Anda di halaman 1dari 36

TUGAS AL ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN III

SEBAB-SEBAB PUTUSNYA PERNIKAHAN

OLEH:

KELOMPOK 4

ASTRI HANDAYANI (NRP. 122017058P)

NOLA DWIAYU ADINDA (NRP. 122017055P)

DESI ERISNA (NRP.

FAJAR WIYONO (NRP.

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2017

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sangat baik. Tak lupa kami selalu hanturkan salam dan shalawat kepada
baginda Rasulullah SAW beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman
yang tak henti-hentinya membawa kebenaran agama Islam ke seluruh penjuru
dunia.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak S.Q Fardinan, S.Ag.,
M.Si. yang telah mempercayai kami untuk menyusun makalah ini. Serta kepada
teman- teman yang berkat partisipasinya makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Makalah ini kami susun dengan sistematis sesuai sajian dengan bahasan
kami yaitu Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan. Kami mengulas tema makalah ini
dengan wawasan yang kami dapatkan dari berbagai buku dan sumber informasi
lainnya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan maupun keterbatasan sumber pengetahuan
kami. Oleh karena itu, saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini akan sangat
dinantikan. Akhir dari pengantar ini penulis berharap semoga dari makalah ini kita
dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Palembang, Oktober 2017

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang
bahagia, seperti yang diamanahkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Tujuan perkawinan adalah juga untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya
tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota
keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan
baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang
menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri
merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang
gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian.
Keberadaan institusi perkawinan menurut Hukum Islam dapat terancam oleh
berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria
maupun oleh wanita. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan,
terhentinya hubungan untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan
terputus untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka
lakukan. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari
orang-orang yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung
terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun isteri
meninggal dunia. Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami isteri yang
terpaksa harus putus ikatan perkawinannya di tengah jalan.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui sebab-sebab putusnya tali pernikahan.
2. Mengetahui hukum dari masing-masing sebab putusnya pernikahan.
3. Mengetahui akibat putuhnya pernikahan
4. Mengetahui syarat-syarat putusnya pernikahan.

1.3 Rumusan Masalah


Apa saja sebab-sebab putusnya pernikahan?
1. Bagaimana hukum dari masing-masing sebab putusnya pernikahan?
2. Bagaimana akibat dari putusnya pernikahan?
3. Bagaimana syarat-syarat putusnya pernikahan?

BAB II.
PEMBAHASAN

Sesungguhnya sunnatullah semua yang diciptakan berpasangan; pertemuan


dan perpisahan, juga pernikahan dan perceraian. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa hal yang menyebabkan putusnya pernkahan, seperti: kematian, nusyuz,
syiqaq, talak, khulu’, fasakh, zihar dan li’an.

2.1 Kematian
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, demikian pula jika ada kelahiran
tentu ada kematian. Sesuai dengan firman Allah:

‫ٱفلنمفو ئ‬
‫ت نذاَئئقنةك ننفف س‬
‫س ككلُل‬
Artinya: Setiap yang bernafas pasti akan mati. [ Ali Imran: 185]
Di dalam ayat lain Allah berfirman:
َ‫ستلأأخخرروُلن لل لجاَلء فلإ خلذا‬
‫ساَلعةة يل أ‬
‫ستلأقخدرموُلن لوُل ل‬
‫يل أ‬
Artinya: Apabila ajal mereka telah tiba, maka tidak dapat dimundurkan sesaat
pun dan tidak dapat dimajukan. [Al-A’raf: 34]
Suka atau tidak suka, apabila ajal sudah datang, maka perpisahan pasti akan
terjadi. Dengan kata lain, matinya salah seorang di antara suami-isteri adalah yang
menjadi penyebab perceraian. [ Yunus 1989:111]
Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka
disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera
melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu
masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.

2.2 Nusyuz
a. Pengertian
Arti kata nusyuz ialah membangkang. Menurut Slamet Abidin dan H.
Aminuddin, nusyuz berarti durhaka.Nusyuz ialah perbuatan seorang isteri yang
menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima menurut hukum
syara’, seperti; isteri meninggalkan rumah tanpa seizing suami. [Rasyid 2003:
398]. Firman Allah dalam Surah An Nisa’ ayat 34.
Artinya: Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. [An
Nisa’: 34]
b. Macam-Macam Nusyuz
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan
nusyuznya suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka
berbeda pula cara penyelesaiannya.
1. Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita
yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman
tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang
diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:

‫ضترفبوفهلن وفإتهن أووطهعونفكهم‬


‫جتع وواَ ه‬ ‫ظوفهلن وواَههفجفروفهلن تفيِ اَهلوم و‬
‫ضاَ ت‬ ‫شووزفهلن وفتع ف‬‫وواَلللتتيِ وتوخاَففوون فن ف‬
َ‫ا وكاَون وعلت يلياَ وكتبيلرا‬‫وفول وتهبفغواَ وعلوهيتهلن وستبيلل إتلن ل و‬

Artinya:“wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka


nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha tinggi
lagi Maha besar”.[3]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa
Allah tidak memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar
kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang
tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa
besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang
melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa
proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah betul-
betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman dalam ayat di atas, ini
disebabkan oleh perbedaan dalam memahami huruf waw ‘athaf. Apakah huruf
itu menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup
memberikan satu saja dari hukuman-hukuman kepada istrinya dan/atau
menetapkan keduannya, atau apakah huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat pendapat yang moderat, yaitu mengatakan
bahwa penggabungan huruf waw adalah penggabungan secara mutlak, tetapi
maksudnya penggabungan berdasarkan urutan. Ini dapat ditinjau dari
lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata: “penafsiran terbaik yang
pernah kudengar tentang ayat ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata
‘suami harus terlebih dahulu menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami
harus memisahkannya dari tempat tidurnya. Namun jika ia terus menolak,
suami harus memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk
seorang penengah itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu
muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya”.[4]
- Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika Istrinya Nusyuz
Dari ayat di atas, suami harus melakukan tindakan terhadap isteri yang
nusyuz itu dengan cara sebagi berikut:
a. Menasehati
Jika seorang istri menyeleweng, tidak taat kepadanya, menolak ketika
diajak ketempat tidur, atau keluar dari rumahnya tanpa seizin suaminya itu
merupakan kedurhakaan istri kepadanya, maka suami harus menasehati
istri berbagai kemungkinan baik dan buruknya dari tindakannya itu pada
saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan
kejengkelan.
Sebagai jalan pertama yaitu dengan cara mengingatkannya kepada
Allah, kewajiban kepada suami, dan hak-hak suami yang wajib
dilaksanakan dan menjauhkan pandangannya dari perbuatan dosa dan
prilaku durhaka. Selain itu, istri harus diingatkan bahwa ia akan
kehilangan hak mendapatkan nafkah, pakaian, dan hak ditinggalkan dari
tempat tidur sendirian bilamana ia tetap durhaka kepada suaminya
b. Pisah ranjang
Hal itu dilakukan dengan cara memisahkan diri dari tempat tidurnya
dari tempat tidur istri, dan memalingkan dan membelakanginya ataupun
dengan meninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah
SWT:
Artinya: “Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur”
Al-hajru maksudnya adalah perintah kepada suami untuk
meninggalkan istri didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Ini
dipahami dari kata hajr, yang berarti meninggalkan tempat atau keadaan
yang tidak baik atau tidak disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan
yang baik atau lebih baik.
Jika demikian, melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan
dua hal pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan atas sesuatu yang
buruk dan telah dilakukan oleh istrinya, dalam hal ini adalah nusyuz, dan
kedua, suami harus berusaha untuk meraih dibalik pelaksanaan perintah itu
sesuatu yang baik atau lebih baik dari keadaan semula.
Fi al-madhaji atau tempat pembaringan maksudnya adalah suami
hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan
kamar tempat tidur suami istri biasanya tidur. Kejauhan dari pasangan
yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar jurang
perselisihan, bahkan anak-anak dan anggota keluarga dirumah sekalipun.
Keberadaan dalam kamar membatasi perselisihan itu dan karena
keberadaan dalam kamar dalah untuk menunjukkan ketidaksenangan
suami atas kelakuan istri, yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan
ketidaksenangan suami itu
c. Memukul sewajarnya
Hadist yang diriwayatkan Abu Daud yang artinya: “Janganlah engkau
memukul wajahnya, janganlah mencacinya, dan janganlah menghajarnya,
kecuali di dalam rumah” (HR. Abu Daud no. 2142)

Tujuan dari memukul istri disini bukan untuk menyakitinya,


melainkan hanya untuk mendidik dan menyadarkannya dengan pukulan
yang halus tanpa menyakiti dan meninggalkan bekas luka pada tubuh.
Dan hendaknya suami tidak memukul wajah sebab wajah itu merupakan
pusat kecantikan seseorang perempuan.
Namun, yang dimaksud dari pemukulan ini hanyalah demi peringatan
atau pengajaran demi memperbaiki hubungan, bukan merusak ataupun
melampiaskan kebencian.
“Abu dawud meriwayatkan dari hakim bin mu’awiyah alqusyairi dan
ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai rasulullah, apa hak istri
terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan
ketika kamu makan, dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian
atau bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan menjelek-
jelekkan, dan janganlah mendiamkan kecuali dirumah”
Selain itu dalam hadis juga dijelaskan tentang kewajiban seorang istri
sebagai berikut:
Artinya: “Jika seorang suami mengajak istrinya keatas ranjangnya, tetapi
iya tidak mematuhinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai
pagi” No 5193
Hadis diatas mengandung makna yang mengharuskan wanita untuk
memenuhi ajakan suaminya bercampur. Karena sabda beliau, “ketempat
tidur” sebagai kinayah (kiasan) dari kata jimak’, sebagaimana yang
terkandung dalam sabda beliau, “anak itu untuk tempat tidur”. Dan dalil
yang mewajibkan hal tersebut adalah adanya laknat dari para malaikat
kepada wanita tersebut, karena pada malaikat itu tidak akan melaknat
kecuali atas perintah Allah dan tidak lain melainkan sebagai hukuman, dan
hukuman itu tidak akan pernah ada kecuali karena adanya pelanggaran
terhadap kewajiban.
Sedangkan sabda rasulullah “sehingga pagi hari tiba”, merupakan dalil
yang menunjukkan kewajiban istri memenuhi ajakan suami adalah pada
malam hari (bersenggama). Hadis ini termasuk golongan hadis marfu
yang mana tingkat kesohihannya dapat tipertanggung jawabkan.
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat yang ringan,
dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun yang lebih
utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa adanya pukulan.
d. Apabila berbagai upaya di atas tidak menghasilkan perdamaian, maka
tentulah lembaga pernikahan mereka akan berujung pada perceraian.
Nusyuz ini juga dapat terjadi dari pihak suami yang melalaikan
kewajibannya sebagai suami. Allah berfirman pada Surah An Nisa’ ayat
128.
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagikeduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi
(mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. [An Nisa’: 128]
2. Nusyuz Suami
Allah SWT berfirman:
َ‫صهللحا‬ ‫ضاَ وفول فجوناَوح وعلوهيتهوماَ أوهن في ه‬
‫صلتوحاَ وبهيونفهوماَ ف‬ ‫شولزاَ أوهو إتهعوراَ ل‬‫ت تمهن وبهعلتوهاَ فن ف‬ ‫ووإتتن اَهمورأوةة وخاَوف ه‬

‫س اَلصشلح ووإتهن فتهحتسفنواَ وووتلتفقواَ وفإتلن ل و‬


َ‫ا وكاَون تبوماَ وتهعومفلوون وختبيلرا‬ ‫ت اَهلوهنفف ف‬
‫ضور ت‬ ‫صهلفح وخهيةر ووأ فهح ت‬ ‫وواَل ص‬

Artinya: “Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya. dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun
manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan
istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”[16]
Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini telah mengatur
masalah nusyuz dari pihak istri dan prosedur yang ditempuh guna menjaga
keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang apabila nusyuz itu datang dari
pihak suami atau sikap cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat
mengancam keamanan dan kehormatan istri serta mengancam keselamatan
keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa berubah-ubah. Sedangkan Islam adalah
Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang dapat mengatur semua bagian
permasalahan yang ada dalam kehidupan. Adapun nusyuz dari pihak suami
yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya,
meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai beban
berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang
berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz
suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
a. Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri.
b. Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami.
c. Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan
kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai
dengan keadaan di rumah isteri.
d. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga.
e. Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
f. berbuat adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan
tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam
dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh
masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama
(KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 35 sebagai berikut:

‫اف‬ ‫خهففتهم تشوقاَوق وبهيتنتهوماَ وفاَهبوعفثواَ وحوكلماَ تمهن أوههلتته وووحوكلماَ تمهن أوههلتوهاَ إتهن فيتريوداَ إت ه‬
‫صوللحاَ فيووففتق ل‬ ‫ووإتهن ت‬
َ‫او وكاَون وعتليلماَ وختبيلرا‬ ‫وبهيونفهوماَ إتلن ل‬

Artinya:“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka


angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan maka istri berhak
memfasakh suaminya melalui jalur hukum.
c. Implikasi Hukum yang Ditimbulkan Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka
sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna
dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau
secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah.
Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang
nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib
memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.
Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim
pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami
belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.

2.3 Syiqaq
Tujuan awal pernikahan itu ialah untuk mewujudkan keluarga sakinah yang
mawaddah warahmah, tetapi tidak jarang gagal dalam mencapai tujuan itu, yang
bermula dari percekcokan atau perselisihan (syiqaq) di antara suami-isteri
akhirnya sampai kepada perceraian.
Allah berfirman dalam Surah An Nisa’ ayat 15.
Artinya: dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan, jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah member taufiq kepada suami-isteri itu, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal [An-Nisa: 15].
Jelaslah bahwa jika suami-isteri berselisih (syiqaq), maka hendaklah
diupayakan perdamaian untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka,
caranya menunjuk seorang hakam (juru damai) dari masing-masing pihak [Sidik
1982:105].
Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang
boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang
lain tidak mau berdamai.

2.4 Talak
a. Pengertian
Kata thalaq dalam bahasa arab berasal dari kata Thalaqa-Yatlhaqu-Thaalaqan
yang berarti melepas atau mengurai tali, baik tali itu bersifat konkret seperti tali
pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali perkawinan.kata thalaqa
merupakan isim masdar dari kata Thallaqa-Yutalliqu-Tathliqan , jadi kata ini
semakna dengan kata tahliq bwermakna "irsal" yaitu melepaskan dan
meninggalkan.
Talak berarti melepas ikatan pernikahan antara suami isteri yang tidak dapat
mencapai tujuan pernikahannya dan telah merasa tidak dapat lagi hidup bersama,
maka talak merupakan jalan keluar setelah tidak ada lagi kata damai. [Rasyid
2003:401].
Dengan demikian, dapat difahami bahwa perceraian itu sangat dibenci Allah,
sebagaimana sabda Nabi:
Artinya: dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda;
sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah Talak. [HR. Abu Daud dan Ibnu
Majjah]
b. Hak Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan
bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar
emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian
akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada
isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak
talak pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak
isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada
isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia
mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan
pada suami.
c. Syarat-Syarat Menjatuhkan Talak
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak
diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami dan isteri:
1. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:
- Berakal sehat
- Telah baliqh
- Tidak karena paksaan
2. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:
- Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya.
Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak
dapat ditalak oleh suaminya.
- Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya
dalam waktu suci itu.
- Isteri yang sedang hamil.
d. Lafadz Talak
Lafadz talak itu adalah hak bagi suami atau isteri. Adapun lafadz talak itu ada
dua macam, sebagai berikut:
1. Sharih (terang) ialah kalimat talak yang secara tegas/terang diucapkan
suami untuk menceraikan isterinya; Saya ceraikan engkau atau saya talak
engkau
2. Kinayah (sindiran) ialah lafadz yang memiliki dua pengertian yang dapat
diartikan untuk perceraian atau yang lain, seperti; Pulanglah engkau
kerumah keluargamu. Lafadz kinayah ini tergantung dengan niat, jika
suami berniat untuk menceraikan, maka jatuhlah talak. Tetapi jika hanya
main-main saja, maka tidak jatuh talak. [Ramayulis 1990:99]
e. Macam-Macam Talak
Talak ada 4 macam yaitu :
1. Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama istri dalam masa iddah
2. Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
a. Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah
(pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in sughra dapat dibagi menjadi :
- Talak yang terjdi qabla al-dukhul;
- Talak dengan tebusan atau khulu’;
- Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama
b. Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan
orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis
masa iddah.
3. Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran
dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan
pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang
dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh,
hukumnya talak suami dalah halal.
4. Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan
Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang
termasuk talak bid’i ialah:
- Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.
- Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah
dicampuri.
- Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak
isterinya untuk selama-lamanya.
f. Hukum Talak
Status hukum talak itu sangat bergantung pada situasi (keadaan) suami isteri
tersebut, yaitu:
1. Wajib, apabila terjadi perselisihan (syiqaq) di antara suami isteri, sedang
dua hakam tidak dapat lagi mendamaikan dan tidak ada jalan lain kecuali
bercerai
2. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi memberikan nafkah atau tidak
mampu melaksanakan kewajiban, atau isterinya tidak dapat menjaga
kehormatannya
3. Mubah (boleh), apabila ada suatu kebutuhan, seperti suamikurang baik
pergaulan dengan isterinya
4. Makruh, apabila menjatuhkan talak ketika dengan tidak alasan atau sebab
5. Haram, apabila menjatuhkan talak ketika isteri sedang haid atau isteri
sedang suci tetapi sudah digauli. [Yunus 1989:112-113]
g. Bilangan Talak
Jumlah bilangan talak itu adalah sampai talak tiga, dan yang boleh rujuk lagi
batas talak dua, sesuai dengan firman Allah:
‫ك نمطرنتاَئن ٱلطط للن ك‬
‫ق‬ ‫ف فنإ ئفمنساَ ك ك‬
‫بئإ ئفحلنسسن تنفسئريِككح فوُ أنبئنمفعكروُ س‬
Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. Setelah itu suami dapat
menahan dengan baik atau melepas dengan baik. [Al Baqarah: 229]

Mengenai bilangan talak ini, lebih jelas diuraikan sebagai berikut:


1. Talak raj’i, yaitu talak yang mana suami tidak boleh rujuk lagi kepada
bekas isterinya yang telah habis masa iddah talak satu dan dua, kecuali ia
melakukan aqad nikah yang baru
2. Talak bai’in kubra ialah talak yang mana suami tidak boleh rujuk pada
mantan isterinya yang ditalak tiga, kecuali telah ada Muhallil. [Siddik
1983: 126-127]
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al Baqarah ayat 230.
Artinya: Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua) maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia nikah dengan suami yang lain,
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (suami pertama dan mantan isteri) untuk menikah kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. [Al
Baqarah: 230]
Seorang suami dapat rujuk lagi dengan mantan isteri yang telah ditalaknya
tiga, apabila perempuan itu sudah menikah dengan laki-laki lain serta sudah habis
masa iddahnya, barulah mantan suami pertama boleh rujuk lagi dengan aqad
nikah baru. [Rasjid 2003:404]
h. Talak tiga sekaligus
Sepakat para ulama’; Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali bahwa suami
menjatuhkan taak tiga sekaligus adalah sah, tetapi menurut asy-Syaukani, Ibnu
Qayim dan Ibnu Taimiyah hanya jatuh talak satu. [Yunus 1989:120]
i. Akibat talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai
beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak pada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b. Memberi nafkah , makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada
istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla
al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum
mencapai 21 tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surat Al-Baqarah ayat 235
dan 236 sebagai berikut :
‫ضكتم بئئهۦِ ئمفن ئخ ف‬
‫طبنئة ٱلنَننساَئء أنفوُ أنفكننَنَتكفم فئىى نأنفكئسككفم ْ نعلئنم ٱطلك أننطككفم‬ ‫نوُنل كجننَاَنح نعلنفيِككفم ئفيِنماَ نعطر ف‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫ل‬
‫نستنفذكككروُننهكطن نوُلنئكن طل تكنوائعكدوُهكطن ئسفررا إئطل نأن تنكقوكلوا قنفوفل طمفعكروُففاَ ْ نوُنل تنفعئزكموا كعفقندةن ٱلنَننكاَ ئ‬
‫ح نحتطلى‬
) ‫ب أننجلنهۥُك ْ نوُٱفعلنكمىواا أنطن ٱطلن يِنفعلنكم نماَ فئىى نأنفكئسككفم نفٱَفحنذكروُهك ْ نوُٱفعلنكمىواا أنطن ٱطلن نغكفوكر نحئليِكم‬ ‫يِنفبلكنغ ٱفلئك لتن ك‬
(٢٣٥
‫ضواا لنهكطن فنئريِ ن‬
‫ضةف ْ نوُنمتنكعوهكطن نعنلى‬ ‫طلطفقتككم ٱلنَننساَنء نماَ لنفم تننملُسوهكطن أنفوُ تنففئر ك‬ ‫طل كجننَاَنح نعلنفيِككفم ئإن ن‬
(٢٣٦) ‫ف ِ نح رفقاَ نعنلى ٱفلكمفحئسئنَيِنن‬ ‫ٱفلكموئسئع قنندكرهۥُك نوُنعنلى ٱفلكمفقتئئر قنندكرهۥُك نم لتنكفعاَ ئبٱَفلنمفعكروُ ئ‬
Artinya :
“dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu
membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan
akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui
apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa
Allah maha pengampun, maha penyantun”
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum
kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu beri mereka mut’ah. Bagi yang mampu menurut kemampuanya dan bagi
yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang
patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan”
(QS. Al-Baqarah : 235-236)

2.5 Khulu’
Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara
etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkannya
kata khulu’ dengan perkawinan karena dala Al-Qur’an disebutkan suami itu
sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya
dalam surat al-baqarah (2) ayat 187:
‫اك أننطككفم‬
‫س لطهكطن نعلئنم ر‬ ‫س لطككفم نوُنأنتكفم لئنباَ ك‬ ‫صنيِاَئم الطرفن ك‬
‫ث إئنلى نئنساَئئككفم هكطن لئنباَ ك‬ ‫أكئحطل لنككفم لنفيِلنةن ال ن‬
َ‫ب نعلنفيِككفم نوُنعنفاَ نعنَككفم نفاَلنن نباَئشكروُهكطن نوُافبتنكغوفا نما‬ ‫ككنَتكفم تنفختاَكنونن نأنفكنسككفم فننتاَ ن‬
Artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu." (QS. Al-Baqoroh [2]:187)
Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai
pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Dalam
artinya istilah hukum dalam beberapa kitab fiqhkhulu’ diartikan dengan:
‫فرقة بعوض بلفظ الطلقا أن الخلع‬
Artinya: Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan
ucapan thalaq atau khulu’.
Menurut fuqaha, khulu’ secara umum, yakni perceraian dengan disertai
sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk
menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan
kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas
dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau
yang semakna seperti mubara’ah (pembebasan).
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus
dirinya dari (ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri
memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Dasar pengertian ini
adalah hadits riwayat Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas yang berkata:
‫ جاَءت امراَة ثاَبت بن قيِس الى رسول ا عليِه وُسلم‬: ‫عن ابن عباَس قاَل‬
‫فقاَلت يِاَ رسول ا ثاَبت بن قيِس ماَ اعتب عليِه فيّ خلق وُل ديِن وُلكرنَيّ اَكره الكفر‬
‫ نعم قاَل‬: ‫فيّ السلم فقاَل رسول ا صلى ا عليِه وُسلم اترديِن عليِه حديِقته قاَلت‬
(‫ اقبل الحديِقته وُطليِقة )روُاه البخاَري وُالنَاَساَءي‬: ‫رسول ا صلى ا عليِه وُسلم‬
Artinya: Istri Tsabit bin Qais bin Syammas dating kepada Rasululloh SAW,
sambil berkata “Wahai Rasululloh, aku tidak mencela akhlaq dan agamanya, tapi
aku tak inginmenjadi kafir dari ajaran Islam akibat terus hidup bersama
dengannya”. Rasululloh bersabda “maukah kamu mengembalikan kebunnya
(tsabit, suaminya)?, ia menjawab “ mau”, Rasul bersabda “Terimalah (Tsabit)
kebun itu dan talaklah ia satu kali”.
Ulama fiqih berbeda pendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata
khulu’ atau lafadz yang diambil dari kata dasar khulu’ atau kata lain yang memilik
makna seperti itu. Imam Hanafi mengatakan : “Khulu’ boleh dilakukan dengan
menggunakan redaksi jual beli, misalnya si suami mengatakan kepada istrinya,
“saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian,” lalu istri menjawab, “saya
beli itu”.
Atau si suami mengatakan kepada istri, “Belilah talak (untukmu) dengan
harga sekian”. lalu si istri mengatakan, “baik, saya terima tawaranmu”. Imam
Syafi’I juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan khulu’ dengan
menggunakan redaksi jual beli.
Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu ulama menggunakan
beberapa kata, yaitu: fidhyah, shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna yang
sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang dugunakan.
Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar
yang diberikan waktu nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separuh dari
mahar, disebutshulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima
desebutfidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah. Apabila hasrat
bercerai dari istri karena tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah
dinamakan khulu’, sedangkan bila persetujuan itu oleh suami istri, keduanya
hendak bercerai dinamakan mubara’ah.
a. Dasar Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua hukum
tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
1. Mubah
Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah. Istri
boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman
apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya,
atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut
ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya
ketentuan ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si istri boleh
dan sah-sah saja, Dasar dari kebolehannya terdapat dalam hadist :
َ‫ يِا‬:‫عن ابن عباَس أن امرأة ثاَبت بن قيِس أتت النَبيّ صلى ا عليِه وُسلم فقاَلت‬
‫ وُلكنَى أكره الكفر فى‬,‫ ثاَبت بن قيِس ماَ أعيِب عليِه فى خلق وُل ديِن‬,‫رسول ا‬
:‫ فقاَلت‬,((‫ ))أترديِن عليِه حديِقه‬:‫ فقاَل رسول ا صلى ا عليِه وُسلم‬,‫السلم‬
َ‫ ))اقبل الحديِقة وُطلقها‬:‫ فرددت عليِه فقاَل رسول ا صلى ا عليِه وُسلم‬,‫نعم‬
[‫تطليِقة(( ]روُاه البخاَرى‬
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya istri Tsabit bin Qais datang kepada
Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan
dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut
saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada
suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah
kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup.
Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu
bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali
cerai". (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
a. Apabila si istri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak
ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan
Khulu'. Hal ini didasarkan hadist berikut ini:
َ‫ ))أيِماَ امرأة سألت زوُجها‬:‫عن ثوباَن قاَل قاَل رسول ا صلى ا عليِه وُسلم‬
‫ فحرام عليِهاَ رائحة الجنَة(( ]روُاه أبو داوُد وُابن ماَجه‬,‫طلقاَ فى غيِر ماَ بأس‬
[‫وُأحمد‬
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang
manam saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang
jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surga" (HR. Abu
Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
b. Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri
dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram
hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan
mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan
berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
‫ساَلء لكأرةهاَ لوُلل‬ ‫لياَ ألليلهاَ اَللخذيلن آللمرنوُاَ لل يلخحلل للركأم ألأن تلخررثوُاَ اَلنن ل‬
‫ض لماَ آلتلأيِتررموُرهلن إخلل ألأن يلأأختيِلن بخلفاَخح ل‬
‫شةة‬ ‫ضرلوُرهلن لختلأذلهربوُاَ بخبلأع خ‬ ‫تلأع ر‬
‫ف فلإ خأن‬ ‫شرروُرهلن خباَأللمأعرروُ خ‬ ‫ف لوُلعاَ خ‬‫شرروُرهلن خباَأللمأعرروُ خ‬ ‫رمبليِننلةة لوُلعاَ خ‬
‫سىَ ألأن تلأكلررهوُاَ ل‬
‫شأيِةئاَ لوُيلأجلعلل ل‬
َ‫ار خفيِخه لخأيِةراَ لكخثيِةرا‬ ‫لكخرأهتررموُرهلن فللع ل‬
Artinya: Wahai orang-orang beriman, tidak halal bagi kalian
mewariskan perempuan-perempuan dengan jalan paksa dan janganlah
kalian menyulitkan mereka karena ingin mengambil sebagian dari apa
yang telah kalian berikan kepada mereka kecuali apabila mereka
melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan pergaulilah mereka dengan
cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka maka bisa jadi kalian
membenci sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak
padanya.
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri
berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja
dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
b. Rukun dan Syarat Khulu’
Di dalam khulu’ terdapat beberaa unsur yang merupakan rukun yang menjadi
karakteristik dari khulu’itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat
yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan di kalangan Ulama.
Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ itu adalah:
a. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’sebagaimana yang
berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat
diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, balig, dan bertindak atas
kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila
suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang
akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula
keadaannya seseorang yang berada di bawah pengampuan karena
kebodohannya (‫ )محجسسوُر عليِسسه بسسسفه‬yang menerima permintaankhulu’ istri
adalah walinya.
b. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan
Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.
2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan
persetujuan istri. Khulu’ sepeerti ini disebut khulu’ ajnabi.
Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh
pihak ajnabi tersebut.
c.Uang tebusan atau iwadh
Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama
menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan oleh
sahnya khulu’. Pendapat lain, diantara nya disatu riwayat dari Ahmad dan
Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasanya
adalah bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari putusnya
perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku
dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-hal yang
berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di kalangan ulama.
d. Alasan untuk terjadinya khulu’.
Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi terlihat adanya
alasan untuk terjadinnya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan mungkin
melaksanakan tuganya sebagai istri yang menyebabkan dia tidak dapat
menegakkan hukum Allah.
c. Tujuan dan Hikmah Khulu’
Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari
kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa
merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas
permintaan cerai dari istrinya itu.
Hikmah yang terkandung di dalamnya sebagaiama telah disebutkan adalah
untuk menolak bahaya, yaitu apabila perpecahan antara suami istri telah
menumncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam
kehidupan suami-istri, maka khulu’ dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh
Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya permusuhan dan unutk
menegakkan hukum-hukum Allah. Oleh karena itu Allah berfirman :
‫ف أنفوُ تنفسئريِكح بئإ ئفحنساَسن نوُلن يِنئحلُل لنككفم نأن‬
‫ك بئنمفعكروُ س‬ ‫قا نمطرنتاَئن فنإ ئفمنساَ كك‬
‫الططلن ك‬
‫تنأفكخكذوُا ئمطماَ نءاتنفيِتككموهكطن نشفيِفئاَ إئلط نأن يِننخاَنفاَ أنلط يِكئقيِنماَ كحكدوُند ائ فنلن كجننَاَنح‬
‫ت بئئه تئفل ن‬
‫ك كحكدوُكد ائ فنلن تنفعتنكدوُنهاَ نوُنمن يِنتننعطد كحكدوُند ائ‬ ‫نعلنفيِئهنماَ ئفيِنماَ اففتنند ف‬
‫ك هككم ال ط‬
‫ظاَلئكمونن‬ ‫فنأ كفوُلنئئ ن‬

Artinya: "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al-Baqarah: 229)
d. Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan apakah perempuan yang
menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam Malik berpendapat
bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaranya
bersambung. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti
dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan
dengan segera atau tidak.

2.6 Fasakh
Kata fasakh berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah
satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungnan
perkawinan yang telah berlangsung.
Dalam referensi yang lain fasakh artinya putus atau batal, batal adalah
rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak
memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi, secara
umum batalnya pernikahan adalah “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena
tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama.” Contoh
perkawinan yang batal (tidak sah), yaitu perkawinan yang dilangsungkan tanpa
calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan, perkawinan seperti ini
batal (tidak sah) karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon
mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan. Contoh lain, perkawinan
yang saksinya orang gila, atau perkawinan yang walinya bukan muslim atau
masih anak-anak.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung
akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan
kelangsungan perkawinan.
 Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah sudara
kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan
ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini
disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri,
maka hal ini disebut fasakh baligh.
 Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau
kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan
yang terjadi belakangan.
b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam
kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh).
Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah seperti
semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang
sah.
Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna membedakan pengertian
pisahnya suami istri sabab talak dan sebab fasakh. Kata mereka: “Pisahnya suami
istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak, dan
setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami,
tapi dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.”
a. Sebab-sebab terjadinya Batal Pernikahan (Fasakh)
Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya
fasakh, yaitu sebagai berikut:
1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini ada sebuah
hadits yang artinya:
“Dari Ka’ab Bin Zaid radhiallahu ‘anh bahwasanya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahi seorang perempuan bani
Ghifar. Maka, tatkala beliau masuk menemuinya dan perempuan itu telah
meletakkan kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur terlihatlah putih
(balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata: ambillah
kainmu, tutuplah badanmu, da beliau tidak menyuruh mengambil kembali
barang yaqng telah diberikan kepada permpuan itu.” (HR. Ahmad dan
Baihaqi)
2. Karena gila
3. Karena penyakit kusta.
4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dsb.
Dijelaskan dalam suatu riwayat.
“Dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata: Barangsiapa di
antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-
laki itu terdapat tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan,
sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap dalam
perkawinannya dan jika berkehendak cerai maka perempuan itu boleh
bercerai.”(HR. Malik)
5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat
maksud perkawinan (bersetubuh).
6. Karena ‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai apa
yang dimaksudkan dengan nikah.
Dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata.
“Umar bin Khathab telah memutuskan bahwasanya laki-laki yang ‘unnah diberi
tenggat satu tahun sebelum dijatuhkan fasakh.” Seperti itu juga pendapat Ibnu
Mas’ud.
Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa laki-laki yang ‘unnah tidak diberi tenggat,
dari al-Harits bin ‘Abdillah bahwa laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat sepuluh
bulan. Imam Ahmad, al-Hadi dan ulama’ lain menyatakan bahwa pada keadaan
seperti itu tidak terjadi fasakh.
Dalam masalah suami yang ‘unnah dan hal itu membuat tidak bisa memenuhi
hak istrinya maka bisa terjadi fasakh, setelah menunggu dengan waktu tertentu
karena untuk mengetahui dengan jelas bahwa suami itu ‘unnah atau tidak atau
mungkin bisa sembuh, jika sembuh maka tidak terjadi fasakh.
Hal-hal yang lain juga diqiyaskan dengan aib yang enam macam tersebut,
yaitu aib-aib yang lain yang menghalangi maksud perkawinan, baik dari pihak
laki-laki maupun dari pihak perempuan.
Pendapat lain mengatakan fasakh artinya merusak akad nikah, bukan
meninggalkan. Pada hakekatnya, fasakh ini lebih keras daripada khulu’, dan tak
ubahnya seperti melakukan khulu’ pula. Artinya, khulu’ yang dilakukan oleh pihak
perempuan disebabkan ada beberapa hal.
Perbedaannya adalah khulu’ diucapkan oleh suami sendiri, sedangkan fasakh
diucapkan oleh qadhi nikah setelah istri mengadu kepadanya dengan
mengembalikan maharnya.
b. Akibat-akibat Fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karaena talak.
Sebab talak ada talak raj’idan talak ba’in. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan
suami istri dengan seketika, sedangkan talak ba’inmengakhirinya seketika itu
juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri perkawinan seketika itu.
Istri yang diceraikan pengadilan dengan jalan fasakh tidak dapat dirujuk oleh
suaminya. Apabila mereka akan kembali hidup bersuami istri harus melakukan
akad nikah baru.
Fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang menjadi hak suami. Dengan
demikian, suami istri yang diceraikan pengadilan dengan fasakh, apabila nantinya
mereka kembali hidup bersuami istri, suami tetap mempunyai hak talak tiga kali.

2.7 Zhihar
Zhihar atau zihar dalam pengertian bahasa adalah suami berkata pada istrinya:
Kamu seperti punggung ibuku (ّ‫)أنت عليّ كظهر أمي‬. Kata dhihar (zihar) berasal dari
kata dhahr atau zahr (Arab, ‫ )الظهر‬karena menyerupakan wanita dengan sesuatu
yang dinaiki pada punggungnya. Karena suami menaikinya ketika hubungan
intim. Walaupun saat menaiki pada perutnya bukan pada punggung. Perkataan ini
pada zaman Arab pra Islam (Jahiliyah) memiliki akibat hukum yang serius yaitu
suami dan pria lain haram berhubungan intim dengan istrinya selamanya.
Zihar pada masa Jahiliyah dipakai suami untuk mengharamkan menjimak
(hubungan intim) istrinya. Hukumnya adalah haramnya hubungan badan
selamanya baik antara perempuan itu dengan suaminya dan dengan pria lain.
Setelah Islam datang, praktik zihar tidak dihapus total hanya saja ada beberapa
perubahan. Islam menjadikan zihar sebagai hukum akhirat dan hukum duniawi
sekaligus. Yang dimaksud dengan hukum akhirat adalah bahwa melakukan zihar
adalah haram dan pelakunya berdosa. Sedangkan hukum duniawi adalah bahwa
haram hukumnya melakukan hubungan intim dengan istri yang di-zihar kecuali
setelah mengeluarkan tebusan (kafarat) sebagai pembelajaran bagi suami.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim, terutama bagi mereka yang sudah
berumah tangga, untuk memahami apa itu zihar dan akibat hukum yang terkait
dengannya. Karena, tidak pantas menurut perspektif syariah seorang suami
berkata pada istrinya: "Kamu bagiku seperti punggung ibuku" atau "Kamu bagiku
seperti ibuku" atau "Kamu bagiku seperti saudara perempuanku" atau "Kamu
bagiku seperti bibiku", dll. Karena kata-kata ini hukumnya haram dan berakibat
adanya sanksi duniawi berupa kafarat yang relatif berat.
Allah membahas masalah zihar dan hukumnya dalam beberapa ayat berikut:
 Haramnya Zihar (Dhihar) QS. Al-Mujadalah 58 : 2

‫ظاَئهكروُنن ئمنَككم نمن نننساَئئئهم طماَ هكطن أكطمنهاَتئئهفم إئفن أكطمنهاَتكهكفم إئطل الطلئئيّ نوُلنفدننهكفم‬
‫الطئذيِنن يِك ن‬
‫ان لننعفكوو نغكفوكر‬ ‫نوُإئنطهكفم لنيِنكقوكلونن كمنَنكراف نمنن افلقنفوئل نوُكزوُراف نوُإئطن ط‬
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka
itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya
.Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun
 Kafarat (tebusan) bagi pelaku Zihar (dhihar) QS Al-Mujadalah 58 : 3

‫وُالذيِن يِظاَهروُن منَكم من نساَئهم ثم يِعودوُن لماَ قاَلوا فتحريِر رقبة من قبل‬
َ‫أن يِتماَسا‬
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui
.apa yang kamu kerjakan
a. Syarat Terjadinya Zihar (Zhihar)
Syarat dan rukun zihar (dhihar) menurut ulama madzhab Syafi'i adalah
sebagai berikut:
1. Syarat muzahir (mudhahir) atau pelaku zihar adalah :
- Suami
- Berakal sehat alias tidak gila
- Kehendak sendiri alias tidak terpaksa.
2. Syarat muzahar (mudhahar) minha atau perempuan yang di-zihar adalah:
istri.
3. Syarat musyabbah bih (sosok yang dijadikan penyerupaan) ada tiga yaitu:
- Harus perempuan. Apabila yang dijadikan penyerupaan itu laki-laki
baik kerabat dekat atau jauh maka itu tidak sah alias sia-sia karena
mereka bukan tempat untuk istimta'
- Harus perempuan mahram yang tidak halal dinikah karena nasab
seperti ibu, anak permepuan, atau karena sesusuan (radha'ah) seperti
ibu susuan atau yang menyusui ayahnya; atau karena kemertuaan
seperti ibu istrinya atau istrinya.
- Wanita itu tidak halal sebelumnya. Seperti perempuan yang dinikah
oleh ayahnya sebelum atau bersamaan dengan kelahirannya. Adapun
wanita yang dinikah ayahnya setelah lahirnya dia maka wanita itu halal
baginya sebelum dinikah oleh ayahnya. Contoh lain, istri dari anaknya.
Maka ia halal baginya sebelum dinikah oleh anaknya.
4. Syarat sighat (lafaz) adalah harus berupa kata atau kalimat yang
mengandung arti zihar (zhihar). Lafaz zihar ada dua macam yaitu :
- Zihar sharih (ekplisit / jelas) yaitu kalimat yang sudah umum diketahui
dipakai untuk arti zihar (dhihar) seperti "Kamu bagiku bagikan
punggung ibuku" atau "Kepalamu bagiku seperti punggung ibuku"
atau "... seperti tangan ibuku"
- Zihar kinayah (implisit / kiasan / implisit) yaitu kalimat yang tidak
umum dipakai untuk zihar. Seperti "Engkau seperti ibuku" atau
"Engkau seperti mata ibuku" dan kalimat lain yang bisa dipakai untuk
zihar dan memuji. Zihar kinayah tidak terjadi kecuali dengan niat.
Apabila suami berkata pada istri: "Engkau haram bagiku sebagaimana
haramnya ibuku" ini termasuk zihar kinayah apabila niat zihar. Dan bisa juga
menjadi talak kinayah apabila niat talak.
Apabila penyerupaan itu dengan salah satu dari bagian dalam yang tidak bisa
di-istimta' maka itu tidak disebut zihar (dhihar). Disyaratkan juga dalam bagian
anggota tubuh tersebut tidak boleh berupa benda lebih seperti susu, mani, air
ludah, dll. Kalau suami menyamakan air ludah istrinya dengan punggung istrinya
maka ziharnya tidak sah. Sedangkan bagian tubuh yang bertambah maka
hukumnya sah zihar dengannya seperti kuku, rambut dan gigi. Intinya, setiap
sesuatu yang tampak maka sah dijadikan penyerupaan. Dan setiap bagian yang
tidak tampak (batin) yang tidak bisa dinikmati (istimta') maka penyerupaan
dengannya tidak disebut zihar (dhihar).
b. Rukun Zihar (Zhihar)
Rukun zihar ada empat yaitu :
- Muzahir (pelaku zihar) yaitu sumai
- Muzahar minha (yang dizihar) yaitu istri
- Musyabbah bih (orang yang dijadikan penyerupaan) yaitu wanita mahram;
- Shighat atau lafal (lafaz) atau kalimat zihar.
c. Hukum Zihar (Zhihar)
Zihar adalah haram dan berdosa. Perilaku ini harus dijauhi oleh suami. Bagi
yang terlanjur melakukannya, maka diwajibkan membayar kafarat atau tebusan.
Kafaran zihar ada tiga macam yaitu:
- Memerdekakan budak (hamba sahaya) kalau ada dan mampu; atau
- Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus satu hari pun kalau mampu;
atau
- Memberi makan 60 (enampuluh) orang miskin.
-
2.8 Li’an
Kata li’an adalah masdar dari kata kerja ) َ‫ لعاَننننا‬- ‫ لعنننن – يِلعنننن‬laa’ana-
yulaa’inu-mulaa’anatan-wa li’aanan( dan ia berasal dari kata al-la’nu (
‫ ) اللعنننن‬yang berarti al-ib’ādu (‫)البعننناَد‬, menjauhkan. Dua orang yang saling
mengucapkan li’an disebut mutala’inani. Disebut demikian karena akibat dari
ucapan itu berdosa dan menjauhkan diri dan karena salah seorang dari keduanya
berkata bohong sehingga ia dila’nati. Atau karena akibat li’an itu masing-masing
dari keduanya saling dijauhkan dengan diharamkan untuk selamanya. Atau karena
orang yang bersumpah li’an itu pada persaksian kelima mengucapkan perkataan
bahwa la’nat (kutuk) Allah baginya jika ia berbohong dalam tuduhannya.
Al-Jurjany dalam at-Ta’rifat mendefinisikan li’an dengan: “Persaksian yang
diperkuat dengan sumpah yang dibarengi dengan ucapan la’nat, berkedudukan
sebagai had menuduh zina bagi suami dan berkedudukan sebagai had zina bagi
istri”
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mengemukakan: “Bahwa hakikat
li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berbuat
zina dengan empat kali ucapan (persaksian sumpah) bahwa dia termasuk orang
yang benar (dalam tuduhannya) dan ucapan (sumpah) yang kelima dinyatakan
bahwa la’nat Allah baginya jika ia termasuk orang yang bohong, serta sumpah
yang diucapkan oleh isteri untuk menyatakan kebohongannya (suami) sampai
empat kali, bahwa suami termasuk orang yang bohong, kemudian ucapan
(sumpah) yang kelima dinyatakan bahwa isteri bersedia menerima la’nat Allah
kalau suami termasuk orang yang benar”
Li’an terjadi ketika seorang suami menuduh isterinya berbuat zina atau suami
tidak mengakui bahwa janin yang dikandung isterinya hasil hubungan dengannya
atau suami tidak mengakui bahwa anak yang dilahirkan isterinya adalah anak
darinya, tetapi anak hasil zina.
Dalam hukum pidana Islam, apabila ada orang yang menuduh orang lain
berbuat zina tetapi tidak bisa mendatangkan empat orang saksi, orang tersebut
diancam hukuman qadzaf. Akan tetapi apabila yang menuduh itu suami terhadap
isterinya, ia tidak dikenakan hukuman qadzaf asalkan mau bersumpah bahwa ia
(suami) adalah orang yang benar dan apa yang dituduhkannya itu benar, sumpah
ini dilakukan empat kali, dan sumpah yang kelima, suami bersedia menerima
la’nat Allah kalau tuduhannya itu bohong. Dengan bersumpah seperti itu, suami
dan tuduhannya dipandang benar, sehingga isteri adalah orang yang berzina yang
karenanya ia kemudian diancam hukuman zina. Isteri juga dapat membebaskan
diri dari hukuman zina asalkan ia mau bersumpah empat kali bahwa suaminya dan
tuduhannya itu bohong, dan sumpah yang kelima isteri bersedia menerima la’nat
Allah kalau suami dan tuduhannya itu benar. Setelah sama-sama bersumpah,
‫‪sekalipun di antara keduanya jelas ada yang bohong, tetapi keduanya dibebaskan‬‬
‫‪dari hukuman qadzaf dan hukuman zina. Dalam kasus li’an karena hubungan‬‬
‫‪suami isteri sudah tidak harmonis bahkan sudah saling bermusuhan, maka‬‬
‫‪kemudian oleh hakim perkawinannya difasakhkan, diceraikan dan mereka tidak‬‬
‫‪halal lagi untuk selama-lamanya.‬‬
‫‪a. Dasar Hukum Li’an‬‬
‫‪Sebagaimana telah dijelaskan bahwa bila suami menuduh isterinya berbuat‬‬
‫‪zina dan isteri tidak mengakui tuduhan suaminya itu, suami juga tidak mau‬‬
‫‪mencabut tuduhannya maka disyari’atkanlah keduanya bersumpah li’an.‬‬
‫‪Adapun dasar hukum disyari’atkannya li’an ialah al-Qur’an dan al-Hadis:‬‬
‫‪a. Al-Qur’an, surat an-Nur (24) ayat 6 - 9:‬‬
‫نوُالطئذيِنن يِنفركمونن أنفزنوُانجكهنفم نوُلنننفم يِنككنفن لنهكننفم كشننهننداكء إئطل أنفنفككسنهكفم فننشننهاَندةك أننحننئدئهفم أنفرنبنكع‬
‫صنناَئدئقيِنن)‪(6‬نوُافلنخاَئمنسننةك أنطن لنفعنَنننةن ط‬
‫ائنن نعلنفيِننئه إئفن نكنناَنن ئمنننن‬ ‫ت بئنناَطلئ إئنطننهك لنئمنننن ال ط‬
‫نشنهاَندا س‬
‫ت ئبناَطلئ إئطننهك لنئم نن افلنكناَئذئبيِنن)‬
‫ب أنفن تنفشهنند أنفرنبننع نشننهاَندا س‬ ‫افلنكاَئذئبيِنن)‪(7‬نوُيِنفدنرأك نعفنَنهاَ افلنعنذا ن‬
‫ب ط‬
‫ائ نعلنفيِنهاَ إئفن نكاَنن ئمنن ال ط‬
‫صاَئدئقيِنن‬ ‫‪(8‬نوُافلنخاَئمنسةن أنطن نغ ن‬
‫ض ن‬

‫‪b. Al-Hadis‬‬
‫اك نعلنفيِئه نوُنسلطنم بئنشئريِئك افبئن نسفحنماَنء‬‫صطلى ط‬ ‫ف افمنرأنتنهك ئعفنَند النَطبئنيّ ن‬ ‫أنطن ئهنلنل فبنن أكنميِطةن قننذ ن‬
‫ائنن إئنذا‬ ‫اك نعلنفيِئه نوُنسلطنم افلبنيِننَنةن أنفوُ نحود فئننيّ ظنفهننئر ن‬
‫ك فنقننناَنل يِننناَ نركسننونل ط‬ ‫صطلى ط‬ ‫فننقاَنل النَطبئلُيّ ن‬
‫صننطلى ط‬
‫اكنن نعلنفيِننئه‬ ‫س افلبنيِننَنننةن فننجنعنننل النَطبئننلُيّ ن‬
‫ق يِنفلتنئم ك‬‫نرنأى أننحكدنناَ نعنلى افمنرأنتئئه نركجفل يِنفنَطنلئ ك‬
‫صنناَئد ك‬
‫قا‬ ‫ق إئننننيّ لن ن‬‫ك ئباَفلنح ن‬
‫ك فننقاَنل ئهنلكل نوُالطئذي بننعثن ن‬ ‫نوُنسلطنم يِنكقوكل افلبنيِننَنةن نوُإئطل نحود ئفيّ ظنفهئر ن‬
‫ئ ظنفهئري ئمفن افلنحند فننَننزنل ئجفبئريِكل نوُأنفننننزنل نعلنفيِننئه نوُالطننئذيِنن يِنفركمننونن‬ ‫فنلنيِكفنَئزلنطن ط‬
‫اك نماَ يِكبننر ك‬
‫صننطلى ط‬
‫اكنن نعلنفيِننئه‬ ‫ف النَطبئننلُيّ ن‬ ‫صنننر ن‬ ‫أنفزنوُانجهكفم فنقننرأن نحطتى بنلننغ إئفن نكاَنن ئمفن ال ط‬
‫صنناَئدئقيِنن نفاَفن ن‬
‫اك نعلنفيِئه نوُنسلطنم يِنكقوكل إئطن ط‬
‫ان يِنفعلنكم‬ ‫صطلى ط‬ ‫نوُنسلطنم فنأ نفرنسنل إئلنفيِنهاَ فننجاَنء ئهنلكل فننشئهند نوُالنَطبئلُيّ ن‬
‫ت ئعفنَننند افلنخاَئمنسننئة‬
‫ت فنلنطمنناَ نكنناَنن ف‬ ‫ب ثكننطم قننناَنم ف‬
‫ت فننشننئهند ف‬ ‫أنطن أننحندككنماَ نكاَئذ ك‬
‫ب فنهنفل ئمفنَككنماَ تننناَئئ ك‬
‫ت نحطتى ظننَنطنَاَ أننطهننناَ تنفرئجننكع‬
‫ص ف‬ ‫ت نوُنننك ن‬ ‫س فنتنلنطكأ ن ف‬
‫نوُقطكفونهاَ نوُنقاَكلوا إئنطنهاَ كموئجبنةك نقاَنل افبكن نعطباَ س‬
‫اكنن نعلنفيِننئه نوُنسننلطنم‬‫صننطلى ط‬ ‫ضنن ف‬
‫ت فنقننناَنل النَطبئننلُيّ ن‬ ‫ضكح قنفوئميّ نساَئئنر افليِنننفوئم فننم ن‬
‫ت نل أنفف ن‬ ‫ثكطم نقاَلن ف‬
‫ت بئئه أنفكنحنل افلنعفيِنَنفيِئن نساَبئنغ افلنفليِنتنفيِئن نخندلطنج الطسنناَقنفيِئن فنهكنننو لئنشننئريِ ئ‬
‫ك‬ ‫أنفب ئ‬
‫صكروُنهاَ فنإ ئفن نجاَنء ف‬
‫اك نعلنفيِئه نوُنسلطنم لنفونل نمنناَ نم ن‬
‫ضننى ئمننفن‬ ‫صطلى ط‬
‫ك فننقاَنل النَطبئلُيّ ن‬ ‫افبئن نسفحنماَنء فننجاَنء ف‬
‫ت بئئه نكنذلئ ن‬
(‫ائ لننكاَنن ئليّ نوُلننهاَ نشأفكن )روُاه البخاَرى‬ ‫ب ط‬ ‫ئكنتاَ ئ‬
Artinya: Bahwasanya Hilal bin Umayyah di hadapan Nabi saw
menuduh isterinya berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’. Lalu Nabi
saw bersabda: “kamu buktikan atau punggungmu didera”. Kata Hilal,
ya Rasulullah, jika salah seorang di antara kami melihat isterinya jalan
di samping laki-laki lain apakah masih dimintai bukti pula? Nabi
menjawab: “Kamu buktikan, kalau tidak punggungmu didera”!. Hilal
berkata, Demi Allah yang mengutus Tuan dengan sebenarnya, sungguh
saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan firmanNya yang
membebaskan saya dari hukuman had. Lalu Jibril turun dan turunlah
ayat ” dan orang-orang yang menuduh isterinya berzina” Kemudian
Nabi membaca ayat tersebut sampai kepada firman Allah “in kana min
as-sadiqin” (akhir ayat 9 surat an-Nur), Nabi saw pergi kepada isteri
Hilal, kemudian Hilal dating dan bersaksi (mengucap sumpah).
Selanjutnya Nabi saw bersabada: Sesungguhnya Allah mengetahui
bahwa salah seorang di antara kamu berdusta, apakah di antara kamu
ada yang mau bertaubat? Lalu isiteri Hilal berdiri dan bersumpah,
tatkala akan sampai sumpah yang kelima, kaumnya menghentikannya
sambil berkata bahwa sumpah itu pasti terkabulkan. Ibnu Abas berkata,
lalu isteri Hilal tampak ketakutan dan menggigil, kami menduga ia tidak
akanmeneruskan. Akan tetapi kemudian ia (isteri Hilal) berkata: saya
tidak mau mencoreng arang di wajah kaumku sepanjang masa, lalu
diteruskanlah sumpahnya. Lalu Nabi bersabda: “Perhatikanlah ia, jika
nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalkumnya, besar
dan padat berisi kedua pahanya, berarti anaknya Syuraik bin Sahma’.
Ternyata lahir anak seperti tersebut. Lalu Nabi saw bersabda: Jika bukan
karena telah ada ketentuan lebih dahulu dalam al-Qur’an, tentu aku
akan selesaikan usrusannya dengannya (HR al-Bukhari).
b. Bentuk-bentuk Tuduhan Li’an
Li’an dilakukan dalam bentuk-bentuk tuduhan sebagai berikut:
1. Suami menuduh isterinya berbuat zina, tetapi dia tidak mempunyai
empat orang saksi terhadap tuduhannya itu. Dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan:
- Suami menyaksikan sendiri perbuatan zina itu. Yakni suami menuduh
bahwa dia menyaksikan sendiri isterinya melakukan zina atau isteri
mengakui berzina
- Suami menuduh isterinya berbuat zina dengan semata-mata tuduhan
berbuat zina, berdasarkan tanda-tanda yang meyakinkannya bahwa
isterinya berbuat zina.
2. Suami mengingkari kehamilan istrinya dari hasil hubungannya dengan
suami umpama karena suami merasa belum menggaulinya sejak aqad
perkawinannya, atau suami tidk mengakui anak yang dilahirkan isterinya
sebagai anak darinya.
Antara tuduhan berbuat zina dan menafikan anak dapat berkumpul dalam satu
tuduhan dan mungkin berdiri sendiri-sendiri.
Sumpah li’an diucapkan di hadapan Hakim dan dilakukan atas suruhan
Hakim. Sebaiknya sebelum li’an diucapkan, Hakim memberi nasihat dan
peringatan seperlunya kepada yang bersangkutan.
c. Akibat Hukum Berli’an
Bila telah terjadi li’an antara suami isteri, maka sebagai akibat hukumnya:
1. Bila li’an itu dalam rangka tuduhan berbuat zina, maka dengan adanya
li’an hubungan suami isteri terputus dan terjadilah perceraian, antara
keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya.
Diriwayatkan dari Ibu Abbas, bahwa nabi saw bersabda: “al-
mutalaa’inaani idzaa tafarraqaa la yajtami’aani abadaa” (dua suami
isteri yang telah saling berli’an itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul
untuk selamanya). Mengenai kapan terjadinya perceraian dengan li’an?
Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
- Menurut Imam Malik perceraian terjadi setelah keduanya selesai
mengucapkan li’an
- Menurut Imam asy-Syafi’I perceraian terjadi sejak li’an diucapkan
oleh suami dengan sempurna
- Menurut Abu Hanifah, Ahmad, dan ats-Tsauri, bahwa perceraian itu
terjadi dengan keputusan hakim.
2. Bila li’an itu dalam rangka suami menafikan/mengingkari kehamilan isteri
sebagai hasil hubungan dengan suami, maka akibat hukumnya selain
antara keduanya diceraikan juga anak yang diingkari tidak dinasabkan
kepada suaminya, melainkan hanya kepada ibunya saja. Sebagai akibat
lebih lanjut, suami dibebaskan dari kewajiban sebagai ayah.

BAB III.
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun yang menjadi penyebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam


adalah disebabkan karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena
adanya putusan hakim, dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian
merupakan bentuk putusnya perkawinan dengan sendirinya. Secara keseluruhan
penyebab putusnya perkawinan adalah disebabkan karena Thalaq, Khulu’, Fasakh,
Syiqaq, Ila’, Zhihar, dan li’an.
Sementara menurut peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya
perkawinan tersebut dapat disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas
Keputusan Hakim. Perceraian yang dimaksud adalah berupa cerai thalaq,
sementara yang disebabkan atas Keputusan Hakim disebut dengan cerai gugatan.
Di samping itu KHI juga menambahkan bahwa pelanggaran ta’lik thalaq dan
murtad juga merupakan penyebab putusnya perkawinan.

3.2 Saran
Pemakalah menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekurangan
dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Hal itu disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan yang dimiliki, serta minimya literatur dan bahan yang
mampu dikumpulkan. Untuk itu, sangat diharapkan kritikan, saran serta
sumbangan pemikiran konstruktif-edukatif untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Mohon maaf atas segala kesalahan, dan
terima kasih atas segala kritikan dan sarannya. Mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, khusus bagi pemakalah pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman. Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),
hlm. 80
Ichsan, Achamad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Jakarta : CV.
Muliasari, cet.I, 1986
Isni Bustami. Perkawinan dan Perceraian dalam Islam, (Padang : IAIN IB Press,
1999), hlm. 136

Anda mungkin juga menyukai