Program Studi Sarjana Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai Masalah Penyakit Infeksi Cacing di Indonesia ➢ Laporan kesehatan nasional menunjukkan bahwa penyakit-penyakit parasit yang terkait erat hubungannya dengan lingkungan hidup, masih menunjukkan frekuensi yang sangat tinggi di berbagai daerah. ➢ Salah satu di antaranya adalah penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths) seperti infeksi cacing perut (askariasis), infeksi cacing cambuk (trikuriasis) dan infeksi cacing tambang. ➢ Penelitian-penelitian di Indonesia, misalnya dengan melakukan pemeriksaan tinja pada penduduk, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa menunjukkan angka-angka infeksi cacing yang masih tinggi. Penyakit Infeksi Cacing I. Angiostrongiliasis II. Ankilostomiasis dan nekatoriasis III. Askariasis IV. Enterobiosis V. Filariasis VI. Hidatidosis VII. Larva migran VIII.Sistiserkosis IX. Skistosomiasis japonicum X. Strongyloidiasis XI. Taeniasis XII. Trikinosis XIII.Trikuriasis Filariasis/Penyakit Kaki Gajah
• Disebabkan oleh tiga spesies cacing
filaria, yaitu Brugia malayi, Wuchereria bancrofti dan Brugia timori • Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, Gambar 1. Mikrofilaria sedangkan larva cacing Wuchereria bancrofti (mikrofilaria) dijumpai di dalam darah tepi penderita. • B. timori belum banyak diketahui morfologi, sifat biologi, maupun epidemiologi penyakitnya. Penyebaran Filariasis
• Hospes definitif filaria umumnya adalah manusia, kecuali
Brugia malayi yang merupakan parasit zoonotik yang dapat hidup pada beberapa jenis hewan mamalia • Filariasisditularkan oleh berbagai spesies nyamuk, dan sesuai dengan terdapatnya mikrofilaria di dalam darah tepi, dikenal periodik nocturnal, subperiodik diurnal dan subperiodik nocturnal. Wuchereria Bancrofti
• Cacing dewasa menimbulkan filariasis bancrofti, sedangkan larva
cacing (mikrofilaria) dapat menimbulkan occult filariasis
• Cacing dewasa hidup di dalam saluran limfe dan kelenjar limfe
manusia. Tidak ada hewan yang bertindak sebagai reservoir host cacing ini.
• Cacing dewasa berbentuk seperti rambut, berwarna putih susu.
Cacing jantan panjang tubuhnya sekitar 4 cm, mempunyai ekor melengkung yang dilengkapi dua spikulum yang tidak sama panjang. Cacing betina berukuran sekitar 10 cm, mempunyai ekor yang runcing bentuknya. Penyebaran Filariasis Bancrofti • Cacing ini tidak termasuk parasit zoonosis dan manusia merupakan satu-satunya hospes definitif W.bancrofti. Nyamuk yang dapat bertindak sebagai vektor penularnya adalah genus Culex, Aedes dan Anopheles • Jika mikrofilaria yang beredar di dalam darah penderita terhisap oleh nyamuk, di dalam tubuh nyamuk dalam waktu 10 sampai 20 hari larva berkembang menjadi stadium larva stadium tiga yang infektif (L3) • Jika nyamuk menggigit manusia lainnya akan memindahkan larva L3 yang secara aktif akan masuk ke saluran limfe lipat paha, skrotum atau saluran limfe perut, dan hidup di tempat tersebut • Cacing dewasa betina yang berumur lima sampai 18 bulan telah matang seksual dan sesudah mengadakan kopulasi dengan cacing jantan dapat mulai melahirkan mikrofilaria, yang segera memasuki sistem sirkulasi perifer Gejala Klinis Filariasis Bancrofti • Cacing dewasa dapat menimbulkan limfangitis akibat terjadinya iritasi mekanik dan sekresi toksik yang dikeluarkan cacing betina • Cacing yang mati selain menimbulkan limfangitis juga dapat menimbulkan obstruksi limfatik akibat terjadinya fibrosis saluran limfe dan proliferasi endotel saluran limfe • Obstruksi ini menyebabkan terjadinya varises saluran limfe dan elefantiasis dan hidrokel • Elefantiasis yang kronis dapat mengenai kedua lengan, tungkai, payudara, buah zakar atau vulva, yang hanya diperbaiki melalui tindakan operasi. • Kiluria, urin menjadi berwarna putih susu dan mengandung lemak, albumin dan fibrinogen, terkadang juga mengandung mikrofili Diagnosis Filariasis Bancrofti
• Fase awal : mengalami limfangitis akut dengan gejala saluran limfe
yang dapat diraba, bengkak dan berwarna merah, serta terasa nyeri • Gejala selanjutnya : terkait dengan terjadinya limfadenitis, orkitis, funikulitis dan abses. • Apabila terjadi obstruksi saluran limfe, maka dapat menimbulkan manifestasi berupa varises limfe, hidrokel, kiluria, limfskrotum dan elefantiasis • Mikrofilaria tidak dapat ditemukan pada awal dari manifestasi klinik, sesudah terjadinya limfangitis akibat matinya cacing dewasa dan jika telah terjadi elefantiasis akibat obstruksi limfatik. Pada biopsi kelenjar limfe kadang-kadang dapat ditemukan cacing dewasa. Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia antara 5% - 15%. Pengobatan Filariasis Bancrofti
• Obat yang pada saat ini banyak digunakan untuk filariasis
bancrofti adalah Dietilkarbamasin sitrat (DEC) dengan dosis 3x2mg/kg berat badan/hari, selama 4 minggu. • Pemberian DEC hanya ditujukan untuk mengobati tahap mikrofilaria, tahap filariasis akut, untuk mengobati kiluria, limfedema , dan tahap awal elefantiasis. • Apabila telah terjadi hidrokel atau elefantiasis yang lanjut, penanganan filariasis hanya dapat dilakukan melalui pembedahan Pencegahan Filariasis Bancrofti
• Prinsip pencegahan filariasis adalah melakukan pengobatan
masal pada penduduk yang hidup di daerah endemik filariasis, pengobatan pencegahan terhadap pendatang yang berasal dari daerah non endemik filariasis, dan memberantas nyamuk yang menjadi vektor penularnya sesuai dengan daerah targetnya. • Memperbaiki lingkungan agar bebas vektor serta mencegah gigitan nyamuk menggunakan repellent atau kelambu waktu tidur, meningkatkan upaya pencegahan penyebaran penyakit ini. Brugia Malayi dan B. Timori
• Di Indonesia terdapat dua spesies Brugia, yaitu Brugia
malayi dan Brugia timori yang menimbulkan filariasis brugia, filariasis malayi, atau filariasis timori • Brugia malayi tersebar di Asia, mulai dari India, Asia Tenggara, sampai ke Jepang. Brugia timori hanya dijumpai di Indonesia bagian Timur, yaitu di Nusa Tenggara Timur Penyebaran Brugiasis
• Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh
limfe, sedangkan mikrofilaria dijumpai di dalam darah tepi hospes definitif • Ciri khas mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W.bancrofti • Pada Brugia yang zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat bertindak selaku hospes definitifnya • Nyamuk yang dapat menjadi vektor penularnya adalah Anopheles (vektor brugiasis non zoonotik) atau Mansonia ( vektor brugiasis zoonotik) Diagnosis Brugiasis
• Berbeda dengan filariasis bancrofti, limfadenitis pada
brugiasis malayi yang terjadi pada satu kelenjar inguinal dapat menjalar ke bawah (limfangitis retrograd). Selain itu limfadenitis dapat menjadi ulkus yang jika sembuh akan meninggalkan jaringan parut yang khas • Elefantiasis pada brugiasis malayi hanya mengenai tungkai bawah yang terletak di bawah lutut. Hanya kadang-kadang terjadi di lengan bawah di bawah siku. Pada penyakit ini juga tidak pernah terjadi limfangitis dan elefantiasis pada alat kelamin dan payudara. Kiluria juga belum pernah dilaporkan Pengobatan dan Pencegahan Brugiasis
DEC yang merupakan obat pilihan untuk brugiasis, dapat
diberikan dengan dosis lebih rendah, yaitu 3x 0.3-2 mg/kg berat badan/hari, namun diberikan lebih lama yaitu selama 3 minggu.
Tindakan pencegahan brugiasis sesuai dengan upaya
pencegahan pada filariasis bancrofti, yaitu pengobatan penderita, pengobatan masal penduduk di daerah endemik, pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular filariasis malayi. Sistiserkosis
• Sistiserkosisadalah infeksi pada manusia oleh larva
Taenia solium (cysticercus cellulosae). Larva sistiserkus dapat ditemukan pada berbagai jaringan atau organ • Manusia terinfeksi cysticercus cellulosae jika manusia tertelan telur Taenia solium, misalnya bersama makanan yang tercemar tinja penderita taeniasis solium, melalui tangan kotor penderita. • Sistiserkosis dapat juga terjadi secara autoinfeksi karena tertelan muntahan dari isi lambung penderita sendiri yang berisi telur cacing akibat terjadinya peristaltik balik Patogenesis dan Gejala Klinis • Sistiserkus terutama dijumpai di dalam jaringan otak dan otot bergaris, menimbulkan reaksi pembentukan jaringan ikat yang membungkus larva diikuti pembentukan cairan kista • Larva dalam kista dapat hidup sampai 5 tahun. Larva dalam kista yang mati akan mengalami kalsifikasi • Sistiserkosis otak (cerebral cysticercosis) dapat menyebabkan gangguan motorik, sensorik maupun mental, tergantung pada tempat kerusakan di otak sehingga menimbulkan gejala tumor otak, meningitis, ensefalitis, dan lain sebagainya • Gangguan di dalam mata dapat menimbulkan nyeri bola mata, gangguan penglihatan, dan bahkan kebutaan. Sistiserkosis pada otot jantung dapat menimbulkan takikardi, sesak napas, sinkop dan gangguan irama jantung Diagnosis Sistiserkosis • Bila terjadi epilepsi atau gejala neurologik yang disertai riwayat adanya nodul subkutan pada penderita yang hidup di daerah endemik taeniasis solium, waspadai kemungkinan terjadinya sistiserkosis serebral. • Biopsi nodul dapat menentukan diagnosis, sedangkan pemeriksaan radiologi hanya dapat dilakukan jika telah terjadi kalsifikasi kista • Kelainan mata dapat diperiksa dengan oftalmoskop, sedangkan pemeriksaan serologi (uji fiksasi- komplemen, hemaglutinasi, dan tes intrakutan) dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis sistiserkosis. Schistosoma Japonicum
• Cacing Schistosoma adalah trematoda yang tidak
hermafrodit. • Cacing Schistosoma japonicum endemis di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. • Cacing ini hidup di dalam vena porta intrahepatik, vena mesenterika ileosekal dan didalam pleksus vena hemoroidalis. Cara Penularan Skistosomiasis • Infeksi pada manusia terjadi dengan masuknya serkaria yang terdapat di dalam air secara aktif menembus kulit yang tak terlindung. • Melalui aliran darah aferen, serkaria mencapai jantung dan paru, kembali ke jantung kiri, masuk ke sistem sirkulasi sistemik, ke cabang-cabang vena porta, akhirnya sampai di hati • Sesudah dewasa, cacing kembali ke vena porta, vena usus, atau vena kandung kemih tergantung spesies cacing • Cacing schistosoma termasuk parasit zoonosis. Selain manusia, berbagai jenis hewan dapat bertindak selaku hospes definitif. Berbagai hewan domestik bertindak selaku hospes definitif S.japonicum yaitu anjing, kucing, sapi, babi dan tikus, sedangkan siput Oncomelania bertindak selaku hospes perantara S. japonicum Gejala Klinis Skistosomiasis Japonikum • Perubahan patologis pada penderita dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa, serkaria maupun telur cacing. • Pada masa inkubasi biologik, yaitu antara waktu masuknya serkaria menembus kulit sampai saat terjadinya cacing dewasa, terjadi kelainan kulit dan gatal-gatal, disertai keradangan akut pada hati • Stadium akut yang terjadi akibat terbentuknya telur cacing, menimbulkan kerusakan jaringan, perdarahan, pembentukan pseudoabses, pseudotuberkel dan pembentukan jaringan ikat. Penderita juga mengalami demam dan diare • Stadium kronik (menahun) terjadi berupa penyembuhan jaringan, pembentukan fibrosis, disertai pengecilan hati akibat telah terjadinya sirosis, timbul pembesaran limpa, asites dan ikterus. Juga terjadi hipertensi portal Diagnosis Skistosomiasis
• Diagnosis pasti skistosomiasis ditegakkan dengan
ditemukannya telur S.japonicum yang spesifik bentuknya pada pemeriksaan tinja atau pada biopsi rektum • Pemeriksaan serologi misalnya ELISA, uji fiksasi komplemen, uji hemaglutinasi tidak langsung, uji antibodi fluorsesn dan tes kepekaan kulit membantu menegakkan diagnosis skistosomiasis japonikum Pengobatan Skistosomiasis.
• Prazikuantel merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk
mengobati skistosomiasis Japonicum dengan dosis tunggal sebesar 60 mg per kg berat badan. • Obat-obat lain, misalnya tartar emetik, ambilhar, fuadin, dan antimon dimerkaptosuksinat, hasilnya tidak sebaik prazikuantel Taeniasis
• Taeniasis pada manusia disebabkan oleh cacing pita babi
dewasa (Taenia solium) dan cacing pita sapi (Taenia saginata). • Nama Umum. Cacing pita babi. Cacing dewasa hidup di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi. • Telur Taenia solium tidak dapat dibedakan dari telur Taenia saginata. Telur bulat bentuknya, berwarna coklat, berukuran garis tengah 30-45 mikron dengan dinding tebal bergaris- garis radial • Cacing dewasa berukuran panjang antara 2 sampai 3 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya Cara Infeksi Taeniasis Solium
• Cacing ini termasuk parasit zoonosis, yang dapat ditularkan
dari hewan ke manusia dan sebaliknya • Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung larva sistiserkus. • Dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. • Dalam waktu 2-3 bulan, cacing telah dewasa yang mampu memproduksi telur Gejala Klinis Taeniasis Solium
• Keluhan penderita umumnya ringan, berupa rasa tidak
enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala dan anemia • Diagnosis pasti taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada pemeriksaan daerah perianal. • Telur cacing yang ditemukan tidak dapat menentukan spesies cacing karena sama bentuknya dengan telur Taenia saginata. Pengobatan dan Pencegahan Taeniasis Solium • Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil jika ditemukan skoleks cacing di dalam tinja sesudah pengobatan. Obat- obatan yang bisa digunakan antara lain adalah mebendaxzol, albendazol atau atabrin.: • Pencegahan dilakukan sebagai berikut : 1. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing. 2. Pengawasan daging babi yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus). 3. Memasak daging babi sampai di atas 500 Celcius selama 30 menit, untuk membunuh kista larva cacing. 4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan babi Penularan Taeniasis Saginata
• Seperti cacing pita babi, hospes definitif Taenia saginata
adalah manusia, tetapi yang bertindak sebagai hospes perantara adalah sapi atau kerbau. Infeksi pada manusia terjadi jika makan daging sapi atau kerbau yang masih mentah atau kurang matang Gejala Klinis dan Diagnosis Taeniasis Saginata
• Kelainan patologis tidak jelas, namun dapat timbul
keluhan ringan berupa rasa tidak enak perut, mual, muntah dan diare. Kadang-kadang terjadi obstruksi usus oleh banyaknya cacing, sehingga timbul gejala ileus. Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia ringan. • Diagnosis pasti taeniasis ditetapkan jika ditemukan cacing dewasa, segmen, skoleks, atau telur cacing di dalam tinja penderita. Bentuk skoleks dan segmen yang khas menentukan diagnosis taeniasis saginata. Pengobatan dan Pencegahan Taeniasis Saginata
• Obat-obatan untuk taeniasis solium dapat digunakan
untuk mengobati taeniasis saginata. • Pencegahan taeniasis saginata dilakukan dengan mengobati penderita, mengawasi daging sapi atau daging kerbau yang dijual, memasak daging dengan baik, dan menjaga kebersihan makanan sapi agar tidak tercemar tinja manusia