Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KORIOAMNIONITIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Obgyn dan ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh

Ayu Permata Sari Br Tarigan, S.Ked


2006112021

Preseptor :

dr.Nilawati Budiman,Sp.OG

DEPARTEMEN ILMU OBGYN DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Korioamnionitis” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Neurologi Rumah Sakit Umum
Daerah Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr.Nilawati Budiman,Sp.OG sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di
bagian/SMF Ilmu Obgyn dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga
referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. 1
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3


A. Korioamnionitis .......................................................................................... 3
2.1 Definisi....................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .............................................................................................. 3
2.3 Etiologi....................................................................................................... 3
2.4 Faktor risiko ............................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi ............................................................................................... 4
2.6 Diagnosis ................................................................................................... 9
2.7 Tatalaksana .............................................................................................. 10
2.8 Komplikasi ............................................................................................... 13
2.9 Prognosis .................................................................................................. 15
2.10 Pencegahan ............................................................................................ 15

BAB 3 KESIMPULAN ....................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rejimen Antibiotik yang Direkomendasikan untuk Pengobatan Infeksi


Intraamniotik ......................................................................................................... 11

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi uterus pada kondisi hamil ........................................................ 5


Gambar 2 Migrasi neutrofil dari pembuluh desidua ke membran(11) .................... 5
Gambar 3 Tempat potensial infeksi bakteri di uterus(8)......................................... 7
Gambar 4 Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan
prematur(9).............................................................................................................. 9

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan


selaput korioamnion yang disebabkan terutama oleh bakteri. Pada kehamilan cukup
bulan, korioamnionitis didiagnosis pada sekitar 5%-7% kehamilan.
Korioamnionitis dihubungkan dengan ketuban pecah dini dan persalinan lama.
Periode ketuban pecah yang lama (lebih dari 12 jam) merupakan faktor risiko yang
paling tinggi peranannya dalam patogenesis korioamnionitis. Makin lama jarak
antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin (1)(2).
Faktor risiko lain korioamnionitis termasuk persalinan lama, nulipara,
pemeriksaan dalam pada persalinan (vaginal exams) lebih dari tiga kali, cairan
ketuban yang terkontaminasi dengan mekonium serta adanya kolonisasi dari bakteri
Streptococcus Group B(3). Faktor ras secara tunggal tidak menjadi faktor resiko
terjadinya korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor
resiko. Ibu yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik
dalam menjaga higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial
vaginosis, infeksi saluran kemih, dan infeksi asendens (4). Diagnosa dalam ibu
hamil menjadi penting karena terkait risiko kematian janin dan ibu jika tidak
diobati. Studi telah menunjukkan bahwa korioamnionitis dikaitkan dengan sekitar
2 dan 3,5 kali lipat peningkatan kemungkinan hasil buruk neonatal masing-masing
<34 dan> 34 minggu terlepas dari durasi korioamnionitis (3).
Risiko yang dapat terjadi pada janin akibat infeksi ini adalah sepsis,
respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan cedera neurologis
yang lain. Pada ibu, risiko yang dapat terjadi adalah sepsis, endometritis pasca
persalinan, pelvik thrombophlebitis septik dan infeksi luka (5). Korioamnionitis
mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, saat ini mencapai 5-25%
terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Walaupun mortalitas maternal
jarang terjadi, namun korioamnionitis merupakan penyebab signifikan terjadinya
morbiditas maternal. Oleh karena itu penatalaksanan koriamnionitis berupa

2
2

pemberian antibiotik dan pengakhiran kehamilan harus dipertimbangkan


sebaik mungkin (1)(4).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Korioamnionitis
2.1 Definisi
Infeksi intramniotik atau disebut juga sebagai korioamnionitis adalah
infeksi pada membran dan korion plasenta, karena infeksi bakteri polimikroba
asenden dalam keadaan pecahnya membran (6).
2.2 Epidemiologi
Insidensi dari korioamnionitis adalah 5-7% dari kehamilam aterm dan
sekitar 25% dari partus preterm (2). Secara keseluruhan, 1-4% dari semua kelahiran
di AS dipersulit oleh korioamnionitis. Namun, frekuensi korioamnionitis sangat
bervariasi menurut kriteria diagnostik, faktor risiko spesifik, dan usia kehamilan.
Korioamnionitis (kombinasi klinis dan histologis), mempersulit sebanyak 40-70%
kelahiran prematur dengan ketuban pecah dini atau persalinan spontan dan 1-13%
kelahiran aterm. Dua belas persen kelahiran sesar primer pada aterm melibatkan
korioamnionitis klinis, dengan indikasi paling umum untuk sesar dalam kasus ini
adalah kegagalan untuk berkembang biasanya setelah ketuban pecah (6).
2.3 Etiologi
Infeksi intraamniotik sering kali berasal dari polimikrobial, umumnya
melibatkan bakteri aerob dan anaerob, dan sering berasal dari flora vagina. Hal ini
terutama terjadi dengan invasi bakteri naik dari saluran genital bawah ke rongga
amnion yang biasanya steril (7). Bakteri yang paling sering ditemukan adalah
bakterial vaginosis yang mencakup spesies Bacteroides, Fusobacterium,
Gardnerella vaginalis dan M. Hominis. Bakteria fakultatif yang sering ditemukan
adalah Streptococcus grup B dan E. Coli (8). Pada tahun 1982 suatu penelitian
mengidentifikasi mikroorganisme yang ditemukan dalam air ketuban pasien dengan
korioamnionitis dengan hasil Bacteriodes Sp (25%), Gardnerella vaginalis (24%),
grup β streptokokkus (GBS) (12%), streptokokus aerobik jenis lain (13%), E coli
(10%), dan Gram negatif lain (10%) (9).

3
4

2.4 Faktor risiko


Faktor risiko obstetrik untuk infeksi intraamniotik pada aterm telah
dijelaskan, termasuk paritas rendah, pemeriksaan digital multipel, penggunaan alat
pemantau uterus dan janin internal, cairan ketuban yang diwarnai mekonium
mungkin dengan cara menekan respon imun ibu atau dengan mengganggu
komposisi cairan ketuban dengan cara menurunkan pertahanannya terhadap
mikroba., dan adanya patogen saluran genital tertentu (misalnya, infeksi
streptokokus grup B dan infeksi menular seksual). Harus diakui bahwa banyak dari
faktor risiko yang diusulkan ini juga terkait dengan durasi persalinan yang lebih
lama dan ketuban pecah, dan mungkin tidak terkait secara independen dengan
infeksi intraamniotik. Sebagai contoh, penyelidikan retrospektif baru-baru ini
terhadap lebih dari 2.000 ibu bersalin secara khusus menganalisis jumlah
pemeriksaan serviks yang dilakukan selama persalinan dan menemukan bahwa
wanita yang mengalami demam intrapartum memiliki lebih banyak pemeriksaan
serviks digital daripada wanita yang tidak. Namun, hubungan ini tidak signifikan
setelah disesuaikan untuk persalinan spontan, skor Bishop, dan ketuban pecah saat
masuk (7).
Terdapat faktor risiko tambahan seperti penyakit kronis ibu, status nutrisi
ibu, dan stres emosional, semua hal tersebut bisa meningkatkan kerentanan wanita
terhadap infeksi dengan cara mempengaruhi fungsi sistem imun. Hubungan pasti
antara faktor-faktor risiko tersebut, imunitas ibu, dan korioamnionitis, merupakan
hal yang kompleks dan masih diteliti (10).
2.5 Patofisiologi
Patogenesis korioamnionitis ditandai dengan perjalanan organisme
infeksius ke korioamnion dan/atau tali pusat plasenta. Plasenta dianggap sebagai
aposisi atau fusi membran janin/cakram plasenta ke mukosa uterus (desidua) untuk
pertukaran fisiologis. Desidua berasal dari ibu, namun membran korioamniotik dan
Chorionic Villous tree berasal dari janin. Dengan demikian, asal usul yang tepat
dari proses inflamasi (ibu vs janin) dapat ditentukan oleh apakah neutrofil yang
lolos berasal dari ibu atau janin. Neutrofil biasanya tidak ada di membran
korioamnion dan bermigrasi dari desidua ke membran dalam kasus korioamnionitis
5

akut. Di sisi lain, neutrofil biasanya bersirkulasi di ruang intervili. Ketika ada
gradien kemotaktik, neutrofil bermigrasi ke arah rongga amnion, neutrofil di ruang
intervili bergerak ke dalam lempeng korion plasenta yang biasanya tidak memiliki
sel-sel ini (11).

Gambar 1 Anatomi uterus pada kondisi hamil

Gambar 2 Migrasi neutrofil dari pembuluh desidua ke membran(11)


6

Gambar 3 Stages of ascending intraamniotic infection


Keterangan:
Stage 1: proses infeksi asenden berhubungan dengan perubahan flora mikroba
vagina/ serviks atau adanya organisme patologis di serviks.
Stage 2: Setelah mikroorganisme mendapatkan akses ke rongga amnion, mereka
berada di kutub bawah rahim antara membran dan korion
Stage 3: Mikroorganisme melanjutkan melalui amnion ke dalam rongga amnion
yang mengarah ke infeksi intraamniotik
Stage 4: Mikroorganisme dapat menginvasi janin melalui pintu masuk yang
berbeda

Bagian ini paling sering terjadi oleh infeksi retrograde atau ascending dari
saluran genital bawah (serviks dan vagina) setelah terjadinya ketuban pecah dan
persalinan (8)(6). Selain itu dapat pula akibat infeksi transplasental yang merupakan
penyebaran hematogen dan bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan
amnion akibat iatrogenik pada pemeriksaan amniosintesis, pasca transfusi
intrauterin dan kordosintesis. Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu
antara ketuban pecah dan persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah
pemeriksaan dalam selama persalinan, nulipara, dan adanya bakterial vaginosis
(12).
7

Gambar 4 Tempat potensial infeksi bakteri di uterus(8)


Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis
dengan pecahnya selaput ketuban <24 jam sebelum persalinan, akan menderita
bakteremia. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17%
neonatus akan mengalami bakteremia (8).
Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak, korioamnionitis sangat
jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi Listeria monosytogenes,
yang merupakan bakteri batang gram positif anaerob, yang menginfeksi janin
secara hematogen (infeksi transplasental) dan dapat menyebabkan kematian janin.
Gejala pada ibu dapat asimtomatis atau hanya berupa demam ringan dan jarang
menyebabkan sepsis pada ibu. Streptokokus grup A juga dapat menyebakan infeksi
janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang masih intak (8). Organisme
penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang korio desidua, dan pada
beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion yang masih utuh dan
masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan infeksi pada janin (9).
Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko
penyebab prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang
8

menghubungkan antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang


paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang
koriodesidua, yang memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini
dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan mengakitivasi
desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang diantaranya
tumor nekrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6,
interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh
sitokin, endotoksin dan eksotoksin akan menstimulasi sintesis prostaglandin yang
akan terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen
bioaktif lainnya. Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara
metaloprotease akan menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan
pecahnya membran. Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang
menyebabkan terjadinya perlunakan serviks (6)(9).
Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang
terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari
corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi
CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin berupa
peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar prostaglandin
(9).
9

Gambar 5 Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan


prematur(9)

2.6 Diagnosis
Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi (6)(9):
1. Demam (suhu intrapartum > 39,0˚ C)
2. Takikardia ibu (>120x/menit)
3. Takikardia janin (>160x/menit)
4. Cairan ketuban berbau atau tampak purulen
5. Uterus teraba tegang
6. Leukositosis ibu (leukosit >20.000 sel/mm3) Bila terdapat dua dari enam gejala
di atas ditemukan pada kehamilan, maka risiko terjadinya neonatal sepsis
meningkat.
Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu
ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100
x/menit), takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan
leukositosis ibu (>15.000 sel/mm3) (6). Korioamnionitis yang subklinis menurut
definisi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis di atas tetapi dapat bermanifestasi
10

sebagai persalinan prematur atau, bahkan lebih umum, sebagai ketuban pecah dini
prematur (PPROM). Selain itu, ROM prematur saat aterm (ketuban pecah pada
≥37 minggu kehamilan tetapi sebelum timbulnya kontraksi uterus), yang terjadi
pada 8% atau kurang dari kelahiran aterm, dikaitkan dengan peningkatan risiko
korioamnionitis (13).
Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat
membantu penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan serum
CRP (C-reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan amnion,
dan deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan (9).
Peningkatan kadar CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
korioamnionitis. Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl.
Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan (12).
Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang
lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil
amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik (6).
Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis
adalah ketika terlihat sel leukosit mononuclear dan polimonorfonuklear
menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit
polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan selanjutnya
merupakan respon inflamasi dari janin (14). Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas
tidak satupun yang cukup sensitif dan spesifik digunakan secara tersendiri terlepas
dari gejala dan tanda klinis untuk mendiagnosis korioamnionitis.
2.7 Tatalaksana
Wanita dengan korioamnionitis sebaiknya mendapat terapi antimikroba dan
janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi (15)(16). Seperti yang ditunjukkan
dalam uji klinis acak, terapi antibiotik intrapartum untuk infeksi intraamniotik
menurunkan tingkat bakteremia neonatus, pneumonia, dan sepsis. Antibiotik
intrapartum juga telah terbukti menurunkan morbiditas demam ibu dan lama tinggal
di rumah sakit. Oleh karena itu, dengan tidak adanya risiko utama yang
terdokumentasi dengan jelas, pemberian antibiotik intrapartum dianjurkan setiap
11

kali infeksi intraamniotik dicurigai atau dikonfirmasi. Antipiretik harus diberikan


selain antibiotik (17).
Mengingat bahwa penyebabnya adalah polimikrobial, sebaiknya digunakan
antibiotika intravena berspektrum luas. Lebih dari 65% kultur cairan ketuban positif
melibatkan dua atau lebih organisme. Mikoplasma genital, Ureaplasma urealyticum
dan Mycoplasma hominis (mikoplasma genital), merupakan mikroba yang paling
sering terjadi pada masing-masing hingga 47% dan 30% dari kasus korioamnionitis
yang dikonfirmasi dengan kultur. Sementara mikoplasma genital ditemukan di
saluran genital bawah (vagina dan/atau serviks) pada lebih dari 70% wanita,
keberadaannya di saluran genital bagian atas (uterus atau tuba fallopi) dan
korioamnion wanita hamil jarang terjadi (<5%) di tidak adanya persalinan atau
pecah ketuban (6).

Pilihan antibiotik umum untuk pengobatan infeksi intraamniotik yang


dicurigai tercantum dalam tabel 1 (7).

Tabel 1 Rejimen Antibiotik yang Direkomendasikan untuk Pengobatan Infeksi


Intraamniotik
Rejimen Utama
Rekomendasi Antibiotik Dosis
Ampisillin 2 g IV setiap 6 jam
dan
Gentamisin 2 mg/kg IV beban diikuti oleh 1,5
mg/kg setiap 8 jam
atau
5 mg/kg IV setiap 24 jam
Rekomendasi Antibiotik (Alergi
Dosis
Penisilin Ringan)
Sefazolin 2 g IV setiap 8 jam
dan
Gentamisin 2 mg/kg IV beban diikuti oleh 1,5
mg/kg setiap 8 jam
atau
5 mg/kg IV setiap 24 jam
Rekomendasi Antibiotik (Alergi
Dosis
Penisilin Berat)
Clindamycin 900 mg IV setiap 8 jam
Atau
Vankomisin 1 g IV setiap 12 jam
12

Dan
Gentamisin 2 mg/kg IV beban diikuti oleh 1,5
mg/kg setiap 8 jam
atau
5 mg/kg IV setiap 24 jam
Persalinan pasca operasi caesar: Satu setidaknya satu dosis tambahan. dosis
tambahan dari rejimen yang dipilih diindikasikan. Tambahkan klindamisin 900
mg IV atau metronidazol 500 mg IV untuk setidaknya satu dosis tambahan.

Persalinan pascavaginal: Tidak diperlukan dosis tambahan; tetapi jika diberikan,


klindamisin tidak diindikasikan.

Rejimen Alternatif
Ampisilin-sulbaktam 3 g IV setiap 6 jam
Piperacillin–tazobactam 3,375 g IV setiap 6 jam atau 4,5 g IV
setiap 8 jam
Cefotetan 2 g IV setiap 12 jam
Sefoksitin 2 g IV setiap 8 jam
Ertapenem 1 g IV setiap 24 jam
Persalinan pasca operasi caesar: Satu dosis tambahan dari rejimen yang dipilih
diindikasikan. Klindamisin tambahan tidak diperlukan.

Persalinan pascavaginal: Tidak diperlukan dosis tambahan, tetapi jika diberikan,


klindamisin tidak diindikasikan.

Antibiotika seharusnya diberikan secepatnya setelah diagnosis


korioamnionitis ditegakkan. Sebab dari penelitian telah dibuktikan bahwa
pemberian terapi intrapartum dibandingkan dengan postpartum akan menurunkan
kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan morbiditas postpartum ibu. Pemberian
antibiotika sesegera mungkin (tanpa menunggu bayi lahir) memberi dampak pada
terapi antibiotika pada janin. Jika antibiotika diberikan intrapartum, maka
pemberian antibiotika untuk bayi diberikan terus menerus selama 7 hari. Namun
jika antibiotika ibu diberikan setelah kelahiran bayi, maka dapat diperiksa kultur
darah bayi dan antibiotika dapat dihentikan pada hari ke-3 jika kultur tidak tumbuh
(15).
13

Persalinan sebaiknya pervaginam (15). Jika persalinan tidak timbul spontan,


maka dilakukan induksi persalinan. Induksi persalinan dapat dilakukan dengan
medikamentosa dan dapat pula dengan cara mekanik. Pemberian medikamentosa
dilakukan dengan pemberian prostaglandin E2 (Dinoproston), prostaglandin E1
(Misoprostol) dan Oksitosin (2).
Persalinan perabdominam meningkatkan resiko demam postpartum akibat
infeksi (endometritis) pada ibu. Seksio sesarea sendiri meningkatkan resiko
endometritis dari 10% (pada persalinan pervaginam) menjadi 30%, dan kejadiannya
semakin meningkat dengan adanya korioamnionitis pada saat dilakukan seksio (9).
Terjadi peningkatan morbiditas ibu 5 kali lipat jika dibandingkan dengan persalinan
pervaginam (1).
Seksio sesarea dapat pula dipertimbangkan bila diperkirakan persalinan
belum selesai dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini
didasarkan dari suatu penelitian yang mengemukakan tidak terdapatnya
peningkatan infeksi neonatus jika interval antar diagnosis dan persalinan kurang
dari 12 jam, namun peningkatan kejadian infeksi neonatus setelah interval 12 jam
belum dapat dipastikan. Sehingga, jika interval antara diagnosis dengan persalinan
diperkirakan lebih dari 12 jam, persalinan perabdominam bijaksana untuk
dipertimbangkan (15).
Durasi pemberian antibiotika setelah persalinan belum dapat dipastikan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu literatur menyarankan
pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan antibiotika
oral sesudahnya (15).
2.8 Komplikasi
2.8.1 Komplikasi maternal
Korioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara
perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomiometritis, infeksi perlukaan,
abses pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post
partum hemorragic kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang
disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki
hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan
14

E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian
maternal jarang terjadi (6).
2.8.2 Komplikasi fetus
Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis
neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi
yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan
komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya hampir sama
dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi pada fetus,
FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical
(tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun
kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari
FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai
representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau mediasi perlukaan yang
dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins, TNF-alpha, C-reactive
protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan persalinan
preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus
preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis,
leukomalasia periventrikular dan cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan
oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya biasanya lebih terlihat pada
proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma genital (U.
Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem
inflamasi, pneumonia (6).
2.8.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonates
Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat
menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul
termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia,
intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan
kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy (6).
15

2.9 Prognosis
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan,
terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Secara umum terjadi
peningkatan 3-4 kali lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir
rendah yang dilahirkan oleh ibu dengan korioamnionitis. Selain itu terjadi juga
peningkatan kejadian respiratory distress syndrome (RDS), hemoragia
intraventrikular, dan sepsis neonatal (15).
Berlawanan dengan kejadian pada bayi dengan berat lahir rendah, di negara
maju neonatus cukup bulan yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis dapat
bertahan dengan baik. Hanya sedikit bahkan tidak terjadi peningkatan mortalitas
perinatal, risiko sepsis dan pneumonitis juga jarang terjadi pada neonatus cukup
bulan. Namun pada negara berkembang, dilaporkan pneumonia kongenital akibat
infeksi intraamnion merupakan salah satu penyebab tersering kematian pada
neonatus cukup bulan (15).
Korioamnionitis jarang mengakibatkan mortalitas maternal, namun
merupakan penyebab signifikan terjadinya morbiditas maternal. Bakteremia terjadi
pada 2-5% kasus dan terjadi peningkatan kejadian infeksi postpartum (15).
Korioamnionitis intrapartum meningkatkan resiko infeksi purpuralis setelah
persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan 6% jika tidak ada
korioamnionitis intrapartum (1).
2.10 Pencegahan
Manajemen ekspektatif ketuban pecah dini prematur (PPROM) adalah
penyebab utama korioamnionitis klinis - hingga 70% dari mereka yang kemudian
mengalami kontraksi atau persalinan mengalami korioamnionitis (18). Antibiotik
profilaksis atau "latensi", biasanya ampisilin dan eritromisin, telah ditunjukkan
dalam uji klinis besar (ORACLE I dan II) dan tinjauan sistematis untuk
memberikan manfaat termasuk pengurangan komposit utama kematian neonatal,
penyakit paru-paru kronis atau kelainan otak besar pada USG . Antibiotik juga telah
terbukti mengurangi insidensi korioamnionitis klinis atau patologis dan sepsis
neonatorum dan untuk memperpanjang waktu persalinan pada wanita dengan
ketuban pecah dini yang ditangani secara ekspektatif tetapi tidak pada persalinan
16

preterm aktif dengan ketuban utuh. Kombinasi antibiotik amoksisilin / klavulanat


harus dihindari untuk indikasi ini karena hubungan potensial dengan peningkatan
risiko enterokolitis nekrotikans. Standar yang biasa di AS karena itu tetap
pemberian antibiotik spektrum luas biasanya melibatkan makrolida (eritromisin
atau azitromisin) dan ampisilin selama 7-10 hari melalui intravena (2 hari) diikuti
dengan rute oral. . Induksi persalinan dan pelahiran untuk PPROM setelah usia
kehamilan 34 minggu dianjurkan karena, dibandingkan dengan manajemen hamil,
pengiriman cepat dikaitkan dengan infeksi ibu berkurang dan kebutuhan untuk
perawatan intensif neonatal tanpa peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal
(6).
BAB 3
KESIMPULAN

Infeksi intraamnion, juga dikenal sebagai korioamnionitis, adalah infeksi


dengan hasil peradangan dari kombinasi cairan ketuban, plasenta, janin, membran
janin, atau desidua. Infeksi intraamniotik adalah kondisi umum yang biasanya
terjadi pada keadaan pecahnya selaput ketuban atau persalinan yang
berkepanjangan. Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme
dari serviks dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan. Bakteri
penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup bakteri fakultatif dan
anaerob. Semua faktor yang meningkatkan risiko pajanan berkepanjangan ketuban
janin dan/atau rongga uterus terhadap mikroba dari vagina akan meningkatkan
risiko korioamnionitis. Periode ketuban pecah yang lama merupakan faktor risiko
yang paling tinggi peranannya dalam patogenesis korioamnionitis. Makin lama
jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas
dan mortalitas ibu dan janin. Hal ni dapat didiagnosis secara klinis berdasarkan
tanda-tanda seperti suhu ibu ≥ 39,0˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini:
takikardia ibu (>100 x/menit), takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan
amnion berbau dan leukositosis ibu (>20.000sel/mm3).
Strategi pencegahan utama adalah pemberian antibiotik untuk wanita
dengan ketuban pecah dini prematur yang mengurangi kejadian korioamnionitis
klinis. Penatalaksanaan optimal korioamnionitis klinis meliputi terapi antibiotik
dan janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi. Korioamnionitis jarang
mengakibatkan mortalitas maternal, namun merupakan penyebab signifikan
terjadinya morbiditas maternal.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Obstetri Williams. 22


nd. New York: McGraw Hill; 2015.

2. Saifudin. Infeksi dalam persalinan. In: Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010. p. 255–8.

3. Zaki et al. Interaction of chorioamnionitis at term with maternal , fetal and


obstetrical factors as predictors of neonatal mortality : a population-based
cohort study. BMC Preganncy Childbirth. 2020;20(454):1–8.

4. Sherma MP, Otsuki K. Maternal Korioamnionitis. E-Medicine; 2015.

5. Leveno KJ et al. Williams Manual of Obstetrics. Boston: McGraw-Hill;


2018.

6. Tita, TN A, William. Diagnosis and Management of Clinical


Chorioamnionitis. Natl Institutes Heal. 2011;37(2):339–54.

7. Beigi R, Silverman NS, El-sayed YY. Intrapartum Management of


Intraamniotic Infection. 2017;(712).

8. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and Preterm
Delivery. N Engl J Med. 2000;342:1500–7.

9. Creasy RK RR. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In: 5th editio.
Philladelphia: WB Saunders; 2015. p. WB Saunders.

10. Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and


korioamnionitis: a review of literature. Midwifery Womens Heal.
2015;53(15):227–35.

11. Kim CJ, Romero R, Chaemsaithong P. Acute chorioamnionitis and funisitis:


definition, pathologic features, and clinical significanc. Am J Obstet Gynecol
[Internet]. 2015;213(4):S29–52. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2015.08.040

12. Arias F. Premature Rupture of Membrane. In: Practical Guide to: High Risk
Pregnancy and Delivery. St Louis: Mosby Year Book; 2014. p. Mosby Year
Book.

13. ACOG Committee on Practice Bulletins-Obstetrics. Premature rupture of


membranes. Clin Manag Guidel Obstet. 2007;109(4):1007–19.

18
14. Newton J. Continuing professional development. Vol. 89, The New Zealand
dental journal. 1993. p. 9–12.

15. James DK S, PJ, Weiner CP et al. Other infectious conditions. In: High Risk
Pregnancy Management Options. London: WB Saunders Co Ltd; 1996. p.
513–5.

16. Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Abnormalitis of the
placenta, umbilical cord and membranes. In: Williams Obstetrics. 22nd ed.
New York: Mc Graw Hill; 2015. p. 625.

17. Gibbs RS, Dinsmoor MJ, Newton ER, RS R. A randomized trial of


intrapartum versus immediate post- partum treatment of women with intra-
amniotic infection. Obstet Gynecol. 1988;72:823–8.

18. Yoon BH, Romero R, Moon J Bin, Shim S, Kim M, Kim G, et al. Clinical
significance of intra-amniotic inflammation in patients with preterm labor
and intact membranes. Am J Obstet Gynecol. 2001;185(5):1130–6.

19

Anda mungkin juga menyukai