REFERAT Korioamnionitis AYUPERMATA
REFERAT Korioamnionitis AYUPERMATA
KORIOAMNIONITIS
Oleh
Preseptor :
dr.Nilawati Budiman,Sp.OG
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Korioamnionitis” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Neurologi Rumah Sakit Umum
Daerah Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr.Nilawati Budiman,Sp.OG sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di
bagian/SMF Ilmu Obgyn dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga
referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
2
A. Korioamnionitis
2.1 Definisi
Infeksi intramniotik atau disebut juga sebagai korioamnionitis adalah
infeksi pada membran dan korion plasenta, karena infeksi bakteri polimikroba
asenden dalam keadaan pecahnya membran (6).
2.2 Epidemiologi
Insidensi dari korioamnionitis adalah 5-7% dari kehamilam aterm dan
sekitar 25% dari partus preterm (2). Secara keseluruhan, 1-4% dari semua kelahiran
di AS dipersulit oleh korioamnionitis. Namun, frekuensi korioamnionitis sangat
bervariasi menurut kriteria diagnostik, faktor risiko spesifik, dan usia kehamilan.
Korioamnionitis (kombinasi klinis dan histologis), mempersulit sebanyak 40-70%
kelahiran prematur dengan ketuban pecah dini atau persalinan spontan dan 1-13%
kelahiran aterm. Dua belas persen kelahiran sesar primer pada aterm melibatkan
korioamnionitis klinis, dengan indikasi paling umum untuk sesar dalam kasus ini
adalah kegagalan untuk berkembang biasanya setelah ketuban pecah (6).
2.3 Etiologi
Infeksi intraamniotik sering kali berasal dari polimikrobial, umumnya
melibatkan bakteri aerob dan anaerob, dan sering berasal dari flora vagina. Hal ini
terutama terjadi dengan invasi bakteri naik dari saluran genital bawah ke rongga
amnion yang biasanya steril (7). Bakteri yang paling sering ditemukan adalah
bakterial vaginosis yang mencakup spesies Bacteroides, Fusobacterium,
Gardnerella vaginalis dan M. Hominis. Bakteria fakultatif yang sering ditemukan
adalah Streptococcus grup B dan E. Coli (8). Pada tahun 1982 suatu penelitian
mengidentifikasi mikroorganisme yang ditemukan dalam air ketuban pasien dengan
korioamnionitis dengan hasil Bacteriodes Sp (25%), Gardnerella vaginalis (24%),
grup β streptokokkus (GBS) (12%), streptokokus aerobik jenis lain (13%), E coli
(10%), dan Gram negatif lain (10%) (9).
3
4
akut. Di sisi lain, neutrofil biasanya bersirkulasi di ruang intervili. Ketika ada
gradien kemotaktik, neutrofil bermigrasi ke arah rongga amnion, neutrofil di ruang
intervili bergerak ke dalam lempeng korion plasenta yang biasanya tidak memiliki
sel-sel ini (11).
Bagian ini paling sering terjadi oleh infeksi retrograde atau ascending dari
saluran genital bawah (serviks dan vagina) setelah terjadinya ketuban pecah dan
persalinan (8)(6). Selain itu dapat pula akibat infeksi transplasental yang merupakan
penyebaran hematogen dan bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan
amnion akibat iatrogenik pada pemeriksaan amniosintesis, pasca transfusi
intrauterin dan kordosintesis. Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu
antara ketuban pecah dan persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah
pemeriksaan dalam selama persalinan, nulipara, dan adanya bakterial vaginosis
(12).
7
2.6 Diagnosis
Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi (6)(9):
1. Demam (suhu intrapartum > 39,0˚ C)
2. Takikardia ibu (>120x/menit)
3. Takikardia janin (>160x/menit)
4. Cairan ketuban berbau atau tampak purulen
5. Uterus teraba tegang
6. Leukositosis ibu (leukosit >20.000 sel/mm3) Bila terdapat dua dari enam gejala
di atas ditemukan pada kehamilan, maka risiko terjadinya neonatal sepsis
meningkat.
Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu
ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100
x/menit), takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan
leukositosis ibu (>15.000 sel/mm3) (6). Korioamnionitis yang subklinis menurut
definisi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis di atas tetapi dapat bermanifestasi
10
sebagai persalinan prematur atau, bahkan lebih umum, sebagai ketuban pecah dini
prematur (PPROM). Selain itu, ROM prematur saat aterm (ketuban pecah pada
≥37 minggu kehamilan tetapi sebelum timbulnya kontraksi uterus), yang terjadi
pada 8% atau kurang dari kelahiran aterm, dikaitkan dengan peningkatan risiko
korioamnionitis (13).
Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat
membantu penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan serum
CRP (C-reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan amnion,
dan deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan (9).
Peningkatan kadar CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
korioamnionitis. Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl.
Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan (12).
Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang
lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil
amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik (6).
Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis
adalah ketika terlihat sel leukosit mononuclear dan polimonorfonuklear
menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit
polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan selanjutnya
merupakan respon inflamasi dari janin (14). Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas
tidak satupun yang cukup sensitif dan spesifik digunakan secara tersendiri terlepas
dari gejala dan tanda klinis untuk mendiagnosis korioamnionitis.
2.7 Tatalaksana
Wanita dengan korioamnionitis sebaiknya mendapat terapi antimikroba dan
janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi (15)(16). Seperti yang ditunjukkan
dalam uji klinis acak, terapi antibiotik intrapartum untuk infeksi intraamniotik
menurunkan tingkat bakteremia neonatus, pneumonia, dan sepsis. Antibiotik
intrapartum juga telah terbukti menurunkan morbiditas demam ibu dan lama tinggal
di rumah sakit. Oleh karena itu, dengan tidak adanya risiko utama yang
terdokumentasi dengan jelas, pemberian antibiotik intrapartum dianjurkan setiap
11
Dan
Gentamisin 2 mg/kg IV beban diikuti oleh 1,5
mg/kg setiap 8 jam
atau
5 mg/kg IV setiap 24 jam
Persalinan pasca operasi caesar: Satu setidaknya satu dosis tambahan. dosis
tambahan dari rejimen yang dipilih diindikasikan. Tambahkan klindamisin 900
mg IV atau metronidazol 500 mg IV untuk setidaknya satu dosis tambahan.
Rejimen Alternatif
Ampisilin-sulbaktam 3 g IV setiap 6 jam
Piperacillin–tazobactam 3,375 g IV setiap 6 jam atau 4,5 g IV
setiap 8 jam
Cefotetan 2 g IV setiap 12 jam
Sefoksitin 2 g IV setiap 8 jam
Ertapenem 1 g IV setiap 24 jam
Persalinan pasca operasi caesar: Satu dosis tambahan dari rejimen yang dipilih
diindikasikan. Klindamisin tambahan tidak diperlukan.
E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian
maternal jarang terjadi (6).
2.8.2 Komplikasi fetus
Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis
neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi
yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan
komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya hampir sama
dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi pada fetus,
FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical
(tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun
kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari
FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai
representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau mediasi perlukaan yang
dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins, TNF-alpha, C-reactive
protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan persalinan
preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus
preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis,
leukomalasia periventrikular dan cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan
oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya biasanya lebih terlihat pada
proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma genital (U.
Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem
inflamasi, pneumonia (6).
2.8.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonates
Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat
menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul
termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia,
intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan
kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy (6).
15
2.9 Prognosis
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan,
terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Secara umum terjadi
peningkatan 3-4 kali lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir
rendah yang dilahirkan oleh ibu dengan korioamnionitis. Selain itu terjadi juga
peningkatan kejadian respiratory distress syndrome (RDS), hemoragia
intraventrikular, dan sepsis neonatal (15).
Berlawanan dengan kejadian pada bayi dengan berat lahir rendah, di negara
maju neonatus cukup bulan yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis dapat
bertahan dengan baik. Hanya sedikit bahkan tidak terjadi peningkatan mortalitas
perinatal, risiko sepsis dan pneumonitis juga jarang terjadi pada neonatus cukup
bulan. Namun pada negara berkembang, dilaporkan pneumonia kongenital akibat
infeksi intraamnion merupakan salah satu penyebab tersering kematian pada
neonatus cukup bulan (15).
Korioamnionitis jarang mengakibatkan mortalitas maternal, namun
merupakan penyebab signifikan terjadinya morbiditas maternal. Bakteremia terjadi
pada 2-5% kasus dan terjadi peningkatan kejadian infeksi postpartum (15).
Korioamnionitis intrapartum meningkatkan resiko infeksi purpuralis setelah
persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan 6% jika tidak ada
korioamnionitis intrapartum (1).
2.10 Pencegahan
Manajemen ekspektatif ketuban pecah dini prematur (PPROM) adalah
penyebab utama korioamnionitis klinis - hingga 70% dari mereka yang kemudian
mengalami kontraksi atau persalinan mengalami korioamnionitis (18). Antibiotik
profilaksis atau "latensi", biasanya ampisilin dan eritromisin, telah ditunjukkan
dalam uji klinis besar (ORACLE I dan II) dan tinjauan sistematis untuk
memberikan manfaat termasuk pengurangan komposit utama kematian neonatal,
penyakit paru-paru kronis atau kelainan otak besar pada USG . Antibiotik juga telah
terbukti mengurangi insidensi korioamnionitis klinis atau patologis dan sepsis
neonatorum dan untuk memperpanjang waktu persalinan pada wanita dengan
ketuban pecah dini yang ditangani secara ekspektatif tetapi tidak pada persalinan
16
17
DAFTAR PUSTAKA
8. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and Preterm
Delivery. N Engl J Med. 2000;342:1500–7.
9. Creasy RK RR. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In: 5th editio.
Philladelphia: WB Saunders; 2015. p. WB Saunders.
12. Arias F. Premature Rupture of Membrane. In: Practical Guide to: High Risk
Pregnancy and Delivery. St Louis: Mosby Year Book; 2014. p. Mosby Year
Book.
18
14. Newton J. Continuing professional development. Vol. 89, The New Zealand
dental journal. 1993. p. 9–12.
15. James DK S, PJ, Weiner CP et al. Other infectious conditions. In: High Risk
Pregnancy Management Options. London: WB Saunders Co Ltd; 1996. p.
513–5.
16. Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Abnormalitis of the
placenta, umbilical cord and membranes. In: Williams Obstetrics. 22nd ed.
New York: Mc Graw Hill; 2015. p. 625.
18. Yoon BH, Romero R, Moon J Bin, Shim S, Kim M, Kim G, et al. Clinical
significance of intra-amniotic inflammation in patients with preterm labor
and intact membranes. Am J Obstet Gynecol. 2001;185(5):1130–6.
19