Anda di halaman 1dari 97

MODUL 2 PEMBELAJARAN

KEPERAWATAN JIWA I

ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH


PSIKOSOSIAL

Disusun Oleh:
TIM KEPERAWATAN JIWA

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UPN VETERAN JAKARTA
i
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
Jalan Limo, Depok 16515
Telp. (021) 7532884, 7546772 Fax. 021-7532884, Website: www.upnvj.ac.id

MODUL 2 PEMBELAJARAN KEPERAWATAN JIWA l


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MASALAH
PSIKOSOSIAL

Nomor Dokumen

Revisi
00

Tanggal

Disusun oleh, Diperiksa oleh, Disahkan oleh,

Tim JIWA Ketua Jurusan Keperawatan Wadek I


Ns.Duma L.Tobing , Ns. Wiwin Winarti, Taufik Maryusman,
M.Kep.Sp.Kep.J M.Epid.,MN S.Gz.M.Gz

ii
VISI DAN MISI
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

a. VISI

Menjadi Prodi S1 Keperawatan dan Ners yang unggul dan kompetitif dalam bidang
keperawatan promotif dan preventif beridentitas bela negara dengan kekhususan
kesehatan matra ditingkat nasional maupun regional tahun 2025.

b. MISI

1) Menyelenggarakan pendidikan S1 Keperawatan dan Ners yang berkualitas


sesuai dengan kurikulum Nasional yang bercirikan bela negara
2) Menyelenggarakan kegiatan penelitian dibidang keperawatan berbasis IPTEK
dengan fokus pada bidang promotif dan preventif dengan identitas bela negara
3) Menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat dibidang keperawatan
dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat dengan identitas bela negara
4) Meningkatkan kerjasama dengan institusi atau lembaga nasional ataupun
internasional untuk mendukung Tri Dharma yang bermutu tinggi.

iii
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga modul Keperawatan
Jiwa 1 ini dapat tersusun dengan baik. Modul Pembelajaran ini berisi tentang
kesehatan jiwa pada individu dengan masalah psikososial terdiri dari askep
kecemasan, distress spiritual, harga diri rendah situasional, keputusasaan,
ketidakberdayaan, kehilangan dan gangguan citra tubuh yang diperuntukkan bagi
mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta.
Diharapkan mahasiswa yang mengikuti pembelajaran keperawatan jiwa
dapat mengikuti semua kegiatan teori dan praktikum dengan baik dan dapat
melaksanakan semua prosedur praktikum dengan baik dan benar. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan modul ini tentunya masih terdapat beberapa kekurangan,
sehingga penulis bersedia menerima saran dan kritik dari berbagai pihak untuk
dapat menyempurnakan modul ini di kemudian hari.
Semoga dengan adanya modul pembelajaran ini dapat membantu proses
belajar mengajar pada mata kuliah Keperawatan Jiwa 1 dengan lebih baik lagi.

Jakarta, Januari 2022

Tim Penulis

iv
DAFTAR ISI

VISI DAN MISI ................................................................................................................................................iii


KATA PENGANTAR ....................................................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................... v
TINJAUAN MATA KULIAH ........................................................................................................................... vi
PETA KOMPETENSI ........................................................................................................................................ 1
KONSEP BELA NEGARA ............................................................................................................................... 2
PEMBELAJARAN 1 Askep Pada Ansietas ........................................................................................................ 5
PEMBELAJARAN 2 Askep Pada Gangguan Citra Tubuh ................................................................................ 19
PEMBELAJARAN 3 Askep Pada Harga Diri Rendah Situasional .................................................................... 31
PEMBELAJARAN 4 Askep Pada Kehilangan .................................................................................................. 41
PEMBELAJARAN 5 Askep Pada Ketidakberdayaan ....................................................................................... 55
PEMBELAJARAN 6 Askep Pada Keputusasaan .............................................................................................. 68
PEMBELAJARAN 7 Askep Pada Distress Spiritual ......................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 91

v
TINJAUAN MATA KULIAH

Selamat berjumpa kembali dengan Modul 2 pada mata kuliah keperawatan jiwa I. Modul ini
akan membahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial,
yaitu asuhan keperawatan pada pasien dengan ansietas, gangguan citra tubuh, harga diri
rendah situasional, kehilangan, ketidakberdayaan, keputusasaan dan distress spiritual. Untuk
memberikan gambaran dan membantu dalam memahami materi modul ini penulis akan
mencoba memberikan gambaran materi yang akan anda pelajari.

Ketika sedang melaksanakan praktik klinik baik di Puskesmas, di masyarakat maupun di


rumah sakit, seringkali pasien kita mengeluh tidak dapat tidur, tidak napsu makan dan dada
berdebar-debar. Selain itu pasien mengatakan, tidak mampu memusatkan perhatian terhadap
kegiatan yang sedang dilakukan, tidak fokus dan tidak mampu untuk memecahkan sesrta
memutuskan masalah, pasien juga mengatakan sering merasa sedih tanpa sebab. Atau ketika
Anda memeriksa pasien di rumah sakit, puskesmas atau di masyarakat. Anda akan
menemukan pasien yang mengatakan ”saya malu dengan diri saya, karena tangan dan kaki
saya tidak dapat dipergunakan. Atau pasien yang mengatakan “suster saya merasa tidak
percaya diri dengan diri saya, saya malu bertemu dengan teman-teman saya karena saya telah
kehilangan anggota tubuh yang paling berharga. Bagaimana saya harus menemui orang-orang
suster bagimana pandangan mereka terhadap saya bila kondisi saya seperti ini” Tanda dan
gejala diatas menunjukkan pasien mengalami masalah psikososial. Untuk meningkatkan
pemahaman Anda mengenai masalah psikososial, Anda harus mempelajari modul ini yaitu
asuhan keperawatan jiwa pada masalah psikososial.

Untuk menilai kemampuan Anda dalam memahami ketujuh kegiatan belajar, Anda akan
diberikan beberapa pertanyaan yang harus dijawab segera setelah selesai mempelajari uraian
materinya. Untuk menilai kemajuan belajar Anda, kerjakan Test Mandiri yang ada pada
setiap akhir kegiatan belajar. Sebaiknya Anda tidak melihat kunci jawaban terlebih dahulu
sebelum selesai menjawab pertanyaan dan tugas.

vi
PETA KOMPETENSI

Setelah mempelajari mata kuliah keperawatan


jiwa mahasiswa semester IV program S1
keperawatan diharapkan mampu melakukan asuhan
keperawatan jiwa dengan masalah psikososial

1. Melakukan
2. Melakukan 3. Melakukan 4.Melakukan 5.Melakukan 6. Melakukan 7. Melakukan
Asuhan
Asuhan Asuhan Asuhan Asuhan Asuhan Asuhan
keperawatan keperawatan jiwa
keperawatan keperawatan keperawatan jiwa keperawatan keperawatan jiwa
jiwa pada pada harga diri
pada gangguan jiwa pada pada jiwa pada pada distress
kecemasan rendah ketidakberdayaan
citra tubuh kehilangan keputusasaan spiritual
situasional

Proses keperawatan jiwa dan Sosiakultural dalam


konteks asuhan keperatan jiwa

Mempelajari konsep dasar keperawatan jiwa

1
KONSEP BELA NEGARA DALAM MATA AJAR
KEPERAWATAN JIWA

1. Konsep Bela Negara dalam Keperawatan


Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, menyebutkan bahwa upaya bela negara adalah sikal dan perilaku
warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan
hidup bangsa dan negara. Wujud bela negara tidak terbatas pada keharusan untuk
mengangkat senjata dalam perang membela negara tetapi meliputi berbagai sikap dan
perilaku yang dilakukan sebagai upaya meningkatkan derajat kesejahteraan warga negara
Indonesia.
Dalam dunia keperawatan, sikap bela negara dapat terlihat dari pemberian asuhan
keperawatan secara adil dengan memperhatikan kode etik keperawatan. Kode etik
Adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan
menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Aturan yang berlaku untuk seorang
perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat
nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik
sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Kode etik keperawatan Indonesia
(PPNI, 2018) :
a. Perawat dan Klien
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat
manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan,
kesukuan, warnakulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianutserta
kedudukan sosial.
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana
lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan
hidup beragama klien.
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan
keperawatan.
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2
b. Perawat dan praktek
1) Perawat memlihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui
belajar terus-menerus
2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai
kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan klien.
3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan sertakualifikasi seseorang bilamelakukan konsultasi,
menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu
menunjukkan perilaku profesional.
c. Perawat dan masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan
mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
d. Perawat dan teman sejawat
1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesame perawat maupun
dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
keseluruhan.
2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.
e. Perawat dan Profesi
1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan
2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara
kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu
tinggi.

3
2. Karakteristik Bela Negara dalam Pembelajaran Keperawatan Jiwa I
Karakteristik bela negara pada pembelajaran Keperawatan Jiwa I terlihat melalui suasana
akademik pembelajaran. Teknik pembelajaran pembelajaran yang diterapkan pada
pembelajaran teori dan praktikum diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab,
kemandirian, kerja sama, dan tolong menolong pada setiap siswa. Target capaian
beridentitas bela negara dapat dilihat dari evaluasi terhadap sikap selama pembelajaran.
Sikap yang menjadi target dalam pembelajaran Keperawatan Jiwa II, yaitu:
a. Menunjukkan sikap bertanggung jawab atas pekerjaan dibidang keahliannya secara
mandiri
b. Mampu bertanggung gugat terhadap praktek professional meliputi kemampuan
menerima tanggung gugat terhadap keputusan dan tindakan professional sesuai
dengan lingkup praktik dibawah tanggungjawabnya dan hukum/peraturan
perundangan
c. Mampu melaksanakan praktek keperawatan dengan prinsip etis dan peka budaya
sesuai dengan Kode Etik Keperawatan
d. Memiliki sikap menghormati hak privasi, nilai budaya yang dianut dan martabat klien,
menghormati hak klien untuk memilih dan menentukan sendiri asuhan keperawatan
dan kesehatan yang diberikan, serta bertangungg jawab atas kerahasisaan dan
keamanan informasi tertulis sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya.

4
PEMBELAJARAN 1
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANSIETAS

PENDAHULUAN
Dalam pembelajaran 1, mahasiswa akan mempelajari konsep dasar ansietas dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial ansietas dan terapi modalitas yang
diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 1 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep ansietas
2. Menguraikan langkah-langkah proses keperawatan pasien ansietas
a. Pengkajian ansietas
b. Diagnosis keperawatan ansietas
c. Tindakan keperawatan kepada pasien ansietas
d. Tindakan keperawatan kepada keluarga pasien ansietas
e. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien ansietas

Kompetensi tersebut diperlukan mahasiswa sebagai dasar dalam memberikan asuhan


keperawatan dengan masalah kecemasan.

ATAN BELAJAR 1

5
A. Konsep Ansietas
1. Pengertian
Stuart (2016) dan NANDA (2018) menyatakan bahwa ansietas adalah perasaan tidak
tenang yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau ketakutan yang disetai dengan
ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan. Perasaan takut dan tidak
menentu dapat mendatangkan sinyal peringatan tentang bahaya yang akan datang dan
membuat individu siap mengambil tindakan menghadapi ancaman. Ansietas memiliki
nilai yang positif. Karena dengan ansisetas maka aspek positif individu berkembang
karena adanya sikap konfrontasi (pertentangan), antisipasi yang tinggi, penggunaan
pengetahuan serta sikap terhadap pengalaman untuk dapat mengatasi ansietas. Tetapi
apabila kondisi ansietas tidak ditangani dengan segera maka akan dapat mengganggu
kehidupan seseorang.
2. Etiologi
a. Peristiwa Traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan
krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
b. Konflik Emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
c. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara
realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
d. Frustasi akan menimbulkan asa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang
berdampak terhadap ego.
e. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
f. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena pola
mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
g. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons individu
dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
h. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepine dapat menekan neurotransmiter
gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

6
Keliat, dkk (2020) menyebutkan kondisi klinis terkait dengan kecemasan adalah:
1. Penyakit fisik: diabetes melitus, stroke, hipertensi, kanker
2. Penyakit kronis progresif: kanker
3. Penyakit akut
4. Postpartum
5. Rencana operasi

3. Rentang Respon

Rentang respon Ansietas dapat dikonseptualisasikan dalam rentang respon. Respon ini
dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif. Reaksi terhadap
Ansietas dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang
untuk belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama perubahan terhadap
perasaan tidak nyaman dan berfokus pada kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi
destruktif adalah reaksi yang dapat menimbulkan tingkah laku maladaptif serta disfungsi
yang menyangkut Ansietas berat atau panik.

B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien yang mengalami Ansietas


1. Faktor Predisposisi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas :
a. Teori Psikoanalitik.
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, ID
dan superego. ID mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh
norma-norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan
dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego
bahwa ada bahaya.

7
b. Teori Interpersonal.
Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dari
hubungan interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan, trauma
seperti perpisahan dan kehilangan sehingga menimbulkan kelemahan spesifik.
Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan ansietas yang
berat.
c. Teori Perilaku.
Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Daftar tentang
pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya
dihadapkan pada ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada
kehidupan selanjutnya.
d. Kajian Keluarga.
Menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam
suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan
ansietas dengan depresi.
e. Kajian Biologis.
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepine. Reseptor
ini mungkin membantu mengatur ansietas menghambat dalam aminobutirik.
Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam
mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya endorfin.
Selain itu telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata
sebagai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan
fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
2. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan
timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik
yang meliputi:
1) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya :hamil).

8
2) Sumber Eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat
tinggal.
b. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal
1) Sumber Internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan
tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap
integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.
2) Sumber Eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan
status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.

3. Tanda dan gejala menurut Stuart (2016) adalah sebagai berikut


a. Ansietas ringan.
Ansietas ringan sering kali berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari. Ansietas tingkatan ini harus selalu dibuat atau di ciptakan karena pada
tingkatan ini orang yang mengalami ansietas akan menjadi waspada sehingga
memperluas pandangan persepsi terhadap suatu masalah karena individu akan
mengantisipasi kemungkinan dampak dari ansietas yang dialami. Ansietas ringan
memiliki aspek positif yaitu memotivasi individu untuk belajar dan menghasilkan
serta meningkatkan pertumbuhan dan kreativitas.
Berikut ini adalah respon/dampak dari ansietas ringan
1) Respon fisiologis yang muncul akibat sinsietas ringan adalah individu sering
kali merasakan nafasnya pendek, mampu menerima rangsang yang pendek,
muka berkerut dan bibir bergetar. Pasien mengalami ketegangan otot ringan
2) Pada Respon kognitif individu mengatakan kemampuan menyelesaikan dan
memandang masalah sangat baik karena indivu berada dalam persepsi luas,
mampu menerima rangsang yang kompleks, konsentrasi pada masalah, dan
mampu menyelesaikan masalah.
3) Respon perilaku dan emosi tampak dari ketidak mampuan individu untuk
bersikap tenang, individu seringkali tampak tidak dapat duduk tenang,
mengalami tremor halus pada lengan, dan suara kadang meninggi.
b. Ansietas sedang.
Pada ansietas tingkat ini, memungkinkan individu untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian

9
yang selektif, sehingga individu mampu dan dapat melakukan sesuatu yang lebih
terarah. Manifestasi yang muncul pada ansietas sedang antara lain:
1) Respon fisiologis
Sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, diare atau
konstipasi, tidak nafsu makan, mual, dan berkeringat setempat.
2) Respon kognitif
Respon pandang menyempit, rangsangan luas mampu diterima, berfokus pada
apa yang menjadi perhatian dan bingung.
3) Respon perilaku dan emosi
Bicara banyak, lebih cepat, susah tidur dan tidak aman.
c. Ansietas Berat.
Pada ansietas berat, lapang persepsi indiividu menyempit. Individu cendrung hanya
mampu memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak dapat berfikir
tentang hal lain. Semua perilaku yang ditunjukkan individu bertujuan untuk
mengurangi ketegangan. Individu memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada suatu area lain. Manifestasi yang muncul pada ansietas berat
antara lain:
1) Respon fisiologis
Napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala,
penglihatan kabur, dan ketegangan.
2) Respon kognitif
Lapang persepsi sangat sempit, dan tidak mampu menyelesaikan masalah.
3) Respon perilaku dan emosi
Perasaan terancam meningkat, verbalisasi cepat, dan menarik diri dari hubungan
interpersonal.

d. Panik
Yang paling membahayakan adalah bila individu mengalami tingkatan yang paling
tinggi yaitu panik. Perilaku yang tampak adalah individu tampak ketakutan dan
mengatakan mengalami teror, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan serta mengalami gangguan kepribadian. Gejala lain yang muncul adalah
terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan
orang lain, persepsi menyimpang, kehilangan pemikiran rasional. Manifestasi yang
muncul terdiri dari:

10
1) Respon fisiologis
Napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, dan
koordinasi motorik rendah.
2) Lapang kognitif
Lapang persepsi sangat sempit, dan tidak dapat berfikir logis.
3) Respon perilaku dan emosi
Mengamuk dan marah- marah, ketakutan, berteriak- teriak, menarik diri dari
hubungan interpersonal, kehilangan kendali atau kontrol diri dan persepsi kacau.

NANDA (2018) dalam Keliat, dkk (2020) menjelaskan tanda dan gejala dari ansietas yang
meliputi :
a. Tanda mayor
Subjektif: Mengeluh sakit kepala, mengeluh tidak nafsu makan, merasa lemas dan
khawatir. Objektif: gelisah, tampak tenang, sulit tidur dan tidak lelap, gangguan
pencernaan .
b. Tanda minor
Subjektif : mengeluh takut, mengeluh cepat lelah, merasa tidak berdaya.

4. Sumber Koping
Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping
tersebut di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomok, kemampuan
penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil.
5. Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk
mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif
merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan
sering ditanggulangi tanpa yang serius.
a. Reaksi berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stres, misalnya perilaku
menyerang untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
Menarik diri untuk memindahkan dari sumber stres. Kompromi untuk mengganti
tujuan atau mengorbankan kebutuhan personal.

11
b. Mekanisme pertahanan ego.
Mekanisme ini bertujuan untuk membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang.
Mekanisme pertahanan Ego yang digunakan adalah :
1) Kompensasi.
Kompensasi adalah proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra diri
dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan/kelebihan yang dimilikinya.
2) Penyangkalan
Penyangkalan menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan
mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini paling sederhana dan
primitif.
3) Pemindahan
Pengalihan emosi yag semula ditujukan pada seseorang/benda tertentu yang
biasanya netral atau kurang mengancam terhadap dirinya.
4) Disosiasi.
Pemisahan dari setiap proses mental atau prilaku dari kesadaran atau
identitasnya.
5) Identifikasi
Proses dimana seseorang mencoba menjadi orang yang ia kagumi dengan
mengambil/menirukan pikiran-pikiran,prilaku dan selera orang tersebut.
6) Intelektualisasi
Penggunaan logika dan alasan yang berlebihan untuk memghindari pengalaman
yang mengganggu perasaannya.
7) Introjeksi (Intrijection).
Mengikuti norma-norma dari luar sehingga ego tidak lagi terganggu oleh
ancaman dari luar (pembentukan superego)
8) Fiksasi.
Berhenti pada tingkat perkembangan salah satu aspek tertentu (emosi atau
tingkah laku atau pikiran)s ehingga perkembangan selanjutnya terhalang.
9) Proyeksi.
Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang lain
terutama keinginan. Perasaan emosional dan motivasi tidak dapat ditoleransi.
10) Rasionalisasi.
Memberi keterangan bahwa sikap/tingkah lakunya menurut alasan yang seolah-
olah rasional,sehingga tidak menjatuhkan harga diri.

12
11) Reaksi formasi.
Bertingkah laku yang berlebihan yang langsung bertentangan dengan keinginan-
keinginan,perasaan yang sebenarnya.
13) Regressi.
Kembali ketingkat perkembangan terdahulu (tingkah laku yang primitif),
contoh; bila keinginan terhambat menjadi marah, merusak, melempar barang,
meraung, dsb.
14) Represi.
Secara tidak sadar mengesampingkan pikiran, impuls, atau ingatan yang
menyakitkan atau bertentangan, merupakan pertahanan ego yang primer yang
cenderung diperkuat oleh mekanisme ego yang lainnya.
15) Acting Out.
Langsung mencetuskan perasaan bila keinginannya terhalang.
16) Sublimasi.
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyalurannya secara
normal.
17) Supresi.
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi
sebetulnya merupakan analog represi yang disadari;pengesampingan yang
disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang;kadang-kadang dapat
mengarah pada represif berikutnya.
18) Undoing.Tindakan/perilaku atau komunikasi yang menghapuskan sebagian
dari tindakan/perilaku atau komunikasi sebelumnya merupakan mekanisme
pertahanan primitif.

6. Diagnosa Keperawatan
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis data, selanjutnya Anda harus
menegakkan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan berdasarkan analisis data
adalah: Ansietas

13
7. Pohon Masalah
Setelah anda melakukan pengkajian dan mengelompokkan data pada pasien ansietas
selanjutnya buatlah pohon masalah. Pohon masalah akan membantu dan mempermudah
anda untuk menegakkan diagnosa keperawatan

Gangguan Citra Tubuh (efek)

Ansietas (masalah utama)

Perubahan fisik/Operasi/Stressor Fisik ( penyebab)

Skema 1: Pohon Masalah pada Pasien Ansietas

8. Tujuan asuhan keperawatan


a. Kognitif: pasien mampu mengenal pengertian, penyebab, tanda dan gejala, akibat dan
proses terjadinya ansietas
b. Psikomotor: pasien mampu mengatasi ansietas dengan
1) Melakukan latihan tarik nafas dalam
2) Melakukan latihan distraksi
3) Melakukan latihan hypnosis lima jari
4) Melakukan kegiatan spiritual
c. Afektif: pasien mampu merasakan manfaat dari latihan yang dilakukan dan
membedakan perasaan sebelum dan sesudah latihan.

9. Tindakan keperawatan
Tindakan pada pasien
Tindakan keperawatan ners:
a. Kaji tanda dan gejala ansietas dan kemampuan pasien dalam mengurangi ansietas
b. Jelaskan proses terjadinya ansietas
c. Latih cara mengatasi ansietas

14
1. Tarik napas dalam
Pengertian: teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu tindakan keperawatan
dengan menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan
intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi
paru dan meningkatkan oksigenasi darah juga dapat menurunkan tingkat
ansietas (Smeltzer & Bare, 2017).
2. Tujuan
Smeltzer & Bare (2017) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas untuk
mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan ansietas.
a) Prosedur Teknik Relaksasi Napas Dalam
1) Ciptakan lingkungan yang tenang
2) Usahakan tetap rileks dan tenang
3) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara
melalui hitungan 1,2,3
4) Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan
ekstrimitas atas dan bawah rileks
5) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut
secara perlahan-lahan
7) Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
8) Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam
9) Pada saat konsentrasi pusatkan pada hal-hal yang nyaman
10) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga ansietas terasa berkurang
d. Distraksi: berbicara hal-hal positif
e. Hipnotis lima jari yang fokus pada hal positif
1) Jempol dan telunjuk disatukan, dan bayangkan saat badan sehat.
2) Jempol dan jari tengah disatukan, dan bayangkan orang yang kita sayangi.
3) Jempol dan jari manis disatukan, dan bayangkan saat mendapatkan pujian.
4) Jempol dan kelingking disatukan, dan bayangkan tempat yang paling
disukai/pernah dikunjungi.

15
f. Latihan relaksasi otot progresif
1. Pengertian
Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang
diberikan kepada pasien dengan menegangkan otot-oto tertentu dengan
mengombinasikan latihan napas dalam dan serangkaian seri kontraksi dan
relaksasi otot tertentu.
2. Tujuan: menurunkan ketegangan otot, menurunkan kecemasan, mengurangi
nyeri leher dan punggung, menurunkan tekanan darah tinggi, frekuensi
jantung dan laju metabolic, mengurangi disritmia jantung, kebutuhan
oksigen, meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi, memperbaiki
kemampuan untuk mengatasi stress, mengatasi insomnia, depresi, kelelahan,
iritabilitas, spasme otot, fobia ringan, gagap ringan, dan m embangun emosi
positif dari emosi negative.
3. Prosedure Latihan Relaksasi Otot Progresif
Ada 15 langkah/ Prosedure relaksasi otot pada modul ini Anda akan
diberikan contoh untuk setiap langkahnya, selamat berlatih dan berikut ini
adalah uraiannya
1) Identifikasi tingkat cemas
2) Kaji kesiapan pasien dan, perasaan pasien.
3) Siapkan Ruang yang sejuk, tidak gaduh dan alami
4) Siapkan tempat tidur atau kursi yang dapat menopang bahu pasien
5) Jelaskan kembali tujuan terapi dan prosedur yang akan dilakukan
6) Pasien berbaring atau duduk bersandar (ada sandaran untuk kaki dan
bahu)
7) Lakukan latihan nafas dalam dengan manarik nafas melalui hidung dan
dihembuskan melalui mulut
8) Bersama pasien mengidentifikasi (pasien dianjurkan dan dibimbing
untuk mengidentifikasi) daerah-daerah ototyang sering tegang misalnya
dahi, tengkuk, leher, bahu, pinggang, lengan, betis
9) Bimbing pasien untuk mengencangkan otot tersebut selama 5 sampai
7detik, kemudian bimbing pasien untuk merelaksasikan otot 20 sampai
30 detik.
10) Kencangkan dahi (kerutkan dahi keatas) selama 5-7 detik,kemudian
relakskan 20-30 detik. Pasien disuruh merasakan rileksnya.

16
11) Kencangkan bahu, tarik keatas selama 5-7detik, kemudian relakskan 20-
30 detik. Pasien diminta merasakan rileksnya dan rasakan aliran darah
mengalir secara lancar.
12) Kepalkan telapak tangan dan kencangkan otot bisep selama 5-7 detik,
kemudian relakskan 20-30 detik. Pasien disuruh merasakan rileksnya dan
rasakan aliran darah mengalir secara lancar.
13) Kencangkan betis, ibu jari tarik kebelakang bisep selama 5-7 detik,
kemudian relakskan 20-30 detik. Minta Pasien untuk merasakan
rileksnya dan rasakan aliran darah mengalir secara lancar.
14) Selama kontraksi pasien dianjurkan merasakan kencangnya otot dan
selama relaksasi anjurkan pasien konsentrasi merasakan rilaksnya otot.
g. Kegiatan Spiritual.

10. Evaluasi
Untuk menilai keberhasilan tindakan keperawatan yang telah Anda lakukan, lakukanlah
evaluasi. Keberhasilan tindakan keperawatan dapat dinilai jika individu mampu
a. Penurunan tanda dan gejala
b. Peningkatan kemampuan pasien mengatasi ansietas
c. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan ansietas

RANGKUMAN
Ansietas adalah kebingungan, ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas yang dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak
berdaya.Definisi ansietas menurut Stuart (2016) memiliki nilai yang positif, karena individu
akan berkembang karena adanya sikap konfrontasi (pertentangan), antisipasi yang tinggi,
penggunaan pengetahuan serta sikap terhadap pengalaman mengatasi ansietas. Tetapi pada
keadaan lanjut perasaan cemas dapat mengganggu kehidupan seseorang. Ansietas terbagi atas
tiga tingkatan yaitu ringan, sedang, berat dan panik. Ansietas ringan ditandai dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, menyebabkan seseorang menjadi waspada,
meningkatkan lapangan persepsi (persepsi meluas), motivasi dan kreatitifas meningkat, mampu
belajar dan memecahkan masalah secara efektif. Sementara tanda dan gejala ansietas sedang
adalah penerimaan rangsang dari luar menurun, sangat memperhatikan hal yang menjadi pusat
perhatiannya, lapangan persepsi menyempit, dan belajar dengan pengarahan orang lain.

17
Pada ansietas berat ditandai dengan lapangan persepsi sangat menyempit, pusat
perhatian pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain, perilaku
bertujuan untuk meminta pertolongan, dan memerlukan pengarahan yang lebih banyak untuk
memfokuskan pada area yang lain. Pada individu yang mengalami panik akan dijumpai tanda
dan gejala sebagai berikut; individu sangat kacau, tidak mampu bertindak, berkomunikasi, dan
berfungsi secara efektif, aktivitas motorik meningkat, kemampuan berhubungan dengan orang
lain sangat menurun, individu tidak dapat mengerjakan sesuatu tanpa pengarahan, dan tidak
mampu berpikir secara rasional

LATIHAN 1
Untuk menilai keberhasilan Anda dalam mempelajari kegiatan belajar Asuhan keperawatan
pada individu yang mengalami ansietas kerjakanlah soal latihan dibawah ini.
1. Jelaskan tanda dan gejala ansietas ringan, sedang berat dan panik
2. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi ansietas.

Petunjuk Jawaban Latihan


a. Untuk menjawab pertanyaan no 1 pelajarlah kembali tanda dan gejala ansietas
b. Untuk menjawab pertanyaan no 2 pelajarilah kembali faktor-faktor yang mempengaruhi
ansietas.

18
PEMBELAJARAN 2
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA GANGGUAN CITRA TUBUH

PENDAHULUAN
Dalam pembelajaran 2, mahasiswa akan mempelajari konsep dasar terganggunya salah satu
komponen konsep diri : gangguan citra tubuh dan asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah psikososial gangguan citra tubuh dan terapi yang diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 2 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep gangguan citra tubuh
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan citra tubuh
a. Pengkajian pada pasien dengan gangguan citra tubuh
b. Diagnosis keperawatan pada pasien dengan gangguan citra tubuh
c. Tindakan keperawatan kepada pasien gangguan citra tubuh
d. Tindakan keperawatan kepada keluarga pasien gangguan citra tubuh
e. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien gangguan citra tubuh

19
I. Konsep Harga diri
a. Pengertian Konsep Diri :
Konsep diri merupakan kumpulan semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya yang akan mempengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain. (Stuart, 2016). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan
dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Upaya memandang dirinya
tersebut berbentuk penilaian subjektif individu terhadap dirinya; perasaan sadar/tidak
sadar dan persepsi terhadap fungsi, peran, dan tubuh. Pandangan atau penilaian terhadap
diri meliputi: ketertarikan, talenta, dan ketrampilan, kemampuan, bawaan kepribadian,
dan persepsi terhadap moral yang dimiliki.

b. Komponen dari konsep diri terdiri dari:


1. Gambaran Diri / Citra Tubuh (Body Image)
Gambaran diri adalah sikap atau cara pandang seseorang terhadap tubuhnya secara
sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaaan tentang ukuran,
bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara
berkesinambungan di modifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart,
2016). Gambaran diri berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang
dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan
individu yang realistis terhadap dirinya, mau menerima dan mengukur bagian
tubuhnya akan memberikan rasa dan nyaman terhadap diri sehingga individu merasa
lebih aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan mampu meningkatkan harga diri.

Seorang anak usia sekolah memiliki penilaian citra tubuh berbeda dengan seorang
bayi, salah satu perbedaan yang menyolok adalah kemampuan untuk
berjalan, kemampuan ini sangat bergantung pada kematangan fisik. Pada masa remaja
dengan adanya perubahan hormonal akan mempengaruhi citra tubuhnya misalnya
timbulnya jerawat dll. Pada masa usia lanjut karena adanya proses degeneratif akan
terjadi berbagai proses penuaan yang berakibat timbulnya berbagai perubahan sseperti
penurunan penglihatan, pendengaran, dan mobilitas sehingga hal ini dapat
mempengaruhi citra tubuh seorang lansia.

20
2. Ideal Diri (Self Ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan
standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu. (Stuart, 2016 ).
Standart dapat berhubungan dengan tipe dan harapan orang yang diinginkan atau
sejumlah aspirasi, cita – cita, nilai – nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan
mewujudkan cita – cita dan harapan, nilai – nilai yang ingin dicapai berdasarkan
norma sosial (keluarga, budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan.

3. Harga Diri (Self esteem)


Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri
yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat,
walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, individu tetap merasa
sebagai seorang yang penting dan berharga. (Stuart,2016)

4. Peran (Role Performance)


Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial
berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang
ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang
diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. (Stuart, 2016) Harga diri
yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan
ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stressor terhadap peran karena
struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin
dilaksanakan.

5. Identitas (Identity )
Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab
terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu. Identitas
mempunyai konotasi otonomi dan meliputi persepsi seksualitas seseorang.
Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan berkembang serta berlangsung
sepanjang kehidupanindividu. Perkembangan individu merupakan tugas utama pada
masa remaja (Stuart, 2016)

21
Sekarang bagaimanakah perilaku individu yang memiliki konsep diri? Baik yang adaptif
maupun mal adaptif. Berikut ini adalah pelaku konsep diri indivdu yang adaptif
a. Perilaku yang adaptif:
1. Syok Psikologis
Merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat
pertama mengalami stressor. Syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap
ansietas. Mekanisme koping yang digunakan seperti mengingkari, menolak dan
proyeksi untuk mempertahankan diri.
2. Menarik diri
Individu sadar akan kenyataan yang saat ini sedang terjadi, ingin lari dari kenyataan,
tetapi karena tidak mungkin individu lari atau menghindar secara emosional. individu
menjadi tergantung, pasif, tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam
perawatannya.
3. Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah individu sadar akan kenyataan, selanjutnya respon individu adalah merasakan
kehilangan atau berduka. Setelah fase ini pasien mulai melakukan reintegrasi dengan
gambaran diri yang baru.

c. Perilaku maladaptif, yang tampak pada individu adalah


1. Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.
2. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
3. Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri.
4. Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh.
5. Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang.
6. Mengungkapkan keputusasaan.
7. Mengungkapkan ketakutan ditolak.
8. Depersonalisasi.
9. Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.

II. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Gangguan Citra Tubuh
1. Faktor Predisposisi
Faktor – faktor yang mempengaruhi gambaran diri, adalah munculnya stressor yang
dapat mengganggu integrasi gambaran diri. Stressor dapat berupa :

22
a) Operasi
Mastektomi, amputasi, luka operasi yang semuanya mengubah gambaran diri.
Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik atau protesa
b) Kegagalan fungsi tubuh
Hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonalisasi yaitu tidak mengakui atau
asing terhadap bagian tubuh, sering berkaitan dengan fungsi syaraf.
c) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh.
Sering terjadi pada pasien gangguan jiwa. Pasien mempersiapkan penampilan dan
pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
d) Tergantung pada mesin.
Pasien intensife care yang memandang immobilisasi sebagai tantangan, akibatnya
sukar mendapatkan informasi umpan balik. Penggunaan alat – alat intensife care
dianggap sebagai gangguan.
e) Perubahan tubuh
Berkaitan dengan tumbuh kembang, dimana seseorang akan merasakan perubahan
pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang seseorang
menanggapinya dengan respon negatif dan positif. Ketidakpuasan juga dirasakan
seseorang jika didapati perubahan tubuh yang tidak ideal.

Keliat, dkk (2020) menyebutkan penyebab terjadinya gangguan citra tubuh adalah :
a) Perubahan fungsi tubuh akibat proses penyakit
b) Perubahan struktur tubuh akibat luka operasi dan proses penyakit
c) Perubahan Bentuk tubuh akibat Tindakan seperti pemasangan infus, oksigen, kateter,
dll
d) Perubahan pandangan terhadap penampilan tubuh.

2. Faktor Presipitasi
a) Transisi peran sehat – sakit
Pergeseran dari keadaaan sehat ke keadaan sakit. Stressor pada tubuh dapat
menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat perubahan konsep diri.
Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri. Transisi ini
mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian tubu, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh
kembang normal, prosedur medis dan keperawatan.

23
3. Penilaian terhadap stresor
Seorang dengan harga diri rendah memiliki penilaian sendiri terhadap setressor atau
masalah atau penurunan kepercayaan diri yang dimiliki. Kebanyakan dari mereka
memiliki kemampuan berfikir daya ingat serta konsentrsi menurun. Mereka akan
menjadi pelupa dan sering mengeluh sakit kepala. Wajah seseorang yang stress tampak
tegang dahi berkerut, mimik nampak serius, bicara berat, sukar untuk senyum atau
tertawa (Stuart, 2016)

NANDA, (2018; Keliat, 2020) menyebutkan tanda dan gejala pasien yang mengalami
gangguan citra tubuh yaitu :
a) Tanda mayor
Tanda subjektif: menolak perubahan/kehilangan tubuh , perasaan negative terhadap
tubuh
Tanda objektif: kehilangan bagian tubuh, fungsi dan struktur tubuh berubah,
menghindari melihat dan/ atau menyentuh tubuh yang berubah, menyembunyikan
bagian tuuh yang berubah
1. Tanda minor
Tanda subjektif: pandangan pada tubuh berubah ( misalnya penampilan, struktur,
fungsi), takut pada reaksi orang lain, preokupasi pada perubahan/kehilangan.
Tanda objektif: Hubungan sosial berubah (menarik diri), respon non verbal pada
perubahan dan persepsi tubuh, trauma terhadap bagian tubuh yang tidak berfungsi.

2. Sumber Koping
a. Aktivitas olah raga dan aktivitas lain di luar rumah
b. Hobi dan kerajinan tangan
c. Seni yang ekspresif
d. Kesehatan dan perawatan diri
e. Pekerjaan, vokasi atau posisi
f. Bakat tertentu
g. Kecerdasan
h. Imaginasi dan kreativitas
i. Hubungan interpersonal

24
3. Mekanisme Koping
a. Jangka Pendek
1) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga, kontes
popularitas)
2) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis identitas (musik keras,
pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus-menerus)
3) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagamaan,
politik)
4) Kegiatan yang mencoba menghilangkan anti identitas sementara
(penyalahgunaan obat)
b. Jangka Panjang
1) Menutup identitas dari orang – orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat,
aspirasi atau potensi diri sendiri. Terlalu cepat mengadopsi identitas yang
disenangi dari orang lain.
2) Identitas negative Yaitu asumsi yang bertentangan atau tidak wajar dengan nilai
dan harapan masyarakat.
c. Pertahanan Ego Pertahanan ego yang digunakan pada pasien dengan harga diri
rendah: gangguan citra tubuh adalah
1) Fantasi adalah kemampuan menggunakan tanggapan – tanggapan yang sudah
ada (dimiliki) untuk menciptakan tanggapan baru.
2) Disosiasi merupakan respon [asien yang tidak sesuai dengan stimulus yang
ada.
3) Isolasi cara pasien menghindarkan diri dari interaksi dengan lingkungan luar.
4) Proyeksi merupakan cara pasien menghindari diri dari kelemahan dan
kekurangan dalam diri sendiri dengan melontarkannya pada orang lain.
5) Displacement adalah pengalihan dnegan mengeluarkan perasaan – perasaan
yang tertekan pada orang yang kurang mengancam dan kurang menimbulkan
reaksi emosi.

II. Konsep Citra Tubuh


a. Definisi
Stuart (2016) mendefinisikan citra tubuh sebagai kumpulan dari sikap individu yang
disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk dalam hal ini adalah persepsi
tentang masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan

25
potensi diri. Citra tubuh merupakan salah satu komponen dari konsep diri dimana
konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat
seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang
lain.

Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas seseorang terhadap tubuhnya
disebabkan oleh perubahan struktur, ukuran, bentuk, dan fungsi tubuh karena tidak
sesuai dengan yang diinginkan (NANDA, 2018; Keliat, dkk ,2020).

b. Manifestasi Klinis Gangguan Citra Tubuh


Bagaimanakah manifestasi Gangguan citra tubuh? tanda dan gejala Pasien dengan
gangguan citra tubuh dapat diketahui bila menunjukkan perilaku sebahai berikut:
a. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
b. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi
c. Menolak penjelasan perubahan tubuh
d. Memeiliki persepsi negatif pada tubuh
e. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang
f. Mengungkapkan keputusasaan
g. Mengungkapkan ketakutan

III. Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
Agar Anda mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
citra tubuh, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah melakukan
pengkajian. Bagaimana car melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan
citra tubuh? Bagus sekali Pengkajian pada pasien gangguan citra tubuh dilakukan
dengan cara wawancara dan observasi. Berikut ini adalah hasil observasi yang
Anda dapatkan pada pasien dengan gangguan. Tanda dan Gejala:
Data obyektif yang dapat diobservasi :
1. Perubahan dan hilangnya anggota tubuh, baik struktur, bentuk dan fungsi
misalnya kehilangan fungsi kaki akibat kecelakaan, atau bentuk buka yang
berubah akibat kemoterapi dll.
2. Menyembunyikan bagian tubuh yang terganggu dengan menutupinya agar
tidak terlihat oleh orang lain

26
3. Menolak melihat bagian tubuh yang mengalami perubahan akibat kehilangan
fungsi atau bentuk dan struktur
4. Menolak menyentuh bagian tubuh yang mengalami perubahan akibat kehilangan
fungsi atau bentuk dan struktur
5. Aktifitas social menurun dengan tidak mau mengikuti aktifitas yang biasa
dilakukan, menolak mengikuti aktifitas diluar rumah dan mengurung diri
dirumah.

Data Subyektif:
Data subyektif didapat dari hasil wawancara, pasien dengan gangguan citra tubuh
biasanya mengungkapkan
1. Penolakkan terhadap: perubahan anggota tubuh saat ini, misalnya tidak puas
dengan hasil operasi, anggota tubuhnya yang tidak berfungsi, interaksi dengan
orang lain. Biasanya salah satu ungkapan yang diucapkan pasien dengan
gangguan citra tubuh adalah adalah “bagaimana ya saya harus kekantor dengan
keadaan seperti ini”
2. Perasaan tidak berdaya, tidak berharga dan keputusasaan
3. Keinginan yang terlalu tinggi terhadap bagian tubuh yang terganggu
4. Sering mengulang-ulang mengatakan kehilangan yang terjadi
5. Merasa asing terhadap bagian tubuh yang hilang

b. Diagnosa Keperawatan

Harga Diri Rendah EFEK

Gangguan Citra MASALAH


Tubuh UTAMA

Kehilangan
Anggota Tubuh CAUSA

Skema 1: Pohon Masalah Gangguan Citra Tubuh

27
c. Tujuan Asuhan Keperawatan (Keliat, 2020)
1. Kognitif, pasien mampu
a. Mengenal bagian tubuh yang sehar dan yang terganggu/sakit
b. Mengetahui cara mengatasi gangguan citra tubuh.
2. Psikomotor, pasien mampu
a. Mengafirmasi bagian tubuh yang sehat
b. Melatih dan menggunakan bagian tubuh yang sehat
c. Merawat dan melatih bagian tubuh yang terganggu.
3. Afektif, pasien mampu
a. Mengevalusi Manfaat yang telah dirasakan dari bagian tubuh yang
terganggu.
b. Mengevaluasi Manfaat bagian tubuh yang masih sehat
c. Merasakan Manfaat Latihan pada bagian tubuh yang terganggu.
d. Tindakan Keperawatan
Apa langkah selanjutnya setelah membuat pohon masalah dan menetapkan masalah
utama pada kasus gangguan citra tubuh? Langkah selanjutnya setelah Anda
menegakkan diagnose keperawatan adalah melakukan tindakan keperawatan.
Tindakan pada pasien:
1. Kaji
a. Bagian tubuh yang terganggu dan bagian tubuh yang sehat
b. Tanda dan gejala gangguan citra tubuh dan kemampuan pasien dalam
mengatasi gangguan citra tubuh.
2. Jelaskan protes terjadinya gangguan citra tubuh
3. Diskusikan persepsi, perasaan, harapan pasien terhadap citra tubuhnya
4. Latih pasien menggunakan bagian tubuh yang sehat
a. Diskusikan bagian tubuh yang sehat
b. Latih menggunakan bagian tubuh yang sehat
c. Latih affirmasi bagian tubuh yang sehat
5. Latih pasien merawat dan melatih bagian tubuh yang terganggu
a. Diskusikan dengan pasien Manfaat yang telah dirasakan dari bagian tubuh
yang terganggu pada saat sehat.
b. Motivasi pasien melihat dan mengatur bagian tubuh yang terganggu.
c. Latih pasien meningkatkan citra tubuh bagian tubuh yang terganggu:
menyesuaikan pakaian, pakai alat bantu, kosmetik dan rencana protesa

28
6. Motivasi pasien Melakukan latihan sesuai jadwal dan beri pujian
7. Motivasi pasien melakukan sosial

Tindakan pada keluarga:


1. Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien yang mengalami
gangguan citra tubuh
2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, dan proses terjadinya gangguan citra
tubuh serta mengambil keputusan merawat pasien.
3. Latih keluarga cara merawat dan membimbing pasien mengatasi gangguan citra
tubuh Sesuai dengan tindakan keperawatan pada pasien.
4. Latih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung pasien
mengatasi gangguan citra tubuh sesuai dengan asuhan keperawatan yang telah
diberikan pada pasien.
5. Disksusikan tanda dan gejala gangguan citra tubuh yang memerlukan rujukan
serta menganjurkan follow up ke fasilitas Pelayanan Kesehatan secara teratur.

e. Kriterian Evaluasi
1. Penurunan tanda dan gejala gangguan citra tubuh
2. Peningkatan kemampuan pasien mengatasi gangguan citra tubuh
3. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan gangguan citra
tubuh.

RANGKUMAN
1. Citra tubuh merupakan salah satu komponen dari konsep diri dimana konsep diri adalah
semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang
dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.
2. Data obyektif yang dapat diobservasi pada pasien dengan gangguan citra tubuh adalah
perubahan dan hilangnya anggota tubuh, baik struktur, bentuk dan fungsi, menyembunyikan
atau memamerkan bagian tubuh yang terganggu,menolak melihat bagian tubuh, menolak
menyentuh bagian tubuh, aktifitas social menurun.
3. Sedangkan data obyektif yang diungkapkan pasien dengan gangguan citra tubuh adalah
mengungkapkan penolakkan terhadap prubahan anggota tubuh saat ini, misalnya tidak puas
dengan hasil operasi, anggota tubuhnya yang tidak berfungsi. Menolak interaksi dengan
orang lain, dan mengungkapkan perasaan tidak berdaya, tidak berharga dan keputusasaan.

29
Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi terhadap bagian tubuh yang terganggu.
Sering mengulang-ulang mengatakan kehilangan yang terjadi. Merasa asing terhadap bagian
tubuh yang hilang
4. Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan kesehatan jiwa
yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan dengan pendekatan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik.Dari kelompok data yang terkumpul, baik data
subjektif maupun data objektif, selanjutnya masalah dirumuskan.Dalam kaitan ini perlu
dibuat daftar masalah keperawatan kesehatan jiwa sesuai dengan pengkajian, pohon
masalah, dan menegakkan diagnosa keperawatan dengan menyimpulkan core problem
(masalah utama) langkah selanjutnya adalah Menegakkan diagnosa dilakukan berdasarkan
perioritas, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan,
mengevaluasi keberhasilan pasien dan keluarga dan menuliskan pendokumentasian pasien
sesuai dengan format yang ada.

LATIHAN 2
1. Sebutkan tanda dan gejala dari gangguan citra tubuh (bila anda mengalami kesulitan
dalam menjawab pertanyaan tersesbut, baca kembali tanda dan gejala gangguan citra
tubuh)
2. Jelaskan pengertian gangguan citra tubuh (bila anda mengalami kesulitan dalam
menjawab pertanyaan tersesbut, baca kembali pengertian gangguan citra tubuh)
3. Sebutkanlah tindakan keperawatan pada pasien dengan gangguan citra tubuh (bila anda
mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan tersesbut, baca kembali tindkan
keperawatan pada gangguan citra tubuh)

30
PEMBELAJARAN 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL

Pendahuluan
Dalam pembelajaran 3, mahasiswa akan mempelajari konsep dasar harga diri dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial harga diri rendah situasional dan terapi
modalitas yang diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 3 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep harga diri rendah situasional
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah situasional
a. Pengkajian pada pasien dengan harga diri rendah situasional
b. Diagnosis keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah situasional
c. Tindakan keperawatan kepada pasien dengan harga diri rendah situasional
d. Tindakan keperawatan kepada keluarga pasien dengan harga diri rendah situasional.
e. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien dengan harga diri
rendah situasional.

31
A. Pengertian
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang di capai dengan cara menganalisis
seberapa banyak kesesuain tingkah laku dengan kesesuaian ideal dirinya (Stuart & Laraia,
2016). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri negative yang dapat dideskripsikan secara langsung maupun tidak langsung
diekspersikan (Towsend, 2015). Harga diri rendah situasional adalah munculnya persepsi
negative tentang makna diri sebagai respon terhadap situasi saat ini (NANDA, 2018)

B. Etiologi
Gangguan harga diri dapat di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, hilang kepercayaan, merasa gagal mencapai keinginan. Harga diri rendah
situasional diakibatkan sering merasa gagal dalam menghadapi kehidupan dan
berpandangan negatif terhadap dirinya dimana koping pasien tidak efektif sehingga pasien
mempunyai perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap
tindakan rasa bersalah terhadap diri sendiri merendahkan martabat sehingga pasien
mengalami gangguan hubungan sosial seperti menarik diri.
Penyebabnya : gangguan citra tubuh, gangguan peran sosial, harapan diri tidak realistis,
korban kekerasaan, kegagalan, ketidakberdayaan, Riwayat kehilangan, Riwayat
pengabaikan, riwayat penolakan.
Tanda dan gejala pasien yang mengalami haraga diri rendah:
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri.
2. Akibat penyakit dan akibat terhadap tindakan
3. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
4. Merendahkan martabat
5. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
6. Percaya diri kurang sulit mengambil keputusan

C. Proses Terjadinya
Gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara situsional yaitu terjadi trauma secara tiba
–tiba misal harus operasi, kecelakaan, dicederai suami atau istri putus sekolah, putus
hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi (korban perkosaan, tuduhan KKN,
dipenjara tiba–tiba) dan apabila berlangsung lama akan menjadi kronik yaitu perasaan
negative terhadap diri yang telah berlangsung lama yaitu sebelum sakit atau sebelum
dirawat. Pasien memiliki cara berfikir yang negative (Stuart, 2016)

32
D. Rentang Respon

Rentang respon konsep diri terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut adalah :
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dapat diterima.
b. Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative.
c. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa
lebih rendah dri orang lain.
d. Kerancuan identitas adalah kegagalan indifidu menginterprestasikan aspek-aspek identitas
masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial keperibadian pada masa dewasa
yang harmonis
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan Ansietas kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan
orang lain.

E. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH


SITUASIONAL
Dalam memberikan Asuhan Keperawatan terhadap pasien harga diri rendah seorang
perawat harus mempunyai kesadaran yang tinggi agar dapat mengenal dan menerima serta
mengevaluasi perasaan sendiri. Perawat harus bersikap jujur, empati, terbuka, dan selalu
memberi penghargaan. Asuhan Keperawatan dimulai dari pengkajian sampai evaluasi.
1. Pengkajian Keperawatan
Pada tahap ini perawat menggali faktor - faktor seperti faktor Predisposisi dan faktor
Prespitasi, Manifestasi perilaku dan Mekanisme koping.

33
a. Faktor Predisposisi
Berbagai faktor yang menunjang terjadinya perubahan dalam harga diri
seseorang adalah sebagai berikut :
1) Faktor Perkembangan
Jika seseorang mengalami hambatan dengan tugas perkembangan dan
hubungan interpersonal dengan orang lain terganggu, maka individu akan
dihadapi dengan stress dan Ansietas pada dirinya.
2) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor yang ada dilingkungan dan dimasyarakat dapat menyebabkan
orang merasa diasingkan atau disingkirkan, sehingga pasien merasa kesepian
dalam lingkungan dimana dia berada, walaupun dia ada dalam lingkungan
yang ramai.
3) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan
Ansietas, orang yang mengalami psikososial akan mengakibatan dan
menghasilkan hubungan yang penuh dengan Ansietas tinggi.
Peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan
mengakibatkan stress dan Ansietas yang tinggi dan berakhir dengan
gangguan orientasi realita.

b. Faktor Presipitasi
Stressor merupakan pencetus yang ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal
adalah :
1) Trauma seperti penganiayaan fisik dan psikologis atau penyiksaan kejadian
yang mengancam kehidupan.
2) Stress lingkungan Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap
stress yang berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan perilaku.
3) Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dimana individu mengalaminya sebagai prustasi.
Ada tiga Jenis transisi peran yaitu :
a) Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang
berhubungan denganpertumbuhan. Ini termasuk tahap
perkembangandalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma

34
budaya, nilai-nilai dan tekanan untuk penyesuaian diri.
b) Transisi peran situasi terjadi dengan pertambahan atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c) Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat
kekeadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan kehilangan anggota
tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh,
perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal dan
prosedur medis dan perawatan.

c. Penilaian Terhadap Stressor


Individu dengan harga diri rendah akan menunjukan prilaku seperti mengkritik diri
sendiri dan orang lain, gangguan berhubungan dengan orang lain, menolak melihat
dan menyentuh bagian tubuh yang berubah persepsi negative terhadap diri sendiri,
serta kurang percaya diri.
Perilaku dan Respons
Berdasarkan perilaku dan respons, terdapat standar pengkajian terhadap gangguan
harga diri rendah situasional, yaitu :
1. Kognitif
a) Mengungkapkan rasa ketidakmampuan dalam menghadapi situasi atau
peristiwa
b) Mengungkapkan ketidakberdayaan dalam menghadapi situasi atau peristiwa
c) Mengungkapkan perasaan tidak berguna, tidak mampu menghadapi apa
yang dialami
d) Mengungkapkan rasa tidak mampunya, rasa gagal dalam menjalankan peran
akibat situasi atau peristiwa yang dialami
e) Mengungkapkan kebimbangan saat hendak melakukan aktivitas
f) Mengungkapkan adanya tantangan situasional terhadap harga diri
2. Afektif
Secara afektif, pasien dengan gangguan harga diri rendah situasional akan
merasa tidak berdaya, malu, bersalah, tidak mampu, tidak berguna, putus asa,
sedih dan mudah tersinggung.
3. Fisiologis
a) Terdapat perubahan aktual fungsi dan struktur tubuh (salah satunya)
b) Gangguan tidur atau insomnia

35
c) Tekanan darah meningkat
d) Makan dan minum yang berlebihan atau juga sebaliknya, kurang
e) Penurunan berat badan
f) Pusing dan sakit kepala
g) Kelelahan dan keletihan
h) Tampak lesu
i) Kurang nafsu makan
j) Mual dan muntah
k) Konstipasi atau diare
4. Perilaku
a) Kurang melakukan program pengobatan (malas makan dan minum obat)
b) Kurang mampu melakukan semua aktivitas, seperti penurunan produktivitas
c) Tampak ragu-ragu atau bimbang melakukan sesuatu
d) Tidak suka membicarakan penyakitnya
e) Menolak memegang bagian yang sakit atau adanya penolakan realitas

NANDA (2018); Keliat, dkk (2020) menjelaskan tanda dan gejala yang dialami oleh
pasien dengan harga diri rendah situasional adalah :
1. Tanda Mayor:
a. Subjektif: menilai diri negatif (misalnya tidak berguna, tidak dapat ditolong),
merasa bersalah/malu, menolak penilaian positif tentang diri sendiri
b. Objektif: berbicara pelan dan lirih, menolak berinteraksi dengan orang lain,
berjalan menunduk.
2. Tanda Minor
a. Subjektif: kurang konsentrasi
b. Objektif: kontak mata kurang, lesu dan tidak bergairah, pasif, tidak mampu
membuat keputusan.
a. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk mekanisme koping jangka pendek mekanisme
koping jangka panjang dan mekanisme koping ego yang sering digunakan pasien
dengan harga diri rendah situasional.
1. Mekanisme koping jangka pendek adalah :
a) Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis identitas
misalnya konser music, bekerja keras, menyanyi.

36
b) Aktifitas yang dapat memberikan identitas penggantian sementara,
misalnya ikut dalam aktifitas social, agama, ikit club, politik.
c) Aktivitas yang sementara menguatkan perasaan diri, misalnya olah raga.
d) Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah,
identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan individu, misalnya
penyalahgunaan zat.
2. Mekanisme koping jangka panjang adalah :
a) Penutupan identitas, terlalu menutupi idetitas yang disenangi dari orang-
orang yang berarti tanpa mengindahkan atau memperhatikan keinginan,
aspirasi dan potensi diri.
b) Identitas negative, asumsi yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai
dan harapan masyarakat.
3. Mekanisme koping ego.
Mekanisme koping ego yang sering digunakan adalah fantasi, disosiasi, isolasi
social, pergeseran (displacment), peretakan (splitting), berbalik marah terhadap
diri sendiri, acuh.

2. Diagnosa Keperawatan
Setelah Anda melakukan analisa data dan merumuskan masalah langkah selanjutnya
adalah menegakkan diagnose keperawatan yaitu Harga diri rendah situasional

3. Tujuan Asuhan Keperawatan


a. Kognitif, pasien mampu
1) Mengetahui pengertian, tanda dan gejala, penyebab dan akibat dari harga diri
rendah situasional
2) Mengetahui kemampuan yang dimiliki dan dapat dilakukan
3) Mengetahui cara mengatasi harga diri rendah situasional
b. Psikomotor, pasien mampu
1) Memilih kemampuan yang dapat dilakukan
2) Melatih kemampuan yang pilih
3) Menyusun Rencana kegiatan sesuai dengan kondisi kesehatan.
c. Afektif, pasien mampu:
1) Merasakan Manfaat latihan yang dilakukan
Memilih aspek positif dan makna kehidupannya.

37
4. Tindakan Keperawatan
Tindakan pada pasien
a. Kaji tanda dan gejala harga diri rendah situasional
b. Jelaskan proses terjadinya harga diri rendah situasional
c. Latih cara meningkatkan harga diri pasien
1) Membuat daftar aspek positif dan kemampuan yang dimiliki
2) Menilai aspek positif dan kemampuan yang masih dilakukan. Bantu melakukan
pijian pada diri sendiri (self reinforcement)
3) Memilih aspek positif dan kemampuan yang masih dapat dilakukan untuk
dilatih
4) Melatih aspek positif dan kemampuan yang masih dapat dilakukan untuk dilatih
secara pertahap
5) Membuat rencana latihan yang teratur secara bertahap

Tindakan pada keluarga


a. Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Jelaskan pengertian tanda dan gejala serta proses terjadinya harga diri situasional
c. Latih keluarga cara merawat dan membimbing pasien meningkatkan harga diri
sesuai dengan asuhan keperawatan pada pasien. Motivasi keluarga memberikan
pujian atas keberhasilan pasien
d. Latih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung peningkatan
harga diri pasien
e. Diskusikan tanda dan gejala harga diri rendah situasional yang memerlukan
rujukan segera serta menganjurkan follow up ke fasilitas Pelayanan kesehatan
secara teratur.

5. Evaluasi Keperawatan
a. Menjelaskan Rencana persiapan pasca rawat di rumah untuk memandirikan
pasien
b. Menjelaskan Rencana tindak lanjut perawatan dan pengobatan Peningkatan
kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan harga diri rendah situasional

38
RANGKUMAN
Harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan cara
menganalisis seberapa banyak kesesuain tingkah laku dengan kesesuain ideal dirinya.
Sedangkan Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri negative yang dapat dideskripsikan secara langsung maupun tidak langsung
diekspersikan. Gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara situsional yaitu terjadi trauma
secara tiba – tiba misalnya harus operasi, kecelakaan, dicederai suami atau istri putus sekolah,
putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi, Pasien memiliki cara berfikir yang
negative. Terjadinya harga diri rendah secara situasional pada pasien yaitu pada masa dewasa
akhir karena kehilangan pasangan yang dicintai secara traumatis dan kehilangan peran sebagai
wanita

LATIHAN 3MATIF
KASUS
Ny. B usia 27 tahun dirawat di RS Samudra, akibat kecelakaan lalu lintas mobil yang
dikemudikannya terlalu kencang, wajah Ny. B tampak luka yang serius, lengan kanannya
fraktur, tanda-tanda vital : tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 88x/m, suhu 37 C, respirasi
22x/m, Pada saat di kunjungi sahabat-sahabatnya Ny. B selalu menundukkan kepalanya dan
tidak mau berkomunukasi. Ketika ditanya perawat Ny. B menjawab sambil menundukan
kepalanya dan mengatakan wajah saya jelek, saya malu dan tidak berguna suster.
1. Dari kasus tersebut di atas Ny. B mengalami gangguan..
a. Prilaku kekerasan
b. Ideal diri
c. Harga diri rendah situasional
d. Gangguan citra tubuh

2. Data subyektif yang mendukung pada kasus Ny. B tersebut adalah….


a. Akibat kecelakaan lalu lintas
b. Pasien mengatakan wajah saya jelek
c. Adanya fraktur pada lengan kanan
d. Pasien memengatakan wajah saya jelek, saya malu dan tidak berguna

39
3. Data objektif yang dapat mendukung pada kasus Ny. B tersebut adalah…
a. Pasien saat berkomunikasi sambil menundukan kepala
b. Adanya luka yang serius pada wajah pasien
c. Adanya fraktur pada lengan kanan pasien
d. 100/70 mmHg, nadi 88x/m, suhu 37 C, respirasi 22x/m

4. Dalam membuat pohon masalah pada Ny. B masalah utamanya (core problem) adalah….
a. Ansietas
b. Harga diri rendah situasional
c. Gangguan citra tubuh
d. Defisit perawatan diri

5. Tujuan umum secara kognitif asuhan keperawatan pada kasus Ny. B gangguan harga diri
rendah adalah
a. Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
b. Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimilikinya.
c. Pasien dapat memilih kemampuan yang digunakan
d. Pasien dapat menetapkan atau merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.

KUNCI JAWABAN.
1. C
2. D
3. A
4. B
5. B

DAFTAR PUSTAKA

40
PEMBELAJARAN 4
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA MASALAH KEHILANGAN

Pendahuluan
Dalam pembelajaran 4, mahasiswa akan mempelajari tentang konsep berduka dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial kehilangan dan terapi modalitas yang
diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 4 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep kehilangan
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan kehilangan.
a. Pengkajian pada pasien dengan kehilangan
b. Diagnosis keperawatan pada pasien dengan kehilangan
c. Tindakan keperawatan kepada pasien dengan kehilangan
d. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien dengan kehilangan

\\

41
A. Konsep Kehilangan
1. Definisi
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan,
sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Nurhalimah, 2016).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:


a. Arti dari kehilangan setiap individu berbeda. Contoh seorang peragawati akan memiliki
kehilangan lebih besar bila kehilangan salah satu anggota tubuhnya dibandingkan
dengan seorang wanita yang pekerja biasa.
b. Sosial budaya. Faktor sosial budaya berpengruh didalam memaknai suatu kehilangan.
c. Kepercayaan / spiritual
d. Peran seks/jenis kelamin
e. Status social ekonomi. Staus sosial ekonomi yang tinggi berpengaruh terhadap
kehilangan
f. Kondisi fisik dan psikologi individu.

3. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
a. Kehilangan aktual atau nyata. Kehilangan ini sangat mudah dikenal atau diidentifikasi
oleh orang lain, seperti hilangnya anggota tubuh sebahagian, amputasi, kematian orang
yang sangat berarti / di cintai.
b. Kehilangan persepsi. Kehilangan jenis ini hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk
dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan
perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.

4. Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 jenis kehilangan, yaitu:
a. Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai, dan sangat bermakna atau orang yang
berarti merupakana salah satu jenis kehilangan yang paling mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan. Kematian orang yang dicintai dan bermakna dalam kehidupan individu akan
menimbulkan kehilangan bagi orang yang mencintainya. Hal ini dikarenakan hilangnya

42
keintiman, intensitas dan ketergantungan serta ikatan atau jalinan yang ada, kematian
pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa
dan tidak dapat ditutupi.
b. Kehilangan pada diri sendiri (loss of self) Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan
diri atau anggapan tentang mental seseorang. Yang termasuk dalam kehilangan ini
meliputi kehilangan perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kehilangan kemampuan
fisik dan mental, sersta kehilngan akan peran dalam kehidupan, dan dampaknya.
Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau seluruhnya.
Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
c. Kehilangan objek eksternal. Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan benda milik
sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang
dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan
benda tersebut.
d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal. Kehilangan lingkungan diartikan dengan
terpisahnya individu dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar
belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara menetap. Misalnya
pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian
baru.
e. Kehilangan kehidupan/ meninggal Seseorang pasti akan mengalami kematian, baik mati
baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan atau orang disekitarnya, sampai
dengan kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang
kematian.

5. Rentang Respon Kehilangan


Adapun dalam prosesnya, kehilangan memiliki lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial),
kemarahan (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance). Individu yang mengalami gangguan kehilangan akan melalui setiap tahap
tersebut. Cepat atau lambat lamanya seseorang tergantung pada koping individu dan system
dukungan social yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi

Respon Respon
Maladaptif Adaptif

Denial Anger 43Bargaining Depresi Acceptence


a. Fase denial (penyangkalan)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok,
diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap
kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang.
Manifestasi yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut:
1. “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2. “Diagnosis dokter itu salah.”
3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak
nyaman.
4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan
(defense mechanism) terhadap rasa cemas.
5. Pasien perlu waktu beradaptasi.
6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan
pertahanan yang tidak radikal.
7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan
kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang yang
dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih
hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya.
Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung
cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa
menit sampai beberapa tahun setelah kehilangan.

b. Fase anger (Marah)


Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan
marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di
sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur,
dan tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut:
1. Emosional tak terkontrol : “Mengapa aku?” “Apa yang telah saya perbuat sehingga
Tuhan menghukum saya?”
2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.

44
3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik seperti “Peraturan RS terlalu
keras/kaku.” “Perawat tidak becus!”
4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang
akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

c. Fase bergaining / tawar- menawar.


Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-
menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah “..seandainya saya tidak melakukan
hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih
pergi ke tempat itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien
dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup,
terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar
dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat
atau diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
4. “Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih
berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.” “Bila saya
sembuh, saya akan…….”
5. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya,
dan menangis mencari pendapat orang lain.
d. Fase depresi
Tahapan depresi termasuk dalam tahapan diam pada fase kehilangan. Pada tahap ini
pasien mulai sadar bahwa sesuatu yang dialaminya tidak akan bisa dikembalikan lagi
pada keadaan semula. Individu mulai menunjukkan reaksi menarik diri, tidak mau
berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, hal ini ditunjukan
dengan menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.

45
Individu yang mengalami depresi hanya memfokuskan pikiran pada orang yang dicintai,
misalnya, “bagimana mungkin aku bisa hidup tanpa ayah? Aku dan adik-adik masih
sangat membutuhkannya” atau “apakah ibu sanggup merawat kami tanpa tanpa bantuan
ayah?” Pertanyaan-pertanyaan seputar yang mengkhawatirkan seputar orang yang
dicintai akan semakin sering berputar-putar di dalam otak. Hal tersebut dikarenakan
bahwa depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap penting dan
bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam penerimaan dan damai. Tahap
penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.

e. Fase acceptance (penerimaan)


Tahap akhir atau tahap penerimaan merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan.
Focus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Individu mulai bisa
menerima kenyataan kehilangan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan
secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru. Biasanya individu yang mulai
menerima akan mengungkapkan, “Saya ikhlas atas kepergian ayah. Saya yakin, ayah
akan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Ayah akan melihat kami tumbuh mandiri
dari sana...”
Individu yang telah mencapai tahap penerimaan, dapat dipastikan akan mengakhiri
proses berdukanya dengan baik. Akan tetapi jika individu berada di satu tahap dalam
waktu yang sama, lama, dan tidak mencapai tahap penerimaan, di situlah awal terjadi
gangguan jiwa. Jika suatu saat individu tersebut kembali mengalami kehilangan, maka
sulit baginya untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah
proses yang disfungsional.

6. Tanda dan Gejala


Gejala yang timbul pada pasien dengan kehilangan antara lain:
a. Adaptasi terhadap kehilangan yang tidak berhasil
b. Depresi, menyangkal yang berkepanjangan
c. Reaksi emosional yang lambat
d. Tidak mampu menerima pola kehidupan yang normal
Tanda yang mungkin dijumpai pada pasien kehilangan antara lain:
a. Isolasi sosial atau menarik diri
b. Gagal untuk mengembangkan hubungan/ minat-minat baru
c. Gagal untuk menyusun kembali kehidupan setelah kehilangan
46
B. Konsep Berduka
a. Pengertian
Dukacita adalah proses kompleks yang normal meliputi respon dan perilaku emosional,
fisik, spiritual, sosial dan intelektual ketika individu memasukkan kehilangan yang aktual,
adaptif atau dipersepsikan ke dalam kehidupan sehari-hari (NANDA, 2018). Berduka
merupakan respon normal yang terjadi pada semua kejadian kehilangan. Berduka
dimanifestasikan dengan perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan
lain-lain.

NANDA (2018) membagi dua tipe berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional. Berduka diantisipasi merupakan suatu status pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, kehilangan akan
hubungan/kedekatan, kehilangan akan objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum
terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional
merupakan suatu status individu dalam merespon suatu kehilangan dimana respon
kehilangan dibesar-besarkan pada saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang
menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

b. Teori dan Proses Berduka


Belum ada cara yang paling tepat dan cepat dalam melewati proses berduka. Konsep dan
teori berduka hanyalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi
kebutuhan emosional pasien dan keluarganya dan juga rencana intervensi yang bertujuan
untuk membantu individu dalam memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran
perawat pada proses ini adalah mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka,
mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk
empati.
Proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
a. Fase I (shock dan tidak percaya)
Individu yang berada pada fase ini seringkali menolak menerima kenyataan akan
kehilangan yang dialami. Individu mungkin menarik diri dari lingkungan sekitar,
duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi fisik yang timbul pada fase ini adalah
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan
kelelahan.

47
b. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Individu mulai merasakan adanya kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa,marahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan
jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi)
Individu berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, pada fase ini individu kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan
seseorang.
d. Fase IV indiduvu mulai menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e. Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari. Pada fase ini individu harus mulai
menyadari arti kehilangan. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat
menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

C. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Kehilangan dan Berduka


1. Pengkajian
Hasil pengkajian didapatkan data yaitu:
Perasaan sedih, menangis,. Perasaan putus asa, kesepian,. Mengingkari, kehilangan,
Kesulitan mengekspresikan perasaan, Konsentrasi menurun,. Kemarahan yang
berlebihan, Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain, Merenungkan
perasaan bersalah secara berlebihan, Reaksi emosional yang lambat, Adanya
perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

2. Analisa Data dan Rumusan Masalah


Anda tentunya masih ingat bagaimana cara melakukan analisis data dan merusmuskan
masalah!. Setelah data dikumpulkan Anda dapat langsung mengelompokkan data
(subyektif dan obyektif) dan merumuskan masalah keperawatan.

3. Menegakkan Diagnosa Keperawatan


Dalam menegakkan diagnosa keperawatan Anda dapat melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:

48
a. Menyimpulkan core problem (masalah utama) merupakan prioritas masalah
dari beberapa masalah yang dimiliki pasien.
b. Menghubungkan core problem sesuai dengan masalah lain dan sesuai dengan
daftar masalah.
c. Menegakkan diagnosa keperawatan jiwa berdasarkan prioritas
d. Menyusun diagnosa berdasarkan prioritas diagnosa dengan ”core problem ”
sebagai etiologinya.
Setelah Anda memahami contoh analisis data dan masalah di atas, selanjutnya Anda
dapat membuat daftar masalah keperawatan jiwa sesuai dengan pengkajian. Langkah
berikutnya adalah membuat pohon masalah. Untuk dapat membuat pohon masalah.
Anda dapat mempelajari kembali modul proses keperawatan jiwa. Saya yakin, Anda
sudah memahaminya dan dapat membuat pohon masalah dimaksud. Mari kita segarkan
ingatan kita kembali tentang cara membuat pohon masalah dengan memperhatikan
kembali contoh di bawah ini.

Gambar 3 Pohon Masalah Kehilangan


POHON MASALAH

Ketidakberdayaan
EFEK

Kehilangan dan
MASALAH
duka cita UTAMA

Ketidakefektifan
koping individu CAUSA

4. Tujuan Asuhan Keperawatan


a. Kognitif, pasien mampu:
1) Memahami proses kehilangan yang dialami
2) Mengetahui cara mengatasi kehiangan secara bertahap
b. Psikomotor
1) Menyadari respon kehidupan

49
2) Menyebutkan fakta-fakta kehilangan
3) Melakukan manajemen marah
4) Melatih diri bergerak dari harapan ke realita
5) Melatih diri melihat aspek positif
6) Melatih rencana baru yang baru
c. Afektif, pasien mampu :
1) Merasakan manfaat latihan
2) Merasa mampu berdapatasi dengan keadaan
3) Merasakan lebih optimis

5. Tindakan Keperawatan
a. Prinsip Tindakan Pada Tahap Denial, Anger, Bergaining, Depresi, Acceptence
Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah memberi
kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara berikut.
1) Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
2) Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan
pasien secara emosional.
3) Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi.
4) Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang
mengalami kehilangan.
5) Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul.
6) Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan singkat.
7) Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.

b. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan


memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan
marahnya secara verbal tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari
bahwa perasaan marah adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
1) Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).
2) Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
3) Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.

50
c. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining) adalah
membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan takutnya.
1) Amati perilaku pasien.
2) Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
3) Tingkatkan harga diri pasien.
4) Cegah tindakan merusak diri.

d. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi tingkat


depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa bersalah.
1) Observasi perilaku pasien.
2) Diskusikan perasaan pasien.
3) Cegah tindakan merusak diri.
4) Hargai perasaan pasien.
5) Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
6) Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
7) Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.

e. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah


membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan cara
berikut.
1) Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
2) Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.

b. Tindakan keperawatan pada pasien :


1. Kaji tanda dan gejala berduka dan identifikasi kehilangan yang terjadi
2. Jelaskan proses terjadinya berduka sesuai dengan tahapan kehilangan berduka, yaitu
mengingkari, marah, tawar menawar, depresi dan menerima
3. Latih melalui tahapan kehilangan/berduka
a) Denial/mengingkari : diskusikan fakta-fakta tentang kehilangan. Misalnya
kehilangan kesehatan , kehilangan orang yang dicintai
b) Anger/marah: latihan relaksasi dan mengekspresikan emosi dengan konstruktif
c) Bergaining/tawar-menawar: Diskusikan harapan/rencana yang tidak tercapai dan
kaitkan dengan kenyataan .
d) Depresi: latihan mengidentifikasikan aspek positif dari kehilangan dan
kehidupan yang masih dijalani

51
e) Menerima: latihan melakukan kegiatan hidup sehari-hari dengan pendampingan
4. Beri pujian, motivasi dan bimbingan.

c. Tindakan keperawatan untuk keluarga:


1. Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien yang berduka
2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala dan proses/tahapan berduka/kehilangan serta
memutuskan cara merawat
3. Latih keluarga cara merawat dan mendapingi pasien melalui tahapan
berduka/kehilangan sesuai dengan asuhan Keperawatan yang telah diberikan
4. Latih keluarga menciptakan suasana yang mendukung proses kehilangan. Misalnya
telah ada yang menemani pasien melalui masa berdukanya
5. Diskusikan tanda dan gejala berduka yang belum selesai dan memerlukan rujukan
segera serta menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan., khususnya
bersedih lebih dari 2 minggu.

6. Evaluasi
Coba Anda fikirkan apa langkah selanjutnya setelah tindakan keperawatan? benar
melakukan evaluasi. Keberhasilan tindakan keperawatan tampak dari kemampuan
pasien untuk
a. Penurunan tanda dan gejala berduka
b. Peningkatan kemampuan pasien mengatasi keadaan berduka
c. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien berduka.

RANGKUMAN
1. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan sejak dalam individu sudah mengalami dan cenderung mengalami
kembali walaupun dalam bentuk berbeda.
2. Gejala yang timbul pada pasien dengan kehilangan antara lain: adaptasi terhadap
kehilangan yang tidak berhasil, depresi, menyangkal yang berkepanjangan, reaksi
emosional yang lambat, tidak mampu menerima pola kehidupan yang normal.Tanda yang
mungkin terdapat pada pasien kehilangan antara lain: isolasi sosial atau menarik diri,
gagal untuk mengembangkan hubungan/ minat-minat baru,gagal untuk menyusun
kembali kehidupan setelah kehilangan

52
3. Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan kesehatan
jiwa yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan dengan pendekatan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik.Dari kelompok data yang terkumpul, baik
data subjektif maupun data objektif, maka masalah dirumuskan.Dalam kaitan ini perlu
dibuat daftar masalah keperawatan kesehatan jiwa sesuai dengan pengkajian, pohon
masalah, dan menegakkan diagnosa keperawatan dengan menyimpulkan core problem
(masalah utama).Menegakkan diagnosa dilakukan berdasarkan perioritas.
4. Langkah selanjutnya adalah membuat rencana tindakan keperawatan serta melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan. Kemudian mengevaluasi
keberhasilan pasien dan keluarga. Terakhir menuliskan pendokumentasian pasien sesuai
dengan format yang ada.

LATIHAN 4
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat.
1. Berikut adalah tanda dan gejala kehilangan:
a. Menyangkal yang berkepanjangan
b. Menerima pola kehidupan yang normal
c. Aktif dilingkungan social untuk melupakan kehilangan yang dialami
d. Mampu untuk mengembangkan hubungan/ minat-minat baru
e. Mampul untuk menyusun kembali kehidupan setelah kehilangan

2. Pasien mengatakan” sekarang saya sudah dapat menerima kehilangan suami saya suster,
mungkin inilah jalan terbaik buat suami saya suster.”semoga suami saya mendapatkan
tempat yang terbaik di sisiNya. Ungkapan tersebut menandakan bahwa pasien sudah
mampu
a. Mengenali peristiwa kehilangan yang dialami Pasien
b. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan dirinya
c. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya
d. Memanfaatkan faktor pendukung
e. Membina hubungan saling percaya

3. “Apakah dengan melakukan kegiatan keagamaan seperti berdoa, ibu dapat lebih tenang
dalam menerima kehilangan ini”. Benar suster “dengan mendekatkan diri kepada Tuhan
saya menjadi lebih tenang setelah kehilangan keluarga saya” Upaya yang dilakukan

53
petugas kesehatan untuk membantu pasien mengatasi kehilangan merupakan upaya dalam
hal
a. Verbal (mengungkapkan perasaan)
b. Fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik)
c. Sosial (berbagi dengan teman)
d. Spiritual (berdoa, berserah diri)
e. Non verbal

4. Pasien diajarkan untuk selalu bergaul dengan orang disekitarnya untuk membantu
mengurangi kehilangan yang dialami. Adalah cara dilakukan melalui
a. Verbal (mengungkapkan perasaan)
b. Fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik)
c. Sosial (berbagi dengan teman)
d. Spiritual (berdoa, berserah diri)
e. Non verbal

5. Keberhasilan tindakan keperawatan pada pasien kehilangan ditandai dengan kemampuan


pasien untuk
a. Mengungkapkan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan perilaku
yang berhubungan dengan tiap-tiap tahap berduka dan kehilangan
b. Mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan dengan konsep kehilangan
secara berlebihan.
c. Menunjukkan perilaku-perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi
berduka
d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara
mandiri.
e. Bergantung pada orang lain disekitar

Kunci jawaban :
1. A
2. B
3. A
4. C
5. A

54
PEMBELAJARAN 5
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA MASALAH KETIDAKBERDAYAAN

Pendahuluan
Dalam pembelajaran 5, mahasiswa akan mempelajari tentang konsep ketidakberdayaan dan
asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial ketidakberdayaan dan terapi
modalitas yang diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 5 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep ketidakberdayaan
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan ketidakberdayaan
a. Pengkajian pada pasien dengan ketidakberdayaan
b. Diagnosis keperawatan pada pasien dengan ketidakberdayaan
c. Tindakan keperawatan kepada pasien dengan ketidakberdayaan
d. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien dengan
ketidakberdayaan

55
A. Definisi Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan merupakan gambaran perilaku individu yang kurang dapat
mengendalikan kondisi atau keadaan tertentu yang baru dirasakan, termasuk persepsi
bahwa tindakan individu secara signifikan tidak akan mempengaruhi hasil (NANDA,
2018). Townsend & Morgan (2017) berpendapat bahwa ketidakberdayaan dimana individu
berada pada kondisi depresi, apatis, dan kehilangan kontrol yang diekspresikan oleh
individu baik secara verbal maupun nonverbal. Selain itu, Hidayat (2014) menjelaskan
bahwa kondisi depresi sebagai salah satu masalah yang berakibat pada kondisi psikososial
dengan ketidakberdayaan.
Ketidakberdayaan tidak seperti keputusasaan, ketidakberdayaan terjadi bila individu
tidak dapat mengatasi solusi dari masalahnya, sehingga individu percaya bahwa hal
tersebut berada diluar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut. Keputusasaan
menyiratkan individu percaya tidak ada solusi terhadap masalahnya (Hidayat, 2014).
Ketidakberdayaan merupakan manifestasi yang muncul dari masalah yang berasal dari
individu yang mengalami kecemasan (Videbeck, 2015).

B. Penyebab
Ketidakberdayaan disebabkan oleh adanya nyeri yang berlangsung lama, ansietas, harga
diri rendah, strategi koping tidak efektif, kurang Pengetahuan untuk mengelola masalah,
kurang dukungan sosial ( Keliat, 2020)

C. Batasan Karakteristik Pasien Dengan Ketidakberdayaan


Menurut NANDA (2018) dan Wilkinson (2007) ketidakberdayaan yang dialami pasien
dapat terdiri dari tiga tingkatan antara lain:
1. Rendah dimana pasien mengungkapakan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat
energi dan bersikap pasif.
2. Sedang dimana pasien mengalami ketergantungan pada orang lain yang dapat
mengakibatkan ititabilitas, ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah. Pasien tidak
melakukan praktik perawatan diri ketika ditantang. Pasien tidak ikut memantau
kemajuan pengobatan. Pasien menunjukkan ekspresi ketidakpuasan terhadap

56
ketidakmampuan melakukan aktivitas atau tugas sebelumnya. Pasien menujukkan
ekspresi keraguan tentang performa peran.
3. Berat Pasien menunjukkan sikap apatis, depresi terhadap perburukan fisik yang terjadi
dengan mengabaikan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan dan menyatakan
tidak memiliki kendali (terhadap perawatan diri, situasi, dan hasil). Pada pasien
NAPZA biasanya pasien cenderung jatuh pada kondisi ketidakberdayaan berat karena
tidak memiliki kendali atas situasi yang memepngaruhinya untuk menggunakan
NAPZA atau ketidakmampuan mempertahankan situasi bebas NAPZA.

D. Proses Terjadinya Masalah


Kebanyakan individu secara subyektif mengalami perasaan ketidakberdayaan dalam
berbagai tingkat dalam bermacam-macam situasi. Individu sering menunjukkan respon
apatis, marah atau depresi terhadap kehilangan kontrol (Carpenito-Moyet, 2007). Pada
ketidakberdayaan, pasien mungkin mengetahui solusi terhadap masalahnya, tetapi percaya
bahwa hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut. Jika
ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah ke keputusasaan. Perawat harus hati-
hati untuk mendiagnosis ketidakberdayaan yang berasal dari perspektif pasien bukan dari
asumsi. Perbedaan budaya dan individu terlihat pada kebutuhan pribadi, untuk merasa
mempunyai kendali terhadap situasi (misalnya untuk diberitahukan bahwa orang tersebut
mempunyai penyakit yang fatal (Wilkinson, 2007).

E. Rentang Respon Ketidakberdayaan

1. Harapan
Harapan akan mempengaruhi respon psikologis individu. Kurang nya harapan dapat
menyebabkan stress dan berakhir dengan penggunaan mekanisme koping yang tidak
adekuat. Pada beberapa kasus, koping yang tidak adekuat dapat menimbulkan masalah
kesehatan jiwa.
57
2. Ketidakpastian
Ketidakpastian merupakan keadaan dimana individu tidak mampu memahami kejadian
yang terjadi. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan individu mengkaji situasi dan
memperkirakan upaya yang akan dilakukan. Ketidakpastian akan berbahaya jika disertai
rasa pesimis dan putus asa.
3. Putus Asa
Putus asa ditandai dengan perilaku pasif, perasaan sedih dan harapan hampa, kondisi ini
dapat membawa individu untuk melakukan bunuh diri.

F. Pengkajian Keperawatan Pada Pasien Dengan Ketidakberdayaan


1. Faktor predisposisi
a. Biologis
1) Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau kedua orang tua menderita
gangguan jiwa)
2) Gaya hidup (tidak merokok, alkhohol, obat dan zat adiktif) dan Pengalaman
penggunaan zat terlarang
3) Menderita penyakit kronis (riwayat melakukan general chek up, tanggal terakhir
periksa)
4) Ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-paru, yang mengganggu pelaksana
aktivitas harian pasien
5) Adanya riwayat sakit panas lama saat perkembangan balita sampai kejangkejang
atau pernah mengalami riwayat trauma kepala yang menimbulkan lesi pada
lobus frontal, temporal dan limbic.
6) Riwayat menderita penyakit yang secara progresif menimbulkan
ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal atau AIDS

b) Psikologis
1) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan tempat tinggal
2) Ketidaknmampuan mengambil keputusan dan mempunyai kemampuan
komunikasi verbal yang kurang atau kurang dapat mengekspresikan perasaan
terkait dengan penyakitnya atau kondisi dirinya
3) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat penyakit yang secara progresif
menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal
atau AIDS

58
4) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah dicapai)
5) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan kehidupannya yang sekarang
6) Pola asuh orang tua pada saat pasien anak hingga remaja yang terlalu otoriter
atau terlalu melindungi/menyayangi
7) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsisten selama tahap
perkembangan balita hingga remaja, kurang minat dalam mengembangkan hobi
dan aktivitas sehari-hari
8) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai saksi
9) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi, mudah cemas, rasa
takut akan tidak diakui, gaya hidup tidak berdaya
10) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung tertutup.

c) Sosial budaya
1) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan
2) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan mempunyai kecenderungan yang
sama untuk mengalami ketidakberdayaan tergantung dari peran yang dijalankan
dalam kehidupannya
3) Pendidikan rendah
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan (misalnya:
pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau orang terdekat
yang berlangsung lebih dari 6 bulan)
5) Adanya norma individu atau masyarakat yang menghargai kontrol (misalnya
kontrol lokus internal).
6) Dalam kehidupan sosial, cenderung ketergantungan dengan orang lain, tidak
mampu berpartisipasi dalam sosial kemasyarakatan secara aktif, enggan bergaul
dan kadang menghindar dari orang lain
7) Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan di masyarakat
8) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif maupun secara pasif.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat menstimulasi pasien jatuh pada kondisi ketidakberdyaan
dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal dimana pasien kurang
dapat menerima perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya
keluarga dan masyarakat kurang mendukung atau mengakui keberadaannya yang

59
sekarang terkait dengan perubahan fisik dan perannya. Sedangkan durasi stressor terjadi
kurang lebih 6 bulan terakhir, dan waktu terjadinya dapat bersamaan, silih berganti atau
hampir bersamaan, dengan jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai kualitas yang
berat. Hal tersebut dapat menstimulasi ketidakberdayaan bahkan memperberat kondisi
ketidakberdayaan yang dialami oleh pasien. Faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan faktor presiptasi timbulnya ketidakberdayaan adalah sebagai berikut:
a. Biologis
1) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu, Program
pengobatan yang terkait dengan penyakitnya (misalnya jangka panjang, sulit dan
kompeks) (proses intoksifikasi dan rehabilitasi).
2) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir. Dalam enam bulan
terakhir mengalami infeksi otak yang menimbulkan kejang atau trauma kepala
yang menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal dan limbic.
3) Terdapat gangguan sistem endokrin
4) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan tembakau
5) Mengalami gangguan tidur atau istirahat
6) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, ras, etnik dan gender
7) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan
b. Psikologis
1) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis
2) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan aktivitas sosial yang
berdampak pada keputusasaan.
3) Perasaan malu dan rendah diri karena ketidakmampuan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari akibat tremor, nyeri, kehilangan pekerjaan.
4) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena ketidakmampuan melakukan
tanggungjawab peran.
5) Kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan orang lain.

c. Sosial budaya
1) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi kesehatan atau
kehidupannya yang sekarang.
2) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah dengan keluarga (berada dalam
lingkungan perawatan kesehatan).

60
3) Hambatan interaksi interpersonal akibat penyakitnya maupun penyebab yang
lain
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan (misalnya:
pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau orang terdekat
yang berlangsung dalam 6 bulan terakhir)
5) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi status paliatif.
6) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan keyakinannya dan
ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat.

3. Faktor penilaian terhadap stressor (Wilkinson, 2007)


a. Kognitif
1) Mengungkapkan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat energi.
2) Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustrasi terhadap kemampuan untuk
melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya.
3) Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran.
4) Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai kendali atau
pengaruh terhadap situasi, perawatan diri atau hasil.
5) Mengungkapkan ketidakpuasan karena ketergantungan dengan orang lain.
6) Kurang dapat berkonsentrasi.
b. Afektif
1) Merasa tertekan atau depresi terhadap penurunan fisik yang terjadi dengan
mengabaikan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan
2) Marah
3) Iritabilitas, ketidaksukaan
4) Perasaan bersalah
5) Takut terhadap pengasingan oleh pemberian perawatan
6) Perasaan cemas atau ansietas
c. Fisiologis
1) Perubahan tekanan darah
2) Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan
3) Muka tegang
4) Dada berdebar-debar dan keluar keringat dingin
5) Gangguan tidur, terutama kalau disertai dengan ansietas
d. Perilaku

61
1) Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas
2) Tidak ada pertahanan pada praktik perawatan diri ketika ditantang
3) Tidak memantau kemajuan pengobatan
4) Tidak berpartisipasi dalam perawatan atau mengambil keputusan pada saat
diberikan kesempatan.
5) Kepasifan hingga apatis
6) Perilaku menyerang
7) Menarik diri
8) Perilaku mencari perhatian
9) Gelisah atau tidak bisa tenang
e. Sosial
a. Enggan untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya
b. Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan
c. Tidak mampu bersosialisasi dengan orang lain

G. Faktor sumber koping


a. Personal ability
1) Keterampilan pemecahan masalah: kemampuan mencari sumber informasi,
kemampuan mengidentifikasi masalah yang berhubungan ketidakberdayaan,
kekuatan dan factor pendukung serta keberhasilan yang pernah dicapai.
Kemampuan mempertimbangkan alternative aktivitas yang realistik.
Kemampuan melaksanakan rencana kegiatan dan memantau kemajuan dari
kondisi pengobatannya
2) Kesehatan secara umum: mempunyai keterbatasan mobilitas yang dapat
dikendalikan oleh pasien.
3) Keterampilan sosial: kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif terutama
dalam pencarian sumber informasi untuk mengatasi ketidakberdayaannya
4) Pengetahuan: Kemampuan memahami perubahan fisik dan peran atau kondisi
kesehatan dan kehidupannya
5) Integritas ego: pasien mempunyai pedoman hidup yang realistis, mengerti arah
dan tujuan hidup yang diinginkan secara matang.

b. Sosial support

62
1) Kualitas hubungan antara pasien dengan keluarga dan anggota masyarakat di
sekitarnya
2) Kualitas dukungan social yang diberikan keluarga, anggota masyarakat tentang
keberadaan pasien saat ini
3) Komitmen masyarakat dan keluarga dalam menjalankan kegiatan atau
perkumpulan di masyarakat
4) Tinggal di lingkungan keluarga dan masyarakat yang mempunyai norma tidak
bertentangan dengan nilai budaya yang ada.
c. Material Asset
1) Pasien atau keluarga mempunyai penghasilan yang cukup dan stabil untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari
2) Pasien mempunyai fasilitas ansuransi kesehatan, jamkesmas, SKTM atau askes
3) Mempunyai asset keluarga: tabungan, tanah, rumah untuk mengantisipasi
kebutuhan hidup
4) Terdapat pelayanan kesehatan, dan mampu mengakses pelayanan kesehatan
yang ada.
d. Positive belief
1) Keyakinan dan nilai: Pasien mempunyai keyakinan bahwa penyakitnya akan
dapat disembuhkan dan menyadari adanya perubahan fisik akibatnya
penyakitnya akan berdampak pada kehidupannya.
2) Motivasi: dengan perubahan gaya hidup yang terjadi pasien dapat menjalani
hidup dengan semangat
3) Orientasi terhadap pencegahan: pasien berfikir bahwa lebih baik mencegah
daripada mengobati.

H. Faktor mekanisme koping


a. Konstruktif
1) Menilai pencapaian hidup yang realistis
2) Mempunyai penilaian yang yang nyaman dengan perubahan fisik dan peran
yang dialami akibat penyakitnya
3) Dapat menjalankan tugas perkembangannya sesuai dengan keterbatasan yang
terjadi akibat perubahan status kesehatannya
4) Kreatif: pasien secara kreaktif mencari informasi terkait perubahan status
kesehatannya sehingga dapat beradaptasi secara normal

63
5) Di tengah keterbatasan akibat perubahan status kesehatan dan peran dalam
kehidupan sehari-hari, pasien amsih tetap produktif menghasilkan sesuatu
6) Mampu mengembangkan minat dan hobi baru sesuai dengan perubahan status
kesehatan dan peran yang telah dialami
7) Peduli terhadap orang lain disekitarnya walaupun mengalami perubahan kondisi
kesehatan.

b. Destruktif
1) Tidak kreatif/kurang memiliki keinginan dan minat melakukan aktivitas harian
(pasif)
2) Perasaan menolak kondisi perubahan fisik dan status kesehatan yang dialami
dan marah-marah dengan situasi tersebut
3) Tidak mampu mengekspresikan perasaan terkait dengan perubahan kondisi
kesehatannya dan menjadi merasa tertekan atau depresi
4) Kurang atau tidak mempunyai hubungan akrab dengan orang lain, kurang minat
dalam interaksi sosial sehingga mengalami menarik diri dan isolasi sosial
5) Tidak mampu mencari informasi kesehatan dan kurang mampu berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan yang dapat berakhir pada penyerangan terhadap
orang lain
6) Ketergantungan terhadap orang lain (regresi)
7) Enggan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya (represi/supresi).

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan sebagai penilaian klinis respons manusia dari tingkat individu,
keluarga, kelompok, atau komunitas terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan.
Masalah keperawatan utama pada pasien adalah ketidakberdayaan (domain 9, kelas 2,
kode diagnosis 00125) dengan batasan karateristik meliputi bergantung pada orang lain,
depresi, frustasi tentang ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas, kurang berpartisipasi
dalam perawatan, kurang rasa peduli, malu, merasa asing, dan ragu tentang penampilan
peran (NANDA, 2018).

J. Tujuan Tindakan Keperawatan


1. Kognitif, pasien mampu

64
1) Mengetahu pengertian, tanda dan gejala, penyebab dan akibat dari
ketidakberdayaan
2) Mengetahui cara mengatasi ketidakberdayaan
2. Psikomotor
1) Mengidentifkasikan situasi hidup yang tidak dapat dikendalikan dan yang dapat
dikendalikan
2) Melatih situasi yang dapat dikendalikan
3) Mengindentifikasi pikiran negatif dan tidak rasional
4) Melatih pikiran positif, pikiran rasional dan harapan positif
3. Afektif
1) Merasakan manfaat latihan yaang dilakukan
2) Menilai latihan untuk mengatasi ketidakberdayaan.

K. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan pada Pasien
a) Kaji tanda dan gejala ketidakberdayaan
b) Jelaskan proses terjadinya ketidakberdayaan
c) Latih cara mengendalikan situasi
1) Diskusikan situasi hidup yang tidak dapat dikendalikan
2) Diskusikan situasi hidup yang dapat dikendalikan
3) Latih cara-cara mengendalikan situasi hidup yang dapat dikendalikan
4) Beri penguatan dan pujian.
d) Latih cara mengendalikan pikiran
1) Diskusikan pikiran negatif dan pikiran yang tidak rasional
2) Latih pikiran positif dan rasional
3) Latih mengembangkan harapan positif dan lakukan affirmasi positif
4) Beri penguatan dan pujian.
e) Latih peran yang akan dilakukan
1) Diskusikan peran yang dimiliki yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat
dilakukan
2) Latih peran yang dapat dilakukan
3) Beri penguatan dan pujian
2. Tindakan pada keluarga

65
a) Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien yang mengalami
ketidakberdayaan
b) Jelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
ketidakberdayaan serta mengambil keputusan merawat pasien
c) Latih keluarga cara merawat dan membimbing pasien mengatasi
ketidakberdayaan sesuai dengan asuhan keperawatan yang telah diberikan.
d) Latih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung mengatasi
ketidakberdayaan
e) Diskusikan tanda dan gejala ketidakberdayaan yang memerlukan rujukan segera
serta mengajurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur.

L. Evaluasi
a. Penurunan tanda dan gejala ketidakberdayan
b. Peningkatan kemampuan pasien mengendalikan perasaan ketidakberdayaan
c. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan ketidakberdayaan

RANGKUMAN

Ketidakberdayaan merupakan gambaran perilaku individu yang kurang dapat


mengendalikan kondisi atau keadaan tertentu yang baru dirasakan, termasuk persepsi bahwa
tindakan individu secara signifikan tidak akan mempengaruhi hasil.
Gejala kognitif yang dialami pasien dengan kehilangan antara lain: mengungkapkan
ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat energi, mengungkapkan ketidakpuasan dan frustrasi
terhadap kemampuan untuk melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya., mengungkapkan
keragu-raguan terhadap penampilan peran, mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak
mempunyai kendali atau pengaruh terhadap situasi, perawatan diri atau hasil, mengungkapkan
ketidakpuasan karena ketergantungan dengan orang lain, kurang dapat berkonsentrasi. Gejala
afektif yang dialami meliputi : merasa tertekan atau depresi terhadap penurunan fisik yang
terjadi dengan mengabaikan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan, marah,
iritabilitas, ketidaksukaan, perasaan bersalah, takut terhadap pengasingan oleh pemberian
perawatan, perasaan cemas atau ansietas.
Gejala fisiologis yang dialami berupa perubahan tekanan darah, perubahan denyut
jantung dan frekuensi pernapasan, muka tegang, dada berdebar-debar dan keluar keringat
dingin, gangguan tidur, terutama kalau disertai dengan ansietas. Perilaku yang ditunjukkan

66
adalah ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas, tidak ada
pertahanan pada praktik perawatan diri ketika ditantang, tidak memantau kemajuan
pengobatan, tidak berpartisipasi dalam perawatan atau mengambil keputusan pada saat
diberikan kesempatan, Kepasifan hingga apatis, perilaku menyerang, menarik diri, perilaku
mencari perhatian, gelisah atau tidak bisa tenang. Gejala sosial ditunjukkan adalah enggan
untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, ketidakmampuan untuk mencari
informasi tentang perawatan, tidak mampu bersosialisasi dengan orang lain

Latihan 5
1. Jelaskan definisi ketidakberdayaan
2. Sebutkan tanda dan gejala Ketidakberdayaan
3. Jelaskan etiologi dari ketidakberdayan
4. Jelaskan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang mengalami ketidakberdayaan

Petunjuk Jawaban Latihan


1. Untuk menjawab pertanyaan no 1 pada latihan 5 pelajarilah kembali Defenisi
ketidakberdayaan.
2. Untuk menjawab pertanyaan no 2 pada latihan 5 pelajarilah kembali tanda dan gejala
ketidakberdayaan
3. Untuk menjawab pertanyaan no 3 pada latihan 5 pelajarilah kembali etiologi dari
ketidakberdayaan
4. Untuk menjawab pertanyaan no 4 pada latihan 5 pelajarilah kembali penilaian stressor
/tanda dan gejaa dari ketidakberdayaan

UNIT 6
ASUHAN KEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL

67
PEMBELAJARAN 6
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA MASALAH KEPUTUSASAAN

Pendahuluan
Dalam pembelajaran 6, mahasiswa akan mempelajari tentang konsep keputusasaan dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial keputusasaan dan terapi modalitas yang
diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 6 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep keputusasaan
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan keputusasaan
a. Pengkajian pada pasien dengan keputusasaan
b. Diagnosis keperawatan pada pasien dengan keputusasaan
c. Tindakan keperawatan kepada pasien dengan keputusasaan
d. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien dengan keputusasaan.

68
A. Pengertian
Keputusasaan (hopelessness) adalah suatu kondisi emosional subjektif yang dipertahankan
pasien karena pasien tidak melihat adanya pilihan pribadi atau pilihan alternatif untuk
memecahkan masalah; karena ketiadaan hasrat dan ketidakmampuan diri untuk memobilisasi
energinya (Carpenito-Moyet,2009). NANDA (2018) menyatakan bahwa keputusasaan adalah
kondisi subjektif ketika seorang individu memandang keterbatasan atau tidak adanya alternatif
atau pilihan pribadi serta tidak mampu memobilisasi energi demi kepentingan sendiri.

Keputusasaan berbeda dengan ketidakberdayaan. Hal ini dikarenakan orang tanpa harapan
(putus asa) tidak melihat adanya solusi atau jalan untuk mencapai apa yang diinginkan,
meskipun dia merasa dalam kendali. Sebaliknya, orang yang tidak berdaya bisa melihat
alternatif atau jawaban, namun tidak dapat melakukan apapun karena kurangnya kontrol atau
sumber daya (Carpenito-Moyet,2009). Perasaan ketidakberdayaan bisa menyebabkan
keputusasaan.
B. Etiologi
Keliat (2020) menyebutkan etiologi dari keputusasaan adalah stres jangka panjang,
kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual, kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai
penting, pembatasan aktivitas janga panjang, isolasi sosial.

C. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Respon Reaksi berduka Supresi Reaksi berduka Putus asa


Emosional rumit tertunda

1. Respons emosional adalah respons yang paling adaptif. Adaptif menyiratkan


keterbukaan dan kesadaran akan perasaan. Dengan cara ini, perasaan memberikan

69
pengalaman belajar yang berharga. Pengalaman adalah barometer yang memberikan
umpan balik tentang diri kita sendiri dan hubungan kita, dan membantu kita berfungsi
lebih efektif.
2. Reaksi berduka yang rumit adalah respons adaptif dalam menghadapi stress. Reaksi
tersebut menyiratkan bahwa seseorang sedang mengalami realitas kehilangan dan
tenggelam dalam kondisi berduka.
3. Supresi emosi adalah respons maladaptif. Respons maladaptif adalah penolakan
perasaan atau keteguhan diri seseorang. Supresi emosi yang bersifat sementara
terkadang diperlukan untuk mengatasi kondisi tertentu, seperti pada respons awal
terhadap kematian atau tragedi.
4. Reaksi berduka yang tertunda adalah respons maladaptif. Reaksi ini melibatkan supresi
emosi berkepanjangan yang menggangu fungsi efektif.
5. Putus asa adalah respons emosional yang paling maladaptif. Keadaan subjektif seorang
individu yang melihat keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan dari
pribadinya dan tidak dapat memobilisasi energi yang dimilikinya. Ditandai dengan
perilaku pasif, perasaan sedih dan harapan hampa, kondisi ini dapat membawa pasien
dalam upaya bunuh diri.

D. Pengkajian pada pasien dengan keputusasaan


1. Faktor Predisposisi
a) Teori Kehilangan Teori ini berhubungan dengan factor perkembangan misalnya
kehilangan orang tua pada masa anak-anak. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang
tidak berdaya dalam mengatasi kehilangan
b) Teori Kepribadian Teori ini menjelaskan ada kepribadian seseorang yang
menyebabkan rentan terhadap suatu rasa putus asa.
c) Model Kognitif Model ini menjelaskan bahwa putus asa merupakan masalah
kognitif yang didominasi oleh penilaian negative seseorang terhadap diri sendiri,
lingkungan, dan masa depan.
d) Model Belajar Ketidakberdayaan Putus asa dimulai dari kehilangan kendali diri
kemudian menjadi pasif dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Setelah itu,
pada individu timbul keyakinan akan ketidakmampuan mengendalikan kehidupan
sehingga tidak berupaya mengembangkan respon yang adaptif.
e) Model Perilaku Putus asa terjadi karena kurangnya pujian positif selama
berinteraksi dengan lingkungan.

70
f) Model Biologis Pada keadaan ini, dalam tubuh seseorang terjadi penurunan zat
kimiawi yaitu katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan terjadi peningkatan
sekresi dari kortisol.

2. Faktor Presipitasi
a) Faktor Biologis Bila seseorang mengalami gangguan fisik tertentu, atau
pengobatan yang berlangsung lama akan menyebabkan seseorang mengalami
kondisi putus asa.
b) Faktor Psikologis Bila seseorang merasa kehilangan kasih sayang dari seseorang
yang dicintainya atau kehilangan harga dirinya akan menyebabkan kondisi putus
asa.
c) Faktor Sosial Budaya Bila seseorang mengalami kehilangan peran karena adanya
perceraian atau kehilangan pekerjaan karena pemutusan pekerjaan akan
menyebabkan kondisi putus asa. Berdasarkan proses terjadinya masalah diatas,
maka pasien yang mengalami keputusasaan akan menampilkan perasaan diri
negative terhadap diri maupun lingkungan sekitarnya yang diakibatkan karena
adanya keyakinan akan ketidakmampuan diri dalam menghadapi kehidupan. Selain
itu, bila lingkungan eksternal tidak memberikan dukungan akan sikap dan
perilakunya yang tidak adaptif akan menyebabkan reaksi mengisolasi diri dan
resiko tinggi timbulnya ide bunuh diri

3. Penilaian Stressor / Tanda dan Gejala Keputusasaan


a. Karakteristik utama (Mayor)
1) Fisiologis: menurunnya respons terhadap rangsanga, kekurangan energy,
peningkatan jumlah tidur
2) Emosional: kepasifan dan kurangnya keterlibatan dalam perawatan,
kemampuan verbal yang menurun, afek yang menurun, kurangnya ambisi,
inisiatif, dan minat, kompleksnya sikap menyerah, ketidakmampuan untuk
mencapai apapun, kurangnya tanggung jawab atas keputusan dan kehidupa,
proses berpikir yang lambat, perilaku mengisolasi diri, demoralisasi, komentar
negatif mengenai sekarang dan masa depan, kelelahan.
3) Kognitif: focus pada masa lalu dan masa depan, bukan focus pada saat ini dan
sekarang, berkurangnya fleksibilitas dalam proses berpikir, kekakuan
(misalnya, pemikiran semua-atau-tidak sama sekali), kurangnya imajinasi dan

71
kemampuan berharap, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mencapai
tujuan dan sasaran yang diinginkan, ketidakmampuan untuk merencanakan,
mengatur, keputusan, atau memecahkan masalah, putus asa, ketidakmampuan
mengenali sumber harapan, pikiran bunuh diri.
b. Karakteristik Tambahan (Minor)
Karakter yang meliputi aspek fisiologis dan emosional ini dimungkinkan hadir
pada pasien dengan keputusasaan.
1) Fisiologis: Anoreksia, penurunan berat badan
2) Emosional : merasa ada benjolan di tenggorokan, tegang, merasa kecewa,
dibanjiri oleh rasa ketidakmampuan (saya hanya “tidak bisa…”), merasa
bahwa mereka berada “di ujung talinya”, kehilangan kepuasan dari peran dan
hubungan Rentan atau mudah diserang. Pasien juga mempertunjukkan adanya:
Kontak mata yang buru, motivasi yang menurun, mendesah, regresi, depresi,
pengunduran diri

5. Sumber Koping
Sumber personal meliputi status sosial ekonomi seseorang (pendapatan, pekerjaan,
posisi sosial, pendidikan), keluarga (inti, besar), jaringan dukungan sosial, dan aset
masyarakat dan perawatan kesehatan. Efek jangka panjang dari faktor-faktor penentu
sosial dari kesehatan meliputi kemiskinan, diskriminasi, perumahan yang tidak
memadai, pendidikan rendah, dan isolasi sosial yang sangat serius. Oleh karena itu
tindakan keperawatan mendorong kemampuan seseorang untuk mengatasi gangguan
kehidupan yang sangat penting.
6. Mekanisme koping
a. Berpusat pada emosi, dimana pasien berorientasi untuk mengurangi stress
emosialnya
1) Denial: menghindai realita yang tidak menyenangkan dengan mengabaikan atau
menolak untuk mengakuinya
2) Rasionalisasi: member alasan dengan masuk akal agar perilaku,pikiran atau
perasaan yang tidak dapat diterima tau di benarkan oleh oranglain.
3) Kompensasi: proses dimana individu memperbaiki penurunan citra diri
berupaya mengantikan dengan menonjolkan kelebihan yang dimilikinya
4) Respresi: pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran tau memori yang
menyakitkan atau bertentangan dengan kesadaran

72
5) Sublimasi: perubahan bentuk ekspresi dorongan atau rangsangan yang terlambat
ke ekspresi yang lebih dapat diterima oleh masyarakat.
6) Identifikasi: suatu proses dmana seseorang berusaha seperti orang yang
dikagumi
7) Regresi: dalam menghadapi stress,perilaku, perasaan dan cara perpikir mundur
kembali ke cirri tahap perkembangan sebelumnya
8) Proyeksi: menyatakan harapan pikiran, perasaan motivasi sendiri sebagai
harapan,pikiran,perasaan atau memotivasi orang lain
9) Displacement: memindahkan emosi atau perasaan kepada seseorang atau objek
lain yang lebih netral atau kurang berbahaya
10) Reaksi Formation: mengembangkan perilaku dan pola sikap tertentu yang
disadari, berlawanan dengan perasaan dan keinginannya
11) Introyeksi: bentuk identifikasi yang lebih mendalam dimana individu
mengambil atau memasukan nilai dari oranglain yang dicintai atau dibenci
menjadi struktur egonya
b. Berpusat pada masalah
Upaya yang disadari dan berorientsi pada tindakan untuk memnuhi tuntunan situasi
stess secara realitas
1) Konfrontasi: digunakan untuk mengubah, menghilangkan atau mengatasi
hambatan pemenuhan kebutuhan
2) Isolasi: digunakan baik secara fisik maupun psikologis untuk memindahkan
seseorang dari sumber stress
3) Kompromi: digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan ,
mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhsn personal seseorang

E. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan : ketidakberdayaan

F. Tujuan Tindakan Keperawatan


1. Kognitif, pasien mampu
a) Mengetahui perubahan/penurunan kondisi fisik
b) Mengetahui pengertian, tanda dan gejala, penyebab dan akibat dari keputusasaan
2. Psikomotor, pasien mampu
a) Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki

73
b) Mengidentifikasi sistem pendukung yang tersedia
c) Melatih hubungan sosial dengan sistem pendukung
d) Melatih kegiatan hidup sehari-hari
3. Afektif, pasien mampu
a) Merasakan manfaat latihan yang dilakukan
b) Merasa optimis dan bahagia

G. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan pada pasien
a) Kaji tanda dan gejala keputusasaan
b) Jelaskan proses terjadinya keputusasaan
c) Diskusikan dengan pasien:
1) Kemampuan yang dimiliki
2) Sistim pendukung yang dimiliki
3) Harapan kehidupan
d) Latih hubungan sosial dengan lingkungan:
1) Bercakap-cakap dengan sistem pendukung
2) Bercakap-cakap dengan lingkungan
e) Latih melakukan kegiatan sehari-hari
1) Memenuhi kebutuhan makan
2) Memenuhi kebutuhan istirahat/tidur
3) Merawat diri: kebersihan diri
4) Melakukan kegiatan spritual
f) Latih membangun harapan yang realistis
1) Diskusikan harapan dan keinginan masa depan
2) Bantu pasien membuat rencana mencapai harapan secara bertahap
g) Berikan motivasi dan pujian atas keberhasilan

2. Tindakan keperawatan pada keluarga


a) Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien yang mengalami
keputusasaan
b) Jelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
keputusasaan serta mengambil keputusan dalam merawat pasien

74
c) Latih keluarga cara merawat dan membimbing pasien mengatasi keputusasaan
sesuai dengan asuhan keperawatan yang diberikan
d) Latih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung mengatasi
keputusasaan dan menciptakan suasana yang positif
e) Diskusikan tanda dan gejala keputusasaan yang memerlukan rujukan segera serta
menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur.

H. Evaluasi
1. Penurunan tanda dan gejala keputusasaan
2. Peningkatan kemampuan pasien mengendalikan perasaan keputusasaan
3. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan keputusasaan

RANGKUMAN
1. Keputusasaan (hopelessness) adalah suatu kondisi emosional subjektif yang dipertahankan
pasien karena pasien tidak melihat adanya pilihan pribadi atau pilihan alternatif untuk
memecahkan masalah; karena ketiadaan hasrat dan ketidakmampuan diri untuk
memobilisasi energinya. Keputusasaan berbeda dengan ketidakberdayaan. Hal ini
dikarenakan orang tanpa harapan (putus asa) tidak melihat adanya solusi atau jalan untuk
mencapai apa yang diinginkan, meskipun dia merasa dalam kendali. Sebaliknya, orang
yang tidak berdaya bisa melihat alternatif atau jawaban, namun tidak dapat melakukan
apapun karena kurangnya kontrol atau sumber daya. Perasaan ketidakberdayaan bisa
menyebabkan keputusasaan.
2. Tanda dan gejala mayor pada pasien dengan keputusasaan adalah menurunnya respons
terhadap rangsanga, kekurangan energy, peningkatan jumlah tidur, kepasifan dan
kurangnya keterlibatan dalam perawatan, kemampuan verbal yang menurun, afek yang
menurun, kurangnya ambisi, inisiatif, dan minat, kompleksnya sikap menyerah,
ketidakmampuan untuk mencapai apapun, kurangnya tanggung jawab atas keputusan dan
kehidupa, proses berpikir yang lambat, perilaku mengisolasi diri, demoralisasi, komentar
negatif mengenai sekarang dan masa depan, kelelahan. Tanda Kognitif yang muncul
adalah focus pada masa lalu dan masa depan, bukan focus pada saat ini dan sekarang,
berkurangnya fleksibilitas dalam proses berpikir, kekakuan (misalnya, pemikiran semua-
atau-tidak sama sekali), kurangnya imajinasi dan kemampuan berharap, ketidakmampuan
untuk mengidentifikasi atau mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan,

75
ketidakmampuan untuk merencanakan, mengatur, keputusan, atau memecahkan masalah,
putus asa, ketidakmampuan mengenali sumber harapan, pikiran bunuh diri.
3. Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan kesehatan
jiwa yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan dengan pendekatan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Dari kelompok data yang terkumpul, baik
data subjektif maupun data objektif, maka masalah dirumuskan.Dalam kaitan ini perlu
dibuat daftar masalah keperawatan kesehatan jiwa sesuai dengan pengkajian, pohon
masalah, dan menegakkan diagnosa keperawatan dengan menyimpulkan core problem
(masalah utama).Menegakkan diagnosa dilakukan berdasarkan perioritas.
4. Langkah selanjutnya adalah membuat rencana tindakan keperawatan serta melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan. Kemudian mengevaluasi
keberhasilan pasien dan keluarga. Terakhir menuliskan pendokumentasian pasien sesuai
dengan format yang ada.
LATIHAN 6:
1. Jelaskan definisi keputusasaan
2. Sebutkan tanda dan gejala keputusasaan
3. Jelaskan etiologi dari keputusasaan
4. Jelaskan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang mengalami keputusasaan

Petunjuk Jawaban Latihan


1. Untuk menjawab pertanyaan no 1 pada latihan 6 pelajarilah kembali Defenisi
keputusasaan
2. Untuk menjawab pertanyaan no 2 pada latihan 6 pelajarilah kembali tanda dan gejala
keputusasaan
3. Untuk menjawab pertanyaan no 3 pada latihan 6 pelajarilah kembali etiologi dari
keputusasaan
4. Untuk menjawab pertanyaan no 4 pada latihan 5 pelajarilah kembali penilaian stressor
/tanda dan gejaa dari keputusasaan

76
PEMBELAJARAN 7
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA MASALAH DISTRESS SPIRITUAL

Pendahuluan
Dalam pembelajaran 7, mahasiswa akan mempelajari tentang konsep spiritual dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah psikososial distress spiritual dan terapi modalitas
yang diberikan.

Setelah mempelajari modul pembelajaran 7 ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Menjelaskan konsep distress spiritual
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan distress spiritual
a. Pengkajian pada pasien dengan distress spiritual
b. Diagnosis keperawatan pada pasien dengan distress spiritual
c. Tindakan keperawatan kepada pasien dengan distress spiritual
d. Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien dengan distress
spiritual.

77
A. Pengertian Spiritual
Sebelum memasuki pengertian dari distress spiritual, terlebih dahulu dibahas tentang
konsep spiritual itu sendiri.
1. Spiritualitas atau Keyakinan Spiritual
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa.
Contohnya, seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta. Spiritual meliputi
aspek sebagai berikut.
a) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan.
b) Menemukan arti dan tujuan hidup.
c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri.
d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha
Tinggi.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul di
luar kekuatan manusia. Mickley et al (1992), menguraikan spiritual sebagai suatu yang
multidimensi, dimensi eksistensial, berfokus pada tujuan dan arti kehidupan dan
dimensi agama, lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan.
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, dan kebutuhan untuk
memberi dan mendapatkan maaf. Spiritual dapat memberikan kedamaian dalam
menghadapi penyakit terminal maupun menjelang ajal.
2. Karakteristik Spiritualitas
a) Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self-reliance:
1) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya);
2) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri).
b) Hubungan dengan alam harmonis:
1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim;

78
2) Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan dan
melindungi alam.
c) Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif:
1) Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik;
2) Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit;
3) Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat).
d) Hubungan dengan ketuhanan. Agamis atau tidak agamis:
1) Sembahyang/berdoa/meditasi;
2) Perlengkapan keagamaan;
3) Bersatu dengan alam.
Dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya jika mampu:
a) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan;
b) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau
penderitaan;
c) Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta;
d) Membina integritas personal dan merasa diri berharga;
e) Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan;
f) Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif
3. Faktor yang Memengaruhi Spiritualitas
a) Tahap Perkembangan
1) Bayi dan Todler, tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada
yang mengasuh sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan
interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui
hubungan dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan toddler belum
memiliki rasa salah yang benar, serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru
kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut ke tempat Ibadan
yang memengaruhi citra diri mereka.
2) Prasekolah, pada masa ini, anak meniru apa yang mereka lihat bukan yang
dikatakan orang lain. Menurut Kozier, dkk (1995), pada usia ini, metode
pendidikan spiritual yang efektif adalah memberi indoktrinasi dan memberi
kesempatan kepada mereka untuk memilih caranya. Agama merupakan bagian
dari kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan
dan angin; hujan dianggap sebagai air mata Tuhan.

79
3) Usia Sekolah, pada masa ini, anak mengharapkan Tuhan menjawab doanya,
yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa
prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai sadar
bahwa doanya tidak selalu dijawab dan mulai mencari alasan tanpa mau
menerima keyakinan begitu saja. Pada usia ini, anak mulai mengambil
keputusan akan melepaskan atau meneruskan agama yang dianutnya, karena
ketergantungan kepada orang tua. Pada masa remaja, mereka membandingkan
standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar apa
yang akan diintegrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan
pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba untuk
menyatukannya. Di masa ini, remaja yang mempunyai orang tua berbeda agama
akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya.
4) Dewasa, kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan bersifat
keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya
pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa
daripada waktu remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk
mendidik anaknya.
5) Usia Pertengahan dan Lansia, kelompok usia pertengahan dan lansia
mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk
mengerti nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan
karena pension dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara,
sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis
agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi
kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga, serta lebih
dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau
dihindarkan.
b) Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas anak. Keluarga
merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam
mempresepsikan kehidupan di dunia.
c) Latar belakang etnik dan budaya
Umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
d) Pengalaman hidup sebelumnya

80
Pengalaman hidup yang positif maupun negatif dapat memengaruhi spiritualitas
seseorang. Dipengaruhi juga oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual
kejadian atau pengalaman tersebut. Contoh, jika dua orang wanita yang percaya
bahwa Tuhan mencintai umatnya, kehilangan anak mereka karena kecelakaan.
Salah satunya akan bereaksi dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan tidak
mau sembahyang. Sedangkan wanita yang sat uterus berdoa dan meminta Tuhan
membantunya untuk mengerti dan menerima kehilangan anaknya. Begitupun
dengan pengalaman hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, pelantikan
kelulusan, kenaikan jabatan, dapat menimbulkan rasa bersyukur pada Tuhan, namun
juga ada yang merasa tidak perlu mensyukurinya. Peristiwa dalam kehidupan sering
dianggap cobaan yang diberikan Tuhan untuk menguji kekuatan iman. Pada saat ini,
kebutuhan spiritual akan meningkat dan memerlukan ke dalaman spiritual dan
kemampuan koping untuk memenuhinya.
e) Krisis dan perubahan
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit
terminal. Diagnosis penyakit atau penyakit terminal umumnya akan menimbulkan
pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Jika pasien dihadapkan pada
kematian, keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang lebih tinggi
dibanding pasien yang berpenyakit bukan terminal.
f) Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Pasien
merasa terisolasi dalam ruangan yang asing, kebiasaan hidup sehari-hari pun
berubah, seperti tidak lagi dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan
keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang
biasa memberi dukungan. Terpisahnya pasien dari ikatan spiritual ini dapat berisiko
terjadinya perubahan fungsi spiritualnya.

B. Distres spiritual adalah suatu keadaan menderita yang berhubungan dengan hambatan
kemampuan untuk mengalami makna hidup melalui hubungan diri sendiri, dunia, atau
kekuatan yang Maha Tinggi (NANDA-I, 2018).
Distress spiritual adalah gangguan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan
makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik,

81
literature, alam, dan/atau kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri. Distres spiritual
muncul ketika kebutuhan spiritual tidak terpenuhi, sehingga dalam menghadapi
penyakitnya, pasien mengalami depresi, cemas, dan marah kepada Tuhan (Monod, dalam
Julianti 2014). Distres spiritual dapat menyebabkan ketidakharmonisan dengan diri sendiri,
orang lain, lingkungan dan Tuhannya. Jadi, distress spiritual dapat diartikan sebagai
kegagalan individu dalam menemukan arti dan tujuan hidupnya.

C. Etiologi
Distress spiritual dapat disebabkan karena:
1. Kehilangan.
2. Kematian orang terdekat
3. Menerima berita buruk tentang kesehatan, hubungan sosial
4. Perubahan kehidupan.

Kondisi klinis terkait:


1. Menjelang ajal
2. Penyakit kronis dan paliatif.
3. Kehilangan fungsi, betuk struktur tubuh.
4. Proses pengobatan yang lama.
5. Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk merekonsiliasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
6. Ketidakefektifan koping individual yang berhubungan dengan kehilangan agama
sebagai dukungan utama (merasa ditinggalkan oleh Tuhan)
7. Takut yang berhubungan dengan belum siap menghadapi kematian dan pengalaman
kehidupan setelah kematian.
8. Berduka yang disfungsional: keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa
agama tidak mempunyai arti.
9. Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli,
termasuk Tuhan.
10. Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi korban.
11. Gangguan harga diri yang berhubungan dengan kegagalan untuk hidup sesuai dengan
ajaran agama.

82
D. Rentang Respon
Kebutuhan Perilaku Adaptif Perilaku Maladaptif
Rasa percaya 1. Rasa percaya terhadap diri 1. Merasa tidak nyaman
sendiri dan kesabaran. dengan kesadaran diri.
2. Rasa percaya terhadap 2. Ketidakmampuan untuk
kehidupan walaupun terasa terbuka terhadap orang lain.
berat. 3. Merasa bahwa hanya orang
3. Keterbukaan terhadap Tuhan. tertentu dan tempat tertentu
yang aman.
4. Ingin kebutuhan dipenuhi
segera, tidak dapat
menunggu.
5. Tidak terbuka kepada
Tuhan.
6. Takut terhadap maksud
Tuhan.

Kemauan 1. Menerima diri sendiri dan orang 1. Merasakan penyakit sebagai


memberi maaf lain dapat berbuat salah. hukuman.
2. Tidak mendakwa atau 2. Merasa Tuhan sebagai
berprasangka buruk. pengukum.
3. Memandang penyakit sebagai 3. Merasa bahwa maaf hanya
sesuai yang nyata. diberikan berdasarkan
4. Memaafkan diri sendiri. perilaku.
5. Memberi maaf orang lain. 4. Tidak mampu menerima
6. Menerima pengampunan Tuhan. diri sendiri.
7. Pandangan yang realistic 5. Menyalahkan diri sendiri
terhadap masa lalu. atau menyalahkan orang
lain.
Mencintai dan 1. Mengekspresikan perasaan 1. Takut bergantung pada
keterikatan dicintai oleh orang lain atau orang lain.
Tuhan. 2. Menolak bekerja sama
2. Mampu menerima bantuan. dengan tenaga kesehatan.
3. Menerima diri sendiri. 3. Cemas berpisah dengan
4. Mencari kebaikan dari orang keluarga.
lain. 4. Menolak diri atau angkuh
dan mementingkan diri
sendiri.
5. Tidak mampu untuk
mempercayau diri sendiri
dicintai oleh Tuhan, tidak
mempunyai hubungan rasa
cinta dengan Tuhan.
6. Merasa jauh dari Tuhan.

83
Keyakinan 1. Ketergantungan pada anugerah 1. Tidak percaya pada
Tuhan kekuasaan Tuhan.
2. Termotivasi untuk tumbuh 2. Takut kematian/kehidupan
3. Mengekspresikan kepuasan setelah kematian.
dengan menjelaskan kehidupan 3. Merasa terisolasi dari
setelah kematian. kepercayaan masyarakat
4. Mengekspresikan kebutuhan sekitar.
untuk memasukin kehidupan 4. Merasa pahit, frustasi dan
dan/atau memahami wawasan marah terhadap Tuhan.
yang lebih luas. 5. Nilai keyakinan dan tujuan
5. Mengekspresikan kebutuhan hidup yang tidak jelas.
ritual 6. Tidak mempunyai
komitmen.

Kreativitas dan 1. Meminta informasi tentang 1. Mengekspresikan perasaan


harapan kondisi. takut kehilangan kendali.
2. Membicarakan kondisinya 2. Mengekspresikan
secara realistic. kebosanan.
3. Menggunakan waktu selama 3. Tidak mempunyai visi
dirawat inap/sakit secara alternative yang
konstruktif. memungkinkan.
4. Mencari kenyamanan batin 4. Takut terhadap terapi.
daripada fisik. 5. Putus asa.
5. Mengekspresikan harapan 6. Tidak dapat menolong atau
tentang masa depan. menerima diri sendiri.
7. Tidak dapat menikmati
apapun.

Arti dan tujuan 1. Mengekspresikan kepuasan 1. Mengekspresikan tidak ada


hidup. alasan untuk bertahan.
2. Menerima dan menggunakan 2. Tidak dapat menerima arti
penderitaan sebagai cara untuk penderitaan yang dialami.
memahami diri sendiri. 3. Tidak dapat merumuskan
3. Mengekspresikan arti tujuan atau tidak mencapai
kehidupan/kematian. tujuan.
4. Mengekspresikan komitmen
dari orientasi hidup.
5. Jelas tentang apa yang penting.

Bersyukur 1. Merasa bersyukur 1. Mencemaskan masa lalu dan


2. Merasakan anugerah yang yang akan datang.
dilimpahkan Tuhan 2. Terpusat pada penyesalan.
3. Merasa harmoni yang utuh.

Nursalam (2007), dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman & Nipasn
(2003), mengemukakan bahwa respon adaptif spiritual meliputi:
a. Harapan yang realistis

84
b. Tabah dan sabar
c. Pandai mengambil hikmah

Distres spiritual selanjutnya dijabarkan dengan lebih spesifik sebagai berikut:


a. Spiritual pain, merupakan ekspresi atau ungkapan dari ketidaknyamanan pasien akan
hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit terminal atau penyakit kronis
mengalami gangguan spiritual dengan mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena
selama hidupnya tidak sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan ini lebih
menonjol ketika pasien menjelang ajal.
b. Pengasingan diri (spiritual alienation), diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa
pasien merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan penyakit
kronis merasa frustasi sehingga bertanya, dimana Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?
c. Kecemasan (spiritual anxiety), dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan
hukuman Tuhan, takut Tuhan tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkah
lakunya. Beberapa budaya meyakini bahwa penyakit merupakan suatu hukuman dari
Tuhan karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan semasa hidupnya.
d. Rasa bersalah (spiritual guilt), pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan
hal-hal yang seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan
hal-hal yang tidak disukai Tuhan.
e. Marah (spiritual anger), mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam tentang
Tuhan. Keluar pasien juga marah dengan mengatakan mengapa Tuhan mengijinkan
orang yang mereka cintai menderita.
f. Kehilangan (spiritual loss), pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta
dari Tuhan, takut bahwa hubungan dengan Tuhan terancam, perasaan kosong.
g. Putus asa (spiritual despair), pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk
memiliki suatu hubungan dengan Tuhan, menganggap Tuhan tidak merawat dia.

E. Pengajian pada pasien yang mengalami distress spiritual


1. Faktor Predisposisi
Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang
sehingga akan mengganggu proses interaksi dimana dalam proses interaksi ini akan
terjadi transfer pengalaman yang penting bagi perkembangan spiritual seseorang.
Faktor predisposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan, pendapatan,
85
okupasi, posisi istre, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial,
tingkatan sosial.

2. Faktor presipitasi
Kejadian stressful mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi
karena perbedaan tujuan hidup, kehilangan hubungan dengan orang yang terdekat
karena kematian, kegagalan dalam menjalin hubungan baik dengan diri sendiri, orang
lain, lingkungan dan zat yang maha tinggi. Beberapa ketegangan hidup yang
berkonstribusi terhadap terjadinya distress spiritual adalah ketegangan dalam
menjalankan ritual keagamaan, perbedaan keyakinan dan ketidakmampuan
menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga, kelompok maupun komunitas.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala mayor pada pasien dengan distress spiritual:
a) Mayor
1) Subyektif: Mengeluh menderita, mempertanyakan makna hidu, tidak dicintai,
merasa bersalah, kurang pasrah.
2) Obyektif: Insomnia, menangis, ketakutan, menolak bertemu dengan pemuka
agama dan orang terdekat, ritual religius berubah
b. Minor
1) Subyektif : perasaan diabaikan, perasaan asing
2) Obyektif: tidak dapat melakukan kegiatan ibadah, mengisolasi diri

4. Sumber koping merupakan pilihan-pilihan atau strategi-strategi yang membantu


menentukan apa yang dapat dilakukan dan apa yang beresiko. Mereka dapat
mengandalkan pilihan koping yang tersedia, kesempatan bahwa pilihan tersebut akan
berhasil dan kemungkinan individu tersebut dapat menerapkan strategi tertentu secara
efektif.
a. Kemampuan Personal
Kemampuan dalam pemecahan masalah baik masalah kesehatan, kemampuan
mencari informasi, mengidentifikasi masalah, mempertimbangkan alternatif dan
mengimplementasikan rencana tindakan.
b. Dukungan Sosial

86
Dukungan sosial datang dari orang sekitar/terdekat misalnya keluarga dan sahabat
yang dapat membantu menyelesaikan masalah, meningkatkan kemungkinan untuk
bekerja sama.

c. Material Aset
Merujuk pada uang dan barang serta layanan yang dapat dibeli dengan uang.
Lazimnya sumber dana sangat meningkatkan kemampuan seseorang untuk memilih
koping pada hampir semua situasi yang menimbulkan stres.
d. Keyakinan Positif
Motivasi dari dalam diri sendiri, keyakian dan nilai yang dianut. Keyakinan
spiritual dapat berguna sebagai sumber harapan dan dapat mempertahankan upaya
koping seseorang dalam situasi yang paling tidak diharapkan.
e. Identitas ego yang kuat,
Komitmen pada jaringan sosial, stabilitas budaya, sistem nilai dan keyakinan yang
stabil, serta orientasi kesehatan yang bersifat preventif merupaka sumber koping
lainnya.

2. Mekanisme Koping
Ada enam tipe dasar dukungan sosial bagi distres spiritual:
a. Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada
kepentingan orang lain.
b. Dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thingking, mendorong atau
setuju dengan pendapat orang lain.
c. Dukungan instrumental yaitu menyediakan pelayanan langsung yang berkaitan
dengan dimensi spiritual.
d. Dukungan informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk dan umpan balik
bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan keyakinan spiritualnya.
e. Dukungan network menyediakan dukungan kelompok untuk berbagi tentang
aktifitas spiritual.
f. Dukungan apprasial yang membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman
terhadap stresor spiritual dalam mencapai keterampilan koping yang efektif.
(Taylor, dkk , 2013)

87
F. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan yang timbul pada kasus pasien distress spiritual tersebut adalah
Distress spiritual

G. Tujuan Tindakan kepererawatan


1. Kognitif, pasien mampu:
a. Menyampaikan penderitaan yang dialami
b. Mengenali makna hidup dan kekuatan yang Mahatinggi
2. Psikomotor, pasien mampu:
a. Membuat daftar makna hidup
b. Melakukan kegiatan kehidupan yang berguna
c. Melakukan ritual spiritual dan merasakan maknanya
3. Afektif, pasien mampu:
a. Merasakan kekuatan yang Mahakuasa
b. Merasakan diperhatikan dan dicintai oleh orang terdekat
c. Merasakan kebahagiaan hidup

H. Tindakan keperawatan
1. Tindakan pada pasien
a. Kaji tanda dan gejala distress spiritual.
b. Jelaskan proses terjadinya distress spiritual.
c. Diskusikan dengan pasien:
1) Penderitaan yang dialami
2) Kekuatan yang mahatinggi (Tuhan)
3) Makna hidup
d. Latih kegiatan hidup sehari-hari dan memaknainya
e. Latih kegiatan ritual spiritual dan memaknainya
f. Memberikan pujian dan motivasi dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan ritual
spiritual
2. Tindakan pada keluarga
a. Kaji masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, serta proses terjadinya distres spiritual serta
memutuskan cara merawat.

88
c. Latih keluarga cara merawat dan membimbing pasien meningkatkan ritual spiritual
dan manfaatnya sesuai dengan asuhan yang telah diberikan kepada pasien.
d. Latih keluarga untuk menciptakan suasana yang mendukung pasien melakukan
kegiatan bermakna.
e. Diskusikan tanda dan gejala distres spiritual yang memerlukan rujukan segera serta
menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur.

I. Evaluasi
1. Penurunan tanda dan gejala distress spiritual
2. Peningkatan kemampuan pasien melakukan ritual spiritual.
3. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan distress spiritual

J. Pendokumentasian
Langkah terakhir dari asuhan keperawatan adalah melakukan dokumentasi asuhan
keperawatan. Dokumentasi dilakukan pada setiap tahap proses keperawatan yang meliputi
dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi tindakan
keperawatan, dan evaluasi.

RANGKUMAN
1. Distress spiritual adalah gangguan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan
makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik,
literature, alam, dan/atau kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri. Distres spiritual
muncul ketika kebutuhan spiritual tidak terpenuhi, sehingga dalam menghadapi
penyakitnya, pasien mengalami depresi, cemas, dan marah kepada Tuhan . Distres spiritual
dapat menyebabkan ketidakharmonisan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dan
Tuhannya.
2. Tanda dan gejala mayor pada pasien dengan distress spiritual meliputi mengeluh
menderita, mempertanyakan makna hidu, tidak dicintai, merasa bersalah, kurang pasrah,
insomnia, menangis, ketakutan, menolak bertemu dengan pemuka agama dan orang
terdekat, ritual religius berubah.
3. Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan kesehatan
jiwa yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan dengan pendekatan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Dari kelompok data yang terkumpul, baik
data subjektif maupun data objektif, maka masalah dirumuskan.Dalam kaitan ini perlu

89
dibuat daftar masalah keperawatan kesehatan jiwa sesuai dengan pengkajian, pohon
masalah, dan menegakkan diagnosa keperawatan dengan menyimpulkan core problem
(masalah utama).Menegakkan diagnosa dilakukan berdasarkan perioritas.
4. Langkah selanjutnya adalah membuat rencana tindakan keperawatan serta melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan. Kemudian mengevaluasi
keberhasilan pasien dan keluarga. Terakhir menuliskan pendokumentasian pasien sesuai
dengan format yang ada.

LATIHAN 7
1. Jelaskan definisi distress spiritual
2. Sebutkan tanda dan gejala distress spiritual
3. Jelaskan etiologi dari distress spiritual
4. Jelaskan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang mengalami distress spiritual

Petunjuk Jawaban Latihan


1. Untuk menjawab pertanyaan no 1 pada latihan 7 pelajarilah kembali Defenisi distress
spiritual
2. Untuk menjawab pertanyaan no 2 pada latihan 7 pelajarilah kembali tanda dan gejala
distress spiritual
3. Untuk menjawab pertanyaan no 3 pada latihan 7 pelajarilah kembali etiologi dari distress
spiritual
4. Untuk menjawab pertanyaan no 4 pada latihan 7 pelajarilah kembali penilaian stressor
/tanda dan gejala dari distress spiritual

90
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. H., & Kamitsuri, S. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses :


Definitions & Classification 2015 - 2017 (11th ed.). Wiley Blackwell.

Nurhalimah. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart (B. A. Keliat &
J. Pasaribu (eds.); (1st ed). Elsevier.

Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of
Care in Evidence-Based Practice. F. A. Davis Company.

Videbeck, S. L. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (P. E. Karyuni (ed.)). EGC.

91

Anda mungkin juga menyukai