Anda di halaman 1dari 9

I.

DEFINISI RAJUNGAN
Rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea yang memiliki
tubuh beruas-ruas. Klasifikasi rajungan (Portunus pelagicus) menurut
Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus

Gambar 1. Rajungan Jantan dan Rajungan Betina (Sumber : Sunarto


2011)
Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan
dengan abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat
mencapai ukuran 18,5 cm. Abdomennya berbentuk segitiga
(meruncing pada jantan dan melebar pada betina), tereduksi dan
melipat ke sisi ventral karapas. Kedua sisi muka karapas terdapat 9
buah duri yang disebut sebagai duri marginal. Duri marginal pertama
berukuran lebih besar daripada ketujuh duri belakangnya, sedangkan
duri marginal ke-9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri
terbesar. Kaki rajungan berjumlah 5 pasang, pasangan kaki pertama
berubah menjadi capit (cheliped) yang digunakan untuk memegang
serta memasukkan makanan ke dalam mulutnya, pasangan kaki ke-2
sampai ke-4 menjadi kaki jalan, sedangkan pasangan kaki jalan kelima
berfungsi sebagai pendayung atau alat renang, sehingga sering disebut
sebagai kepiting renang (swimming crab). Kaki renang pada rajungan
betina juga berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur
(Oemarjati dan Wisnu 1990).

II.

PROSES PENGOLAHAN RAJUNGAN KALENG

Pengolahan rajungan di kalangan masyarakat nelayan adalah


merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari proses kegiatan
pengalengan rajungan. Prinsip dasar pengolahan produk perikanan
adalah usaha untuk memanfaatkan produk perikanan sebaik-baiknya
agar dapat digunakan semaksimal mungkin (Hadiwiyoto dalam
Devananda 2007). Pengolahan bahan makanan dengan memanfaatkan
panas merupakan salah satu cara yang telah dikembangkan untuk
memperpanjang umur simpan bahan pangan dan menambah kelezatan
makanan. Proses pemanasan yang bertujuan untuk memperpanjang
umur simpan bahan pangan adalah pengukusan, pasteurisasi dan
sterilisasi ( Haris dalam Devananda 2007).\
Proses pengolahan meliputi penerimaan bahan baku, perebusan,
pendinginan, pengupasan, penyortiran, pengalengan, pengkodean,
pasteurisasi, pendinginan, pengemasan, penyimpanan dingin, stuffing.
II.1

Penerimaan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan adalah rajungan segar yang


diperoleh dari nelayan. Kebanyakan rajungan yang diperoleh
tersebut masih dalam kondisi hidup tanpa sortasi dan pencucian.
Rajungan segar tersebut diletakkan dalam keranjang-keranjang
plastik. Kemudian rajungan dicuci sampai bersih, sehingga
terhindar dari bahaya fisik seperti kerikil dan kotoran-kotoran lain
yang menempel, serta mengurangi jumlah bakteri alami pada
permukaaan tubuh rajungan. Seteleh itu, dilakukan sortasi pada
rajungan yang telah bersih, tetapi apabila rajungan hanya sedikit,
sortasi tidak dilakukan.
II.2

Perebusan Rajungan

Pengukusan atau perebusan adalah proses pemanasan yang


sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan,
pengeringan, pengalengan dan sebagainya (Poernomo dan Adiono
1987).
Perebusan rajungan bertujuan untuk mempermudah proses
pemisahan daging rajungan dengan cangkangnya (picking).
Picking dilakukan setelah rajungan matang yang sudah
didinginkan. Agar tekstur daging yang diperoleh bagus maka
dilakukan pendinginan terlebih dahulu. Indikator kematangan
rajungan bila daging pada kaki jalan mudah dicabut dan daging
tersebut memiliki tekstur yang empuk, padat dan kompak
(Sulistyawati 2000).
II.3

Pendinginan

Rajungan yang telah dimasak setelah pemidahan dari


tempat perebusan harus didinginkan pada temperatur ruang selama
1-2 jam. Jika rajungan tidak di kupas dalam waktu 12 jam maka
rajungan yang telah dimasak harus didinginkan pada suhu 0-5 C.
II.4

Pengupasan

Pada proses pengupasan sudah dilakukan pemisahan


berdasarkan klasifikasi jumbo, backfin special, claw meat, claw
figer. Daging rajungan dari hasil pengupasan sebaiknya sesegera
mungkin dalam waktu satu jam setelah pengupasan dikalengkan
kemudian disimpan dalam cool storage dengan suhu 0-3 C.
Menurut Philips Seafood dalam Mirzads (2008), daging rajungan
dapat digolongkan menjadi lima jenis daging, yaitu:
1. Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan
jaringan terbesar yang berhubungan dengan kaki renang.

Gambar 2. Jumbo lump (Sumber www.phillipsfoods.com)


2. Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan
pecahan dari daging jumbo.

Gambar 3. Backfin (Sumber www.phillipsfoods.com)

3. Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada di


sekitar badan yang berupa serpihan-serpihan.

Gambar 4. Special (Sumber www.phillipsfoods.com)


4. Claw meat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian
kaki sampai capit dari rajungan.
5. Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit
rajungan bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan.

Gambar 5. Claw meat


www.phillipsfoods.com)

II.5

dan

Claw

finger

Sumber

Penyortiran

Dalam penyortiran ada beberapa hal yang perlu


diperhatikan selain size/ukuran daging rajungan dan memilih
memisahan daging rajungan yang tidak layak untuk dikemas dalam
kaleng. Dalam sortir ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
selain size/ukuran yaitu: Penampilan warna, kesegaran daging,
konfirmasi atau kesegaran daging tidak pecah, daging padat dan
kenyal, perlemakan dan kotoran tidak banyak.
II.6

Pengalengan

Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam


wadah yang tertutup rapat dan diseterilkan dengan panas. Cara

pengawetan ini merupakan cara yang paling umum dilakukan


karena bebas dari kebusukan serta untuk mempertahankan nilai
gizi, citra rasa, dan daya tarik. Menurut Jupri dalam Devananda
(2007), Pada pengalengan rajungan menggunakan kaleng plat
timah yang merupakan pengemas berbahan logam. Plat timah (tin
plate) adalah bahan yang digunakan untuk membuat kemasan
kaleng, terdiri dari lembaran baja dengan pelapis timah. Plat timah
ini berupa lembaran atau gulungan baja berkarbon rendah dengan
ketebalan 0,15-0,5 mm dan kandungan timah putih berkisar antara
1,0-1,25% dari berat kaleng. Digunakan untuk produk yang
mengalami sterilisasi (Julianti dan Nurminah 2007). Urutan dalam
pengalengan yakni :
a. Pengisian daging dalam kaleng :
Daging yang telah mengalami pencampuran kemudian
dimasukkan ke dalam wadah kaleng tin plate . Sebelum
dilakukan pengisian, kaleng terlebih dahulu disortir dan dicuci
di gudang kemudian diberi larutan SAPP (sodium acid
pyrophosphate) yang berfungsi sebagai pencegah terbentuknya
warna biru (blueing) pada daging.
SAPP atau disodium pyrophosphate (Na2H2P2O7) dengan
berat molekul 221,94 g/mol merupakan bahan tambahan
pangan yang digunakan dalam proses pengalengan daging
rajungan. SAPP merupakan bahan tambahan pangan yang
berwujud bubuk berwarna putih, licin dan larut dalam air.
Pemakaian bahan tambahan ini merupakan bahan tambahan
pangan yang telah diizinkan pemakaiannya berdasarkan
peraturan Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang
Bahan Tambahan Pangan (Anonim, 2006 dalam Akhmadi
2006). SAPP memiliki dua fungsi sebagai bahan tambahan
pangan. Fungsi SAPP yang pertama sebagai sequestrant yaitu
phospat pada SAPP memiliki kemampuan untuk mengkelat
logam Cu dan Fe pada lapisan kaleng (Claus et. Al., 1994
dalam Akhmadi 2006). Kemampuan mengkelat ini dapat
mencegah terjadinya reaksi Cu dan Fe yang terdapat pada
lapisan kaleng dengan lemak pada daging rajungan. Cu dan Fe
yang terdapat pada lapisan kaleng dapat sebagai katalis
oksidasi lemak pada daging rajungan sehingga dapat
mengkompleks dan merubah warna daging menjadi biru atau
biasa disebut dengan blueing (Mar-Less, 2006 dalam Akhmadi
2006).

Fungsi SAPP yang kedua menurut Mar-Less (2006) dalam


Akhmadi (2006) yaitu mencegah terjadinya pembentukan
struvites. Struvites adalah rasa seperti berpasir yang terkadang
dapat dirasakan pada daging rajungan. Hal ini disebabkan oleh
komponen magnesium pada daging rajungan yang dapat
mengkristal. Kristal yang tebentuk disebabkan oleh perlakuan
panas yang tinggi pada saat proses pasteurisasi. SAPP dapat
mengkompleks magnesium dan mencegah terjadinya
pembentukan kristal-kristal yang menyebabkan struvites
(Anonim, 2006 dalam Akhmadi 2006).
Pada filling ini juga dilakukan penataan bentuk daging di
dalam kaleng supaya terlihat rapi dan menarik ketika konsumen
membuka kemasannya. Setelah daging tertata rapi lalu
ditambahkan larutan SAPP untuk kedua kalinya. Penambahan
larutan SAPP yang kedua ini dimaksudkan untuk meratakan
larutan tersebut ke seluruh isi kaleng. Jumlah SAPP yang
ditambahkan disesuaikan dengan permintaan buyer (tiap merek
produk memiliki jumlah SAPP yang berbeda-beda). Sebagai
contoh merek X menambahkan larutan SAPP sebelum dan
sesudah kaleng diisi daging sebanyak 5 ml sehingga jumlah
larutan SAPP yang ditambahkan sebanyak 10 ml. Jumlah SAPP
yang diizinkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.722/Menkes/Per/IX/88 untuk produk sardin dan sejenisnya
sebesar 5 gram/kg (Anonim 2001).
b. Penimbangan
Daging yang sudah dimasukkan dalam kaleng dilakukan
penimbangan akhir untuk mencapai berat produk.
Penimbangan akhir dilakukan untuk menentukan berat bersih
dari produk sebelum dilakukan penutupan kaleng dan
mencegah terjadinya overweight atau underweight pada produk
akhir yang dapat menimbulkan masalah economic fraud.
c. Penutupan kaleng
Penutupan kaleng dilakukan secara hermetis menggunakan
mesin double seamer. Kaleng yang telah diisi dengan daging
diberi tutup dengan label atau merek sesuai dengan jenis
dagingnya. Mutu dari produk juga sangat ditentukan oleh
efisiensi dari mesin seamer tersebut. Untuk menjaga efisiensi
dari mesin, maka setiap 1 jam diambil satu kaleng untuk
dilakukan pengecekan terhadap dimensi kaleng (seaming

teardown evaluation). Dimensi kaleng yang diukur yaitu tinggi


kaleng, lebar seam, ketebalan seam, counter sink, kait depan,
kait badan, bebas kerut dan overlap kaleng. Jika dimensi kaleng
tidak sesuai dengan standar dari perusahaan, maka dilakukan
penyetingan kembali mesin double seamer. Pengecekan dari
dimensi kaleng ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
kebocoran pada produk akibat seaming.
Proses penutupan kaleng termasuk CCP area, yaitu jika
terjadi penyimpangan seam yang tidak terdeteksi dapat
menyebabkan kebocoran kaleng berukuran mikroskopis dan
rekontaminasi pada produk (kerusakan makanan dalam
kaleng). Oleh karena itu, operator seaming melakukan
pemeriksaan secara visual pada tiap kaleng hasil seaming. Pada
kaleng yang mengalami seam vee, seam cut, seam drop
ataupun patah karena operasi alat seamer yang tidak baik,
dilakukan re-pack pada kaleng dan diganti menggunakan
kaleng yang baru untuk dilakukan seaming ulang.
II.7

Pengkodean

Pengkodean dilakukan setelah kaleng ditutup. Pemberian


kode dilakukan pada bagian bawah kaleng dengan menggunakan
mesin coding jet print. Tujuan dari pengkodean adalah untuk
mempermudah pelacakan atau recall produk jika terjadi masalah.
Dalam kode tersebut terdapat informasi kode perusahaan, jenis
daging, kode mixing, nomor basket, tanggal produksi (Julian date),
dan tahun produksi. Pemberian kode harus sesuai dengan kode
produksi yang berlangsung serta posisi kode yang tepat dan jelas.
Jika terjadi kesalahan pemberian kode maka hasil coding yang
salah dihapus menggunakan tinner dan dilakukan pemeriksaan
visual pada tiap kaleng.
II.8

Pasteurisasi

Proses pasteurisasi merupakan proses pemasakan daging


dalam kaleng pada suhu 80-850C selama 155 menit. Kaleng yang
telah ditutup dan diberi kode dimasukkan ke dalam basket untuk
selanjutnya dipasteurisasi. Tiap basket berisi 60-75 kaleng.
Pasteurisasi dilakukan pada bak pasteurisasi yang telah terisi air
bersih. Sumber panas pasteurisasi berasal dari uap panas yang
dihasilkan oleh boiler dan disalurkan dengan pipa khusus ke bak
pasteurisasi. Di dalam bak pasteurisasi juga dialiri gas yang
menimbulkan gelembung udara yang berasal dari kompresor dan

bertujuan untuk meratakan panas. Pasteurisasi dilakukan selama


155 menit pada suhu 84,4 85,5oC.
Selama proses pasteurisasi berlangsung, suhu air dan
produk dipantau secara terus menerus tiap 5 menit dengan
menggunakan temperature recorder, termometer manual, dan
sensor suhu. Hasil rekaman suhu digunakan untuk menentukan fvalue produk. Tiap merek produk memiliki kisaran f-value yang
berbeda-beda sesuai permintaan buyer (pembeli). Informasi f-value
ditentukan untuk mengetahui tingkat kematangan produk. Selain
suhu, waktu pasteurisasi juga menentukan mutu produk yang
dihasilkan yaitu daya simpan produk yang diinginkan.
II.9

Pendinginan

Proses pendinginan merupakan perlakuan thermal shock


pada produk dengan pendinginan pada suhu 0oC selama 2 jam
menggunakan air bersih yang ditambahkan es curai. Proses ini
dilakukan segera setelah produk diangkat dari bak pasteurisasi.
Pada tahap pendinginan juga dilakukan pemantauan secara berkala
terhadap suhu air dan produk menggunakan termometer manual
dan sensor suhu. Hasil rekaman suhu digunakan untuk menentukan
nilai f-value produk. F-value menunjukkan tingkat kematangan
produk dan tingkat keberhasilan proses pasteurisasi dan
pendinginan dalam kemampuan proses untuk mematikan
organisme target (bakteri pembentuk spora yang tahan panas).
Selama pendinginan, suhu dipertahankan pada kisaran 0 4 oC
selama 120 menit. Bak pendingin juga dialiri gas yang
menimbulkan gelembung udara yang berasal dari kompresor dan
bertujuan untuk meratakan suhu. Proses ini ditujukan untuk
membunuh bakteri thermofilik yang belum mati saat pasteurisasi.
2.10 Pengemasan
Proses pengemasan menggunakan master carton yang
dilapisi lilin yang dapat memuat 12 kaleng dengan suhu ruangan
berkisar antara 0oC- 4oC.
2.11 Penyimpanan Dingin
Produk yang telah dikemas dimasukan dalam chill storage
dengan suhu ruangan 0o2oC.
2.12 Stuffing

Stuffing merupakan proses pengangkutan produk akhir dari


chill storage ke container untuk ekspor. Stuffing dilakukan dengan
memperhatikan parameter suhu selama pengangkutan. Suhu
dipertahankan berkisar antara 0oC-7oC.

DAFTAR PUSTAKA
http://media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090050_2_6026.pdf. Diakses
pada 29 September 2015 pk.11.50.
Jurnal Kegiatan Praktek Lapang Mahasiswa atas nama Mirza D.S Jurusan S1
Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor di PT.Mina Global Mandiri, Purwakarta, Jawa Barat tahun 2008. Diakses
pada 29 September 2015 pk.12.00.

Anda mungkin juga menyukai