Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah Tafsir
Ekonomi ini, dengan judul “Ayat Tentang Kerja”. Makalah ini akan membahas
mengenai pengertian kerja, kedudukan kerja dalam Islam, urgensi kerja dan ayat-ayat
tentang kerja. Hal tersebut kami bahas supaya menambah wawasan mengenai Ayat
tentang Kerja.
Selain itu, makalah ini juga kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ekonomi bapak Bayu
Fermadi. Lc, M. Hum pada semester 3 Prodi Ekonomi Syari’ah di Institut Agama
Negeri Kediri. Kami menyadari jika masih terdapat banyak kesalahan dalam
penyusunan makalah kami ini, oleh karena itu kami mohon agar pembaca berkenan
memberi kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki dan menyusun makalah yang
lebih baik lagi selanjutnya. Kami juga mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusun makalah ini. Semoga
makalah Tafsir Ekonomi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................ 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ajaran Islam, kekuataan iman semata-mata belum akan memberikan arti
penting bagi kehidupan, tanpa diikuti oleh aktivitas dan amal perbuatan atau kerja.
Sebaliknya aktivitas dan amal perbuatan yang tidak dilandasi oleh iman akan bernilai
hampa dalam pandangan Islam karena di dalamnya tidak ada motivasi pengabdian.
Islam memandang kerja sebagai kodrat hidup manusia untuk meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat. Kerja juga merupakan jalan utama mendekatkan diri kepada Allah
sehingga dapat dijadikan pedoman yang mendasar. Bekerja adalah fitrah, sekaligus
identitas manusia yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman (tauhid) bukan saja
menunjukkan fitrah seorang muslim melainkan juga meninggikan derajat. Bekerja
merupakan kewajiban setiap muslim. Dengan bekerja seorang muslim dapat
mengekspresikan dirinya sebagai manusia, makhluk ciptaan tuhan yang paling
sempurna di dunia. Setiap pekerjaan yang dilakukan karena Allah sama halnya dengan
melakukan Jihād fῑ Sabῑlillah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kerja?
2. Bagaimana Kedudukan Kerja dalam Islam?
3. Apa saja Urgensi Kerja?
4. Apa saja Ayat-Ayat yang menjelaskan tentang Kerja?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan Memahami Pengertian Kerja.
2. Mengetahui Kedudukan Kerja dalam Islam.
iii
3. Mengetahui apa saja Urgensi dari Kerja.
4. Mengetahui dan Memahami Ayat-Ayat tentang Kerja.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kerja
Secara umum bekerja dalam Islam dapat diartikan seluruh perbuatan atau usaha
manusia baik yang ditujukan untuk dunianya maupun yang ditujukan untuk
akhiratnya. Baik dilakukan oleh perseorangan maupun dilakukan secara bersama-
sama. Bahkan dalam beberapa konteks tertentu bekerja yang dilakukan secara
bersama-sama lebih baik dibanding dengan bekerja secara perseorangan. Ada dua
kategori perbuatan ditinjau dari nilainya, yaitu pertama, perbuatan baik disebut amal
sholeh, dan kedua, perbuatan buruk disebut dengan perbuatan maksiat. Amal sholeh
bernilai pahala dan amal maksiat berbalas dosa.
Namun secara khusus bekerja yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bekerja
yang menjadi salah satu unsur utama pendorong aktivitas perekonomian. Dinama kerja
dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan
kesejahteraan serta memberikan
maslahah (kebaikan) bagi pelaku dan orang lain. Sebagaimana termaktub dalam
sebuah hadist Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1
HR. Bukhari juz 3, hal. 9
3
Kata bekerja berasal dari kata dasar “kerja” dalam bahasa Indonesia yang berarti
perbuatan atau usaha. Kata “kerja” jika diberi awalan “be” menjadi “bekerja”
mempunyai arti perbuatan yang dilakukan manusia dengan sengaja untuk tujuan
tertentu. Dan jika diberi awalan “pe” menjadi “pekerja” memiliki arti seseorang yang
melakukan perbuatan tersebut. Adapun kata “pekerjaan” berarti jenis perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang.
Dalam bahasa Arab bekerja disebut amal dan kasb yang berarti perbuatan atau usaha
sebagaimana tersurat dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW:
َ : ب؟ قَـا َل
َّ ع َمـ ُل
الر ُجـ ِل ْ َب ا
ُ طيَـ ُّ َ أ،ِ قِيْـلَ يَـا َرسُ ْـو َل هللاا: ْج َقـا َل
ِ ي اْل َكسْـ ٍ ْـن خَـ ِدي
ِ ِـع ب ْ ع
ِ ـن َراف َ
17 :رقم، 112، 6 احمد. َو ُك ُّل بـَي ٍْع َمبـْ ُر ْو ٍر،ِِب َي ِده
Dari Rafi’ bin Khadij RA, ia berkata: Pernah ditanyakan, “Ya Rasulullah,
pekerjaan apa yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan
tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang baik”.2
Makna bekerja secara etimologi adalah suatu perbuatan, usaha tindakan, atau
aktivitas seseorang. Dan secara terminologi, arti bekerja adalah suatu perbuatan,
usaha, tindakan, atau aktivitas manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk
memenuhi kebutuhan hidup atau mencapai suatu tujuan tertentu. Bekerja ditinjau dari
jenis pekerjaannya memiliki dua kategori, yaitu pertama, bekerja yang dilakukan oleh
individu atau kelompok secara mandiri atau wirausaha. Kedua, bekerja yang dilakukan
oleh individu atau kelompok dengan sistem upah atau sewa manfaat.
Sistem ekonomi Islam memandang bekerja sebagai suatu bentuk kebaikan yang
menghasilkan kebaikan dan mendorong kebaikan yang lain. Ketika sesorang bekerja
dengan baik dipandang telah melakukan suatu kebaikan dan hasil dari pekerjaannya
baik berupa karya baik materil maupun imateril, baik berupa penghasilan maupun
penghargaan merupakan kebaikan tersendiri. Dengan bekerja seseorang akan
mendapatkan hasil atau sesuatu yang berharga yang dapat dimanfaatkan baik oleh
2
HR. Ahmad juz 6, hal. 112, no. 17266
4
dirinya maupun orang lain. Lebih jauh dapat melaksanakan kewajiban yang lain baik
ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdah. Untuk melaksanakan zakat
misalnya, tidak setiap orang bisa mengamalkannya. Zakat hanya bisa dilaksanakan
oleh seseorang yang memiliki usaha dan kekayaan serta tingkat penghasilan tertentu.
Dalam arti memenuhi syarat dan rukun zakat yang telah ditetapkan dalam syara`.
Kondisi ini hanya dapat tercapai manakala seseorang bekerja secara maksimal.
Dengan demikian hakekat bekerja bermakna melakukan perbuatan baik yang dapat
menimbulkan kebaikan yang lain.
Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu 'Ajlan telah menceritakan
kepadaku Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah berkata;Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim bersedekah dari usaha yang baik, dan
Allah tidak menerima kecuali yang baik, dan tidak akan naik ke langit kecuali yang
baik, kecuali dia telah meletakkannya di telapak tangan Ar Rahman 'azza wajalla,
maka Allah akan memeliharanya sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara
anak unta, sehingga sebutir kurma dapat menjadi banyak semisal gunung yang
besar."3
3
HR. Ahmad - 9198 Lidwa Pusaka i-Software Kitab 9 Imam
4
Mawardi. Ekonomi Islam. (Pekanbaru: Alaf Riau, 2007), cet. ke1, h. 6
5
berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan. Sementara itu Allah
SWT tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam bentuknya yang siap makan,
siap minum atau siap pakai. Allah SWT menyediakan semua kebutuhan itu, tetapi
manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tak terkecuali para nabi. Firman Allah
dalam surat al-Furqan ayat 20 yang berbunyi:
C. Urgensi Kerja
1. Kerja sebagai kewajiban
Islam menjadikan amal atau bekerja sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh
setiap orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dirinya. Alloh Ta’ala
berfirman:
“Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. 94: 7)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) apabila kamu Telah
selesai mengerjakan urusan dunia maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi
yang mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah. Islam juga
telah mengangkat level kerja pada kewajiban religious dengan menyebutkan secara
konsisten sebanyak 50 kali yang digandengkan dengan kata iman. Karena
5
Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya. (Jakarta: Maktabah. 2017), h. 322
6
penekanan terhadap amal dan kerja inilah terdapat konsep Al Islamu ‘Aqidatu
‘Amalin Wa ‘Amalu ‘Aqidatin (Islam sebagai ideologi praktis, juga sebagaimana
juga praktek ideolog). Bahkan seorang Ismail Raji al Faruqi mengatakan bahwa
Islam adalah a Religion Of Actions (agama aksi).6
Dalam al Qur’an di sebutkan kata kerja atau amal dalam satu konteks dengan yang
lainnya dengan frekuensi yang banyak. Ada 360 ayat yang membicarakan amal dan
109 yang membicarakan fi’il (keduanya bermakna kerja dan aksi).
Kerja produktif diberikan sebuah posisi yang demikian penting, bahkan dispense
tertentu telah diberikan dalam sebuah ibadah memberikan kesempatan tersebut.
Kerja dan amal adalah yang menentukan posisi dan status seseorang dalam
kehidupan. Alloh Ta’ala berfirman:
6
Etika bisnis dalam Islam, Jakarta, Pustaka al Kautsar, 2001, hal: 10
7
Di dalam ayat yang lain Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang Telah mereka
kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan
mereka sedang mereka tiada dirugikan”. (QS. Al Ahqaf [46]:19).
2. Motivasi Bekerja
a. Janji Pahala
ع ِن ْال ٰعلَ ِميْنَ َو َم ْن َجا َهدَ فَ ِانَّ َما يُ َجا ِهد ُ ِلنَ ْفس ِٖه ِۗا َِّن ه
ٌّ ِّٰللاَ لَغَن
َ ي
“Dan barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk
dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Al Ankabut [29]: 6).
“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (Kami
berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-
ulang bersama Daud", dan kami Telah melunakkan besi untuknya. (yaitu) buatlah
baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyaman-nya; dan kerjakanlah amalan
yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Saba [34]:
10-11).
8
c. Pandangan Positif Terhadap Kerja Untuk Kehidupan
Islam menyerukan pada semua orang yang memiliki kemampuan fisik untuk
bekerja dalam usaha memenuhi kebutuhan dirinya. Bahkan dalam kondisi normal
seseorang tidak diperbolehkan untuk meminta-minta atau menjadi beban berat.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda; “Sesungguhnya me -minta-minta
tidak diperbolehkan kecuali untuk tiga golongan; orang fakir yang betul-betul
fakir, orang yang tidak mampu membayar hutangnya, dan orang yang tidak mampu
membayar diat”. HR. Abu Daud.
9
Ibnu kastir berkata dalam tafsir ayat ini, Allah Ta’ala memberitakan bahwasan-nya
Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya. Di dalam
hadits Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu menghianati
orang yang menghianatimu.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunan).
Dan ini mencakup semua bentuk amanah-amanah yang wajib atas manusia mulai
dari hak-hak Allah Ta’ala atas hamba-hambanya-Nya seperti; shalat, zakat, puasa,
kafarat, nadzar-nadzar dan lain sebagainya. Di mana ia diamanahkan atasnya dan
tidak seorang hamba pun yang mengetahuinya, sampai kepada hak-hak sesama
hamba seperti; titipan dan lain sebagainya dari apa-apa yang mereka amanahkan
tanpa mengetahui adanya bukti atas itu. Maka Allah memerintahkan untuk
menunaikannya, barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia diambil darinya
pada hari kiamat. Dan firman-Nya:
الرسُ ْولَ َوت َ ُخ ْونُ ْٓوا اَمٰ ٰنتِكُ ْم َوا َ ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُم ْونَ َ ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََّل ت َ ُخ ْونُوا ه
َّ ّٰللا َو
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu meng-khianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. Al-Anfaal [8]: 27).
Ibnu Katsir berkata, “Dan khianat mencakup dosa-dosa kecil dan besar yang lazim
(yang terkait dengan orang lain). Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas
mengenai tafsir ayat ini; “Dan menghianati amanah-amanah kalian”. Amanah
adalah amal-amal yang di amanahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu
fardhah (yang wajib), Allah berfirman, “Janganlah kamu merusaknya”. Dan dalam
riwayat lain ia berkata, “(Janganlah kalian menghianati Allah dan rasul) Ibnu Abbas
berkata, “(Yaitu) dengan meninggalkan sunnahnya dan bermaksiat kepadanya”.
Dan firman-Nya:
ِۗ س
َانُ اِنَّهٗ َكان ِ ْ ض َو ْال ِجبَا ِل فَا َ َبيْنَ ا َ ْن يَّ ْحمِ ْلنَ َها َوا َ ْشفَ ْقنَ ِم ْن َها َو َح َملَ َها
َ اَّل ْن َ ْ ت َو
ِ اَّل ْر ِ علَى السَّمٰ ٰو َ ْ ضنَا
َ َاَّل َمانَة َ اِنَّا
ْ ع َر
ظلُ ْوما َج ُه ْوَّل
َ
10
“Sesungguhnya Kami telah me-ngemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. Al-Ahzab [33]: 72).
Ibnu Katsir berkata; “Yaitu, apabila mereka diberi kepercayaan mereka tidak
berkhianat, dan apabila berjanji mereka tidak mungkir, ini adalah sifat-sifat orang
mukminin dan lawannya adalah sifat-sifat munafikin, sebagaimana tercantum
dalam hadits yang shahih; “Tanda munafik ada tiga; apabila berbicara berdusta,
apabila berjanji ia mungkir dan apabila diberi amanat dia berkhianat”. Dalam
riwayat lain; “Apabila berbicara ia berdusta, dan apbila berjanji ia mungkir dan
apabila bertengkar ia berlaku keji.”
11
pahala di kampung akhirat. Nash-nash syariyah menunjukkan bahwasanya upah
dan pahala atas apa yang dikerjakan oleh seorang dari pekerjaan diperoleh dengan
ikhlas dan mengharapkan wajah Allah.
Landasan dalam memilih seorang pegawai atau pekerja hendaklah ia seorang yang
kuat lagi amanah. Karena dengan kekuatan ia sanggup melaksanakan pekerjaan
yang diembankan kepadanya, dan dengan amanah ia menunaikan sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya. Dengan amanah ia akan meletakkan perkara-perkara
pada tempatnya, sedangkan dengan kekuatan ia sanggup menunaikan
kewajibannya.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
12
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
(QS. Al Qoshsosh [28]: 26).
Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah di
khususkan untuknya, dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan
sempurna serta tidak ingin dikurangi bagianya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak
mengurangi sedikit pun dari jam kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan
kerja. Allah telah mencela al Muthaffifin (orang-orang yang curang) dalam
timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan mengurangi hak-hak
orang lain.
اس يَ ْست َْوفُ ْو ۖنَ َواِذَا كَالُ ْوهُ ْم ا َ ْو َّوزَ نُ ْوهُ ْم ي ُْخس ُِر ْو ِۗنَ ا َ ََّل يَظُ ُّن َ َو ْي ٌل ِل ْل ُم
َ ط ِف ِفيْنَ الَّ ِذيْنَ اِذَا ا ْكت َالُ ْوا
ِ ع َلى ال َّن
ٰۤ ُ
ب ْال ٰعلَ ِمي ِْۗنَ ُ َّعظِ ي ٍْم ي َّْو َم يَقُ ْو ُم الن
ِ اس ل َِر َ ولىِٕكَ اَنَّ ُه ْم َّم ْبعُ ْوث ُ ْونَ ِليَ ْو ٍم ا
13
pertanggung-jawabanya tentang mereka,seorang laki-laki memimpin atas
keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang mereka, dan
seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya,dia akan diminta
pertanggung jawabanya tentang mereka dan seorang budak pemimpin atas harta
tuanya dan dia akan di minta pertanggungjawabanya terhadapnya, ketahuilah
setiap kalian adalah pemimpin dan setiapa kalian akan diminta
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinya”. (Diriwayatkan Al Bukhari
dan Muslim).
Termasuk sikap yang adil dan inshaf hendaknya seorang pegawai tidak
mengakhirkan orang yang duluan dari orang-orang yang berurusan, atau
mendahulukan orang yang belakangan. Akan tetapi ia mendahulukan berdasarkan
urutan yang terdahulu. Dalam hal yang seperti ini memudahkan pegawai dan orang-
orang yang berurusan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis
berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata,
“Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian berkata,”Beliau
mendengar apa yang dikatakanya dan beliau membencinya”. Sebagian lagi
mengatakan,”Bahkan iatidak mendengar”, sehingga tatkala beliau menyelesaikan
pembicaraanya beliau berkata, “Mana orang yang bertanya tentang hari
Kiamat?” Ia berkata, “Ini aku wahai Rasulullah”. Rasul bersabda,”Apabila
Amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat”. Ia bertanya lagi,
14
“Bagaimana menyia-nyiakanya?” Beliau menjawab, “Apabila di serahkan urusan
kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari kiamat”. HR. Bukhari.
Setiap pegawai wajib menjadi seorang yang mejaga kehormatan dirinya, berjiwa
mulia dan kaya hati. Jauh dari memakan harta-harta manusia dengan batil, dari apa-
apa yang diberikan kepadanya berupa suap walau dinamakan dengan hadiah.
Karena apabila dia mengambil harta manusia dengan tanpa hak berarti ia
memakanya dengan batil merupakan salah satu sebab tidak dikabulkanya do’a.
ش َهادَةِ فَيُنَبِئُكُ ْم بِ َما كُ ْنت ُ ْم ِ ست ُ َرد ُّْونَ ا ِٰلى عٰ ل ِِم ْالغَ ْي
َّ ب َوال َ ع َملَكُ ْم َو َرسُ ْولُ ٗه َو ْال ُمؤْ مِ ن ُ ْو ِۗنَ َو
َ ُّٰللا َ ََوقُ ِل ا ْع َملُ ْوا ف
سيَ َرى ه
. َت َ ْع َملُ ْو َۚن
“Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.’” (QS. At-
Taubah [9]: 105).
15
Kata “kerja” pada ayat tersebut diungkap lewat kata ‘amal. Para mufassir
memahami kata ‘amal pada ayat tersebut mengacu pada arti amal-amal saleh.
Bahkan ada kesan, kata ‘amal dipahami sebagai ibadah. Setelah ayat yanglalu
menganjurkan bertaubat dan melakukan kegiatan nyata, antara lain membayar
zakat dan bersedekah, kini mereka diminta untuk melakukan aneka aktivitas
lain, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Dengan kata lain, setelah
penyampaian harapan tentang pengampunan Allah sebagaimana yang tertera
pada ayat-ayat sebelumnya, ayat ini melanjutkan dengan perintah beramal
saleh. Karena walaupun taubat telah diperoleh, tetapi waktu yang telah lalu dan
yang pernah diisi dengan kedurhakaan, kini tidak mungkin kembali lagi.
Manusia telah mengalami kerugian dengan berlalunya waktu itu tanpa diisi
oleh kebajikan, karena itu, ia perlu giat melakukan aneka kebajikan agar
kerugian tidak terlalu besar.
Para Mufassir memahami konteks amal dalam arti sempit atau ibadah
mahdah, namun kita dapat mengembangkan maknanya lebih luas. Kata ‘amal
mencakup segala aktivitas manusia yang bertujuan untuk menghasilkan barang
atau jasa. Inilah yang disebut kerja dalam makna yang luas. Kerja itu sendiri
bisa yang baik dan bisa yang buruk. Semuanya itu tidak tersembunyi bagi
Allah dan juga bagi manusia pada umumnya. Orang yang bekerja dengan baik,
profesional dan sempurna maka ia akan memperoleh keuntungan material juga
keuntungan spiritual. Bahkan ia memperoleh “nama” yang mengharumkan di
tengah-tengah orang-orang yang menyaksikan pekerjaannya. 7
2. QS. Al-Kahfi [18]: 79
َ َت ِل َمسٰ ِكيْنَ يَ ْع َملُ ْونَ فِى ْالبَح ِْر فَا َ َردْتُّ ا َ ْن ا َ ِع ْيبَ َه ِۗا َو َكانَ َو َر ۤا َءهُ ْم َّم ِلكٌ يَّأ ْ ُخذ ُ كُ َّل
س ِف ْينَ ٍة ْ س ِف ْينَةُ فَكَان
َّ ا َ َّما ال
غصْبا
َ
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di
laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena dihadapan mereka
ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi [18]: 79)
7
Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Al-Qur’an, Citapustaka Media
Perintis, 2012, hal 134-136.
16
Ayat di atas dan ayat-ayat sebelumnya, menceritakan tentang perjalanan
Nabi Musa bersama Nabi Khidzir. Persoalan perahu yang dirusak oleh Nabi
Khidzir adalah masalah yang juga dipertanyakan oleh Musa. Pada ayat ini,
jawaban dari rahasia itu dijawab dengan ayat, adapun perahu, maka ia adalah
milik orang-orang yang lemah dan miskin yang mereka gunakan untuk bekerja
di laut mencari rezeki Allah. Agar perahu itu tidak dirampas oleh raja yang
zhalim, maka Nabi Khidzir membuat cacat pada perahu dimaksud, agar raja
yang kejam itu tidak merampasnya.
Kata ‘amal (ya’maluna) pada ayat tersebut harus diterjemahkan dengan
bekerja. Orang yang bekerja di laut itu disebut dengan nelayan. Ayat di atas
sama sekali tidak berhubungan dengan ibadah mahdah. Di samping itu,
penjelasan para mufassir bahwa yang memiliki kapal tersebut adalah orang
lemah dan miskin, maka penafsiran ini semakin menguatkan kita bahwa
manusia tidak boleh berpangku tangan. Termasuk orang-orang miskin,
diperintahkan tetap berusaha semaksimal mungkin dan menghindarkan diri
jadi peminta-minta.
3. QS. An-Naml [27]: 88
ش ْي ِۗ ٍء اِنَّهٗ َخبِي ٌْر ۢبِ َما ْٓ ّٰللاِ الَّ ِذ
َ ي اَتْقَنَ كُ َّل ص ْن َع ه ِ ِۗ س َحا
ُ ب َّ ِي ت َ ُم ُّر َم َّر ال َ َْوت ََرى ْال ِج َبا َل ت َح
َ سبُ َها َجا ِمدَة َّوه
ت َ ْفعَلُ ْونَ
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya,
padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. An-Naml [27]: 88)
Kata sun’u disebut sebanyak 20 kali yang tersebar pada 14 surah dan 19
ayat. Al-sunu’ di dalam Al-Qur’an mengandung arti perbuatan yang pelakunya
terkadang Allah sendiri dan pada bagian lain, pelakunya manusia itu sendiri.
Sehubungan dengan manusia sebagai pelaku, ada kalanya perbuatan itu baik
dan terkadang bisa juga buruk. Kata sunu’ memiliki arti khusus, Sunu’ adalah
daya cipta manusia yang lahir dari keterampilan dan keahlian tertentu. Dalam
makna lain, kata sunu’ adalah profesi yang pada saatnya melahirkan
17
profesionalisme. Jalaluddin Rahman menyatakan setiap shun’ adalah kasb dan
tidak pula sebaliknya.
Kata sun’a pada ayat di atas dihubungkan dengan Allah sebagai pelakunya.
Para mufassir memahami ayat di atas dalam konteks peristiwa hari kiamat.
Menurut Al-Biqa’i ayat ini berbicara tentang keadaan gunung pada saat
manusia dibangkitkan dari kubur. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah
kata shana’ atau shun’u biasanya digunakan untuk perbuatan yang dilakukan
dengan penuh kesungguhan. Orang yang melakukannya biasanya memiliki
keterampilan dan kemahiran. Kata ini juga bermakna melakukan sesuatu
dengan sebaik-baiknya. Berbeda tentunya dengan konsep ‘amal pada
umumnya. Muhammad Ghadi Al-Khassani menyatakan bahwa al-shun’u
adalah perbuatan atau pekerjaan yang di dalam pelaksanaannya menuntut al-
jaudah yang bermakna sempurna atau ahsan (yang terbaik).
4. QS. Al-Baqarah [1]: 197
ِ ض فِ ْي ِه َّن ْال َح َّج فَ َال َرفَثَ َو ََّل فُسُ ْوقَ َو ََّل ِجدَالَ فِى ْال َح
ج ِۗ َو َما ت َ ْف َعلُ ْوا م ِْن َ ا َ ْل َح ُّج ا َ ْش ُه ٌر َّم ْعلُ ْومٰ تٌ َۚ فَ َم ْن فَ َر
ب ِ اَّل ْل َبا
َ ْ الزا ِد الت َّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُ ْو ِن ٰ ٓياُولِى َخي ٍْر يَّ ْعلَ ْمهُ ه
َّ ّٰللاُ ِۗ َوت َزَ َّود ُْوا فَا َِّن َخي َْر
“Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats,
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan
apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepadaKu Hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [1]:
197)
Ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya adalah ayat-ayat yang
membahas masalah haji. Ayat tersebut tidak hanya berbicara tentang waktu
atau bulan disyari’atkannya pelaksanaan ibadah haji, tetapi juga berbicara
tentang larang-larang haji seper tirafas, fusuq dan jidal. Ketiga larangan ini
sangat dilarang dalam menunaikan haji. Sebaliknya, Al-qur’an malah
memerintahkan kepada orang yang melaksanakan haji untuk melakukan
kebaikan. Sejatinya, perhatian ditujukan untuk berbuat kebaikan semata-mata.
Hati dan pikiran hanya tercurah kepada ibadah, mencari keridhaan Allah dan
18
selalu mengingat-Nya.Apasaja kebaikan yang dikerjakan seorang muslim yang
telah mengerjakan haji, pasti Allah akan mengetahui dan mencatatnya dan
akan dibalas-Nya dengan pahala yang berlipat ganda. Agar ibadah haji dapat
terlaksana dengan baik dan sempurna maka setiap orang hendaklah membawa
bekal, baik bekal fisik, material dan tidak kalah pentingnya bekal ilmu dan
spiritual.
Kata taf’alu di atas meskipun dalam konteks ayat adalah haji namun
maknanya juga bisa berkembang dengan aktifitas lain seperti berdagang. Hal
ini terlihat pada ayat berikutnya QS. Al-Baqarah (2): 198 di mana Allah
memperkenankan orang yang sedang melaksanakan ibadah haji berusaha
seperti berdagang dan aktifitas ekonomi lainnya. 8
8
Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Al-Qur’an, Citapustaka Media
Perintis, 2012, hal 140.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum bekerja dalam Islam dapat diartikan seluruh perbuatan atau
usaha manusia baik yang ditujukan untuk dunianya maupun yang ditujukan untuk
akhiratnya. Ada dua kategori perbuatan ditinjau dari nilainya, yaitu pertama,
perbuatan baik disebut amal sholeh, dan kedua, perbuatan buruk disebut dengan
perbuatan maksiat. Namun secara khusus bekerja yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah bekerja yang menjadi salah satu unsur utama pendorong aktivitas
perekonomian.
Dalam dunia ekonomi, bekerja merupakan sendi utama produksi selain alam
dan modal. Hanya dengan bekerja secara disiplin dan etos yang tinggi, produktivitas
suatu masyarakat menjadi tinggi, semakin tinggi produktivitas, semakin besar
kemungkinannya bagi masyarakat itu untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran. Manusia diciptakan Allah SWT. Sebagian makhluk yang mempunyai
kebutuhan berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan.
Sementara itu Allah SWT tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam
bentuknya yang siap makan, siap minum atau siap pakai. Allah SWT menyediakan
semua kebutuhan itu, tetapi manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tak
terkecuali para nabi.
B. Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
21