
administrasi kepada atasan langsung pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi dan atasan
langsung dari pejabat

Yang menerbitkan keputusan diskresi wajib pula menjawab atas banding administrasi
tersebut. Upaya administrasi yang dapat ditempuh oleh masyarakat tersebut harus dicantumkan
secara implisit di dalam keputusan diskresi. Apabila atasan langsung dari pejabat yang
menerbitkan keputusan diskresi tersebut setuju dengan keberatan masyarakat, maka keputusan
diskresi tersebut diperintahkan untuk dicabut, namun bila atasan langsung dari pejabat yang
menerbitkan keputusan diskresi tersebut tidak setuju dengan keberatan masyarakat, maka
masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Selanjutnya, merujuk UU Administrasi Negara, lembaga yang berwenang menguji


legalitas tindakan/keputusan diskresi adalah atasan langsung pejabat yang menerbitkan
keputusan diskresi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Atasan langsung pejabat yang
menerbitkan keputusan diskresi wajib menguji legalitas tindakan/keputusan diskresi meskipun
tidak ada keberatan dan banding administrasi dari anggota masyarakat karena ada kewajiban
melaporkan keputusan diskresi yang diterbitkan kepada atasan.

Sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara baru berwenang untuk menguji legalitas
tindakan/keputusan diskresi apabila ada gugatan dan seluruh upaya administratif yang tersedia
sudah ditempuh karena pada prinsipnya sebisa mungkin sengketa administrasi dapat diselesaikan
oleh administrasi itu sendiri dan setelah seluruh upaya administrasi tidak berhasil, pengadilan
sebagai benteng terakhir penegakan hukumlah yang akan memutuskannya. Meskipun upaya
adminstratif sudah dilakukan, namun yang dijadikan sebagai obyek gugatan adalah tetap
keputusan diskresi dan bukan jawaban atasan pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi atas
banding administrasi, karena apabila yang dijadikan obyek gugatan adalah jawaban atasan
pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi, maka apabila gugatan dikabulkan dan Tergugat
diwajibkan untuk mencabut keputusan obyek sengketa, maka yang dicabut adalah jawaban
atasan pejabat yang menerbitkan keputusan diskresi dan bukan keputusan diskresi itu sendiri
padahal yang dipersoalkan oleh masyarakat adalah keputusan diskresinya.

E. Pengertian Freies Ermessen

Freies ermessen merupakan kewenangan bebas yang diberikan kepada pejabat


pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi warga masyarakat, yang
merupakan konsekuensi dari adanya konsep negara kesejahteraan (welfarestate) yang bertujuan
untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam hal ini dikenal adanya prinsip bahwa pemerintah
tidak boleh menolak untuk menyelesaikan suatu masalah dengan alasan tidak atau belum ada
aturannya, sehingga agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan, pejabat diberi kewenangan
untuk menafsirkan dan menerapkan sendiri suatu aturan untuk menyelesaiakan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Namun demikian, untuk menghindari penyim-pangan maka freies
ermessen itu harus sesuai dengan asasasas umum pemerintahan yang baik serta diperlukan
adanya sarana kontrol, baik kontrol yudisial, politik maupun administratif.
Istilah freies Ermessen tidak dapat dipisahkan dengan wewenang pemerintahan dalam
bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan bertanggungjawab
atas tindakan sendiri. Secara etimologis, istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman,
sedangkan dalam Bahasa Inggris dekenal dengan istilah "discretion" atau "discretionary power",
di Indonesia lebih dikenal dengan istilah diskresi yang berarti "kebebasan bertindak" atau
keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri (Sadjijono, 2008). Jadi freies Ermessen
merupakan kebebasan administasi negara pemerintah berdasarkan penilaian sediri. Menurut
(Marbun, 2000) istilah freies Ermessen artinya kewenangan yang sah untuk turut campur dalam
kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. Senada
dengan itu, Marzukid dalam (Sadjijono, 2008) mengatakan bahawa freies Ermessen adalah suatu
kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan. Penekanan dalam arti tersebut pada kekuasaan pejabat publik untuk bertindak
menurut keputusan dan hati nurani sendiri. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada pejabat publik selaku pengambil keputusan. Pengertian lain
dikemukakan oleh Admosudirdjo dalam (Sadjijono, 2008), diskresi adalah suatu kebebasan
bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dengan kata lain freies Ermessen
adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada
asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu
tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum (Saputra dalam
(Sadjijono, 2008)). Namun berbeda dengan (Winarno, 2008) mengartikan dalam negara hukum
material dapat disebut negara hukum modern, pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan
umum diberbagai lapangan kehidupan. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan atau
kemerdekaan untuk turut campur dalam urusan warga negara. Pemerintah diberi freies Ermessen
yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial ekonomi
dan keluasaan untu tidak terikat legislatif parlemen. Dari beberapa pendapat diatas dapat
dikatakan bahwa freies Ermessen merupakan kebebasan bertindak yang diberikan kepada
administrasi negara untuk mengambil keputusan sendiri dalam menyelenggarakan pemerintahan.
F. Penerapan Asas Freies Ermessen

1. Membentuk Peraturan perundang-unda ngand ibawa hu ndang-undang yang secarabahan


mengikat umum.

2. Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual.

3. Melakukan Tindak administrasi Yang Nyata Dan Aktif.

Dari perwujudan sikap tindak administrasi negara dapat ditentukan tolak ukur dariasas gratis
ermessen secara singkat yaitu :

1. Adanya kebebasan atauk eleluasaan administrasin egara untukmenjadi rtindakA


tasinisiatifsendiri.

2. untuk menyelesaikan masalah -persoalan yang mendesak yang belum diaturannya untuk itu.

3. Harus dapat dipertanggungjawabkan.

G. Asas – Asas Freies Ermessen

Freies ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan
didalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Bagi negara yang bersifat welfare
state, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani
kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi.

Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, ia tetap menjadi prinsip utama dalam setiap
negara hukum. Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi
yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Substansi asas legalitas adalah
wewenang. Wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya
sumber wewenang pemerintah bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan diperoleh


melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Berdasarkan tindakan pemerintah pada
asas legalitas dan diskresi atau ermessen sesungguhnya adalah mendasarkan tindakan pada
wewenang.
Tindakan pemerintahan yang didasarkan pada asas legalitas mengandung arti mendasarkan
tindakan itu pada kewenangan terikat, sedangkan tindakan yang didasarkan pada diskresi berarti
mendasarkan tindakan pemerintahan itu pada kewenangan tidak terikat. Terkait dengan adanya
kewenangan adalah pertanggungjawaban, sesuai dengan tidak ada kewenangan.

Filosofi pemberian kewenangan diskresi kepada organ pemerintahan ialah adanya kewajiban
pemerintah untuk memberikan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
umum. Pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis seiring dengan semakin
kritisnya masyarakat terhadap pemerintah, dan semakin disadari bahwa pelayanan publik
merupakan hak masyarakat dan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 (selanjutnya disebut


UU RI No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik) sebenarnya dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum bagi pihak penyelenggara pelayanan publik maupun masyarakat,
aparatur penyelenggara merasa memiliki kewajiban hukum untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sedangkan masyarakat merasa apa yang harus dilakukan oleh aparatur negara
tersebut merupakan hak dari masyarakat.

H. Kelebihan dan Kekurangan Freies Ermessen

Ada beberapa manfaat aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freiess Emerssen atau
kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yang diantaranya :

1. Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat
segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah ah mesti pun masih debatable
secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali
2. Badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi
bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik sepanjang berkaitan
dengan kepentingan umum atau masyarakat luas
3. Sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinamis seiring dengan dinamika
masyarakat dan perkembangan zaman.

Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak oleh aparatur pemerintahan yang berwenang
sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas
legalitas dalam arti yuridis.

Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapan asas
Freiss Emerssen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa
versus masyarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara
baik yakni diantaranya :

1. Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi


kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
2. Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan
yang tidak populer dan non responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang
berwenang
3. Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan pejabat atau
aparatur pemerintah yang kontra produktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku
pembangunan lainnya
4. Aktivitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat
sejumlah kebijakan yang tidak pro masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis
kepercayaan publik terhadap penguasa dan menurunnya wibawa pemerintah di mata
masyarakat sebagai akibat kebijakan kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan
merugikan masyarakat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep diskresi adalah konsep tentang kekuasaan, dalam hal ini adalah kekuasaan
pemerintah dalam arti sempit (bestuur). Kebebasan disini memilik pengertian yang netral, yaitu
menggambarkan adanya suatu kekuasaan memilih berbagai tindakan.

Batasan penggunaan diskresi ini menunjukkan tidak semua hal dapat diambil tindakan
dis kres i. Menurut pandangan dari Muchs an pembatasan penggunaan diskres i
atau freies ermessen adalah sebagai berikut :
1. Freis Ermessenharus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang
berlaku pada suatu Negara
2. Freis Ermessen hanya ditunjukkan untuk dan demi kepentingan umum.
Asas – Asas Freies Ermessen adalah:
1.Asas kepastian hukum (principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);

4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation).


Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat
segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah ah mesti pun masih debatable secara
yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali

Aktivitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat
sejumlah kebijakan yang tidak pro masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepercayaan
publik terhadap penguasa dan menurunnya wibawa pemerintah di mata masyarakat sebagai
akibat kebijakan kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.

B. Saran

Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latif, Hukum Administrasi Negara dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,
Jakarta, 2014.
Bagir Manan. Peraturan Kebijakan Peradilan.Varia Peradilan.Bogor.2014.

Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. FH UII
Press.Yogyakarta.2004.

Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.

Anda mungkin juga menyukai