Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN TUTORAL

SKENARIO 1 BLOK 5.2

Tutor : dr. Citra Maharani, M.Biomed

Kelompok 1B :

Ni Nyoman Astrid TB G1A117066

Nuramaliasari Oktafia G1A117067

Sarah Mardiyah G1A117068

Ahmad Panji G1A117069

Melania Ramadiny G1A117070

Hanna Saskia G1A117071

Nailah Milenda G1A117072

Karina Rhama Yanda G1A117073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JAMBI

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario 1 di blok 5.2. Dalam penulisan laporan
ini penulis banyak mendapatkan arahan dan bantuan dari dr. Citra Maharani, M.Biomed
selaku dosen pembimbing.Penulis juga menyadari bahwa karya tulis ini masih belum
sempurna oleh karena itu penulis akan lebih berusaha dalam menyusun laporan selanjutnya.

Jambi, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................I

DAFTAR ISI................................................................................................................II

SKENARIO..................................................................................................................1

KLARIFIKASI ISTILAH............................................................................................2

IDENTIFIKASI MASALAH.......................................................................................3

CURAH PENDAPAT...................................................................................................4

ANALISIS MASALAH...............................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................72

ii
iii
SKENARIO

Seorang wanita berusia 30 tahun, datang ke poliklinik RS Raden Mattaher dengan keluhan
lemas. Pasien juga merasa fatique, pusing, palpitasi dan seperti mau pingsan ketika
beraktivitas. Menurut keluarganya dia terlihat lebih pucat dari biasanya. Dokter yang
memeriksa menanyakan riwayat penyakit pasien, termasuk penyakit keturunan dan kanker.
Selain itu dokter juga menanyakan apakah pasien memiliki riwayat perdarahan seperti
hematuria, hematoschezia, ataupun haid yang banyak. Dokter selanjutnya melakukan
pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik serta mengatakan bahwa pasien kemungkinan
besar mengalami anemia dan merencanakan pemeriksaan penunjang pada pasien.

1
KLARIFIKASI ISTILAH

1. Fatique : Meningkatnya ketidaknyamanan, menurunnya efisiensi akibat kerja berlebihan

2. Palpitasi : Sensasi jantung berdebar

3. Pingsan : Kehilangan kesadaran sementara akibat perfusi ke otak

4. Kanker: neoplastik, pertumbuhan sel abnormal

5. Hematoschezia :darah segar pada feses

6. Hematuria : darah pada urine

7. Pucat : mukosa anemis akibat kurangnya suplai darah ke perifer

8. Anemia : Penurunan jumlah eritrosit dalam darah

2
IDENTIFIKSASI MASALAH

1. Mengapa pasien datang dengan keluhan lemas ?

2. Apa makna klinis fatique, pusing, palpitasi dan merasa seprti ingin pingsan ketika
beraktivitas ?

3. Apa makna klinis terlihat lebih pucat ?

4. Apa hubungan riwayat penyakit pasien, riwayat penyakit keluarga dan kanker terhadap
keluhan pasien ?

5. Apa hubungan hematuria, hematoschezia dan haid yang banyak dengan keluhan pasien ?

6. Apa hubungan umur dan jenis kelamin terhadap keluhan pasien ?

3
7. Apa saja faktor resiko anemia ?

8. Bagaimana fisiologi sistem hematologi ?

9. Apa saja jenis-jenis anemia ?

4
CURAH PENDAPAT

1. Mengapa pasien datang dengan keluhan lemas ?

Jawab : Dicurigai pasien kekurangan oksigen, kekurangan darah dan komponennya,


kekurangan nutrisi

2. Apa makna klinis fatique, pusing, palpitasi dan merasa seprti ingin pingsan ketika
beraktivitas ?

Jawab : Tanda tanda kekurangan oksigen, darah yang dipompa harus lebih kuat untuk
mencukupi kebutuhan oksigen

3. Apa makna klinis terlihat lebih pucat ?

Jawab : Kurangnya suplai darah ke jaringan perifer

4. Apa hubungan riwayat penyakit keluarga dan kanker terhadap keluhan pasien ?

Jawab : Menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya yang berhubungan

5. Apa hubungan hematuria, hematoschezia dan haid yang banyak dengan keluhan pasien ?

Jawab : Menyingkirkan diagnosis lainnya, menegakkan diagnosis anemia akibat perdarahan

6. Apa hubungan umur dan jenis kelamin terhadap keluhan pasien ?

Jawab : Faktor resiko terjadinya keluhan

7. Apa saja faktor resiko anemia ?

Jawab : Jenis kelamin, pendidikan,status gizi, intake dan bioavabilitas zat besi, konsumsi
alkohol, riwayat penyakit

8. Bagaimana fisiologi sistem hematologi ?

Jawab :Sistem hemopoesis membutuhkan :hemopoetic stem cell,lingkungan mikro sumsum


tulang dan baan bahan pembentukan darah

9. Apa saja jenis-jenis anemia ?

Jawab : Gangguan pembentukan eritrosit, depresi sumsum tulang, trauma, hemolisis. Jenis :
Anemia hemolisis, nomokromik neumositer, makrositer

5
ANALISIS MASALAH

1. Mengapa pasien datang dengan keluhan lemas ?

Jawab :

Lemas merupakan suatu gejala yang dapat disebabkan karena kekurangan oksigen, nutrisi,
maupun karena kekurangan darah serta komponenya. Pasien diduga mengalami kekurangan
darah sehingga memicu berkurangnya oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Berkurangnya
jumlah eritrosit yang dihasilkan berarti jumlah carrier O 2 juga semakin berkurang, maka
pengangkutan O2 pun ikut berkurang. Akibatnya, proses pembakaran glukosa pada sel-sel
tubuh untuk menghasilkan energi juga akan berkurang. Akibatnya, energi yang dihasilkan
oleh sel-sel otot untuk berkontraksi semakin berkurang (hipoksia jaringan). Defisiensi besi
juga dapat menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat.
Kedua Hal tersebut yang menimbulkan manifestasi klinis berupa lemas dan cepat lelah.1

2. Apa makna klinis fatique, pusing, palpitasi dan merasa seperti ingin pingsan ketika
beraktivitas ?

Jawab : Tanda tanda kekurangan oksigen, darah yang dipompa harus lebih kuat untuk
mencukupi kebutuhan oksigen. Pasien mengalami rasa ingin pingsan saat beraktivitas
disebabkan karena kurangnya aliran oksigen ke jaringan otak ditambah lagi beraktivitas
membutuhkan tenaga dan energi yang besar. Pengurangan tekanan darah sistemik
menyebabkan penurunan aliran darah ke otak, yang menyebabkan hilangnya kesadaran.
6
Penghentian tiba-tiba aliran darah ke otak selama 6 hingga 8 detik telah terbukti
menyebabkan hilangnya kesadaran. Kurangnya produksi eritrosit di sumsum tulang
menyebabkan distribusi oksigen menurun. Dimana oksigen diikat oleh hemoglobin di dalam
eritrosit. Jika kadar hemoglobin di dalam darah berkurang maka otomatis kadar oksigen yang
akan diikat juga berkurang, sehingga terjadi kekurangan oksigen ke jaringan, terutama otak.
Fatique bisa disebabkan oleh beberap faktor, diantaranya kelelahan otot, psikologidan faktor
fisiologis yaitu akumulasi substansi toksin (asam laktat) dalam darah.

3. Apa makna klinis terlihat lebih pucat ?

Jawab :

Terlihat lebih pucat:


Beberapa etiologi pucat diantaranya adalah albino, kedinginan, anemia, syok, penyakit
radang kronik. Pada pasien ini dicurigai terjadi anemia sehingga terlihat pucat.
Kegagalan sum-sum tulang dalam memproduksi sel-sel darah, yaitu sel darah merah dimana
terjadi penurunan Hb yang berdampak pada penurunan O2 sehingga terjadi vasokontriksi dan
darah akan dialirkan ke organ-organ yang lebih vital seperti otak dan jantung sehingga suplai
darah ke organ perifer, misalnya kulit berkurang. Akibatnya penderita terlihat pucat. 1

PenurunanHb

Defisiensi oxygen
Hb pd
Max. transport jaringnperiferberk
oxygen ke organ- urang
Vasokonstriksi organ vital

KonpenssasiTubuh PUCAT

4. Apa hubungan riwayat penyakit keluarga dan kanker terhadap keluhan pasien ?

Jawab :

7
Riwayat penyakit pasien dan penyakit keluarga ditanyakan terhadap pasien untuk
memastikan penyakit yang memiliki gejala serupa , menyingkirkan diagnosis banding dan
memastikan diagnosis sementara. Pada riwayat penyakit keluarga , misalnya seperti Diabetes
Melitus dimana keadaan hiperglikemia kronis dapat menyebabkan lingkungan hipoksia
dalam interstitium ginjal, Adanya gangguan pada ginjal inilah berpengaruh pada LFG dan
juga menandakan semakin sedikitnya nefron yang berfungsi sehingga terjadi gangguan
produksi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel fibroblas peritubular. Eritropoietin
merangsang sumsum tulang untuk membuat sel darah merah, sehingga jika terjadi gangguan
dalam pembentukannya, Hb tidak maksimal dibentuk dan terjadilah anemia. 2

Hubungan kanker terhadap pasien. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita keganasan. Penyebabnya dan mekanismenya kompleks dan multifaktor. Sering kali
tidak diikuti dengan gejala adanya infiltrasi ke sumsum tulang atau adanya kehilangan darah,
hemolisis, kelainan ginjal, hati, ataupun adanya tanda-tanda defisiensi nutrisional. Anemia
yang disebabkan kanker, bisa terjadi sebagai efek langsung dari keganasan, dapat sebagai
akibat produksi zat zat tertentu yang dihasilkan kanker atau dapat juga oleh karena
pengobatan kanker itu sendiri.3

Kadar Hb dipengaruhi oleh inflamasi, stadium kanker, terapi antikanker, penyakit kronis,
perdarahan, koreksi Hb, dsbg. Anemia pada pasien kanker dapat terjadi baik sebelum maupun
setelah mendapat terapi antikanker. Kejadian anemia berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Kanker akan mengaktifkan reaksi inflamasi. Inflamasi ditandai
dengan peningkatan kadar C-reavtive protein (CRP) plasma. Kadar CRP plasma
menggambarkan kadar interleukin (IL)-6. IL-6 mempengaruhi kadar dan aktivitas biologis
dari hepcidin. Hepcidin menghambat penyerapan besi di duodenum dan menghalangi
pelepasan besi dari makrofag, sehingga kondisi inflamasi mempengaruhi kadar Hb. Yang
apabila terjadi tanpa terkontrol dapat menyebabkan Anemia. 4

5. Apa hubungan hematuria, hematoschezia dan haid yang banyak dengan keluhan pasien ?

Jawab :

Pada pasien dengan curiga anemia, perlu dilakukan pendekatan untuk menegakkan
underlying disease dari anemia dan menentukan jenis dan etiologi dari anemia yang dialami
pasien. Untuk itu, perlu ditanyakan adakah adanya perdarahan berlebihan atau yang tidak

8
biasa seperti hematuria, hematoschezia dan haid yang banyak untuk memastikan apakah
penyebab dari keluhan pasien merupakan tanda anemia karena kehilangan darah keluar tubuh
(anemia hemoragik)

6. Apa hubungan umur dan jenis kelamin terhadap keluhan pasien ?

Jawab :

Umur dan jenis kelamin dapat dijadikan sebagai suatu faktor pendukung atau faktor resiko
terjadinya keluhan. Seperti yang diketahui, wanita lebih cenderung kekurangan darah akibat
mengalami pendarahan rutin yaitu menstruasi. Hal ini menyebabkan perempuan lebih banyak
mengalami anemia. Perempuan yang mengalami menstruasi kehilangan sekitar 30 mg besi
setiap kali siklus menstruasi, perempuan dengan perdarahan menstruasi yang hebat dapat
kehilangan lebih banyak lagi. Besi membentuk inti dari cincin besi-porfirin heme, yang
bersama dengan rantai globin membentuk hemoglobin. Hemoglobin secara reversibel
mengikat oksigen dan membentuk mekanisme penting untuk mentranspor oksigen dari paru
ke jaringan lain. Pada keadaan tidak adekuatnya besi, terbentuk eritrosit yang berukuran kecil
dan tidak cukup mengandung hemoglobin sehingga menyebabkan anemia mikrositik
hipokromik.2

7. Apa saja faktor resiko anemia ?

Jawab :

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia

1. Jenis Kelamin. Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria.
Beberapa alasan wanita lebih banyak terkena anemia yaitu 1) Pada umumnya
masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan
hewani, sehingga masih banyak yang menderita anemia; 2) Wanita lebih jarang
makan makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin
langsing; 3) Mengalami haid setiap bulan, sehingga membutuhkan zat besi dua kali
lebih banyak daripada pria.

9
2. Pendidikan. Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang
sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi
yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah.
3. Status Gizi. Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama status gizi mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin,
artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya.
4. Intake dan Bioavailabilitas Zat Besi (Fe)Besi merupakan mineral mikro yang
paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yakni sebanyak 3-5
gram di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi berperan sebagai pusat katalis untuk
berbagai fungsi metabolik. Besi dibutuhkan tubuh dalam transportasi oksigen
dalam bentuk hemoglobin yang penting untuk respirasi sel. Besi dalam bentuk
mioglobin, dibutuhkan dalam penyimpanan oksigen di dalam otot. Zat besi juga
merupakan komponen berbagai enzim jaringan, seperti sitokrom, yang
pentingdalam produksi energy.
5. Konsumsi Alkohol. Alkohol merupakan minuman yang hanya mengandung energi
dan bersifat diuretik. Metabolisme alkohol akan membutuhkan vitamin B1 dan niasin.
Sifat diuretik dari alkohol juga akan mengurangi vitamin-vitamin B, vitamin C,
mineral kalsium, kalium, dan magnesium. Minum alkohol secara berlebihan dapat
menurunkan penyerapan asam folat. Alkohol juga akan menurunkan nafsu makan
sehingga tubuh terhalang untuk memperoleh asupan konsumsi gizi seimbang.
6. Riwayat Penyakit. Infeksi dan parasit dapat menyebabkan anemia melalui
peningkatan kehilangan zat gizi terutama besi. Prevalensi anemia yang tinggi
pada laki-laki sering disebabkan karena infeksi dan parasit. Penyakit-penyakit yang
dapat menjadi penyebab anemia antara lain malaria, HIV, cacing tambang, dan diare
kronis.
8. Bagaimana fisiologi sistem hematologi ?
Jawab :

FISIOLOGI SISTEM HEMATOLOGI1

Definisi darah

10
Darah merupakan suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang mengandung
elektrolit, sebagai transpor masal berbagai bahan antara sel dan lingkungan eksternal atau
antara sel-sel itu sendiri, transpor semacam ini esensial untuk mempertahankan homeostasis.
Memiliki karakteristik yakni: temperature rata-rata 38° C, viskositas lima kali lebih besar dari
viskositas air. PH alkali, 7.35 - 7.45 volume : 5,5 L (pria), 5 L (wanita), memiliki berat 8%
dari berat badan. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah
sehingga dapat menjalankan fungsinya.

Fungsi darah

A. Transportasi dari gas yang terlarut, nutrisi, hormone dan zat sisa metabolic, sebagai alat
pengangkut yaitu:

1. Mengambil oksigen/ zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan keseluruh jaringan
tubuh.

2. Mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.

3. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dibagikan ke seluruh
jaringan atau alat tubuh.

4. Mengangkat atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk dikeluarkan
melalui ginjal dan kulit.

5. Mengedarkan hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin yang dilakukan oleh
plasma darah.

B. Regulasi dari pH dan komposisi dari cairan intersisial. Sebagai pengatur regulasi
yaitu : Mempertahankan PH dan konsentrasi elektrolit pada cairan interstitial melalui
pertukaran ion-ion dan molekul pada cairan interstitial.

C. Restriksi dari kehilangan cairan pada daerah yang luka.

D. Pertahanan melawan toxin dan patogen.

Darah Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh dengan
perantaraan leukosit dan antibodi untuk mempertahankan tubuh terhadap invasi
mikroorganisme dan benda asing (leukosit) dan proses homeostatis (trombosit).

E. Termoregulasi (pengatur suhu tubuh)


11
Menyebarkan panas keseluruh tubuh, darah mengatur suhu tubuh melalui transport panas
menuju kulit dan paru-paru.

Komposisi darah

Darah terdiri atas 2 komponen utama :

1. Plasma darah : bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektroit, dan protein
darah. Plasma protein terdiri dari albumin (58%), globulin α, β, γ (38%), fibrinogen (4%),
other solutes 2%.

2. Formed elements, yang terdiri atas :

a. Eritrosit : sel darah merah (SDM)-red blood cell (RBC)

b. Leukosit : sel darah putih (SDP)-white blood cell (WBC)

c. Trombosit : butir pembeku-platelet

Tabel 1 : Konstituen darah dan fungsinya

KONSTITUEN FUNGSI

12
Plasma

1. Air Medium transportasi; mangangkut panas

2. Elektrolit Eksitabilitas membran; distribusi osmotik


cairan intrasel dan ekstrasel; manyangga
perubahan pH

3. Nutrien, zat sisa, gas, hormon Diangkut dalam darah; gas CO2 darah
berperan dalam keseimbangan asam-basa

4. Protein plasma Secara umum, menimbulkan efek osmotic


yang penting dalam distribusi cairan
ekstrasel antara kompartemen vaskuler dan
intestisium; menyangga perubahan pH

4.1 Albumin Mengangkut banyak zat; memberi


kontribusi terbesar bagi tekanan osmotik
koloid

4.2 Globulin

4.2.1 Alfa dan Beta Mengangkut banyak zat; factor pembekuan;


molekul precursor inaktif

4.2.2 Gama Antibodi

4.3 Fibrinogen Prekursor inaktif untuk jaringan fibrin pada


bekuan darah

Elemen Selular

1. Eritrosit Mengangkut O2 dan CO2 (terutama O2)

2. Leukosit

2.1 Neutrofil Fagosit yang memakan bakteri dan debris

2.2 Eosinofil Menyerang cacing parasit; penting dalam


reaksi alergi

13
2.3 Basofil Mengeluarkan histamin, yang penting dalam
reaksi alergi, dan heparin yang membantu
membersihkan lemak dari darah dan
mungkin berfungsi sebagai antikoagulan

2.4 Monosit Dalam transit untuk menjadi makrofag


jaringan

2.5 Limfosit

2.5.1 Limfosit B Pembentukan antibodi

2.5.2 Limfosit T Respons imun seluler

3. Trombosit Hemostasis

Hemopoesis (hematopoesis)

Tabel 2 : Tempat hemopoesis

Umur Tempat hemopoesis

0-3 bulan Yolk sac

Janin 3-6 bulan Hati dan limpa

4-9 bulan Sumsum tulang

Bayi Sumsum tulang (semua bagian tulang)

Dewasa Os.Vertebrae,Costae,Sternum,Cranium,Sacrum,Pelvis

Ujung proksimal os.femur

Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik sema hemopoesis terjadi pada sumsum tulang.
Dalam keadaan patologik, seperti pada mielofibrosis, hemopoesis terjadi di luar sumsum
tulang, terutama di lien, disebut sebagai hemopoesis ekstramoduler. Untuk kelangsungan
hemopoesis diperlukan:
14
1. Sel induk hematopoietic (hematopoietic stem cell)

Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), butir pembeku (trombosit), dan juga
beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitive disebut
sebagai pluripoten (totipoten) stem cell.

2. Lingkungan mikro (microenviromentment) sumsum tulang

Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan sel induk tumbuh
secara kondusif. Lingkungan mikro sangat penting dalam hemopoesis karena berfungsi untuk
berikut :

a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopoesis yang dibawa oleh peredaran darah mikro
dalam sumsum tulang.

b. Komunikasi antar sel (cell to cell communication), terutama ditentukan oleh


adanya adhesion molecule.

c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis : hematopoetic growth factor, cytokine,


dan lain-lain.

3. Bahan-bahan pembentuk darah, Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah


adalah :

a. Asam folat dan vitamin B12 : merupakan bahan pokok pembentukan inti sel.

b. Besi : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin

c. Cobalt, magnesium, cu, zn

d. Vitamin lain : vitamin C, B kompleks, dan lain-lain.

4. Mekanisme regulasi

Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas pertumbuhan sel dan
pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang
dapat merespon kebutuhan tubuh dengan tepat. Produksi komponen darah yang berlebihan
ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sama menimbulkan penyakit.

Sistem Eritroid
15
Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life) span rata-rata selama 120 hari. Setelah 120
hari eritrosit mengalami proses penuaan (senescence) kemudian dikeluarkan dari sirkulasi
oleh system RES. Apabila destruksi eritrosit sebelum waktunya(<120 hari) maka proses ini
disebut sebagai hemolisis.

Gambar 2: Hemopoiesis (pembentukan darah)

A. Struktur Eritrosit

Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron.
Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas
membrane dan sitoplasma tanpa inti sel.

Komponen eritrosit terdiri atas :

1. Membran eritrosit

2. Sistem enzim yang terpenting dalam Embden Meyerhoff pathway : pyruvate kinase,
dalam pentose pathway : enzim G6PD (glucose 6-phospate dehidrogenase)

3. Hemoglobin : berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdirir atas :

a. Heme : yang merupakan gabungan protoporfirin dengan besi

b. Globin : bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta.
16
Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan. Kelainan yang timbul karena
kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibat gangguan sistem enzim
eritrosit disebut ensimopati, sedangkan kelainan akibat gangguan struktur hemoglobin disebut
sebagai hemoglobinopati.

B. Destruksi Eritrosit

Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescene, sedangkan destruksi
patologik disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler, dapat juga ekstravaskuler,
terutama pada sistem RES, yaitu lien dan hati.

Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-komponen


hemoglobin menjadi berikut:

1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai
kembali.

2. Komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu :

a. Besi : yang akan dikembalikan ke pool besi dan dipakai ulang.

b. Bilirubin : yang akan disekresikan melalui hati dan empedu.

Gambar 3: Skema destruksi eritrosit

9. Apa saja penyebab anemia dan jenis-jenisnya ?

1. Anemia defisiensi besi5

A. Definisi

17
Anemia yang terjadi akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis karena
cadangan besi kosong. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya pembentukan
hemoglobin. ADB ditandai dengan anemia hipokromuk mikrositer dan hasil laboratorium
yang menunjukkan cadangan besi kosong.

B. Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
a. Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.
c. Saluran kemih : hematuria.
d. Saluran napas : hemoptosis.
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas
besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C,
dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik
dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang
sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah
perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.

C. Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi hesi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong
sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini
18
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin
dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan
besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku,
epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

D. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi


Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu, gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang
terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok
dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih
cepat. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang dapat berjalan dengan
baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di
bawah kuku
Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain,
seperti :
1) koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
2) Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
3) Stomatitis angularis (cheilosis): adanya peradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
4) Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
19
5) Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
6) Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat,
es, lem, dan lain-lain.

Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.

Gejala Penyakit Dasar

Anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab
anemia defisiensi besi tersebut. Sebagai contoh, pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna
kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon
dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari
lokasi kanker tersebut.

E. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kadar hemoglobin dan index eritrosit menurun : MCV < 70 fl, peningkatan
anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width), hapusan
darah tepi menujukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis.
Dijumpai Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia
ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing
tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan
episode perdarahan akut.
2) Konsentrasi Besi Serum Menurun pada Anemia defisiensi besi, dan TIBC (total
iron binding capacity) Meningkat : TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan
apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum
dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum
menurun < 50 ug/ di, total iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 ug/ dl, dan
saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin < 16 % , atau <
18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.
3) Feritin serium merupakan indicator cadangan besi yang sangat baik, kecuali
pada keadaan inflamasi dan keganasan tertentu : titik pemilah untuk ferritin serum
pada ADB dipakai angka < 12µg/l. ada juga yang memakai <15 µg/l
20
4) Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi : kadar
normal dengan pemeriksaan imunologi adalah 4-9Hg/L. Pengukuran reseptor
transferin terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit
kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin
serum. Rasio 1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia
akibat penyakit kronik.
5) Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang
dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur.
Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang
dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir
hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblas mengandung granula
feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi maka
sideroblas negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai
baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya
banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis.

F. Diagnosis
Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin
atau hematocrit. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi. Tahap ketiga
adalah menentukan penyebab defisiensibesi yang terjadi.
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi :
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC
<31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC 350 mg/dl
Saturasi transferin: <15 % , atau
b. Feritin serum <20 mg/l, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

G. Terapi
21
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana nemberian terapi. Terapi terhadap
anemia defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacemen therapy):

Terapi Besi Oral.

Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman.
Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) yang merupakan preparat
pilihan pertama karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg.
Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas
ferosus 3 x 200 mq memberikan absorpsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan
eritropoesis dua sampai tiga kali normal. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada
juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar Hb normal untung mengisi
cadangan besi tubuh.

Terapi Besi Parenteral.

Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral;
(2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan seperti kolitis
ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti
misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary
hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti
pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif
akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat
penyakit kronik.

Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron
sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose
yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau
intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan

22
warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,
meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual,
muntah, nyeri perut dan sinkop.

Pengobatan Lain

1) diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani
2) vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi
besi
3) transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
a) Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman gagal jantung
b) Anemia yang sangat simptomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat menyolok
c) Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid
intravena.

2. Thalassemia major6

Thalasemia mayor adalah bentuk homosigot dari thalassemia beta yang diserta anameia berat
dengan segala konsekkuensinya.

A. Gambaran Klinis

Biasanya ditemukan pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis anemia
berat,bila kadar HB tidak naik akan terjadi peningkatan hepatosplenomegli,icterus,perubahan
tulang yang nyata karena rongga sumsung tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasida
eritroid yang ekstrim.1

23
B. Gambaran hematologic

1. .darah tepi terdiri dari

a. Anemia berat ,HB dapat 3-9 g/dl sehingga terus menerus memerlukan transfuse darah,

b. Apusan darah tepi , eritrosit hipokromik mikrositer,dijumpai sel target,normolast,dan


polikromasia.

c. Retikulositosis

2. Sumsung tulang hyperplasia eritoid dan cadangan besi meningkat.

3. .red cell survival memendek.

4. .tes fagilitas osmotic : eritrosit lebih tahan terhadap larutan salin hipotonik.

5. dalam etikulosit dijumpai sintesis rantai beta menurun.

C.Tata laksna

Indikasi transfuse darah apabila HB<7g/dl setelah 2x pemeriksaan dengan selang waktu >2
minggu , transfuse diberikan secara terus menerus selagi terdapat gagal tumbuh atau
deformitas tulang.2

3. Anemia sideroblastik7,8

a. Definisi
Anemia sideroblastik atau anemia sideroachrestic adalah suatu bentuk anemia di
mana sumsum tulang menghasilkan sideroblas bercincin daripada sel darah merah yang sehat
(eritrosit). Pada anemia sideroblastik, tubuh memiliki zat besi tetapi tidak dapat
memasukkannya ke dalam hemoglobin , yang dibutuhkan sel darah merah untuk mengangkut
oksigen secara efisien. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kelainan genetik atau secara tidak
langsung sebagai bagian dari sindrom myelodysplastic , yang dapat berkembang
menjadi keganasan hematologis (terutama leukemia myeloid akut ).
Sideroblas ( sidero- + -blast ) adalah eritroblas berinti (prekursor sel matang darah merah)
dengan butiran besi terakumulasi dalam mitokondria yang mengelilingi nukleus . Biasanya,
24
sideroblas ada di sumsum tulang, dan memasuki sirkulasi setelah matang menjadi eritrosit
normal. Kehadiran sideroblas per se tidak mendefinisikan anemia sideroblastik. Hanya
temuan sideroblas cincin (atau cincin) yang mencirikan anemia sideroblastik.

Gambar sideroblast

b. Gejala klinis

Anemia sideroblastik memiliki gejala klinis seperti anemia pada umumnya termasuk kulit
pucat, kelelahan, pusing, dan pembesaran limpa dan hati . namun bisa juga di sertai gejala-
gejala seperti penyakit jantung, kerusakan hati, dan gagal ginjal yang dapat terjadi akibat
penumpukan zat besi di organ-organ ini. Gejala nya tidak khas pada anemia sideroblastik.

c. Etiologi

Penyebab anemia sideroblastik dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: anemia


sideroblastik kongenital, anemia sideroblastik klon yang didapat, dan anemia sideroblastik
yang dapat dibalik. Semua kasus melibatkan sintesis atau pemrosesan heme yang
tidak berfungsi. Hal ini menyebabkan deposisi granular besi dalam mitokondria yang
membentuk cincin di sekitar nukleus sel darah merah yang sedang berkembang. Bentuk
bawaan sering hadir dengan anemia normositik atau mikrositik sedangkan bentuk
sideroblastik yang didapat sering berupa normositik atau makrositik.

1. Congenital sideroblastic anemia

Anemia sideroblastik terkait-X: Ini adalah penyebab bawaan paling umum dari anemia
sideroblastik dan melibatkan defek pada ALAS2 , yang terlibat dalam langkah pertama
sintesis heme. Meskipun terkait dengan X, sekitar sepertiga pasien adalah wanita
karena inaktivasi X yang miring (lyonizations).

25
Anemia sideroblastik resesif autosom melibatkan mutasi pada gen SLC25A38 . Fungsi
protein ini tidak sepenuhnya dipahami, tetapi terlibat dalam transportasi mitokondria
glisin. Glycine adalah substrat untuk ALAS2 dan diperlukan untuk sintesis
heme. Bentuk resesif autosomal biasanya parah dalam presentasi.

Sindrom genetik: Jarang, anemia sideroblastik dapat menjadi bagian dari sindrom
bawaan dan hadir dengan temuan terkait, seperti ataksia , miopati , dan insufisiensi
pankreas .

2. Acquired clonal sideroblastic anemia


Anemia sideroblastik klon termasuk dalam kategori yang lebih luas dari sindrom
myelodysplastic (MDS). Tiga bentuk ada dan termasuk anemia refrakter dengan
sideroblas bercincin (RARS), anemia refraktori dengan sideroblas bercincin
dan trombositosis (RARS-T), dan sitopenia refraktori dengan displasia multilineage dan
cincin sideroblas (RCMD-RS). Anemia ini dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk
evolusi leukemia.

3. Acquired reversible sideroblastic anemia

Penyebabnya termasuk penggunaan alkohol berlebihan (penyebab paling umum dari


anemia sideroblastik), kekurangan piridoksin (vitamin B6 adalah kofaktor pada langkah
pertama sintesis heme , keracunan timbal dan defisiensi tembaga . Kelebihan
seng secara tidak langsung dapat menyebabkan anemia sideroblastik dengan
mengurangi penyerapan dan meningkatkan ekskresi tembaga. Antimikroba yang dapat
menyebabkan anemia sideroblastik termasuk isoniazid (yang mengganggu metabolisme
piridoksin), kloramfenikol (yang, dengan menghambat sintesis protein membran
mitokondria, merusak respirasi mitokondria ), sikloserin , dan linezolid .

d. Diagnostik

Pada apusan darah tepi dapat ditemukan eritrosit dengan penetapan basofilik (butiran
sitoplasma dari endapan RNA) dan badan Pappenheimer (butiran sitoplasma besi).
Anemia sedang sampai parah dan dimorfik. Tampilan mikroskopis dari sel darah merah
akan menunjukkan ukuran sel yang ditandai tidak sama dan bentuk sel
abnormal . Pembentukan basofilik ditandai dan sel target adalah umum. Volume sel rata -
rata umumnya menurun (yaitu, anemia mikrositik ), tetapi mungkin juga normal atau
26
bahkan tinggi. RDW meningkat dengan histogram sel darah merah bergeser ke
kiri. Leukosit dan trombosit normal. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid
dengan serangan maturasi. Lebih dari 40% eritrosit yang berkembang adalah sideroblas
bercincin. Zat besi , persentase saturasi dan ferritin meningkat. Total kapasitas pengikatan
besi pada sel normal untuk menurun. Hemosiderin sumsum yang dapat dinaikkan
meningkat.

e. Klasifikasi

Anemia sideroblastik biasanya dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan penyebabnya.

OMIM Nama Gen


300751 Anemia sideroblastik X-linked (XLSA) ALAS2
301310 anemia sideroblastik dengan ataksia ABCB7
spinocerebellar (ASAT)
205950 anemia sideroblastik resesif piridoksin- SLC25A38
refrakter autosom
206000 Anemia sideroblastik piridoksin (Kekurangan vitamin B6; fosfat piridoksal
responsif diperlukan untuk sintesis heme)

f. Hasil laboratorium

a) Serum Besi: tinggi ↑

b) peningkatan feritin ↑

c) penurunan total kapasitas pengikatan besi ↓

d) saturasi transferrin tinggi

e) Hematokrit sekitar 20-30%

f) Volume corpuscular rata - rata atau MCV biasanya normal atau rendah untuk
penyebab bawaan dari anemia sideroblastik tetapi normal atau tinggi untuk bentuk
yang didapat.

g) Dengan keracunan timbal , lihat penetapan basofilik kasar sel darah merah pada
apusan darah tepi

27
h) Tes khusus: Noda biru Prussia RBC di sumsum menunjukkan sideroblas
bercincin. Pewarnaan biru prusia melibatkan reaksi non-enzimatik dari besi besi
dengan ferrocyanide yang membentuk ferric-ferrocyanide, yang berwarna
biru. Counterstain dapat digunakan untuk memberikan visualisasi yang lebih baik.

g. Terapi
Kadang-kadang, anemia sangat parah sehingga dukungan dengan transfusi
diperlukan. Pasien-pasien ini biasanya tidak menanggapi terapi erythropoietin . Beberapa
kasus telah dilaporkan bahwa anemianya terbalik atau tingkat heme ditingkatkan melalui
penggunaan pyridoxine dosis sedang hingga tinggi (vitamin B6 ). Dalam kasus SBA yang
parah, transplantasi sumsum tulang juga merupakan pilihan dengan informasi terbatas tentang
tingkat keberhasilan. Beberapa kasus terdaftar di MedLine dan berbagai situs medis
lainnya. Dalam kasus anemia sideroblastik yang diinduksi isoniazid , penambahan B6 cukup
untuk memperbaiki anemia. Deferoxamine , agen chelating , digunakan untuk mengobati
kelebihan zat besi dari transfusi. Flebotomi terapeutik dapat digunakan untuk mengatasi
kelebihan zat besi.

h. Prognosis
Anemia sideroblastik sering digambarkan sebagai responsif atau non-responsif dalam hal
peningkatan kadar hemoglobin terhadap dosis farmakologis vitamin B6.
a) Congenital : 80% responsif, meskipun anemia tidak sepenuhnya sembuh.
b) Acquired clonal sideroblastic anemia: 40% responsif, tetapi responsnya
mungkin minimal.
c) Acquired reversible : 60% responsif, tetapi tentu saja tergantung pada
pengobatan penyebab yang mendasarinya.

Anemia sideroblastik refrakter berat yang membutuhkan transfusi reguler dan / atau yang
mengalami transformasi leukemia (5-10%) secara signifikan mengurangi harapan hidup.

4. Anemia aplastik5,9

A. DEFINISI

28
Anemia aplastik merupakan suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang dikarakterisasi
dengan adanya pansitopenia perifer, hipoplasia sumsum tulang dan makrositosis oleh karena
terganggunya eritropoesis dan peningkatan jumlah fetal hemoglobin. Anemia Aplastik dapat
terjadi pada semua golongan usia, serta dapat diturunkan secara genetik ataupun didapat.
Mekanisme primer terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui kerusakan pada sel induk
(seed theory), kerusakan lingkungan mikro (soil theory) dan melalui mekanisme imunologi
(immune suppression). Mekanisme ini terjadi melalui berbagai faktor (multi faktorial) yaitu:
familial (herediter), idiopatik (penyebabnya tidak dapat ditemukan) dan didapat yang
disebabkan oleh obatobatan, bahan kimia, radiasi ion, infeksi, dan kelainan imunologis.
Anemia aplastik merupakan kegagalan hematopoiesis yang relatif jarang dijumpai namun
berpotensi mengancam nyawa.

B. ETIOLOGI

Anemia aplastik dapat terjadi oleh karena Radiasi , Bahan-bahan Kimia , Obat-obatan ,
Infeksi dan Faktor Genetik

C. PATOGENESIS

Tiga faktor penting untuk terjadinya anemia aplastik adalah:

a. Gangguan sel induk hemopoeitik


b. Gangguan lingkungan mikro sumsum tulang
c. proses imunologik

Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan
transplantasi sumsum tulang pada penderita anemia aplastik, yang berarti bahwa penggantian
sel induk dapat memperbaiki proses patologik yang terjadi. Teori kerusakan lingkungan
mikro dibuktikan melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik
dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan pengobatan imunosupresif. Kelainan
imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau lingkungan
mikro sumsum tulang.

Destruksi imun pada sel hematopoeitik terjadi dengan proses : sel target hematopoeitik
dipengaruhi oleh interaksi ligan-reseptor, sinyal intrasesuler dan aktivasi gen. Aktivasi

29
sitotoksik T-limfosit berperan penting dalam kerusakan jaringan melalui sekresi IFN-γ dan
TNF. Keduanya dapat saling meregulasi selular reseptor masing-masing dan Fas reseptor.
Aktivasi tersebut menyebabkan terjadinya apoptosis pada sel target. Beberapa efek dari IFN-γ
dimediasi melalui IRF-1 yang menghambat transkripsi selular gen dan proses siklus sel
sehingga regulasi sel-sel darah tidak dapat terjadi. IFN-γ juga memicu produksi gas NO yang
bersifat toksik terhadap sel-sel lain. Selain itu, peningkatan IL-2 menyebabkan meningkatnya
jumlah T sel sehingga semakin mempercepat terjadinya kerusakan jaringan pada sel.

D. MANISFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia aplastik dapat berupa:

Sindrom anemia :
a. Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas intoleransi
terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah jantung.
b. Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata berkunang – kunang
terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu
dan perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut kembung, enek di
hulu hati, diare atau obstipasi.
d. Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
e. Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah, rambut tipis
dan kekuning kuningan
1. Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia pada wanita. Perdarahan organ
dalam lebih jarang dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
2. Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris, sepsis
atau syok septik.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis anemia aplastik berdasarkan International Agranulocytosisand Aplastic


Anemia Study Group (IAASG) adalah:

1. Satu dari tiga sebagai berikut :

30
Hb <10 g/dl atau Hct < 30%
Trombosit < 50x10⁹/L
Leukosit < 3,5x10⁹/L
2. Retikulosit <30x10⁹/L
3. Gambaran sumsum tulang :
Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoeitik
atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal dengan deplesi seri granulosit
dan megakariosit.
Tidak adanya fobrosis yang bermaknaatau infiltrasi neoplastik.
4. Pansitopenia karena obat sitostakita atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.

F. TERAPI
Penatalaksanaan
a. Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering hal
ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak
dapat dikoreksi.
b. Terapi suportif
A. Untuk mengatasi infeksi
1. Higiene mulut.
2. Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat.
Sebelum ada hasil tes sensitivitas, antibiotik yang biasa diberikan adalah ampisilin,
gentamisin, atau sefalosporin generasi ketiga.
3. Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram negatif,
dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika adekuat.

B. Untuk mengatasi anemia


Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia
yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 g/dl, tidak perlu sampai Hb normal, karena
akan menekan eritropoiesis internal.
C. Untuk mengatasi perdarahan

31
Tranfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit < 20.000/mm3.
Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas trombosit karena timbulnya
antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan kulit.

c. Terapi memperbaiki fungsi sumsum tulang yang akan merangsang pertumbuhan


sumsum tulang :
1. Anabolik Steroid: oksimetolon atau atanozol. Efek terapi muncul dalam 6-12
minggu.
2. Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah : prednison 40100 mg/hr, jika
dalam 4 minggu tidak ada perbaikan maka pemakaiannya harus dihentikan karena
efek sampingnya cukup serius.
d. Terapi definitif, dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. terdiri atas dua
macam pilihan :
1. Terapi Imunosupresif. Modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien
anemia aplastik. Regimen yang paling sering dipakai adalah antithymocyte globulin
(ATG) dari kuda (dosis 20mg/kg perhari selama 4 hari) Atau ATG kelinci (dosis
3,5mg/kg per hari selama 5 hari) plus siklosporin A (12-15mg/kg).
2. Transplantasi sumsum tulang. tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan
yang canggih, serta adanya kesulitan tersendiri dalam mencari donor yang
kompatibel. Merupakan pilihan untuk pasien usia < 40 tahun dan Memberikan
kesembuhan jangka panjang pada 60-70% kasus.
Prognosis atau perjalanan penyakit untuk anemia aplastik sangat bervariasi, tanpa pengobatan
akan memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi tiga, yaitu:
a. kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan (10-15% kasus)
b. pasien dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse dapat meninggal
dalam 1 tahun (50% kasus)
c. pasien yang mengalami remisi sempurna atau parsial (sebagian kecil pasien)

Komplikasi yang dapat terjadi pada anemia aplastik dengan TST maupun dengan penggunaan
imunosupresan menimbulkan efek jangka panjang pada pasien. Pasien yang mampu bertahan
hidup akan berisiko terkena keganasan. Angka kejadian sindrom mielodisplasia dan leukemia
akut lebih tinggi dibandingkan dengan TST. Dari laporan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan, dampak jangka panjang terapi anemia aplastik mempunyai risiko yang tinggi
untuk terjadi tumor padat, sindrom mielodisplastik dan leukemia akut setelah terapi TST dan
imunosupresan. Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20
32
pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukimia akut, mielodisplasia, PNH, dan
adanya resiko menjadi hepatoma.

5. Anemia hemolitik5

A. Definisi
Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau pembuangan sel darah
merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan masa hidup sel darah
merah normal.

B. Etiologi
Anemia jenis ini disebabkan oleh produksi antibody tubuh terhadap eritrositnya sendiri.
Kelainan ini ditandai dengan Direct Antiglobulin Test/DAT atau yang sering dikenal dengan
Coomb’s Test yang positif, dan dibedakan menjadi tipe warm dan cold tergantung pada
antibodi bereaksi lebih kuat dengan eritrosit pada 37°C atau 4°C.

C. Epidemiologi
Dilaporkan insidens anemia hemolitik imun sebesar 0.8/100.000/tahun dan prevalensinya
sebesar 17/100.000

D. Patogenesis
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantai antibodi ini melalui aktivasi sistem komplemen,
aktivasi mekanisme, atau kombinasi keduanya.
A. Aktivasi sistem komplemen.
Seacar keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan memyebabkan hancurnya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan hemoglobinemia dan
hemaglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur
alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibody ini
beriktan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu dibawah
suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen
permukaaan sel eritrosit pada suhu tubuh.

B. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

33
Jika sel darah disensiitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses
immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantai sel Immuo
adherence, terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

E. Gejala Klinis
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita
anemia hemolitik. Tanda klinins yang sering dilihat adalah konjungtiva pucat, sklera
berwarna kekuningan, splenomegali, urin berwarna merah gelap. Tanda laboratorium yang
sering dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan dehudrogenase,
peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil posistif

F. Klasifikasi
A. Warm autoimmune hemolytic anemia

Eritrosit dilapisi dengan immunoglobulin G (IgG) secara tersendiri atau dengan komplemen
dan oleh karena itu diambil oleh makrofag RE yang mempunyai Fc Receptor. Bagian dari
membrane yang terlapisi tersebut hilang, sehingga sel menjadi semakin sferis untuk
mempertahankan volume yang tetap dan akhirnya dihancurkan secara prematir, terutama di
limpa dan sistem Retikulo Endotelial.

Gambaran Klinis: Penyakit dapat terjadi pada segala usia, jenis kelamin, dan bermanifestasi
sebagai anemia hemolitik dengan keparahan bervariasi. Limpa sering kali membesar.
Penyakit ini cenderung pulih dan kambuh.

Temuan Laboratorium: didapatkan temuan hematologis dan biokimiawi khas untuk anemia
hemolitik ekstravaskuler dengan sferositosis yang nyata dalam darah tepi. DAT positif akibat
IgG, IgG dengan komplemen, atau IgA ada sel dan pada beberapa kasus autoantibodi
menunjukkan spesifisitas dalam system Rh. Antibody yang terdapat pada permukaan sel dan
yang bebas dalam serum yang paling baik dideteksi pada suhu 37°C.

B. Cold autoimmune hemolytic anemia

34
Auto antibodi pada cold AIHA biasanya IgM dan berikatan dengan eritrosit terbaik pada suhu
4°C. Antibodi IgM sangat efisien untuk mengikat komplemen dan dapat terjadi hemolisis
intravascular dan ekstravaskular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada eritrosit,
antibody telah terlepas dari sel di bagian-bagian sirkulasi yang lebih hangat. Yang menarik,
pada hampir semua sindrom AIHA dingin, antibody ditujukan terhadap antigen “I” pada
permukaan eritrosit. Pada mononucleosis infeksiosa, antibody adalah anti-i.

Gambaran klinis: pasien menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh dingin dan
disertai dengan hemolisis intravascular. Ikterus ringan dan splenomegali mungkin ditemukan.
Pasien mungkin mengalami akrosianosis (keunguan) pada ujung hidung, telinga, jari-jari
tangan dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah
keciil.

Temuan laboratorium mirip dengan AIHA hangat kecuali bahwa sferositosis kurang nyata,
eritrosit beraglutinasi dalam suhu dingin dan DAT menunjukkan komplemen (C3d) hanya
pada permukaan eritrosit. Serum menunjukkan autoantibodi “dingin” terhadap eritrosit
dengan titer yang tinggi.

G. Laboratorium
1. CBC (Complete Blood Count) : pemeriksaan laboratiorium yang digunakan untuk menilai
kadar hemoglobin dan hematokrit. Kadar hemoglobin dan hematokrit yang rendah
merupakan tanda dari anemia. CBC juga dapat digunakan untuk menilai mean corpuscular
volume (MCV) untuk menilai ukuran rata-rata dari sel darah merah.
2. Hitung Retikulosit : untuk menghitung jumlah sel darah merah yang masih muda dalam
darah, untuk menilai apakah sumsum tulang memproduksi sel darah merah dalam jumlah
yang normal. Pada anemia hemolitik biasa terjadi peningkatan jumlah retikulosit.
3. Blood smear : untuk menilai bentuk dan warna dari sel-sel darah melalui mikroskop.
4. Coombs Test : untuk mengetahui apakah tubuh memproduksi antibodi yang dapat
menghancurkan sel-sel darah merah. Pada anemia hemolitik Coombs test positif.
5. Bilirubin, dan Fungsi Hati : hemoglobin dipecah menjadi bilirubin. Tingginya kadar
bilirubin dalam darah merupakan tanda dari anemia hemolitik.
6. Bone Marrow Test : Aspirasi dan biopsi sumsum tulang untuk menilai apakah sumsum
tulang berada dalam keadaan yang sehat dan dapat memproduksi sel darah yang cukup.
7. Pemeriksaan urine : untuk menilai kadar hemoglobin bebas dalam urine dan kadar besi.

35
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya rasa lelah, mudah
mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala, riwayat sakit sebelumnya.
Pemerikasaan fisik didapatkan pucat, ikteri, splenomegali, dan hemoglobinuria. Pemeriksaan
fisik juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang mendasari AIHA.
Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar hemoglobin yang rendah, MCV normal
atau meningkat, bilirubin inderik yang meningkat, LDH meningkat, dan retikulosotosis.
Serum haptoglobin tidak secara rutin dilakukan di Indonesia. Morfologi darah tepi
menunjukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit. Direct Antiglobulin Test
menunjukkan hasil positif pada AIHA.

I. Penatalaksanaan
1. Anemia Hemolitik Autoimun tipe hangat :
a) Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari,bila ada tanda respon terhadap steroid dosis
diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari.
b) Splenektomi.splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel
darah merah.
c) Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2),siklofosfamid 50-200
mg/hari (60 mg/m2)

Terapi lain :
a) Danazol 600-800 mg/hari,biasanya digunakan bersama steroid,apabila terjadi
perbaikan,steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi
200-400 mg/hari.
b) Terapi transfuse.dilakukan pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb <3
g/dl)

2. Anemia hemolitik tipe dingin :


a) Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis
b) Chlorombucil 2-4 mg/hari

3. Anemia hemolitik imun diinduksi obat


a) Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu
36
b) Kortikosteroid dan transfuse darah dapat diberikan pada kondisi berat.

6. Anemia akibat penyakit kronik5,10,11,12,13,14,15,16

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia.ACD merupakan anemia yang sering terjadi
pada pasien dengan infeksi kronis, penyakit autoimun, kanker, dan penyakit ginjal kronis
(chronic kidney disease, CKD). Sampai saat ini mekanisme molekular dan patogenesis
kelainan distribusi besi pada ACD tidak sepenuhnya diketahui.
Tetapi sekarang jelas bahwa sitokin inflamasi dilepaskan selama infeksi akut atau penyakit
kronis yang dapat mengubah metabolisme besi sistemik dengan menginduksi sintesis
hepcidin8 Hepcidin adalah suatu peptida yang diproduksi di hepar dan merupakan regulator
penting homeostasis besi sistemik yang mencegah terjadinya kelebihan besi dengan cara
menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag dan menurunkan absorpsi besi enteral.
Produksinya ditingkatkan oleh inflamasi dan pemberian besi; dihambat oleh hipoksia,
anemia, defisiensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA.Hepcidin
menghambat pengeluaran besi dari sel-sel dengan memblok aktivitas ferroportin. Kelebihan
hepcidin merupakan akar penyebeb hypoferremia dan terlihat eritropoiesis besi terbatas pada
ACD.
ACD ini umumnya ringan atau sedang yang disertai rasa lemah dan penurunan berat badan.
Umumnya, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb berkisar 7-11 g/dL, kadar Fe
serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah, cadangan Fe yang
tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. ACD dikaitkan dengan prognosis
yang buruk dan kualitas hidup yang rendah. Ulasan dibawah ini akan membahas anemia
penyakit kronis mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, penegakan
diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis.

A. Definisi

Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering dijumpai pada pasien
dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau
sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar

37
7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang rendah,
cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. Selain itu,
indeks dan morfologi eritrosit yang normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV
jarang <75 fL). Tabel dibawah ini menunjukkan diagnosis diferensial dari ACD.

Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis


Anemia Penyakit Anemia Thalasemia Anemia
Kronik Defisiensi Besi Sideroblastik
Derajat Ringan Ringan sampai Ringan Ringan sampai
anemia berat berat
MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/
TIBC Menurun <300 Meningkat >360 Normal/ Normal/
Saturasi Menurun/N 10- Menurun <15% Meningkat >20% Meningkat >20%
transferin 20%
Besi Positif Negatif Positif kuat Positif dengan
sumsum ring sideroblast
tulang
Protoporfiri Meningkat Meningkat Normal Normal
n eritrosit
Feritin Normal 20-200 Menurun <20 Meningkat >50 Meningkat >50
serum µg/l µg/l µg/l µg/l
Elektrofoesi N N HbA2 meningkat N
s Hb

B. Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi besi.
Tidak ada data epidemiologi yang secara rinci menjelaskan setiap jenis anemia, termasuk
anemia penyakit kronis. Dari hasil penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang, didapatkan
prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis reguler

38
adalah 86%. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan etiologi yang paling sering ditemukan
adalah anemia penyakit kronik.

C. Etiologi
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis dan
infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis
berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala, seperti
demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan
waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara
produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih sulit
karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis rheumatoid merupakan
penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga
dapat disertai anemia pada penyakit kronik.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium dini
dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut anemia
pada kanker (cancer releted anemia). Penyebab anemia karena penyakit kronik dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :

D. Patogenesis

Etiologi dari ACD adalah multifaktorial dan ditandai oleh aktivitas sel imun dan respon
sitokin inflamasi yang mengurangi produksi eritrosit, mengganggu eritropoiesis, mengurangi
masa hidup eritrosit, dan disregulasi homeostasis besi. 8 Berbeda dengan anemia defisiensi
besi, tanpa inflamasi. ACD biasanya merupakan anemia normokromik normositik, mikrositik
biasanya tidak terlihat, kecuali bersamaan dengan kekurangan zat besi. Pathogenesis ACD
dapat dilihat dari uraian dibawah ini :

a. Pemendekan masa hidup eritrosit

39
Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana terjadi
produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau
kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mangikat
lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi
eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada
eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan
penurunan transformasi T4 (tetra iodothyronine) manjadi T3 (tri-iodothyronine),
menyebabkan hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang
mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoetin-pun akhirnya berkurang.
Pengikatan lebih banyak zat besi menyebabkan konsentrasi rendah serum besi, TIBC
rendah atau normal, dan saturasi transferin serta retikulosit redah. Yang terpenting atau
kunci dari ACD adalah akumulasi besi dalam retikuloendotelial makrofag meskipun
mengurangi kada zat besi dalam sirkulasi. Sehingga sedikit zat besi dalam sirkulasi yang
tersedia untuk sintesis hemoglobin. Ada kemungkinan manusia menggunakan meknisme
ini untuk menyerap zat besi sebagai pertahanan dari patogen tertentu yang menyerang.
Namun, pengalihan zat besi dari sirkulasi ke makrofag sangat efektif untuk menyebabkan
defisiensi fungsional besi dan besi terbatas untuk eritropoiesis, akhirnya jika tidak
ditangani menyebabkan anemia. Penting untuk diingat bahwa pada anemia defisiensi
besi, zat besi kosong baik di sirkulasi maupun dan makrofag.
Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendakan masa hidup
eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit
kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya
pelepasan atau menurunya respon terhadap eritropoetin.
b. Peningkatan kadar hepcidin serum
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan hormon regulasi besi.
Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun, atau kanker yang merangsang sintesis
banyak sitokin seperti interferon-γ, interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6)
menginduksi produksi kelebihan hepcidin. Produksi hepcidin jangka panjang, karena
kemampuannya yang dapat menghambat fungsi ferroportin pada enterosit duodenum dan
makrofag, menyebabkan penyerapan zat besi yang buruk dari usus dan retensi besi
meningkat yang merupakan ciri dari ACD.
Sebuah mekanisme molekuler ditandai dengan inflamasi, sbagai mediator utamanya
disini adalah IL-6/ Jalur Kinase 2 (JAK2)- signal tranducer dan jalur aktivator transkripsi
3 (STAT3). Ligan mengikat reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2, terjadi fosforilasi
40
transkripsi faktor STAT3. Translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam inti dan pengikatan
STAT3 ke promotor hepsidin menghasilkan peningkatan regulasi ekspresi gen hepcidin
(Figure 1).

c. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar
20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien
ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh
sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian
dari filter limpa (compulsive screening), menjadi kurang toleran terhadap perubahan atau
kerusakan minor dari eritrosit.
d. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup
menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe
dalam sintesis Hb.

E. Manifestasi Klinis

41
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimptomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat,
pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau
memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan
yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium.

F. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai
gambaran hipokrom dengan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Capacity) <31 g/dl dan
beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV (Mean Corpuscular Volume) <80 fL. Nilai
retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit
dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosa penyakit
anemia karena penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah timbul onset suatu infeksi
atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada anemia defisiensi besi.
Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu
persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada penurunan Fe
serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan
Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
G. Pengobatan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain :
a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika. Tidak ada
batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa
literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak
miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian
juga dengan pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11
g/dl.
42
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam perdebatan.
Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi adapat mencegah
pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal,
preparat terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada
pasien anemia penyakit kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma
multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi
beserta efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai
efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma.
Dilain pihak pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal
serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sun, et al., terapi alternatife untuk untuk ACD
yang menargetkan pada hepcidin-ferroportin8. Terapi yang menurunkan produksi hepcidin
dan meningkatkan aktifitas ferroportin akan meningkatkan bioavailabilitas besi dari diet dan
akan memobilisasi penyimpanan besi dalam tubuh untuk eritropoiesis, tanpa risiko
merugikan dari terapi besi atau ESA (erythropoiesis-stimulating agents). Sebuah strategi yang
menghambat fungsi hepcidin (direct hepcidin antagonist), mencegah transkripsi hepcidin
(hepcidin production inhibitors), atau mempromosikan resistensi ferroportin pada aksi
hepcidin (ferroportin agonis/stabilizers) saat ini sedang diteliti (Figure 2).

43
H. Prognosis
Anemia penyakit kronis, yang merupakan salah satu fitur utama dari penyakit ginjal kronis
(CKD), dan CKD sendiri sering bersamaan pada pasien dengan infark miokard akut
(AMI).Bukti klinis dari Negara Amerika dan penelitian di Eropa menunjukkan bahwa anemia
dan CKD berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien AMI
selama jangka pendek serta jangka panjang. Di sisi lain, sindrom anemia cardiorenal, di mana
terdapat secara simultan CKD, anemia, dan gagal jantung menciptakan hubungan timbal
balik secara patologis, sehingga menghasilkan dampak yang merugikan sinergis dengan
morbiditas dan mortalitas.
Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) adalah anemia yang paling
umum pada pasien rawat inap di seluruh dunia. ACD merupakan anemia yang sering terjadi
pada pasien dengan infeksi kronis, inflamasi kronis, dan neoplasma ganas. Secara
epidemiologi merupakan anemia terbanyak ke dua setelah anemia defisiensi besi. Penegakan
diagnosis pasti dari ACD dengan pemeriksan laboratorium, dilihat dari indeks eritrosit dan
yang lain. Penatalaksanaan dengan mengobati penyakit dasarnya kemudian diberikan
transfuse darah, preparat besi, eritropoietin. ACD memiliki prognosis yang buruk terhadap
angka morbiditas dan mortalitas, apalagi ditambah dengan penyakit kardio.

7. Anemia pada gagal ginjal kronik17,18,19,20,21,22,23

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, hal lain yang dapat
berperan dalam terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik adalah defisiensi
Fe, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang memendek, defisiensi asam folat,
serta proses inflamasi akut dan kronik. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan anemia dengan komsentrasi hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki
dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya.

The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative


(K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar

44
hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien
prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita
postmeopause. Sedangkan menurut Pernefri 2011, dikatakan anemia pada penyakit
ginjal jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.

Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah. Saat LGF mengalami


penurunan tigkat sedang seperti ini, akan labih timbul komplikasi seperti
hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiperparatiroid, hipertensi, hiperhomosistinemia, dan
termasuk juga anemia.

Etiologi

Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik normokrom, yang
khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga 20-30%
sesuai derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 4, tapi kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3.

Tabel 1. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi

1 Kerusakan ginjal dengan LGF ≥90 -

normal

2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah mulai naik

penurunan LGF ringan

3 Penurunan LGF sedang 30-59 Hiperfosfatemia


Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi

Hiperhomosistinemia

45
4 Penurunan LGF berat 15-29 Malnutrisi
Asidosis metabolik

Cenderung hiperkalemia

Dislipidemia

5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung

Uremia

Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya
produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk
kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat
besi (anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis
sumsum tulang, pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu
kondisi komorbiditas seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia.

Tabel 2. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

Etiologi Penjabaran etiologi


Penyebab utama Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronik

Pendeknya masa hidup eritrosit


Bleeding diathesis

Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang


Kondisi komorbiditas Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,
penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif

Patofisiologi

46
Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi patofisiologik yang
merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan penggunaannya,
peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel. Pada penyakit ginjal
kronik yang terjadi adalah penurunan produksi eritropoetin. Defisiensi eritropoetin
merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik dan dapat
berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus.

Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh
karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien adalah
hemodialisis. Hemodialisis dapat kehilangan darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah
melalui saluran cerna, sering diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan defisiensi asam
folat juga dapat menyebabkan anemia. Kekurangan asam folat bisa bersamaan dengan
uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air
akan hilang melalui membran dialisis. Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena
kehilangan darah dan absorbsi saluran cerna yang buruk (antasida yang diberikan pada
hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus). Selain itu, proses hemodialisis dapat
menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per
hari, sehingga kehilangan besi pada pasien- pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.

Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas
sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk
mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal
kronik.Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal
terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh
konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung
aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya
meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut
kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya
dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium
pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine.
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan
metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis
porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada
sumsum tulang.
47
Inflamasi

Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi
dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi
seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian
eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

Manifestasi Klinis dan Temuan Fisik

1. Kelemahan umum/malaise, mudah lelah


2. Nyeri seluruh tubuh/mialgia
3. Gejala ortostatik ( misalnya pusing, dll )
4. Sinkop atau hampir sincope
5. Penurunan toleransi latihan
6. Dada terasa tidak nyaman
7. Palpitasi
8. Intoleransi dingin
9. Gangguan tidur
10. Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
11. Kehilangan nafsu makan
Temuan pemeriksaan fisik:
1. Kulit (pucat)
2. Neurovaskular (penurunan kemampuan kognitif)
3. Mata (konjungtiva pucat)
4. Kardiovaskular (hipotensi ortostatik, takiaritmia)
5. Pulmonary (takipnea)
6. Abdomen (asites, hepatosplenomegali)

Diagnosis

Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan
dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan
diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit
lainnya. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10% atau
hematokrit ≤ 30%.

48
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah
eritrosit, yaitu :

1. Darah lengkap
2. Pemeriksaan darah tepi
3. Hitung retikulosit
4. Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin,
serum feritin)
5. Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
6. Kadar vitamin B12
7. Hormon paratiroid

Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan
apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini
bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr
cell. Perubahan morfologi sel darah merah menampilkan proses hemolitik primer,
mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit secara umum menurun.
Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B 12 dan
pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada pasien dengan
thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.

Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO), penilaian terhadap


simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat
diperlukan. Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit
inflamasi , penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum
merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun,
nilai feritin serum menurun sebelum saturasi transferin. Walaupun penyakit kronik
dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan saturasi transferin kurang dari
20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi defisiensi besi. Di sisi
lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berespons terhadap
replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau
hemoglobinopati. Walaupun serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan
spesifisitas, untuk memastikan penyebabnya membutuhkan berbagai jalur kehilangan
besi pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari

49
atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin
disebabkan karena antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali
dialister yang buruk), flebotomi yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada
terapi EPO.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%,
baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatif, target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak
anemia pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan
menggambarkan halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal.
Walaupun demikian efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada
pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat
hematokrit dibawah 25 %. Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki
hipertensi dan miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk
mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan meningkatnya cardiac output.
Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang berat dan walaupun
anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial iskemik dan angina.
Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui
transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Transfusi
darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi (virus
hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai
pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis
dan penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada banyak
kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis
memenuhi syarat

Variasi terapi anemia pada penyakit ginjal kronik :

1. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen


dengan terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.
2. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
3. Mengkoreksi hiperparatiroid
4. Terapi Androgen
5. Mengurangi iatrogenic blood loss

50
6. Suplementasi besi
7. Suplementasi asam folat
8. Transfuse darah
9. Suplementasi eritropoeitin

1. Suplementasi eritropoetin

Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant
human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di
demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human
recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa,telah
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah
berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler.
Penelitian membuktikan bahwa, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu
setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht
dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB
yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin
tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan
memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi
ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh
darah dapat terlihat.

Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga

peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan


tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator
terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human
recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis
mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum
kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya
efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena
peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan
peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant

51
human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan
bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak
meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human
eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia.

EPO Indikasi :

(1) Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab
lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
1. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
2. Tidak ada infeksi yang berat Kontraindikasi:
(2) Hipersensitivitas terhadap EPO
(3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
1. Hipertensi tidak terkendali
2. Hiperkoagulasi
3. Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat
beberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:

a. Anemia dengan status besi cukup


b. Anemia defisiensi besi:
1. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
2. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L
3. Saturasi Transferin < 20 %

1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi

Tujuan:

Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.

a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu


selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :

Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.

c. Pantau Hb, Ht tiap 4 minggu

52
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb
tercapai (> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis
25%
g. Pemantauan status besi:

Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan
panduan terapi besi.

1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan

a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).


- Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu
- Pantau Hb dan Ht setiap bulan
- Periksa status besi setiap 3 bulan
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi
cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%

Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya:

a. Hipertensi:
- Tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase
koreksi
- Pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis
obat antihipertensi
- Peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak
berhubungan dengan kadar Hb.
b. Kejang:
- Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
- Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang
tidak terkontrol.

Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekuat. Respon


EPO tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang
dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa
penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu:

53
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE, AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekuat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi
asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis,
keganasan).

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang

yang berupa pemberian14:

a. Asam folat : 5 mg/hari


b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional
yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang
diakibatkan terapi besi intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
- Dapat mengurangi kebutuhan EPO
- Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi hati
- Tidak dianjurkan pada wanita

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis

Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya dapat
juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat
membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu,
pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada
menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan
akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya.
54
Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi detoksifikasi pada uremia dengan
meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau
transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data
yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler
yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan
dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), juga merupakan terapi dengan pembuangan
jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar
dengan membaranselulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini
hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian
mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal
dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui.

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine

Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat
selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal
ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau
peningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan
dengan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral
maupun dialisat, gejala intoksikasi aluminium seperti ensefalopati, penyakit tulang
aluminium, dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian
chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa
atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5

– 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium sebagai larutan yang
kompleks, dimana kemudian dibuang dengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek
samping utama adalah hipotensi , toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti
kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap
pemberhentian terapi sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi.
Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis menyebabkan perubahan nilai
hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada pasien
dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi
pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin.

55
Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal,
hemoglobine meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.

4. Mengkoreksi hiperparatiroidisme

Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan


merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar
paratiroid dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan
peningkatan anemia.

5. Terapi Androgen

Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yang positif
yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin
yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat,
enanthanecypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone,
methyltestosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone
phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal.
Responnya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone
dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak
mahal tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron
memiliki ratio anabolik: androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit
menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat
menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat
menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated
steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin serum
yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini
memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi
dengan androgen dapat menimbulkan gejala prostatisme atau pertumbuhan yang cepat dari
Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek
samping lainnya pada terapi ini.

6. Mengurangi iatrogenic blood loss

56
Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal terminal juga termasuk
pencegahan dan koreksi terhadap faktor iatrogenik yang memperberat. Kehilangan
darah ke sirkulasi darah ekstrakorporeal dan dari pengambilan yang berlebihan
haruslah dalam kadar yang sekecil mungkin.

7. Suplementasi besi

Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada usus. Monitoring
penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun
merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi
besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk
memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal
ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman
dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang
menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejadian komplikasi yang
berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total
dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan
dengan dosis terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap

harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran
dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.

Terapi besi fase pemeliharaan :

a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama


terapi EPO
b. Target terapi:
1. Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L,
2. Saturasi transferin > 20 % – < 40 %
c. Dosis
a) IV :
a. iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
b. iron dextran : IV : 50 mg/minggu
c. iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
b) IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu

57
c) Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
d) Status besi diperiksa setiap 3 bulan
e) Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi
dosis pemeliharaan.
f) Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi
besi distop selama 3 bulan.
g) Bila pemeriksaan setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi
transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

8. Suplementasi asam folat

Asam folat hilang masuk ke dialisat dari darah. Oleh karena itu, defisiensi asam folat
dan anemia makrositik dapat terjadi pada pasien dengan asupan protein yang rendah
sejak diet dari pasien dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung asam folat
yang cukup, defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam folat oral
tidak diperlukan. Akhirnya, dokter harus lebih hati-hati dalam terapi darah
ekstrakorporeal yang membawa resiko potensial yang didominasi oleh darah yang
terkontaminasi dan kompartemen dialisat seperti logam dan kimia, yang dapat
menyebabkan kerusakkan sel darah merah dan hemolisis.

9. Transfusi Darah

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:

- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik


- Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
- Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati.

Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama dengan
target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari
bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL
berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun
58
pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk
transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi
darah memiliki resiko penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi
terjadinya reaksi transfusi.

Resistensi ESA

Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T
dan monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin
proinflamasi di sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk
melawan kerja dari ESA pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya
resistensi terhadap terapi ESA.

Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat
menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap
respon awal ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi
kegagalan terapi. Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah
penggunaan terapi anti sitokin adjuvan yang spesifik.

8. Anemia pada sindrom mielodisplastik5

A. DEFINISI

MDS (Myelodysplastic Syndrome) adalah suatu kelainan dari sel punca (stem cell) darah
yang ditandai dengan terganggunya proliferasi dan pendewasaan sel hematopoiesis.
Karakteristik dari MDS adalah hematopoiesis yang tidak efektif dan adanya displasia sel
punca akibat proliferasi dan maturasi yang abnormal. Dua karakteristik inilah yang
menyebabkan terjadinya sitopenia pada penderita MDS. Gejala dan tanda klinis yang dialami
merupakan akibat dari menurunya jumlah sel darah, yaitu mudah lelah, rentan terkena infeksi
karena leukopenia, petekie, purpura, dan ekimosis karena trombositopenia. Meningkatnya
angka mortalitas pada pasien MDS terutama karena perdarahan dan infeksi. Selain itu,
penderita MDS memiliki resiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi leukemia akut.

B. EPIDEMIOLOGI

59
MDS pertama kali ditempatkan sebagai penyakit yanng terpisah adalah pada tahun 1976, dan
pada saat itu diestimasikan terdapat 1500 kasus baru tiap tahun nya. Insidensi MDS
meningkat, dahulu hanya pasien yang memiliki blast <5% saja yang diidentifikasikan ke
dalam penyakit ini, namun saat ini dengan peningkatan kriteria untuk diagnosis, jumlahnya
meningkat. Berdasarkan data dari National Cancer institute’s Surveillanve, Epidemyology, &
End Reports (SEER) sebanyakk 0,7 kasus per 100.000 penduduk yang berusia 30 tahun
sampai dengan 20,8-36,3 kasus per 100.000 penduduk pada usia >70 tahun mengidap
penyakit MDS. SEER mengindikasikan bahwa 865 kasus MDS terdiagnosis saat pasien
berusia 60 tahun atau lebih. MDS lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
Data SEER pda tahun 2001-2003 menunjukkan insidensi laki-laki dibanding wanita adalah
4,5 vs 2,7 kasus dalam 100.000 penduduk.

C. ETIOLOGI

Berdasarkan etiologinya, MDS dibagi menjadi MDS primer (idiopatik) dan MDS sekunder.
MDS sekunder erat hubungan nya dengan paparan kimia, infeksi virus, dan radiasi dari
lingkungan. Contohnya yakni: paparan benzene, bahan tambang seperti petroleum, efek
radiasi tinggi pada survival bom nuklir maupun pendudukk yang tinggal dekat dengan lokasi
smber nuklir juga memiliki resiko yang tinggi terkena MDS. MDS primer (idiopatik)
dihubungkan dengan perubahan biologis, seperti mutasi DNA. 4 Kelainan sitogenetik yang
sering terjadi adalah delesi dari kromosom 5, 7, atau Y parsial atau total atau trisomi 8.
Hilang nya pita q13 sampai q33 kromosom 5 pda wanita lanjut usia dengan anemia
makrositik, hitung trombosit yang normal atau meningkat, serta mikromegakariosit atau
disebut dengan sindrom 5q- ,serta mutasi onkogen RAS (N-RAS) terjadi pada 20 % kasus
MDS, dan mutasi FMS pada15 % kasus MDS.

D. PATOFISIOLOGI

Ada banyak penyebab anemia mikrositik non-megaloblastik. Mekanisme pasti yeng


menciptakan eritrosit yang besar pada masing masing kondisi tersebut tidak jelas walaupun
peningkatan deposit lipid pada membrane eritrosit atau perubahan waktu pematangan eritrosit
atau perubahan waktu pematangan eritroblas mungkin terlibat. Retikulosit lebih besar
daripada eritrosit matang dan demikian anemia hemolitik merupakan salah satu penyebab
anemia makrositik yang penting. Keadaan MDS yang mendasari anemia mikrositik biasanya
mudah didiagnosis asalkan dipikirkan dan pemeriksaan yang sesuai untuk menyingkirkan
defisiensi B12 atau folat dikerjakan.
60
Riwayat klinis dan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis banding anemia
makrositik dapat menunjukkan defisiensi B, atau folat sebagai penyebab. Makanan, obat,
asupan alkohol, riwayat keluarga, riwayat yang mengarah pada malabsorpsi, adanya penyakit
autoimun atau kaitan lain dengan anemia pernisiosa, penyakit atau operasi saluran cerna
sebelumnya semuanya penting. Adanya ikterus, glositis atau neuropati juga merupakan
petunjuk yang berharga mengenai anemia megaloblastik. Gambaran laboratorium yang
sangat penting adalah bentuk makrosit (oval pada anemia megaloblastik), adanya neutrofil
hipersegmentasi dan leukopenia dan trombo- sitopenia pada anemia megaloblastik dan
gambaran sumsum tulang. Pemeriksaan B,, dan folat serum sangat penting. Menyingkirkan
alkoholisme (khususnya jika pasien tidak anemia), uji fungsi hati dan tiroid, serta
pemeriksaan sumsum tulang untuk mielodisplasia, aplasia atau mieloma penting dalam
investigasi makrositosis yang tidak disebabkan oleh defisiensi B, atau folat.

Berikut adalah 5 teori yang merupakan implikasi dari patofisiologi MDS:

1. Kerusakan seluler karena paparan toksin dan penuaan sel


2. Kerusakan sel yang disebabkan oleh sitogenetik dan abnormatitas gen
3. Perubahan pada sumsum tulang
4. Disregulasi sistem imun

1. Kerusakan seluler karena paparan toksin dan penuaan sel

Paparan toksin dari lingkungan dapat bersumber dari tembakau, penggunaan alkohol, dan
infeksi. Salah satu contoh yang sudah melalui penelitian cohort adalah paparan benzena.
Mekanisme yang dapat meningkatkan kejadian MDS adalah genotoksik dan non –
genotoksik. Mekanisme Genotoksik diakibatkan oleh terbentuknya oksigen radikal bebas dari
metabolit benzene dengan kerusakan DNA. Ini dibuktikan dengan adanya abnormalitas pada
kromosom +9 (trisomi), -5 atau -7 (delesi) dan t(8,21) (translokasi). Selain itu, mutasi
somatik selain dikarenakan oleh paparan benzena, juga disebabkan oleh penuaan dan paparan
agen genotoksik yang lain. MDS paling sering terdiagnosis pada pasien berumur >70 tahun,
hal ini menunjukan hubungan MDS dan proses aging sangat erat. Dimana aging dapat
menyebakan mutasi genetik dan perubahan biologis yang dapat menyebabkan MDS.

Mekanisme non-genotoksis diakibatkan oleh menurun nya sistem imun. Dapat disebabkan
oleh paparan radiasi dan kemoterapi, terutama treatment dengan menggunakan Inhibitor
Topoisomerase II, antrasiklin, dan agen alkil.Topoisomerase II Inhibitor dan antrasiklin dapat

61
menyebabkan perubahan pada kromosom 11q23 (Mixed Lineage leukemia, gen MLL),
sementara paparan dengan agen alkil dapat menyebabkan perubahan pada kromosom 5 dan 7.
Hubungan aging, kerusakan sel, dan MDS juga ditunjukan dengan penelitian terhadap
aktifitas telomerase. Telomer memendek seiring usia, hal ini menyebabkan instabilitas
genom, abnormalitas subsekuen kromosom, bahkan mutasi genetik. Penelitian yang
dilakukan pada pasien MDS menunjukkan telomer yang memendek tidak berimbang dengan
jalan nya usia, hal ini menyebabkan hematopoietic stem cell pada MDS tidak memiliki
telomerase yang cukup, sehingga menyebabkan ketidakstabilan genetik.

2. Kerusakan sel yang disebabkan oleh sitogenetik dan abnormatitas gen

Salah satu dari akibat dari paparan lingkungan adalah kerusakan DNA. Berikut adalah tabel
penyebab dari kerusakan DNA, serta kromosom apa saja yang mengalami kerusakan.

Perubahan Insidensi Penyebab Deskripsi


Kromosom
Abnormalitas 10 %-20 % kasus -Kemoterapi -5q sindrom (anemia
Kromosom 5 MDS -Paparan bahan kimia makrositik, normal-
rendah trombosit,
dominasi wanita)
Delesi kromosom 5 % kasus MDS Polisitemia vera Diseritropoiesis,
20q progresi rendah 
AML
Abnormalitas 5% kasus MDS Dihubungkan dengan -
kromosom 7 anemia Fanconi,
AML, Down
Syndrome

3. Perubahan pada sumsum tulang

Raza et al. Melaporkan bahwa kenaikan TNF- alpha memiliki dampak pada perkembangan
MDS. Peningkatan TNF alpha dan INF gamma pada MDS menyebabkan timbulnya faktor
angiogenic yang bermacam macam yaitu VEGF (vascular endothelial growth factor), bFGF
(fibroblast growth factor), angiogenin, HGF (hepatic growth factor), EGF (epidermal growth
factor), and TGF-beta (transforming growth factor) telah dibuktikan meningkat pada lasma
pasien dengan MMDS. Temuan ini juga didukung oleh peningkatan densitas mikrovaskular
62
pada biopsi sumsum tulang (MVD). Level plasma VEGF dan peningkatan MVD memiliki
korelasi dengan MDS. Dimana peningkatan VGEFB, dapat meningkatkan MVD, hal ini
menyebabkan prognosis MDS untuk berkembang menjadi AML semakin tinggi.

4. Disregulasi Sistem Imun

Disregulasi sistem imun merupakan dampak dari penyakit kanker.Hal ini dibuktikan dengan
penggunaan terapi imunosupresif seperti siklosporin-A, Anti-timosit globulin, dapat
menyebakan sitopenia. Perubahan sel B dan sel T juga merupakan dampak pada
perkembangan MDS.

E. DIAGNOSIS

Klasifikasi diagnosis pasien dengan suspect MDS memerlukan pemeriksaan yang mencakup
hapusan darah tepi, hitung jumlah eritrosit, leukosit, dan limfosit untuk mengetahui sitopeni,
aspirasi sumsum tulang, dan biopsy spesimen sumsum tulang. Diagnosis dapat tegak dengan
pengamatan mikroskopik darah perifer, dan aspirasi sumsum tulang. Klasifikasi MDS
berdasarkan hitopatologisnya dibedakan menjadi klasifikasi menurut WHO dan klasifikasi
menurut FAB (Franch-British-America).

Klasifikasi MDS menurut WHO tahun 2008:

Subtipe Pemerikasaan Darah Pemeriksaan Sumsum


Tulang
Refractory cytopenia with Tunggal maupun bisitopenia Displasia pada >10% sel,
unlineage dysplasia (RCUD) blast <5%
Refractory anemia with ring Anemia, tidak terdapat blast Ditemukan >15% prekursor
sideroblast (RARS) pembentuk eritrosit dengan
ring sideroblast
Refractory cytopenia with Sitopenia, jumlah monosit Displasia pada >10% sel,
multilineage dysplasia <1x109/L 15% ring sideroblast, blast
(RCMD) kurang dari 5%
Refractory anemia with Sitopenia, jumlah blast <2%- Tidak terdapat Auer Rods,
excess blasts-1 (RAEB 1) 4%,jumlah monosit <1x109/L terdapat blast 5%-9%
Refractory anemia with Sitopeni, jumlah blast 5%- Tidak terdapat Auer Rods,

63
excess blasts-2 (RAEB 2) 19 %, jumlah monosit terdapat blast 10%-19%
<1x109/L
MDS, unclassified (MDS-U) Sitopenia Dengan atau tanpa displasia,
dengan jumlah blast <5%
MDS associated with isolated Anemia, trombosit normal Erythroid dysplasia, delesi
del (5q) atau meningkat kromosom 5q, blast <5%
Klasifikasi MDS menurut FAB:

Subtipe menurut FAB Blast pada hapusan Blast pada sumsum tulang
darah perifer (%) (%)
Refractory anemia (RA) <1 <5
Refractory anemia with <1 <5
ringed sideroblast (RARS)
Refractory anemia with <5 5-20
excess blasts (RAEB)
Refractory anemia with >/ sama dengan 5 21-30
excess blasts in
transformation (RAEB-T)
CMML (Monosit >1000/mcL <5 5-20

1. Refractory cytopenia with unlineage dysplasia (RCUD)

Pada kasus RCUD, biasanya juga ditemukan refractory Anemia (RA). Anemia paling sering
jenis makrositik. Tidak ditemukan blast pada darah, bahkan maksimal hanya 1% yang dapat
saat differential count. Sumsum tulang pada RCUD biasanya hiperselular disebabkan oleh
displasia erythroid. Displasia ini juga ditandai oleh adanya sel megakariosit dan granulositik.
Tidak ditemukan adanya Auer Rods, pada anamnesis dapat diketahui bahwa pasien biasanya
mengeluhkan anemia yang tak kunjung sembuh hingga 6 bulan lamanya. Kasus RA pada
RCUD dapat digolongkan menjadi kasus yang prognosisnya tinggi, dengan angka survival 6-
7 tahun dam hanya 5%-10% yang berkembang menjadi leukemia akut.

2. Refractory anemia with ring sideroblast (RARS)

RARS pada MDS memiliki karakteristik anemia yang tidak dapat ditemukan penyebabnya,
displasia erythroid, dan ring sideroblast pada >15% prekursor erythroid dan sumsum tulang.

64
Bentukan eritrosit adalah dismorfik (campuran maksrositik normokromik dan hiperkromik).
Pasien dengan RARS memiliki angka ketahanan hidup sebesar 7-9 tahun, dan <5% yang
berkembang menjadi leukemia akut.

3. Refractory cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD)

RCMD memiliki karakteristik satu atau lebih sitopenia pada darah perifer dan terdapat dua
atau lebih displasia pada prekursor myeloid (erytroid, granulositik, dan/atau megakariositik).
Terdapat <1% blast pada darah dan <5% blast pada sumsum tulang, serta tidak terdapat Auer
Rods. Pasien dengan RCMD memiliki prognosis yang kurang baik, yakni 7-13 bulan.

4. Refractory anemia with excess blasts (RAEB 1 dan RAEB-2)

RAEB adalah MDS dengan blast sebanyak 5%-19% pada sumsum tulang atau darah. RAEB-
1 memiliki karakteristik ditemukan nya blast sebanyak <5% di sumsum tulang dan 2%-4%
pada darah tepi. Sedangkan RAEB-2 ketika blast ditemukan sebanyak >10% pada sumsum
tulang dan 5% pada darah. Pasien dengan RAEB-2 memiliki prognosis yang buruk, yaitu
kurang dari 2 tahun, serta 30%-40% kasusnya berkembang menjadi leukemia akut.

5. MDS, unclassified (MDS-U)

Tiga kemungkinan yang masuk pada kriteria unclassified MDS adalah:

- Karakteristiknya masuk ke dalam RCMD namun presenase blast 1% pada darah


ditemukan pada dua kesempatan.
- MDS dengan unliniage displasia ditambah pansitopenia.
- Adanya kasus sitopenia yang persisten, dan <10% sel displastik pada seluruh
prekursor.
6. MDS with associated deletion on 5q

MDS subtipe ini memiliki karakteristik anemia dengan atau tanpa sitopenia, dengan kelainan
sitogenetik berupa delesi pada kromosom 5q, terutama delesi pada kromosom 5q21 and 5q32.
Pasien dengan delesi pada kromosom 5q ini memiliki respon yang baik tehadap pengobatan
dengan lenalidomide.

65
F. TREATMENT
1. Terapi suportif

Terapi suportif mencakup tranfusi eritrosit (RPC) pada anemia, atau transfusi trombosit pada
trombositopenia. Pada pasien dengan transfusi yang sering, dikhawatirkan akan terjadi
disfungsi organ, maka dari itu selain diberikan transfusi, monitoring juga sangat penting
untuk dilakukan, salah satunya dengan pemberian terapi kelasi sampai tingkat ferritin
menurun hingga <1000 mcg/L.

2. Hypomethylating Agents

Transisi MDS menuju leukemia akut dapat dicegah dtau diperpanjang waktunya dengan
kemoterapi intensitas rendah menggunakan DMTI (DNA methyltransferase inhibitor), 5-
azacytidine (AzaC) dan decitabine (5-aza-2’-deoxycytidine). Penggunaan hypomethylating
agen memiliki dampak yang semakin baik apabila dimulai lebih dini penggunaannya.

Dosis penggunaan AzaC 75 mg/hari selama 7 hari setiap 28 hari sekali melalui suntikan
subkutan menunjukkan 10-17% pasien yang berhasil remisi.

66
9. Anemia Pada Keganasan Hematologik5

Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

A. DEFINISI

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah putih yang berasal dari sumsum tulang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manisfestasi adanya sel-sel abnormal
dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit.Leukosit dalam
darah berploriferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak
normal. Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu
hingga menimbulkan gejala leukemia. Lebih dari 80% kasus sel-sel ganas berasal dari
limfosit B, dan sisanya meruapakan leukemia sel T.

B. ETIOLOGI

Faktor lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA adalah pemaparan terhadap
radiasi ion dan elektromagnetik.Selain itu beberapa jenis virus juga berkaitan dengan insiden
LLA, terutama infeksi virus yang terjadi pada masa prenatal seperti virus influenza dan
varicella. Limfosit imatur berproliferasi dalam susunan tulang dan jaringan perkiem dan
mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya hematopoesis normal terhambat
mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan trombosit.

1. Radiasi ionik
2. Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
3. Merokok sedikit meningkatkan resiko diatas usia 60 tahun
4. Obat kemotrapi
5. Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai resiko meningkat

67
C. PATOGENESIS MOLEKULAR

Patogenesis Ditemukannya sel leukemik pada dinding pembuluh darah leptomeningeal oleh
Dr. Fried pada tahun 1926 mengarah pada hipotesis bahwa sel-sel yang bersirkulasi mengalir
di pembuluh darah dan menginvasi jaringan otak di sekitarnya. Mekanisme umum lain dari
pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang mempunyai
peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel.

D. MANISFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada pasien LLA sangat bervariasi. pada umumnya gejala klinis
menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstra medular oleh sel
leukemia. Gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan:

a. Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada.


b. Anoreksia
c. Nyeri tulang dan sendi karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia
d. Demam, banyak berkeringat
e. Infeksi mulut, saluran nafas atas dan bawah, selulitis atau sepsis.
f. Perdarahan kulit, perdarahan gusi, hematuria, perdarahan sal.cerna
g. Hepatomegalis, splenomegali, limfadenopati
h. Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial)
i.
E. LABORATORIUM
a. Hitung Darah Lengkap dan Apus Darah Tepi
Hiperleukositosis hampir terjadi pada kirakira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm.
Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leujosit
bervariasi dari 0 sampai 100%.

b. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang


Sangat penting untuk konfirmasi diagnosis. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk
analisis histologi, sitogenik dan immunophenotyping.
c. Sitokimia
Pada pewarnaan Sudan Black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat
68
memberikan hasil yang positif pada pewarnaan Periodic Acid Schiff. TdT yang di
ekspresikan limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow
cytometry.

F. DIAGNOSIS
a. Pemeriksaan Laboratorium:
b. Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen,
kimia darah, golongan darah BO dan Rh, penentualn HLA.
c. Foto Toraks atau computed tomography
d. Pungsi Lumbal
e. Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang

G. TERAPI
PROTOKOAL OPAL (modified)
Induksi Remisi:
1. Vinkristin 1,5mg/m² IV, hari 1 ( max 2mg)
2. Daunorubisin 30mg/m² IV, hari 1, 2, 14,21,28
3. Prednison 40mg/m² PO, hari 1-28 dan tappering off 2minggu
4. L-asparaginase 10.000 U/m² IV diberikan pada saat mendekati remisi komplit
selama 4 hari sebelum radiasi kranial
5. Pemberian metotreksat intratekal. Aspirasi sumsum tulang dilakukan sekitar minggu
ke 5, untuk konfirmasi respons komplit.

Dosis Pemeliharaan:

a. Metotreksat 15mg/m² PO tiap minggu


b. Pemeliharaan diteruskan sampai 3 tahun, lalu periksa apus sumsum tulang, cairan
spinal, biopsi testis. Bila terdapat remisi, obatobatan distop. Dosis pemeliharaan
disesuaikan.

c. Pencegahan Infiltrasi ke SSP

d. Dilakukan pada keadaan remisi lengkap


e. Radiasi kranial 2400 rad dalam dosis terbagi (200 kali/rad)
f. Metotreksat intratekal 10mg/m² , 2kali seminggu sebanyak 5 dosis.
69
9. Anemia defisiensi asam folat dan B125

A. Defisiensi
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin
(protein pengangkut oksigen) dalam sel darah merah kurang dari normal. Jika jumlah
sel darah normal namun hemoglobin sedikit, sel darah merah tetap tidak dapat
berfungsi dengan normal karena hemoglobin diperlukan untuk mengangkut oksigen
yang akan diedarkan ke seluruh tubuh.
Ada beberapa macam tipe anemia yang dibedakan berdasarkan penyebabnya, salah
satunya adalah anemia defisiensi vitamin B12 dan folat. Anemia ini disebabkan oleh
kurangnya kadar vitamin B12 dan folat dalam tubuh. Vitamin B12 dan folat berfungsi
untuk pembentukan sel darah merah yang normal. Jika kadarnya kurang,
pembentukan sel darah merah terganggu sehingga bentuk sel darah merah menjadi
lebih besar dan tidak dapat berfungsi secara normal. Kurang vitamin B12 dan folat
sering terjadi pada orang tua, dengan angka kejadian 1 setiap 10 orang berusia 75
tahun, dan 1 setiap 20 orang berusia 65-74 tahun.
Vitamin B12 dan folat tidak hanya berfungsi untuk pembentukan sel darah merah,
melainkan juga untuk mendukung fungsi sistem saraf tubuh. Sehingga, kekurangan
salah satu dari vitamin tersebut dapat menyebabkan berbagai macam gejala di
samping anemia.
B. Gejala klinis
Gejala kekurangan vitamin B12 dan folat selain gejala anemia:
a. Kesemutan
b. Lidah membengkak, kemerahan, dan tampak mengkilap
c. Kemerahan di sudut mulut ( stomatitis angularis )
d. Nyeri menelan dan Sariawan
e. Mual, muntah, nyeri perut, diare, terutama setelah makan
f. Penurunan berat badan
g. Kelemahan otot
h. Gangguan keseimbangan dan koordinasi
i. Gangguan penglihatan
j. Gangguan psikologis seperti depresi
k. Gangguan memori, pemahaman, dan penilaian
70
Ada banyak kondisi yang dapat menyebabkan kekurangan vitamin B12 maupun folat, antara
lain:
1. Anemia pernisiosa
penyakit autoimun dimana sel imun menyerang sel sehat pada lambung yang berfungsi
untuk menyerap vitamin B12 yang berasal dari makanan. Sehingga, vitamin B12 yang
dikonsumsi tidak dapat masuk ke dalam tubuh. Terdapat ggn penyerapan vit b12 hal ini
di sebabkan oeh tidka adanya faktor instrinsik akibat atropi mukosa atau desttuksi sel
parietal lambung
2. Kekurangan konsumsi vitamin B12
Kurang nya konsumsi vitamin B12 sering terjadi pada orang dengan diet vegetarian.
Penyakit saluran cerna yang menyebabkan terganggunya penyerapan vitamin B12,
contohnya penyakit Crohn, HIV, dan penyakit infeksi lain. Kekurangan mineral
zinc/seng: menghambat penyerapan vitamin B12.
3. Obat-obatan: beberapa obat dapat mengganggu penyerapan vitamin B12 di lambung,
seperti obat anti kejang (fenitoin, dilantin), obat maag (antasida, atau golongan
penghambat pompa proton seperti omeprazole dan lansoprazole), metotreksat, antibiotik
(trimetoprim, sulfonamida), obat anti diabetes (metformin).
4. Gangguan metabolisme: contohnya pada hipotiroid (rendahnya kadar hormon tiroid).
Kelainan bawaan, dimana terjadi kekurangan enzim untuk metabolisme folat.
C. Faktor resiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kurang vitamin B12 dan folat adalah:
1. Konsumsi alkohol berlebihan
2. Malnutrisi (kurang gizi maupun obesitas)
3. Ibu hamil dan menyusui karena terdapat peningkatan kebutuhan vitamin B12 dan folat
4. Bayi: membutuhkan lebih banyak vitamin untuk pertumbuhan
5. Lansia
6. Penyakit ginjal dan hati, terutama yang membatasi konsumsi makanan tertentu
7. Menjalani hemodialisis: folat dapat ikut terbuang saat pencucian darah
8. Merokok
9. Pernah menjalani operasi pemotongan usus
Beberapa tes yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis kekurangan vitamin B12
dan folat:

71
A. Pemeriksaan darah lengkap: dilakukan untuk melihat jumlah dan ukuran sel darah
merah, juga untuk mengukur kadar vitamin B12 dan folat
B. Pemeriksaan darah dan urin untuk mengukur metabolisme vitamin B12 dan folat,
yang secara tidak langsung dapat menunjukkan kadar vitamin B12 dan folat.
C. Tes Schilling: untuk melihat kelainan penyerapan vitamin B12.
Selain uji di atas, penegakkan diagnosis juga dapat dibantu dengan cara melihat perbaikan
gejala maupun hasil laboratorium setelah pemberian vitamin B12 dan folat. Jika membaik
setelah diberikan suplemen, maka anemia disebabkan oleh defisiensi vitamin tersebut.

D. Terapi
Terapi untuk kekurangan vitamin B12 dan folat dilakukan dengan menggantikan
kekurangannya, baik dengan meminum tablet atau menyuntikkan vitamin B12. Biasanya,
vitamin B12 diberikan pertama-tama dengan disuntikkan. Kemudian, pemberian
berikutnya tergantung penyebab yang mendasari, dapat diberikan dalam bentuk tablet
suplemen atau suntikan rutin. Lama pemberian juga tergantung penyebab, pada beberapa
kasus membutuhkan suplemen vitamin B12 seumur hidup.
Dosis vitamin B12
1. Initial : 100 μg Vit B12 IM atau sc 1x/minggu
2. Maintenance : 100 μg Vit B12 IM /bulan
3. Oral : 1000 μg/ hari 5-6 hari
Sementara itu, tablet asam folat dapat digunakan untuk mengembalikan kadar folat dalam
batas normal dan biasanya dikonsumsi sampai empat bulan.
Selain terapi suplementasi, asupan makanan juga harus diperhatikan. Makanan tinggi vitamin
B12 contohnya adalah daging, telur, ikan, produk olahan susu, jamur, dan makanan yang
diperkaya vitamin B12. Sedangkan makanan tinggi asam folat contohnya adalah sayuran
hijau seperti brokoli, biji-bijian, buah, sereal dan produk susu.

E. Komplikasi
Jika defisiensi vitamin B12 ini terus berlanjut dan terus menerus dapat menimbulkan penyakit
serius, kekurangan vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan:
1. Gangguan sistem saraf, dapat bersifat permanen
2. Penurunan kognitif
3. Kesuburan terganggu (sulit beroleh keturunan)
4. Penyakit jantung
72
5. Pada ibu hamil, kekurangan vitamin B12 maupun folat dapat menyebabkan: Komplikasi
kehamilan, bahkan sampai keguguran
6. Kelainan pada bayi (spina bifida , autis, diabetes), gangguan tumbuh kembang anak

Mencegah terjadinya maupun mencegah kambuhnya anemia defisiensi vitamin B12 dan folat
paling baik dilakukan dengan mengonsumsi makanan yang tinggi vitamin B12 dan folat,
seperti yang telah disebutkan. Selain itu, mengolah makanan juga harus dilakukan secara
tepat. Pengolahan makanan yang terlalu lama dan panas akan merusak folat pada makanan.

10. Anemia pada penyakit hati kronik24

Anemia Penyakit Hati Kronik

Gangguan hematologik yang sering terjadi pada sirosis hati adalah kecenderungan
perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Perdarahan yang terjadi pada sirosis
hati dapat bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai yang paling berat dan
mengancam nyawa seperti perdarahan saluran cerna bagian atas. Komplikasi yang sering
terjadi pada pasien sirosis hati adalah perdarahan yang bahkan dapat menyebabkan kematian
pada pasien tersebut. Faktor utama penyebab komplikasi perdarahan yang terjadi yaitu
berkurangnya faktor pembekuan akibat kerusakan dari sel-sel hati dan penghancuran sel-sel
darah berlebihan yang berakibat terjadinya penurunan jumlah sel-sel darah termasuk
trombosit.

Trombosit yang fungsi utamanya sebagai pembentuk sumbat mekanis sebagai respon
hemostasis normal akan terganggu fungsinya apabila jumlahnya menurun. Jumlah trombosit
dan faktor pembekuan dapat rendah pada pasien sirosis hati dengan komplikasi perdarahan,
namun kejadiannya berbeda pada setiap pasien. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
terhadap pasien dapat lebih memantau jumlah trombosit pasien dibandingkan dengan kadar
faktor pembekuan karena tidak pada semua pasien dilakukan pemeriksaan terhadap kadar
faktor pembekuannya.

11. Anemia pada hipotiroidisme25

Anemia Hipotiroidisme

73
Kadar hemoglobin berhubungan signifikan dengan hipotiroid, hipotiroid turut berperan dalam
terjadinya anemia. Hipotiroid dapat mengakibatkan gangguan sintesis hemoglobin akibat
kurangnya hormon tiroksin. Hipotiroid juga mengakibatkan penurunan ketebalan lapisan
mukosa dan vili-vili usus halus, pematangan sel epitel dan enzim-enzim di usus halus,
sehingga terjadi kegagalan usus untuk mengabsorbsi besi. Menurut Zimmerman (2003)
karena kekurangan zat besi dapat mempengaruhi metabolisme tiroid. Dalam proses
pembentukan hormon tiroid menggunakan zat besi.

Untuk gejala yang dialami dalam hipotiroidisme dapat berupa tenggorokan kering wajah
membengkak lelah dan letih, bradikardi ditambah dengan gejala umum anemia seperti
lesu ,lelah dan pucat.

Untuk penatalaksanaan Anemia pada kejadian hipotiroid sama dengan anemia lainnya
pemberian transfuse darah jika kadar HB kurang dari 6-7g/dl.pengobatan juga perlu
dilakukan dengan mengutamakan gejala hipotirodisme itu sendiri biasanya yang paling
terkenal adalah levotiroksin yang diberikan dalam bentuk oral.

12. Anemia pada sindrom mielodisplastik5

Definisi dan Etiologi


Anemia sindrom myelodysplasia atau myelodysplastic merupakan anemia yang berkembang
karena sel-sel sumsum tulang tidak berkembang menjadi sel-sel darah matang. Sebaliknya,
sel-sel darah ini tetap berada di dalam sumsum tulang dalam keadaan belum matang. MDS
adalah sekelompok gangguan di mana sel-sel sumsum tulang tidak berkembang menjadi sel-
sel darah dewasa. Sebaliknya, sel-sel ini tinggal di dalam sumsum tulang dalam keadaan
belum matang. Gejala dan perjalanan MDS dapat sangat bervariasi dari orang ke orang dan
juga tergantung pada sel darah yang terpengaruh.

Epidemiologi

Studi menunjukkan bahwa 12.000 hingga 15.000 kasus MDS baru didiagnosis setiap tahun di
AS, dan diperkirakan 50.000 hingga 75.000 orang saat ini hidup dengan MDS. Jumlah pasti
orang yang hidup dengan MDS tidak diketahui.

74
Patogenesis

Proses pembuatan sel darah disebut hematopoiesis. Sel darah dibuat di sumsum tulang,
jaringan kenyal yang terletak di dalam tulang tertentu. Sumsum mengandung sel- sel induk
pembentuk darah yang membuat salinan dari diri mereka sendiri untuk membuat ketiga jenis
sel darah. Ketika sel-sel darah sepenuhnya matang dan fungsional, mereka meninggalkan
sumsum tulang dan memasuki aliran darah. Orang sehat memiliki cukup sel punca untuk
membuat semua sel darah yang mereka butuhkan.

Pada kondisi MDS, terjadi kegagalan sumsum tulang. Kegagalan sumsum tulang terjadi
ketika sumsum tidak menghasilkan cukup sel darah merah, sel darah putih atau platelet, atau
sel darah yang diproduksi rusak atau cacat. Ini berarti tubuh tidak dapat memasok sendiri
darah yang dibutuhkannya. Sindrom Myelodysplastic , bersama dengan anemia aplastik dan
PNH, adalah penyakit gagal sumsum tulang.

Gejala Klinis

1. Merasa sedikit lelah atau sangat lelah, kurang waspada atau sulit berkonsentrasi.

2. Turunnya nafsu makan atau berat badan

3. Memiliki kulit yang lebih pucat dari biasanya

4. Kesulitan bernafas

5. Memiliki detak jantung yang cepat

6. Mudah lelah dalam berolahraga atau menaiki tangga

Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung Darah Lengkap (CBC)

Salah satu tes kunci adalah hitung darah lengkap (CBC). Jika CBC menunjukkan jumlah sel
darah merah, sel darah putih atau trombosit yang rendah, dapat dilanjutkan tes apusan darah.
Mendapatkan CBC secara teratur penting untuk pasien MDS. Hal ini memungkinkan dokter
untuk memantau jumlah darah dari waktu ke waktu dan membandingkannya dengan hasil
sebelumnya.

75
2. Tingkat EPO

EPO, atau erythropoietin, adalah protein yang dibuat oleh ginjal Anda. Ini dibuat sebagai
respons terhadap kadar oksigen yang rendah dalam tubuh, biasanya disebabkan oleh jumlah
sel darah merah dan anemia yang rendah. EPO menyebabkan sumsum tulang Anda membuat
lebih banyak sel darah merah.

3. Vitamin B12 dankadar folat

Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan displasia, atau sel-sel yang tidak normal. Sel-sel
yang terlihat tidak normal ini tidak bekerja dengan benar, dan ini dapat menyebabkan anemia.

4. Tes Sumsum Tulang

Sebuah sumsum tulang sampel biasanya prosedur 30 menit sederhana. Dokter mengangkat
beberapa aspirasi sumsum tulang (sumsum tulang cair), biasanya dari tulang panggul atau
payudara, dengan jarum berlubang. Sepotong solid sumsum tulang juga dihilangkan untuk
biopsi sumsum tulang .

Tatalaksana

1. Transfusi Darah

Sebuah transfusi darah adalah prosedur yang aman dan umum. Kebanyakan orang yang
memiliki penyakit gagal sumsum tulang seperti anemia aplastik , MDS atau PNH akan
menerima setidaknya satu transfusi darah. Ketika Anda menerima transfusi darah, bagian-
bagian darah dari donor dimasukkan ke dalam aliran darah Anda. Ini dapat membantu
beberapa pasien dengan jumlah darah rendah.

2. Faktor Pertumbuhan
76
Faktor pertumbuhan adalah hormon yang terjadi secara alami di tubuh Anda yang memberi
sinyal pada sumsum tulang Anda untuk membuat lebih banyak jenis sel darah tertentu. Faktor
pertumbuhan buatan manusia dapat diberikan kepada beberapa orang dengan penyakit gagal
sumsum tulang untuk membantu meningkatkan sel darah merah , sel darah putih atau jumlah
trombosit .

3. Terapi Imunosupresif

Terapi obat imunosupresif menurunkan respons kekebalan tubuh. Ini mencegah sistem
kekebalan menyerang sumsum tulang, memungkinkan sel - sel induk sumsum tumbuh, yang
meningkatkan jumlah darah.

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Sheerwood, Lauralee. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC, 2012.


2. Clara A, Yulianto K, Nyayu F. Korelasi Antara Kadar Hemoglobin dan Gangguan Fungsi Ginjal
pada Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP dr Mohammad Hoesin Palembang 2015;47(1):40
3. Azmi Sariedj Kar: Pengaruh Anemia Pada Kanker Terhadap Kualitas Hidup dan Hasil
Pengobatan, 2005. USU e-Repository
4. Ayu N, Etika R, Niken P, Ahmad S. HUBUNGAN JUMLAH FRAKSI RADIOTERAPI
DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PASIEN KANKER SERVIKS DI RSUP DR KARIADI
2016;1(5):1-7
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
6. Bakte I made .2014.Hematologi Klinik Ringkas.Jakarta:EG
7. Sideroblastic Anemias: Anemias Caused by Deficient Erythropoiesis at Merck Manual of
Diagnosis and Therapy Professional Edition
8. Caudill JS, Imran H, Porcher JC, Steensma DP (October 2008). "Congenital sideroblastic anemia
associated with germline polymorphisms reducing expression of FECH". Haematologica. 93 (10):
1582–4. doi:10.3324/haematol.12597. PMID 18698088.
9. Isyanto, Maria A. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik Didapat 2005;1(7):26-31.
10. Adiatma, D. C. Prevalensi Dan Jenis Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis Reguler. Thesis. [pdf] Available at:
<http://eprints.undip.ac.id/44532/1/Dhanny_Candra_A_22010110120112_Bab0KTI.pdf> [Accessed
April, 10th 201]; 2014.
11. Hoffbrand, A.V. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2013.
12. Lichtin, A. E. Anemia of Chronic Disease. Available at:
<http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology/anemias_caused_by_defic
ient_erythropoiesis/anemia_of_chronic_disease.html> [Accessed April, 10th 2015]; 2013.
13. Pardede, D. K. B. Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata
Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis. [pdf] Vol. 40, No. 5. Available at:
<http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_204Hepsidin-
Peranannya%20dalam%20Patogenesis%20dan%20Implikasinya.pdf> [Accessed April, 10th 2015];
2013.

78
14. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
15. Shiraishi, J. et al. Prognostic Impact of Chronic Kidney Disease and Anemia at Admission on In-
Hospital Outcomes After Primary Percutaneous Coronary Intervention for Acute Myocardial
Infarction. International Heart Journal [pdf], Vol. 55, No. 4. Available at:
<https://www.jstage.jst.go.jp/article/ihj/55/4/55_13-367/_pdf> [Accessed April, 7th 2015]; 2014.
16. Sun, C. C. et al. Targeting the hepcidin–ferroportin axis to develop new treatment strategies for
anemia of chronic disease and anemia of inflammation. American Journal of Hematology [pdf].
Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653431/> [Accessed April, 9th
2015]; 2012.
17. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6nd ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p.2159-65.
18. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39: suppl 1, 2012.
19. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
internal medicine. 18th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2012.
20. Wilson LM. Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors:
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta: EGC; 2012.p. 912- 45.
21. Singh AK. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am 2008; vol. 3: 3-6.
22. International Society of Nephrology. Kindey disease improving global outcome: Clinical practice
guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney International Supplements 2012; 2: 283-335.
23. National institute for Healt and Care Excellence. Anemia management in people chronic kidney
disease. Manchester: NICE clinical guideline.
24. Gandasoebrata R,2013. Penuntun Laboratorium Klinik. Cetakan ke 15, Jakarta:Dian Rakyat
25. Trihastuti ernita.2013.Hubungan antara status tiroid dengan status gula darah dan status
anemia pada wanita usia subur di kecamatan cengkaringan sleman. Skripsi.Tidak diterbitkan.
Fakultas ilmu kesehatan universitas muhamadiyah Surakarta;Surakarta.

79
80

Anda mungkin juga menyukai