Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

MENINGITIS BAKTERIAL

Pembimbing :
dr. Eny Waeningsih, Sp. S, M. Kes

dr. Perwitasari Bustomi, Sp. S

Disusun Oleh :
Euis Camila Suhendar
1102018130

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT
SARAF RSUD DRADJAT PRAWIRANEGARA
28 MARET – 30 APRIL
2022
PRESENTASI KASUS

A. Identitas Pasien
 Nama : An.R
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Usia : 14 tahun
 Pekerjaan : Pelajar
 Agama : Islam
 Alamat : Kampung Bongas RT 010 RW 002, Garut,
Kopo, Serang
 Cekat tangan : Kanan
 Tanggal Masuk RS : 1 April 2022
 Tanggal Pemeriksaan : 2 April 2022

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 2
April 2022
 Keluhan Utama
 Nyeri kepala hebat
 Keluhan Tambahan :
 Keluar cairan dari telinga kanan, bau (+), kepala sebelah kanan
bengkak sampai mata, demam.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar keluargaya ke IGD RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara dengan keluhan nyeri kepala hebat dan bengkak di
kepala sebelah kanan 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan
keluar cairan berbau dari telinga kanan 5 hari SMRS. Pasien
mengeluhkan demam, batuk pilek dan mata bengkak kurang lebih 3
hari SMRS. Pasien mengeluhkan badan terasa sakit dan lemah pada
kaki dan tangan kiri .
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan tanggal 2 April 2022 (perawatan hari kedua).
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 GCS : E4M6V5  15

Tanda Vital
 Tekanan darah : 110/70mmHg
 Nadi : 86 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36 °C
 Kekuatan Motorik :
Dextra Sinistra
Ekstremitas Atas 5 3
Ektremitas Bawah 5 3

Status Generalis
 Kepala : Bengkak pada bagian kanan
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 THT : Keluar cairan dari telinga kanan, bau(+)
 Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat
 Thorax
 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis terlihat, sikatrik(-)
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ 1 dan 2 reguler, gallop (-), murmur(-)
 Abdomen
- Inspeksi : Perut datar
- Palpasi : Nyeri tekan (+), batas hepar normal, massa (-)
- Perkusi : Timpani (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
 Ekstremitas : Akral hangat, udem kaki (-/-)

Status Neurologis
(Pemeriksaan dilakukan di hari ke-2 pasien dirawat)
 GCS : E4M6V5  15
 Pupil :
Dextra Sinistra
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 2 mm 2 mm
Refleks Cahaya Langsung + +
Refleks Cahaya Tidak Langsung + +
 Tanda Rangsang Meningeal :
Dextra Sinistra
Kaku Kuduk +
Brudzinski I - +
Laseque - +
Kernig - +
Brudzinski II - -
 Peningkatan Tekanan Intrakranial
Sakit Kepala : (+)
Muntah : (-)
Kejang : (-)
 Pemeriksaan Saraf Kranial :
Nervus I Dextra Sinistra Nervus II Dextra Sinistra
Hyper/Anosmia (-) (-) Visus Baik Baik

Parosmia (-) (-) Luas Lapang Baik Baik


pandang
Tes Buta Warna (-) (-)

Funduskopi Tidak Tidak


dilakukan dilakukan

Nervus III, IV dan VI Dextra Sinistra


Kedudukan bola mata Normal Normal
Pergerakan bola mata M. Rektus Medius Normal (-)

M. Rektus Inferior Normal Normal

M. Rektus Superior Normal Normal

M. Rektus Lateralis Normal Normal

M. Obliqus Inferior Normal (-)

M. Obliqus Superior Normal (-)


Refleks akomodasi Normal (-)
Refleks konvergensi Normal (-)
Strabismus Divergen (-) (+)
Nervus V Dextra Sinistra
Cabang motoric M. Masetter Normal Normal
M. Temporal Normal Normal
M. Pterygoidus Normal Normal
int/eks
Cabang sensorik I Normal Normal
II Normal Normal
III Normal Normal
Reflek kornea langsung Normal Normal
Reflek kornea konsensual Normal normal

Nervus VII Dextra Sinistra


Kerutan dahi Simetris Simetris

Tinggi alis Simetris Simetris

Sudut mulut Simetris Simetris


Lipatan Simetris Simetris
Nasolabial
Pengecapan 2/3 anterior Normal
lidah

Sekresi air Mata Normal Normal


Nervus VIII Dextra Sinistra
Vestibular Cochlear
Vertigo (-) Weber
Nistagmus (-) Rinne Tidak dilakukan
Tinnitis aureum (-) Schwabach

Nervus IX dan X
Arkus faring Simetris
Reflek muntah
Pengecapan 1/3 posterior Tidak
dilakukan
Lidah

Nervus XI Dextra Sinistra


Mengangkat bahu Normal normal
Memalingkan kepala Normal normal

Nervus XII Dextra Sinistra


Kedudukan lidah istirahat Di tengah
Kedudukan lidahbergerak Normal
Atrofi (-) (-)
Tremor (-) (-)
Kekuatan lidah menekan
Normal normal
bagian dalam
 Motorik :
Dextra Sinistra
Kekuatan
Ekstremitas Atas 5 3
Ekstremitas Bawah 5 3
Tonus
Ekstremitas Atas Normal Menurun
Ekstremitas Bawah Normal Menuru
n
Trofi
Ekstremitas Atas Normal Normal
Ekstremitas Bawah Normal Normal
Refleks
Fisiologis
Biseps ++ -
Triseps ++ -
Patella ++ ++
Achilles ++ ++

Patologis
Hoffman-Tromner ++ ++
Babinski ++ ++
Oppenheim ++ ++
Gordon ++ ++
Chaddock ++ ++
Schaeffer ++ ++

0 = Sama sekali tidak dapat bergerak


1 = Hanya menghasilkan sedikit sekali gerakan
2 = Tidak dapat melawan gaya berat ektremitas hanya bisa digeser
3 = Masih dapat melawan gaya berat
4 = Dapat melawan tahanan
5 = Normal
 Sensorik :
Dextra Sinistra
Raba Halus
Ekstremitas Atas Baik Baik
Ekstremitas Bawah Baik Baik
Nyeri
Ekstremitas Atas Baik Baik
Ekstremitas Bawah Baik Baik
Suhu
Ekstremitas Atas Baik Baik
Ekstremitas Bawah Baik Baik
Getar
Ekstremitas Atas Baik Baik
Ekstremitas Bawah Baik Baik

D. Saran Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium
- Hitung Darah lengkap :Hemoglobin, Hematrokrit, Leukosit,
Trombosit
- Gula darah : GDS
- Foto Thorax
- CT Scan Kepala Kontras

E. Diagnosis
Diagnosis Klinis : Cephalgia berat, Parese N. III,IV,VI
Sinistra, Kaku kuduk

Diagnosis Topis : Meningens


Diagnosis Etiologi : Infeksi bakteri
F. Tatalaksana
 Medikamentosa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

Ceftriaxone 2g IV/ 12 jam


Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20
mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai infeksi listeria
ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).

 Non-Medikamentosa
- Bed rest

G. Prognosis
 Quo ad vitam : ad Bonam
 Quo ad fungsionam : Dubia ad Bonam

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula spinalis. Hal ini
paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau jamur) tetapi dapat juga terjadi
karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya.
Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan
pada meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang.
Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang
laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges. Ruang-
ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan
penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.

B. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya meningitis :
1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun
2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4. Infeksi HIV
5. Anemia sel sabit dan splenektomi
6. Alkoholisme, sirosis hepatis
7. Talasemia mayor
8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10. Ventriculoperitoneal shunt

C. Etiologi dan Klasifikasi Meningitis


Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak
yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah
sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang
paling
sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis
bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta
bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan
meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman mencakup sekaligus
kausa meningitis, yaitu :
1. Meningtis virus
2. Meningitis bakteri
3. Meningitis spiroketa
4. Meningitis fungus
5. Meningitis protozoa dan
6. Meningitis metazoa
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan
meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Agen infeksi meningitis
purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan
neonatus paling banyak disebabkan oleh Escherichia Coli, Streptococcus beta
haemolyticus dan Listeria monocytogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita)
disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur
5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai
prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab
meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan
Coxsackie virus, sedangkan Herpes simplex, Herpes zoster, dan enterovirus
jarang
menjadi penyebab meningitis aseptik (viral).

D. Epidemiologi
a. Orang/Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis. Penyakit
ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi
terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi
dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.10
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di negara
berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika
Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum
adanya vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-
kira
12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens
Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun
penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.
b. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi
rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah
haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang
sedang berkembang dibandingkan pada negara maju.
Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis
belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi
21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-
20 per 100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik.11 Di
daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan
oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.
c. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus- kasus
infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi
infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi
sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim panas.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering
terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen
pengantar virus.
d. Agen Infeksi
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis
purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan
Haemophilus influenzae sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa dan virus.
Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan jemaah haji dan
dapat menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A,
B, C, X, Y, Z dan W 135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari
penderita. Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C sebagai
penyebab utama
sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A.16 Wabah meningitis
Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun 2000
menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup A.
Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di dunia
yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A, B,
dan
C paling banyak menimbulkan penyakit.
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip sakit

flu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi
KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis
aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan
penyebab dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus
merupakan penyebab dari 50% kasus.
E. Manifestasi Klinis
Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita meningitis bakteri
dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut :
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk.
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot, fotofobia, mudah
mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan kejang. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit
penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus
ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer
parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh
Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam,
dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher,
dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu
tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul
keluhan berupa
sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan
konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami
lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh
Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus.
Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian
atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise,
nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodormal
selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-
anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu
makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi,
pola tidur
terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang
hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala penyakit lebih
berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat, gangguan kesadaran dan kadang
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai
nyata, terjadi parese nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan
muntah lebih hebat.
Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin parah dan gangguan
kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.

F. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
e. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan,
mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran.
Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak
memungkinkan untuk autoanamnesa.
f. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :
i. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
ii. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri.
Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135
(kaki tidak
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.

iii. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian
kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan
panggul kedua tungkai secara reflektorik.

iv. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+)
bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.

v. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+)
jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
vi. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi
involunter extremitas inferior.
vii. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu
tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda
lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada
dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

g. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial.
1. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang
bervariasi, cairan jernih, sel darah putih meningkat,
glukosa dan protein normal, kultur negatif.
2. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis
lebih dari 1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen infeksi
pada cairan serebrospinal, yaitu :

Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology


Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)
Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific pathogen
meningitis >80% PMNs demonstrated in 60%
of Gram stains and
80% of cultures

Viral 90-200 10-300; Normal, Normal but Viral isolation, PCR


meningitis lymphocytes reduced in may be assays
LCM and slightly
mumps elevated

Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, < Elevated, Acid-fast bacillus


meningitis lymphocytes 40 >100 stain, culture, PCR
Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink,
meningitis lymphocytes cryptococcal antigen,
culture

Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal but Negative findings on


meningitis lymphocytes may be workup
slightly
elevated

Normal values 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative findings on


lymphocytes workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN =


polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.

Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi

ii. Pemeriksaan Darah


Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
2. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan
terhadap glukosa pada cairan serebrospinal.
5. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai
fungsi organ dan penyesuaian dosis terapi.
6. Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
iii. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi
atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia
otak. Sampel kultur dapat diambil dari :
1. Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H.
Influenzae, S. Pneumoniae, N. Meningitidis.
2. Nasofaring
3. Sputum
4. Urin
5. Lesi kulit
iv. Pemeriksaan Radiologis2
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-
Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada
paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala
kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis
pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya enhancemen
meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat
disingkirkan.
Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America (IDSA),
berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan lumbal pungsi
yaitu :
1. Dalam keadaan Immunocompromised
2. Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke,
infeksi fokal)
3. Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4. Papiledema
5. Gangguan kesadaran
6. Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement
kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena
dan hidrosefalus komunikans.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif dan suportif.

a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12 jam)
ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).
c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20
mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai infeksi listeria
ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).
e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-
15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika
dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid
(biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam selama 2-4 hari).
meskipun pemberian kortikosteroid masih kontroversial, namun telah terbukti
dapat meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H.
Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak
dapat mengurangi mortalitas.

H. Diagnosis Banding
Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini
a. Abses serebral
b. Ensefalitis
c. Neoplasma serebral
d. Perdarahan Subarachnoid

I. Komplikasi Meningitis
Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental, edema serebri
dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi subdural, parese nervus
kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada
onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang
menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik,
disseminated intravascular coagulaton (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi
endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

J. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang menimbulkan
penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit
sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai
prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta,
tetapi

50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen
meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan
gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi. Prognosa
jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan
pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu
6-8 minggu.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh
lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang
tepat penyembuhan total bisa terjadi.
K. Pencegahan Menginitis

Pencegahan primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko


meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi
agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti
Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate
vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate
vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan
bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi
Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%.
Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada
bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan
di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup
diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di
bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.

Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis


(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan
penderita.11 Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135
dan Y.34
Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh
dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian
sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai >
4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.37
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan
di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat
dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang
bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini
dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik
petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan
pemeriksaan X-ray (rontgen) paru . Selain itu juga dapat dilakukan surveilans
ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak
dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini.
Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut
atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat
meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap
kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk
mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk
mencegah dan mengurangi cacat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT. Dian Rakyat,
Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
3. Swierzewski, S., 2002. Meningitis, Insidens and Prevalence. Available
at http://www.healthcommunities.com/meningitis/incidence.shtml

4. Laporan Nasional, 2007. Riset Kesehatan Dasar.


5. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at http://www.who.int/topics/meningitis/en/
6. Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara, Jakarta.
7. Jellife, D., 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Edisi Keempat. Bumi Aksara,
Jakarta.
8. Japardi, I. 2002. Meningitis Meningococcus. Journal. FK USU Digital Library.
Available at http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdf
9. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya.
10. Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. EGC, Jakarta.
11. Kandun, I., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta.
12. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial
Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal 438-443,
Jakarta.
13. Devarajan, V., Jan 10, 2012. Haemophilus Influenzae Infection. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview#a0199
14. Isbagia, D., 2003. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap Infeksi
Saluran Pernapasan dan Meningitis. Buletin Penelitian dan Kesehatan,
Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta
15. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Gadjah Masa University.
16. Handayani, S., 2006. Karier Meningitis Meningokok Pada Jemaah Haji
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol.34, No.1, Hal 30-36, Jakarta.
17. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition. McGraw-Hill
Companies, New York.
18. Junqueira, dkk., 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC, Jakarta.
19. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.
20. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.
21. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak. Vol. 9. Jurnal Kedokteran.
Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat.
22. Mackenna & Callander, 1997. Ilustrated Physiology. Sixth Edition. Churchill
Livingstone.
23. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.
24. Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
25. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
26. Japardi, 2002. Sawar Darah Otak. Journal. FK USU Digital Library. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1985/1/bedah-iskandar54.pdf
27. Juwono, T., 1993. Penatalaksanaan Kasus-kasus Darurat Neurologi. Widya
Medika, Jakarta.
28. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-neurologi.html
29. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall at
30. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacteria
Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
31. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
32. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech.
Available atNeurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
33. Nelson, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Kedokteran EGC, Jakarta.
34. Hasan, R., Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah Infomedika,
Jakarta.
35. Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
36. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
37. Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. USU Digital Library. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6245/1/anak-nofareni.pdf
38. Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai