Anda di halaman 1dari 1

5.

Memahami dan menjelaskan pandangan Islam tentang Keputihan


5.1. Hukum Ibadah
Keputihan ini umum dialami oleh wanita. Dalam kitab shahih Bukhari disebutkan, suatu ketika
ada beberapa sahabat perempuan datang bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha tentang
batasan berakhirnya haidh. Beliau menjawab :
Jangan kalian tergesa-gesa (menetapkan akhir haidh) hingga kalian melihat cairan putih
Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya fathul bari menjelaskan bahwa cairan putih sebagaimana
di sebut hadits di atas menjadi salah satu tanda akhir masa haidh.
Selain jenis keputihan di atas, ada pula keputihan yang terjadi dalam keadaan tidak normal, yang
umumnya dipicu kuman penyakit dan menyebabkan infeksi. Akibatnya, timbul gejala-gejala
yang sangat mengganggu, seperti berubahnya warna cairan menjadi kekuningan hingga
kehijauan, jumlah berlebih, kental, lengket, berbau tidak sedap, terasa sangat gatal atau panas.
Dalam khazanah Islam, keputihan jenis ini biasa disebut dengan cairan putih kekuningan (sufrah
)atau cairan putih kekeruhan (kudrah ). Terkait dengan kedua hal ini, di kitab shahih
Bukhari disebutkan bahwa Sahabat bernama Ummu Athiyyah radhiallahuanha berkata:


Kami tidak menganggap al-kudrah (cairan keruh) dan as-sufrah (cairan kekuningan) sama
dengan haidh
Berdasarkan kedua hadis tersebut dapat disimpulkan :
1. Hukum orang yang mengalami keputihan tidak sama dengan hukum orang yang mengalami
menstruasi. Orang yang sedang keputihan tetap mempunyai kewajiban melaksanakan shalat dan
puasa, serta tidak wajib mandi.
2. Cairan keputihan tersebut hukumnya najis, sama dengan hukumnya air kencing.

5.2. Thaharah
Apabila ingin melaksanakan shalat, sebelum mengambil wudhu, harus istinjak (cebok), dan
membersihkan badan atau pakaian yang terkena cairan keputihan terlebih dahulu. Sedangkan
apabila cairan keputihan keluar terus-menerus, maka orang yang mengalaminya dihukumi
dharurah/terpaksa, artinya orang tersebut tetap wajib melaksanakan shalat walaupun salah satu
syarat sahnya shalat tidak terpenuhi, yakni sucinya badan dan pakaian dari najis. Menurut ulama
Syafiiyah, ketentuan tersebut bisa dilaksanakan dengan syarat diawali dengan proses
membersihkan, istinjak, wudhu dan kemudian shalat dilakukan secara simultan setelah waktu
shalat masuk.

www.mui.or.id

Anda mungkin juga menyukai