SINDROM NEFROTIK
Disusun Oleh :
Sixtus Reza Tandisau
112020011
Pembimbing :
dr. Ivan Riyanto Widjaja. Sp.A (K)
1. Identitas Pasien
Inisial Pasien : An. AF
Tanggal Lahir (umur) : (12 tahun 10 bulan )
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Pemadam Kebakaran Cilincing
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
5. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi pertama :-
Psikomotor
o Tengkurap : 3 bulan
o Duduk : 5 bulan
o Berdiri : 11 bulan
o Berbicara : 12 bulan
o Membaca dan menulis: 4 tahun
6. Riwayat Imunisasi
Hepatitis B 4x usia 0, 2, 3, 4 bulan
Polio 3x usia 2, 3, 4 bulan
BCG 1x usia 2 bulan
DPT 3x usia 2, 3, 4 bulan
7. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda Vital :
o Frekuensi nadi : 88x/menit
o Tekanan darah : 106/69
o Frekuensi nafas : 26x/menit
o Suhu tubuh : 36,2 ̊c
Data Antropometri :
o Berat Badan : 39 kg
o Tinggi Badan : 150 cm
o Lingkar Kepala : 54 cm
o Lingkar Dada :-
o Lingkar Lengan Atas :
IMT = 39/(1.50)2 = 17.33
Kurva CDC Boys
TB/U = 150/155 x 100% = 96,77%
BB/U = 39/44 x 100% = 88,6%
IMT/U = 17.33/18.4 x 100% = 94.2%
BB/TB = 39/45 x 100% = 86.66%
Kesan : Gizi anak baik
8. Pemeriksaan Sistematis
Kepala
Bentuk dan ukuran : Bulat
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
Wajah : tampak Oedem
Mata : Simetris, pupil bulat isokor, CA -/-, SI
-/- tampak Oedem
Telinga : Normotia, sekret -/-, tidak ada
gangguan pendengaran
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-),
nafas cuping hidung (-)
Bibir : Mukosa bibir kering, sianosis (-)
Gigi-geligi : Gigi tidak ada yang berlubang
Mulut : Simetris, langit-langit normal
Lidah : Bentuk normal, lidah kotor (-)
Tonsil : Sulit dinilai
Faring : Sulit dinilai
Leher : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar
getah bening
Toraks
Dinding toraks: Bentuk simetris kanan dan kiri. Tidak tampak adanya
lesi, sikatriks atau bekas operasi
Paru :
Inspeksi : Pergerakan dada saat pernafasan simetris,
tidak ada bagian yang tertinggal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Supel, lesi (-), benjolan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran organ (-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltic
Anus dan rectum : tidak dilakukan
Genitalia : tidak dilakukan
Anggota gerak : Akral hangat, Oedem (+), pitting oedem (+)
deformitas (-)
Tulang belakang : Tidak ada kelainan
Kulit : Warna kulit sawo matang, kulit lembab, kulit
normal
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, kuat angkat
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB
Pemeriksaan neurologis : Tidak dilakukan
9. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 13/05/2022
MCV 79 76-90
MCH 26 25-31
MCHC 33 32-36
Hitung Jenis
NLR 2.58
ALC 1449
Kimia Klinik
Protein total 6.70 6.30 – 8.60
Albumin 2.80 3.80 – 5.40
Kalium 3.48 3.5-5.0
Ureum 44.9 16.6 – 48.5
Kreatinin 0.55 0.33 – 0.64
Urin Lengkap
Immunologi
13. Penatalaksanaan
Tirah baring
Nutrisi: diet protein 1.5-2 gr/kgBB/hari 78mg/hari
Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun. Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak
per tahun.
Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Klasifikasi
Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein
dalam dinding kapiler. Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh
membran basal glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya protein
terganggu. Mekanisme penghalang tersebut berkerja berdasarkan ukuran molekul dan
muatan listrik. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin
dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak
akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. Pada
sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada umumnya, edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dL. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologis tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik
atau osmotik intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus ke ruangan
interstisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke
ruang interstisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. Selain
edema
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-
aldosteron (RAAS) yang akan meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume intravaskular yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus
distal dan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi
air dalam duktus kolektivus, sehingga terjadi retensi natrium dan retensi air.
Karena pengeluaran albumin dalam jumlah banyak di urin maka akan terjadi
hipoalbuminemia yang akan mengakibatkan peningkatan sintesis lipoprotein di hepar
sehingga akan menyebabkan hiperlipoproteinemia
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan
dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian
menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya terjadi
disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai
gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari kehari.
Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan
edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi
dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema
adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis,
dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau rendah,
namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara,
terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat.
Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi aldosteron, dan
vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (International
Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik
perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah
splanchnik atau akibat peritonitis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA
Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:6
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Diet
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiper
ltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan
terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.6
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik
lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang.6
Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
Terapi inisial
Pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah prednison 60 mg/m2 LBP/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilannjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LBP/hari (2/3 dosis awal) atau 1.5
mg/kgBB/hari secara alternating (selang seling), 1 kali sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penih, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid
Pengobatan SN relaps
Pada SN relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilannjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent, debrikan dengan
dosis 2.5 mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari selama 4-12 bulan. Efek
samping lavimisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vaskulitic rash,
neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. CPA dapat diberikan secara
oral atau intravena dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal maupun
secara puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB yang dilarutkan dalam 250 ml
NaCl 0.9% diberikan selama 2 jam. Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis, hemoragik, azospermia dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0.2-0.3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.
Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi bacterial
(pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan
antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian immunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti
campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan
kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa)
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit
lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom
nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium
glukonas 50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama
dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal
kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal. Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan
sebagai berikut :
Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun
Disertai hipertensi
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.
ANALISIS KASUS
1. Anamnesis
Os, jenis kelamin laki-laki datang dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh (oedem anasarka) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
dan bengkak diawali dari wajah diikuti badan, tangan dan kaki.
Bengkak/oedem yang dialami pasien disebabkan karena adanya ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial akibat dari penurunan tekanan osmotik yang
berhubungan dengan terjadinya proteinuria masif (albumin), di mana albumin
merupakan protein yang berperan dalam menjaga cairan untuk tetap berada di
dalam vaskular. Selain itu os juga mengaku bahwa mata sering bengkak saat
bangun tidur dan menghilang dengan sendirinya seiring beraktifitas. Bengkak
pada mata ini disebabkan karena jaringan pada palpebra merupakan jairngan
ikat longgar sehingga oedem mudah terjadi di daerah ini, hilangnya oedem
berkaitan dengan gaya gravitasi. Menurut epidemiologi jenis kelamin laki-laki
memiliki angka kejadian sindrom nefrotik lebih banyak dengan perbandingan
2:1.
Oligouria didasari oleh penurunan volume intravaskular yang akan
menyebabkan penurunan perfusi ginjal sehingga menstimulasi pelepasan
hormon antidiuretik (ADH) yang akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus
kolektivus dan teraktivasinya sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Ginjal akan melepaskan renin dalam jumlah yang banyak, renin bekerja
sebagai enzim yang mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I dan
kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme
(ACE). Angiotensin II akan merangsang korteks adrenal untuk sekresi
hormon aldosteron yang akan memberikan efek peningkatan reabsorpsi Na+.
Selain itu angiotensin II juga akan meningkatkan rasa haus (meningkatkan
asupan cairan), menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan merangsang hormon
vasopressin yang akan meningkatkan retensi H2O.1
2. Pemeriksaan fisik
Oedem pada extremitas disertai dengan pitting oedem menunjukan
adanya perpindahan cairan ke interstitial.
3. Pemeriksaan Penunjang
Hipoalbuminemia (1.1 g/dL) disebabkan oleh hilangnya albumin melalui
urin di mana pada pasien ini terjadi proteuria masif (positif 3). Kebocoran
albumin pada urin dengan jumlah yang banyak dikarenakan adanya kerusakan
glomerulus akibat kehilangan muatan negatif pada glikoprotein membran
basal yang berfungsi untuk mempertahankan agar protein plasma (albumin)
tidak melalui proses filtrasi.sherwood Hipoalbuminemia akan menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari
intravaskular ke ruang interstitial. Kondisi hipoalbuminemia berkaitan dengan
hipoproteinemia, pada pasien ini didapatkan kadar protein total menurun
(3.38 g/dL). Selain karena kebocoran ginjal, terdapat faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia, diantaranya penurunan sintesis,
peningkatan katabolisme serta peningkatan kehilangan melalui saluran
cerna.2,3,4 Pada kondisi hipoalbunemia sintesis albumin di hepar akan
meningkat termasuk pada SN (dan anak dengan hipoalbuminemia dengan
penyebab non hepatik lainnya) namun kapasitas peningkatan sintesis hati
terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan
albumin yang abnormal.4 Proteinuria merupakan dasar kelainan pada
sindrom nefrotik, dari hasil urinalisa pasien ditemukan proteinuria +1 yang
disebabkan kebocoran glomerulus. Adanya Proteiuria merupakan salah satu
indikator utama diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria pada penyakit ginjal
kronis merupakan tanda penting kerusakan ginjal. Proteinuria berperan dalam
penurunan fungsi ginjal karena protein yang melintasi dinding kapiler
glomerulus berdampak toksik sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan
dengan peran berbagai sitokin dan akan menyebabkan kerusakan ginjal lebih
lanjut
DAFTAR PUSTAKA