Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh :
Sixtus Reza Tandisau
112020011

Pembimbing :
dr. Ivan Riyanto Widjaja. Sp.A (K)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD KOJA Jakarta Utara
Periode 18 April– 26 Juni 2022
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Inisial Pasien : An. AF
Tanggal Lahir (umur) : (12 tahun 10 bulan )
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Pemadam Kebakaran Cilincing
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMP

2. Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. DD
Tanggal Lahir (umur) : (35 tahun)
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jl. Pemadam Kebakaran Cilincing
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta

Nama Ibu : Ny. SH


Tanggal Lahir (umur) : (31 tahun)
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jl. Pemadam Kebakaran Cilincing
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
3. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama : Bengkak seluruh tubuh 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan : BAK berkurang
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang diantar oleh kedua orangtuanya ke RSUD Koja dengan
keluhan bengkak pada seluruh tubuh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Bengkak dimulai dari wajah kemudian mata, tangan dan kaki. . Pasien
mengaku kedua matanya bengkak setiap pagi saat bangun tidur dan bengkak
berkurang saat siang dan sore hari. Berat badan os mengalami kenaikan
sebanyak 4 kg sejak bengkak. Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas
saat tidur dan anak masih bisa tidur dengan satu bantal. Pasien juga mengeluh
BAK semakin jarang frekuensinya dan berkurang jumlahnya sejak tubuhnya
bengkak. BAK warna kuning jernih, tidak nyeri saat berkemih dan lancar.
Keluhan demam, nyeri perut, nyeri ulu hati disangkal. Nafsu makan pasien
masih baik. BAB tidak ada keluhan. Selama bengkak pasien tidak pernah
tampak pucat, lemah, lesu dan masih bisa beraktivitas ringan

4. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Perawatan antenatal : Pasien rutin kontrol setiap bulan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Tempat kelahiran : Rumah Sakit
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan bayi saat lahir : Langsung menangis
Berat badan lahir : 3200 gram
Panjang badan lahir : 51 cm

5. Riwayat Perkembangan
 Pertumbuhan gigi pertama :-
 Psikomotor
o Tengkurap : 3 bulan
o Duduk : 5 bulan
o Berdiri : 11 bulan
o Berbicara : 12 bulan
o Membaca dan menulis: 4 tahun

6. Riwayat Imunisasi
 Hepatitis B 4x usia 0, 2, 3, 4 bulan
 Polio 3x usia 2, 3, 4 bulan
 BCG 1x usia 2 bulan
 DPT 3x usia 2, 3, 4 bulan

7. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Tanda-tanda Vital :
o Frekuensi nadi : 88x/menit
o Tekanan darah : 106/69
o Frekuensi nafas : 26x/menit
o Suhu tubuh : 36,2 ̊c
 Data Antropometri :
o Berat Badan : 39 kg
o Tinggi Badan : 150 cm
o Lingkar Kepala : 54 cm
o Lingkar Dada :-
o Lingkar Lengan Atas :
 IMT = 39/(1.50)2 = 17.33
 Kurva CDC Boys
TB/U = 150/155 x 100% = 96,77%
BB/U = 39/44 x 100% = 88,6%
IMT/U = 17.33/18.4 x 100% = 94.2%
BB/TB = 39/45 x 100% = 86.66%
Kesan : Gizi anak baik

8. Pemeriksaan Sistematis
 Kepala
Bentuk dan ukuran : Bulat
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
Wajah : tampak Oedem
Mata : Simetris, pupil bulat isokor, CA -/-, SI
-/- tampak Oedem
Telinga : Normotia, sekret -/-, tidak ada
gangguan pendengaran
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-),
nafas cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir kering, sianosis (-)
Gigi-geligi : Gigi tidak ada yang berlubang
Mulut : Simetris, langit-langit normal
Lidah : Bentuk normal, lidah kotor (-)
Tonsil : Sulit dinilai
Faring : Sulit dinilai
 Leher : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar
getah bening
 Toraks
Dinding toraks: Bentuk simetris kanan dan kiri. Tidak tampak adanya
lesi, sikatriks atau bekas operasi
Paru :
Inspeksi : Pergerakan dada saat pernafasan simetris,
tidak ada bagian yang tertinggal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung :
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Supel, lesi (-), benjolan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran organ (-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltic
 Anus dan rectum : tidak dilakukan
 Genitalia : tidak dilakukan
 Anggota gerak : Akral hangat, Oedem (+), pitting oedem (+)
deformitas (-)
 Tulang belakang : Tidak ada kelainan
 Kulit : Warna kulit sawo matang, kulit lembab, kulit
normal
 Rambut : Warna hitam, distribusi merata, kuat angkat
 Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB
 Pemeriksaan neurologis : Tidak dilakukan
9. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 13/05/2022

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

Hematologi – Darah lengkap

Hemoglobin 13.6 11.5-14.5

Jumlah Leukosit 10.00 4.00-12.00

Hematokrit 41.6 33-43

Jumlah trombosit 315 182-369

Jumlah eritrosit 5.27 4.00-5.30

MCV 79 76-90

MCH 26 25-31

MCHC 33 32-36

RDW-CV 12.8 11.5-15.0

Hitung Jenis

Basofil 0.3 0.1-1.2

Eosinofil 1.2 0.7-5.8

Neutrofil 63.4 34.0-71.1

Limfosit 24.6 19.3-51.7

Monosit 10.5 4.7-12.5

NLR & ALC

NLR 2.58

ALC 1449
Kimia Klinik
Protein total 6.70 6.30 – 8.60
Albumin 2.80 3.80 – 5.40
Kalium 3.48 3.5-5.0
Ureum 44.9 16.6 – 48.5
Kreatinin 0.55 0.33 – 0.64

Klorida (Cl) 107 98-108

Glukosa sewaktu 91 60-100 (anak)

Urin Lengkap

Warna Kuning Kuning keruh

Kekeruhan Agak keruh Jernih

Berat jenis 1.030 1.002 – 1.035

pH 6.0 4.6 – 8.0

Protein 1+ (-) Negatif

Immunologi

Rapid antibody test Negatif (-) Negatif (-)

CRP Kuantitatif 0.23 < 0.50


10. Resume

Pasien laki-laki usia 12 tahun 10 bulan datang keluhan bengkak pada


seluruh tubuh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak dimulai dari
wajah kemudian mata, tangan dan kaki. . Pasien mengaku kedua matanya
bengkak setiap pagi saat bangun tidur dan bengkak berkurang saat siang dan sore
hari. Berat badan os mengalami kenaikan sebanyak 4 kg sejak bengkak. Pasien
juga mengeluh BAK semakin jarang frekuensinya dan berkurang jumlahnya sejak
tubuhnya bengkak. BAK warna kuning jernih,

Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan oedem pada daerah mata,


wajah, dan anggota gerak. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan
Kimia klinik, didapatkan hasil Albumin 2.80 g/dl, dan protein dalam urin +1,

11. Diagnosa Kerja


 Sindrom Nefrotik

12. Diagnosa Banding


 Glomerulonefritis

13. Penatalaksanaan
Tirah baring
Nutrisi: diet protein 1.5-2 gr/kgBB/hari  78mg/hari

Diet rendah garam 1-2 gr/hari  78mg/hari

 IVFD Asering 500cc/hari 6 tpm


 Furosemide 1 mg/kgBB/hari  39mg/hari
 Prednison 2mg/kgBB/hari  78 mg/hari
14. Follow Up

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi


14/5/2022 Mata dan S: 36.4 C SN IVFD Asering 500cc/hari 6
kaki bengkak TD:116/82 mmHg tpm
(+) HR: 100 x/menit Furosemide 1 mg/kgBB/hari
RR: 24 x/menit  39mg/hari
Prednison 2mg/kgBB/hari
 78 mg/hari

15/5/2022 Kaki bengkak S: 37.5 C SN Terapi dilanjutkan


(+) TD:108/75 mmHg
HR: 110 x/menit
RR: 24 x/menit
16/5/2022 Kaki bengkak S: 36.3 SN Terapi dilanjutkan
(+) TD: 112/88
HR: 100 x/menit
RR: 25 x/menit
17/5/2022 Bengkak (-) S: 36.1 SN Terapi dilanjutkan
TD: 113/67
HR: 110 x/menit
RR: 25x/menit
18/5/2022 Bengkak (-) S: 36.2 SN Pasien boleh pulang
TD: 109/66
HR: 80x/menit
RR: 20x/menit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).

Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun. Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak
per tahun.

Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)


Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun. Sindrom
nefrotik kongenital diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal dan resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema
pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor
predisposisi kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal.
Pasien bisa diselamatkan dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini.

Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik


idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom
nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial
proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini
dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa;
dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit
tunggal.

Klasifikasi

 Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)


Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus
terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop
immunofluorescence biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya
memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit)
pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon
dengan terapi kortikosteroid.

 Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)


Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan
adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada
pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop
elektron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks
diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien
dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.

 Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental


glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental
pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop
immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area
yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi
serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral,
dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan
FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya
bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli,
dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal
disease) pada kebanyakan pasien.

 Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)


Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi
seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop
cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel
mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan
mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer,
menyebabkan reduplikasi membrane basalis (“jejak-trem” atau
kontur lengkap). Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah
infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada
MPGN tipe I dan tipe II.

 Glomerulopati membranosa (GM)


Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan
secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang
ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus,
sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama
adalah penebalan membrane basalis yang terlihat baik dengan
mikroskop cahaya maupun elektron.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah :
 Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS
 Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular
 Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
 Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein
dalam dinding kapiler. Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh
membran basal glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya protein
terganggu. Mekanisme penghalang tersebut berkerja berdasarkan ukuran molekul dan
muatan listrik. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin
dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak
akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. Pada
sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada umumnya, edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dL. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologis tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik
atau osmotik intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus ke ruangan
interstisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke
ruang interstisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. Selain
edema

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-
aldosteron (RAAS) yang akan meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume intravaskular yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus
distal dan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi
air dalam duktus kolektivus, sehingga terjadi retensi natrium dan retensi air.

Karena pengeluaran albumin dalam jumlah banyak di urin maka akan terjadi
hipoalbuminemia yang akan mengakibatkan peningkatan sintesis lipoprotein di hepar
sehingga akan menyebabkan hiperlipoproteinemia

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan
dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian
menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.

Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya terjadi
disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai
gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari kehari.
Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan
edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi
dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema
adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis,
dan malnutrisi protein.

Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.

Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau rendah,
namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara,
terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat.
Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi aldosteron, dan
vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (International
Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik
perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah
splanchnik atau akibat peritonitis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
 Urinalisis dan bila perlu biakan urin
 Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal :


- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid

Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:6

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch- Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Diet
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiper
ltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan
terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.6

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang.6

Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

 Terapi inisial
Pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah prednison 60 mg/m2 LBP/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilannjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LBP/hari (2/3 dosis awal) atau 1.5
mg/kgBB/hari secara alternating (selang seling), 1 kali sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penih, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid

 Pengobatan SN relaps
Pada SN relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilannjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali  ++ tetapi tanpa edema,

sebelum pemberian prednison, dicari terlabih dahulu pemicunya, biasanya


infeksi saluran napas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak peru diberikan pengobaan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria  ++ disertai edema, maka
diagnosis relaps dapat ditegakkan dan prednison mulai diberikan.6

 Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid, antara
lain:6
1. Steroid jangka panjang
Setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan denan steroid dosis
1.5 mg/kgBB secara alternating. Kemudian dosis ini diturunkan bertahap 1.2
mg/kgBB setiap 2 minggu. Penurunan dosis dilakukan sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0.1-0.5 mg/kgBB alternating.
Dosis ini disebut dosis treshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,
kemudian coba dihentikan. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0.1-
0.5 mg/kgBB alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1
mg/kgBB dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi.
Setelah remisi, prednison diturunkan menjadi 0.8 mg/kgBB secara
alternating, kemudian diturunkan 0.2 mg/kgBB setiap 2 minggu.
Bila relaps terjadi pada dosis predniosn rumat > 0.5 mg/kgBB, alternating,
tetapi < 1 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamison selang sehari 2.5 mg/kgBB selama 4-12
bulan, atau langsung dibeikan siklofosfamid (CPA)

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent, debrikan dengan
dosis 2.5 mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari selama 4-12 bulan. Efek
samping lavimisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vaskulitic rash,
neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. CPA dapat diberikan secara
oral atau intravena dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal maupun
secara puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB yang dilarutkan dalam 250 ml
NaCl 0.9% diberikan selama 2 jam. Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis, hemoragik, azospermia dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0.2-0.3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.

4. Siklosporin atau mikofenolat mofetil (pilihan terakhir)


Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin (CyA) dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hari. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan biasanya akan relaps
kembali.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan mikofenolat mofetil (MMF) dengan dosis 25-30 mg/kgBB
bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12-24 bulan.

 Pengobatan SN resisten steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi karena dapat mempengaruhi
prognosis. Obat-obat yang dapat diberikan pada SNRS antara lain CPA, CyA,
metilprednisolon puls, imunosupresif lain seperti vinkristin, takrolimus dan
MMF. Namun karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak
dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belium direkomendasikan di
Indonesia

Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi bacterial
(pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan
antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian immunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti
campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan
kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa)
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit
lemak.

3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
 Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom
nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium
glukonas 50mg/kgBB intravena.

4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama
dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal
kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.

Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal. Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan
sebagai berikut :

 Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun
 Disertai hipertensi
 Disertai hematuria
 Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
 Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
 Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.
ANALISIS KASUS

1. Anamnesis
Os, jenis kelamin laki-laki datang dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh (oedem anasarka) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
dan bengkak diawali dari wajah diikuti badan, tangan dan kaki.
Bengkak/oedem yang dialami pasien disebabkan karena adanya ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial akibat dari penurunan tekanan osmotik yang
berhubungan dengan terjadinya proteinuria masif (albumin), di mana albumin
merupakan protein yang berperan dalam menjaga cairan untuk tetap berada di
dalam vaskular. Selain itu os juga mengaku bahwa mata sering bengkak saat
bangun tidur dan menghilang dengan sendirinya seiring beraktifitas. Bengkak
pada mata ini disebabkan karena jaringan pada palpebra merupakan jairngan
ikat longgar sehingga oedem mudah terjadi di daerah ini, hilangnya oedem
berkaitan dengan gaya gravitasi. Menurut epidemiologi jenis kelamin laki-laki
memiliki angka kejadian sindrom nefrotik lebih banyak dengan perbandingan
2:1.
Oligouria didasari oleh penurunan volume intravaskular yang akan
menyebabkan penurunan perfusi ginjal sehingga menstimulasi pelepasan
hormon antidiuretik (ADH) yang akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus
kolektivus dan teraktivasinya sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Ginjal akan melepaskan renin dalam jumlah yang banyak, renin bekerja
sebagai enzim yang mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I dan
kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme
(ACE). Angiotensin II akan merangsang korteks adrenal untuk sekresi
hormon aldosteron yang akan memberikan efek peningkatan reabsorpsi Na+.
Selain itu angiotensin II juga akan meningkatkan rasa haus (meningkatkan
asupan cairan), menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan merangsang hormon
vasopressin yang akan meningkatkan retensi H2O.1

2. Pemeriksaan fisik
Oedem pada extremitas disertai dengan pitting oedem menunjukan
adanya perpindahan cairan ke interstitial.

3. Pemeriksaan Penunjang
Hipoalbuminemia (1.1 g/dL) disebabkan oleh hilangnya albumin melalui
urin di mana pada pasien ini terjadi proteuria masif (positif 3). Kebocoran
albumin pada urin dengan jumlah yang banyak dikarenakan adanya kerusakan
glomerulus akibat kehilangan muatan negatif pada glikoprotein membran
basal yang berfungsi untuk mempertahankan agar protein plasma (albumin)
tidak melalui proses filtrasi.sherwood Hipoalbuminemia akan menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari
intravaskular ke ruang interstitial. Kondisi hipoalbuminemia berkaitan dengan
hipoproteinemia, pada pasien ini didapatkan kadar protein total menurun
(3.38 g/dL). Selain karena kebocoran ginjal, terdapat faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia, diantaranya penurunan sintesis,
peningkatan katabolisme serta peningkatan kehilangan melalui saluran
cerna.2,3,4 Pada kondisi hipoalbunemia sintesis albumin di hepar akan
meningkat termasuk pada SN (dan anak dengan hipoalbuminemia dengan
penyebab non hepatik lainnya) namun kapasitas peningkatan sintesis hati
terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan
albumin yang abnormal.4 Proteinuria merupakan dasar kelainan pada
sindrom nefrotik, dari hasil urinalisa pasien ditemukan proteinuria +1 yang
disebabkan kebocoran glomerulus. Adanya Proteiuria merupakan salah satu
indikator utama diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria pada penyakit ginjal
kronis merupakan tanda penting kerusakan ginjal. Proteinuria berperan dalam
penurunan fungsi ginjal karena protein yang melintasi dinding kapiler
glomerulus berdampak toksik sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan
dengan peran berbagai sitokin dan akan menyebabkan kerusakan ginjal lebih
lanjut

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus tatalaksana sindrom nefrotik


idiopatik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012.
2. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 3. Jakarta: EGC; 2012.
3. Nelson. Esensi Pediatri Edisi 4. Jakarta: EGC; 2010.
4. Kendall, Tao. Sinopsis Organ System Ginjal. Jakarta: Karisma Publishing
Group. 2013.
5. Harrison. Nefrologi. Jakarta: Karisma Publishing Group; 2013.

Anda mungkin juga menyukai