Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN TUGAS AKHIR PROFESI NERS

Implementasi Latihan Slow Deep Breathing (SDB) Terhadap


Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Primer Di
Ruang IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Dilaksanakan dan disusun sebagai salah satu Tugas Akhir dalam memperoleh
gelar profesi Ners, Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:
Fatwa Noor Annisa, S. Kep
14B017071

Program Profesi Ners Jurusan Keperawatan


Fakultas Ilmu-Ilmu Keseahatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2019
Implementasi Latihan Slow Deep Breathing (SDB) Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Primer Di
Ruang IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Oleh :
Fatwa Noor Annisa
I4B017071

disetujui pada tanggal


25 Februari 2019

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Iwan Purnawan, S.Kep., Ns., M. Kep Catur Desi N, S.Kep., Ns


NIP. 19800205 200801 1 005 NIP. 19751225 200212 2 006

Mengetahui,
Ketua Jurusan Keperawatan

Mekar Dwi Anggraeni, S.Kep. Ns, M.Kep, Ph.D


NIP. 19810904 2005012001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................
..........................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
1. Latar Belakang..............................................................................................................1
2. Tujuan...........................................................................................................................2
3. Learning Outcomes.......................................................................................................2
4. Kajian literatur
4.1 Pengertian Hipertensi............................................................................................3
4.2 Jenis Hipertensi....................................................................................................3
4.3 Patofisiologi Hipertensi.........................................................................................4
4.4 Komplikasi Hipertensi...........................................................................................5
4.5 Penatalaksanaan Farmakologi Hipertensi..............................................................6
4.6 Terapi Slow Deep Breathing.................................................................................6
5. Metode...........................................................................................................................10
6. Implementasi.................................................................................................................14
7. Evaluasi.........................................................................................................................17
8. Daftar Pustaka ...............................................................................................................19
1. Latar Belakang

Secara global WHO (World Health Organization) memperkirakan


penyakit tidak menular menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43%
kesakitan di seluruh dunia. Salah satu penyakit yang termasuk dalam
kelompok penyakit tidak menular tersebut yaitu hipertensi. WHO mencatat
pada tahun 2013 sedikitnya sejumlah 972 juta kasus hipertensi, diperkirakan
menjadi 1,15 milyar kasus pada tahun 2025 atau sekitar 29% dari total
penduduk dunia menderita hipertensi, dimana 333 juta berada di negara
berkembang termaksud Indonesia.
Hipertensi juga menempati peringkat ke 2 dari 10 penyakit terbanyak
pada pasien rawat jalan dirumah sakit di Indonesia. Kementerian Kesehatan
(2013) menyatakan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi
hipertensi dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013. Prevalensi
hipertensi di Jawa Tengah yaitu 26,4% dan berada pada peringkat ke-9 pada
10 besar provinsi di Indonesia dengan kejadian kasus hipertensi terbanyak
(Dinkes Jateng, 2013). Berdasarkan pengamatan selama sepuluh hari di IGD
RSUD dr.DR Goeteng Taroenadibrata Purbalingga, didapat data sebanyak
delapan belas pasien yang mengalami hipertensi primer.
Hipertensi merupakan tekanan darah persisten dengan tekanan darah
sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastoliknya di atas 90 mmHg. Sering
disebut pembunuh diam-diam (silent killer) karena tidak memberikan gejala
yang khas, tetapi bisameningkatkan kejadian stroke, serangan jantung,
penyakit ginjal kronik bahkan kebutaan jika tidak dikontrol dan dikendalikan
dengan baik (Sudoyo, 2007).
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2013 penyakit
kardiovaskular telah menyebabkan 17 juta kematian tiap tahun akibat
komplikasi hipertensi yaitu sekitar 9,4 juta tiap tahun di seluruh dunia (A
Global Brief on Hypertension, 2013). Di Indonesia penyakit hipertensi dan
komplikasinya merupakan peringkat kelima dari sepuluh besar penyebab
kematian tertinggi terhitung dari 41.590 kematian dari Januari sampai
Desember 2014 (Balitbangkes, 2014).

1
Berdasarkan komplikasi yang dapat timbul akibat dari hipertensi,
sehingga perlu adanya penanganan. Secara farmakologi, hipertensi dapat
dikontrol dengan obat antihipertensi golongan diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), beta‐bloker, (propanolol), penghambat angiotensin
converting enzymes (misalnya captopril), antagonis angiotensin II, calcium
channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha‐blocker(misalnya
doksasozin). Namun penggunaan obat antihipertensi dalam jangka panjang,
dapat memberikan efek samping berupa konstipasi, batuk, pusing,
mengantuk, letih, frekuensi berkemih yang meningkat, berkuranya
konsentrasi, disfungsi seksual dan rasa tidak enak pada perut (Kabo, 2011).
Oleh karena itu, diperlukannya terapi non farmakologis, untuk dapat
mengendalikan tekanan darah pada penderita hipertensi, salah satunya yaitu
dengan menggunakan teknik relaksasi Slow Deep Breathing (SDB).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berek, et al., (2015), SDB
dapat mengurangi tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik sebesar
28,59 mmHg dan 16,92 mmHg. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Elysabeth, Sedia, & Belet (2015), yang mengatakan
bahwa SDB dapatmenurunkan tekanan darah pada hipertensi primer.
Berdasarkan latar belakang diatas, sehingga perlu dilakukannya
intervensi non farmakologis untuk mengontrol hipertensi dengan
menggunakan Slow Deep Breathing di ruang IGD RSUD dr.DR Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga.
2. Tujuan
Tujuan pembelajaran dilakukan dalam jangka waktu empat minggu
yaitu penulis dapat mengaplikasikan pemberian implementasi terapi Slow
Deep Breathig (SDB) terhadap penurunan tekanan darah pada pasien
hipertensi di IGD RSUD dr.DR Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.
3. Learning Outcomes
a. Mengetahui gambaran pasien dengan hipertensi dan penanganannya di
IGD RSUD dr.DR Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

2
b. Memberikan implementasi terapi Slow Deep Breathig (SDB) terhadap
penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi di IGD RSUD dr.DR
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.
c. Menganalisis pengaruh implementasi terapi Slow Deep Breathig (SDB)
terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi di IGD
RSUD dr.DR Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.
4. Kajian Literatur
4.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskuler
aterosklerosis, gagal jantung, stroke dan gagal ginjal ditandai dengan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
lebih dari 90 mmHg, berdasarkan pada dua kali pengukuran atau lebih
(Smeltzer & Bare, 2008).
Hipertensi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.Tubuh akan
bereaksi lapar yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bila kondisi tersebut berlangsung
lama dan menetap, timbullah gejala yang disebut sebagai penyakit tekanan
darah tinggi. Hipertensi sering disebut sebagai pembunuh tanpa gejala
(silent killer), karena termasuk penyakit yang mematikan, tanpa disertai
dengan gejala-gejalanya lebih dulu sebagai peringatan bagi korbannya.
Kalaupun muncul, gejala tersebut seringkali dianggap sebagai gangguan
biasa, sehingga korbannya terlambat menyadari akan datangnya penyakit
(Ganong, 2009)

4.2 Jenis Hipertensi


a. Hipertensi primer
Artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas.
Berbagai faktor yang diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi
primer seperti bertambahnya umur, stress psikologis, dan hereditas
(keturunan). Sekitar 90 % pasien hipertensi diperkirakan termasuk
dalam kategori ini.

3
b. Hipertensi sekunder
Artinya penyebab boleh dikatakan telah pasti yaitu hipertensi yang
diakibatkan oleh kerusakan suatu organ. Yang termasuk hipertensi
sekunder seperti : hipertensi jantung, hipertensi penyakit ginjal,
hipertensi penyakit jantung dan ginjal, hipertensi diabetes melitus, dan
hipertensi sekunder lain yang tidak spesifik.
4.3 Patofisiologi Hipertensi
Kejadian hipertensi dimulai dengan adanya atherosklerosis yang
merupakan bentuk dari arterioklerosis (pengerasan arteri).
Antherosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang progresif pada
dinding arteri sehingga mengurangi volume aliran darah ke jantung,
karena sel-sel otot arteri tertimbun lemak kemudian membentuk plak,
maka terjadi penyempitan pada arteri dan penurunan elastisitas arteri
sehingga tidak dapat mengatur tekanan darah kemudian mengakibatkan
hipertensi (Guyton ,2014).
Kekakuan arteri dan kelambanan aliran darah menyebabkan
beban jantung bertambah berat yang dimanisfestasikan dalam bentuk
hipertrofi ventrikel kiri (HVK) dan gangguan fungsi diastolik karena
gangguan relaksasi ventrikel kiri sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan darah dalam sistem sirkulasi (Guyton ,2014).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Corwin, 2009).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor.

4
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal
mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi (Corwin, 2009).

4.4 Komplikasi
Komplikasi pada penderita hipertensi menurut Corwin (2009) menyerang
organ-organ vital antar lain :
a. Jantung
Hipertensi kronis akan menyebabkan infark miokard, infark miokard
menyebabkan kebutuhan oksigen pada miokardium tidak terpenuhi
kemudian menyebabkan iskemia jantung serta terjadilah infark.
b. Ginjal
Tekanan tinggi kapiler glomerulus ginjal akan mengakibatkan
kerusakan progresif sehingga gagal ginjal. Kerusakan pada glomerulus
menyebabkan aliran darah ke unit fungsional juga ikut terganggu
sehingga tekanan osmotik menurun kemudian hilangnya kemampuan
pemekatan urin yang menimbulkan nokturia.
c. Otak
Tekanan tinggi di otak disebabkan oleh embolus yang terlepas dari
pembuluh darah di otak, sehingga terjadi stroke. Stroke dapat terjadi

5
apabila terdapat penebalan pada arteri yang memperdarahi otak, hal ini
menyebabkan aliran darah yang diperdarahi otak berkurang.
4.5 Penatalaksanaan Hipertensi
4.5.1 Penatalaksanaan Farmakologi Hipertensi
a. Diuretik (Hidroklorotiazid)
Diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan berlebih dalam
tubuh sehingga daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
b. Penghambat simpatetik (Metildopa, Klonidin dan Reserpin)
Obat-obatan jenis penghambat simpatetik berfungsi untuk
menghambat aktifitas saraf simpatis.
c. Betabloker (Metoprolol, Propanolol dan Atenolol)
Fungsi dari obat jenis betabloker adalah untuk menurunkan daya
pompa jantung, dengan kontraindikasi pada penderita yang
mengalami gangguan pernafasan seperti asma bronkial.
d. Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
Vasodilator bekerja secara langsung pada pembuluh darah dengan
relaksasi otot polos pembuluh darah.
e. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor (Captopril)
Fungsi utama adalah untuk menghambat pembentukan zat
angiotensin II dengan efek samping penderita hipertensi akan
mengalami batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
f. Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)
Daya pompa jantung akan lebih ringan ketika obat-obatan jenis
penghambat reseptor angiotensin II diberikan karena akan
menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptor.
g. Antagonis Kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
Kontraksi jantung (kontraktilitas) akan terhambat.
4.6 Penatalaksanaan Non Farmakologis Hipertensi
Terapi Latihan Slow Deep Breathing (SDB)
a. Pengertian Slow Deep Breathing (SDB)
Latihan slow deep breathing adalah tindakan yang dilakukan
secara sadar untuk mengatur pernafasan secara lambat dan dalam

6
sehingga menimbulkan efek relaksasi (Tarwoto, 2011). Relaksasi
dapat diaplikasikan sebagai terapi non farmakologis untuk mengatasi
stress, hipertensi, ketegangan otot, nyeri dan gangguan pernafasan.
Terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya pengiriman impuls
saraf ke otak, menurunnya aktifitas otak dan fungsi tubuh lain pada
saat terjadinya relaksasi. Respons relaksasi ditandai dengan penurunan
tekanan darah, menurunnya denyut nadi, jumlah pernafasan serta
konsumsi oksigen (Potter & Perry, 2006 dalam Tarwoto, 2011).
Latihan slow deep breathing yang terdiri dari pernafasan
abdomen (diafragma) dan purse lip breathing dapat digunakan sebagai
asuhan keperawatan mandiri dengan mengajarkan cara melakukan
nafas dalam(menahan inspirasi secara maksimal), nafas lambat dan
cara menghembuskan nafas secara perlahan dengan metode bernafas

fase ekshalasi yang panjang (Smeltzer & Bare, 2008).

b. Tujuan Slow Deep Breathing (SDB)


Tujuan latihan slow deep breathing antara lain untuk
memelihara pertukaran gas, meningkatkan ventilasi alveoli, mencegah
terjadinya atelektasis paru, membantu meningkatkan efisiensi batuk
dan mengurangi stress fisik maupun psikologis (Smeltzer & Bare,
2008). Stress fisik maupun stress psikologis dapat menyebabkan
ketidakstabilan emosional serta memicu rangsangan di area pusat
vasomotor yang terletak pada medulla otak sehingga berpengaruh pada
kerja sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon, rangsangan yang
terjadi akan mengaktivasi sistem saraf simpatis dan pelepasan berbagai
hormon, sehingga mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah
(Corwin, 2011).
Latihan slow deep breathing memiliki pengaruh pada peningkatan
volume tidal sehingga mengaktivasi refleks Hering-Breur yang
memiliki efek pada penurunan aktifitas kemorefleks dan meningkatkan
sensitivitas barorefleks, melalui mekanisme inilah yang dapat
menurunkan aktifitas simpatis dan tekanan darah (Tarwoto, 2011).

7
c. Fisiologis Slow Deep Breathing (SDB) terhadap penurunan tekanan
darah
Latihan slow deep breathing dapat menurunkan produksi asam
laktat di otot dengan cara meningkatkan suplai oksigen sementara
kebutuhan oksigen didalam otak mengalami penurunan sehingga
terjadi keseimbangan oksigen didalam otak. Nafas dalam dan lambat
menstimulus saraf otonom yang berefek pada penurunan respons saraf
simpatis dan peningkatan respons saraf parasimpatis. Respons saraf
simpatis akan meningkatkan aktifitas tubuh sementara respons saraf
parasimpatis cenderung menurunkan aktifitas tubuh sehingga tubuh
mengalami relaksasi dan mengalami penurunan aktifitas metabolik.
Stimulasi saraf parasimpatis berdampak pada vasodilatasi pembuluh
darah otak yang memungkinkan suplai oksigen didalam otak lebih
banyak sehingga perfusi jaringan otak lebih adekuat. Penurunan kadar
hormon adrenalin juga terjadi saat latihan slow deep breathing yang
akan memberikan rasa tenang dan rileks sehingga berdampak pada
perlambatan denyut jantung yang akhirnya akan membuat
tekanandarah mengalami penurunan (Prasetyo, 2010).
d. Prosedur pelaksanaan latihan Slow Deep Breathing (SDB)
Mneurut Joseph, 2005 dalam Elysabeth, Sedia, & Belet (2015),
prosedur yang dilakukan saat latihan slow deep breathing dengan
melakukan pernafasan diafragma dan purse lip breathing selama
inspirasi mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan
dengan desakan udara yang masuk selama inspirasi. Langkah-langkah
latihan slow deep breathing sebagai berikut :
1. Atur pasien dengan posisi duduk
2. Kedua tangan pasien letakkan diatas perut
3. Anjurkan pasien untuk melakukan tarikan nafas secara perlahan dan
dalam melalui hidung
4. Tarik nafas selama 3 detik dan rasakan abdomen mengembang
selama menarik nafas
5. Tahan nafas selama 3 detik

8
6. Kerutkan bibir dan keluarkan nafas melalui mulut, hembuskan
secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak kebawah
7. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit, lakukan latihan slow
deep breathing dengan frekuensi 3 kali sehari

9
5. Metode
Timeline
Kegiatan Januari 2019
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
A. Pengkajian
1. Mahasiswa
a. Observasi fenomena yang ada di ruang IGD
b. Mencari literatur dan jurnal terkait
penanganan non farmakologi hipertensi di
ruang IGD
c. Konsultasi terkait fenomena yang ada di
ruangan dan rencana intervensi
2. Pembimbing:
Bed-site teaching
Mengajarkan dan mengarahkan mahasiswa
memenuhi target kompetensi pemberian asuhan
keperawatan di Ruang IGD
Target kompetensi:
a. Melakukan initial asessment
b. Melakukaan triage
c. Melakukan asuhan keperawatan pasien
dengan hipertensi dengan memperhatikan

10
aspek bio-psiko-sosio-spiritual
d. Memahami penanganan farmakologi dan non
farmakologi pada pasien hipertensi
e. Menerapkan evidence based dalam
melakukan asuhan keperawatan

B. Perencanaan
1. Mahasiswa:
a. Penyusunan proposal KTI (Latar belakang
sampai metode)
b. Konsultasi proposal KTI ke pembimbing
2. Pembimbing:
Observasi kinerja mahasiswasa
C. Implementasi
1. Mahasiswa:
a. Mengkaji pasien di ruang IGD terutama fokus
pada pasien hipertensi
b. Menerapkan implementasi latihan Slow Deep
Breathig (SDB) terhadap penurunan tekanan
darah pada pasien hipertensi
c. Memonitor tekanan darah pre dan post pada
pasien yang diberikan latihan Slow Deep
Breathig (SDB)
d. Mendokumentasikan implementasi

11
keperawatan.
2. Pembimbing:
Observasi kinerja mahasiswa
Konsultasi metode pelaksanaan terkait latihan
Slow Deep Breathig (SDB)

D. Evaluasi
1. Mahasiswa
Melakukan evaluasi pemberian implementasi
latihan Slow Deep Breathig (SDB) terhadap
penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi
2. Pembimbing
Mengarahkan mahasiswa

E. Pembuatan Laporan Hasil


1. Mahasiswa:
Menyusun laporan akhir dan konsultasi ke
pembimbing lahan maupun akademik
2. Pembimbing:
Membimbing, mengarahkan dan memberi
masukan

F. Presentasi dan Pengumpulan Laporan Akhir


Stase Peminatan
1. Mahasiswa:

12
a. Mempresentasikan laporan akhir (KTI)
b. Mengumpulkan tepat waktu
2. Pembimbing
Tanda tangan pengesahan dan penilainan

13
6. Implementasi
a. Gambaran Responden
Responden adalah pasien baru di IGD RSUD dr.DR Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga, dengan tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan
diastol ≥ 90 mmHg, merupakan hipertensi primer, yang tidak mengalami
gangguan pada fungsi jantung, ginjal, diates mellitus dan stroke.
Pengambilan data dan implementasi Slow Deep Breathing, dilaksanakan
pada tanggal 15-22 Januari 2019 dengan samel sebanyak 8 responden.
Pasien hipertensi diobservasi menggunakan spygnomanometer digital
untuk mengukur tekanan darah sebelum dan 60 menit setelah pemberian
latihan Slow Deep Breathing. Rata-rata responden datang dengan keluhan
nyeri kepala dan leher. Responden menndapat terapi standar untuk
penurunan tekanan darah yaitu Amlodipine 10 mg, dan ketorolac inj.
Tabel 6.1
Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuensi
Usia
40-50 tahun 1
51-60 tahun 2
61-70 tahun 5

Jenis Kelamin
Laki-laki 3
perempuan 5

Diagnosa Medis
Gastritis 4
Osteoarthritis 2
Vertigo 1
Katarak 1

Riwayat Hipertensi
Ya 6
Tidak 2

Responden yang terlibat berusia 40-50 tahun sebanyak 1orang, 51-


60 tahun sebanyak 2 orang, dan 61-70 tahun sebanyak 5 orang. Rata-rata
responden adalah perempuan, sebanyak 5 orang. Sebanyak 4 orang
mengalami gastritis, 2 orang mengalami osteoarthritis,1 orang mengalami
vertigo, dan 1 orang mengalami katarak. Rata-rata responden memiliki
riwayat hipertensi yaitu sebanyak 6 orang.

14
Sebelum dilakukan latihan SDB, responden diukur tekanan darah
menggunkan spynomanometer digital terlebih dahulu untuk mengetahui
hasil pre, kemudian responden dan keluarga dijelaskan cara dan tujuan dari
latihan SDB. Latihan SDB dilakukan 3 kali selama 15 menit, setelah itu
responden diukur kembali tekanan darahnya untuk mengetahui hasil post
latihan SDB.
b. Hasil implementasi
Latihan Slow Deep Breathing (SDB) adalah tindakan yang dilakukan
secara sadar untuk mengatur pernafasan secara lambat dan dalam sehingga
menimbulkan efek relaksasi (Tarwoto, 2011). Efek relaksasi yang
ditimbulkan mampu menurunkan tekanan darah pada pasien dengan
hipertensi. Adapun prosedur pelaksanaan latihan SDB meliputi :
1. Atur pasien dengan posisi duduk
2. Kedua tangan pasien letakkan diatas perut
3. Anjurkan pasien untuk melakukan tarikan nafas secara perlahan dan
dalam melalui hidung
4. Tarik nafas selama 3 detik dan rasakan abdomen mengembang selama
menarik nafas
5. Tahan nafas selama 3 detik
6. Kerutkan bibir dan keluarkan nafas melalui mulut, hembuskan secara
perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak kebawah
7. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit, lakukan latihan slow deep
breathing dengan frekuensi 3 kali sehari
Tabel 6.2 Implementasi
Responden Perubahan Tekanan Darah
Pre Test Post Test
Ny. W 190/112 178/97
Ny. Ru 175/102 168/96
Ny. S 160/94 154/94
Tn. D 165/98 157/90
Tn. M 150/90 150/80
Ny. T 200/108 182/98
Ny. Ra 194/100 176/94
Tn. S 169/90 160/90

Hasil implementasi menunjukkan bahwa tekanan darah sebelum


dan setelah diberikan latihan SDB terdapat penurunan pada sistolik 6-18

15
mmHg, dan diastolik 6-15 mmHg. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Berek, et al., (2015), dimana didapat nilai p = 0.001 pada
tekanan darah pre dan post pemberian latihan SDB. Hasil tersebut berarti
bahwa terjadi perbedaan yang signifikan, antara tekanan darah pre test
dengan post test. Pada tekanan darah sistolik terjadi penurunan sebesar
28.59 mmHg, sedangkan tekanan darah diastolik terjadi penurunan
sebesar 16.92 mmHg.
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Elysabeth, Sedia, & Belet (2015), dimana didapat nilai p= 0.000 pada
tekanan darah sistolik dan p= 0.015 pada tekanan darah diatolik pre dan
post pemberian latihan SDB. Keduanya menunjukkan nilai p< 0.05, yang
berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pre dan post
pemberian latihan SDB, baik pada tekanan sistolik maupun diastolik.
Slow Deep Breathing (SDB ) adalah suatu teknik asuhan
keperawatan yang dalam hal ini perawat mengajarkan klien bagaimana
melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal)
dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat
menurunkan intensitas nyeri, teknik nafas dalam juga dapat meningkatkan
ventilasi paru dan meningkatkan oksigenisasi darah (Smeltzer dan Bare,
2008).
Mekanisme penurunanan nilai tekanan darah pada latihan SDB
disebabkan karena meningkatnya aktivitas dari central inhibitory rythms
yang memiliki dampak pada output simpatis. Penurunan pada output
simpatis akan menyebabkan penurunan produksi hormone epineprin yang
ditangkap oleh reseptor alfa sehingga akan mempengaruhi otot polos dari
pembuluh darah sehingga terjadinya vasodilatasi, vasodilatasi pada
pembuluh darah akan menurunkan tahanan perifer yang juga menyebabkan
tekanan darah menjadi turun (Yanti et al., 2015).
Pernafasan yang dilakukan secara dalam dan perlahan pada saat
latihan SDB akan memperbaiki saturasi oksigen dan meningkatkan
konsumsi oksigen didalam tubuh (Nepal et al., 2013). Peningkatan jumlah
oksigen didalam tubuh akan menstimulasi munculnya oksidasi nitrit,

16
oksidasi nitrit akan masuk kedalam otak dan paru-paru yang akan
membuat tubuh menjadi lebih tenang, oksidasi nitrit juga akan
mempengaruhi pembuluh darah menjadi lebih elastis sehingga
menyebabkan terjadinya Vasodilatasi pada pembuluh darah sehingga
tekanan darah menjadi turun (Tarwoto., 2011).
Slow Deep Breathing dilakukan tiga kali selama 15 menit yang
dilakukan secara rutin, akan merangsang pelepasan hormon endorpin yang
akan membuat tubuh menjadi rileks selain itu juga akan merangsang
sistem syaraf parasimpatis menjadi lebih aktif dibanding sistem syaraf
simpatis yang akan mempengaruhi kerja dari sistem baroreseptor dan
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah dan
menurunnya denyut jantung yang menyebabkan turunnya tekanan darah
(Tharion et al.,2012; Zunhammer et al., 2013; Jones et al., 2015; Mahtani
et al.,2016).
7. Evaluasi
Berdasarkan implementasi tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan
pemberian latihan Slow Deep Breathing (SDB) pada pasien dengan hipertensi
primer dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik dan
memberikan efek nyaman pada pasien.
Saat pelaksanaan stase Independent Practice ini, mahasiswa telah
mencapai sasaran sesuai dengan learning outcome yang ditentukan. Berikut
ini merupakan tabel evaluasi dari masing-masing learning outcomes yang
telah dicapai :
Learning Outcomes Evaluasi
Mengetahui gambaran pasien dengan Terdapat kurang lebih 18 pasien hipertensi
hipertensi dan penanganannya di IGD selama sepuluh hari yang periksa di IGD
RSUD dr.DR Goeteng Taroenadibrata RSUD dr.DR Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga. Purbalingga, yang rata-rata berusia > 50
tahun, dan memiliki riwayat hipertensi
sebelumnya. Penanganan pasien tersebut
secara farmakologis yaitu diberikan
Amlodipine 10 mg untuk hipertensi grade 1
& 2 dengan rentang sistolik 140-170 dan
diastiolik 90-110. Sedangkan hipertensi
grade 3 & 4 diberikan kombinasi obat
Amlodipine dan irbesartan.

17
Memberikan implementasi terapi Saat memberikan terapi latihan SDB pada
Slow Deep Breathig (SDB) terhadap pasien hipetensi, terdapat beberapa faktor
penurunan tekanan darah pada pasien pendukung dan penghambat, yaitu :
hipertensi di IGD RSUD dr.DR Pendukung : pasien yang merupakan
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. respnden saat kooperatif saat diajarkan
latihan SDB, serta banyak yang mengatakan
bahwa teknik tersebut sangat sederhana
sehingga tidak mempersulit saat
pelaksanaan.
Penghambat : pasien yang merupakan
responden, rata-rata berusia > 50 tahun,
sehingga terdapat penurunan baik secara
kognitif maupun fisiologis, seperti
pendengaran dan pemahaman yang
menurun, sehingga perlu berulang kali
menjelaskan sehingga mempengaruhi
pelaksanaan latihan yang kurang maksimal.
Menganalisis pengaruh implementasi Saat dilakukan implementasi latihan SDB,
terapi Slow Deep Breathig (SDB) responden mengatakan lebih terasa
terhadap penurunan tekanan darah nyaman, nafas lebih terkontrol, sehingga
pada pasien hipertensi di IGD RSUD rasa sakit yang dikeluhkan responden
dr.DR Goeteng Taroenadibrata menjadi berkurang.
Purbalingga.

Saran
Pemeberian latihan Slow Deep Breathig (SDB) terbukti efektif dan efisien
dalam menurunkan tekanan darah pada hipertensi primer, sehingga dapat
diaplikasikan sebagai intervensi pendukung sekaligus intervensi discharge
planning pada pasien tersebut, karena pelaksanaannya yanng cukup sederhana
dan mudah dilakukan. Penjelasan terkait prosedur serta evaluasi pemberian
latihan Slow Deep Breathig (SDB) perlu ditingkatkan untuk mewujudkan
pelayanan yang lebih efektif.

18
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. (2014). Penyebab
Kematian Tertinggi Di Indonesia, (Online), Kementrian Kesehatan
Indonesia, (diakses 19 Januari 2019).
Berek, et al. (2015). Effectiveness Of Slow Deep Breathing On Decreasing Blood
Pressure In Primary Hypertension: A Randomized Controlled Trial Of
Patients In Atambua, East Nusa Tenggara. MATTER: International Journal
of Science and Technology, 1(2), 01-14.
Corwin (2011). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Elysabeth, Sedia, & Belet. (2015). Slow Deep Breathing Reduces High Blood
Pressure In Hypertensive Patients. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas
Pelita Harapan, Indonesia
Ganong, W. F. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C., Hall, J. E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
Jones, C.U., Sangthong, B., Pachirat, O., Jones, D.A. (2015). Slow breathing
training reduces resting blood pressure and the pressure responses to
exercise. Physiol. Res. 64, 673.
Kabo, P. (2011). Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Diakses melalui
www.litbang.depkes.go.id/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.pdf
Mahtani, K.R., Beinortas, T., Bauza, K., Nunan, D. (2016). Device-Guided
Breathing for Hypertension: a Summary Evidence Review. Curr. Hypertens.
Rep. 18. doi:10.1007/s11906-016-0631-z
Nepal, O., Pokharel, B.R., Khanal, K., Mallik, S.L., Kapoor, B.K., Koju, R.
(2013). Relationship Between Arterial Oxygen Saturation and Hematocrit,
and Effect of Slow Deep Breathing on Oxygen Saturation in Himalayan
High Altitude Populations. Kathmandu Univ. Med. J. 10, 30–34.
Rasional, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Smeltzer, Suzane C., and Bare, Brenda G. (2008). Buku Ajar Kesehatan Medical
Bedah, Volume 2, Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Sudoyo AW. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, cetakan
kedua, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta.
Tarwoto. (2011). Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas
Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cidera Kepala Ringan. Jakarta :
Universitas Indonesia
Tharion, E., Samuel, P., Rajalakshmi, R., Gnanasenthil, G., Subramanian, R.K.
(2012). Influence of deep breathing exercise on spontaneous respiratory
rate and heart rate variability: a randomised controlled trial in healthy
subjects
Yanti, N. P. E. D., Mahardika, I. A. L., Prapti, N. K. G. (2015). Pengaruh Slow
Deep Breathing terhadap tekanan darah pada penderita hipertensi di
Wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Timur. Nurscope. Jurnal
Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah. 2 (4). 1-10
Zunhammer, M., Eichhammer, P., Busch, V. (2013). Do cardiorespiratory
variables predict the antinociceptive effects of deep and slow breathing.
Pain Med. 14, 843–854.

19

Anda mungkin juga menyukai