Anda di halaman 1dari 27

LEUKEMIA

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB


Disusun Oleh :

Murni 1810711040
Nurul Septianti 1810711060
Naomi Gracya S.R.N 1810711074
Frida Anindita Yulianti 1810711081

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
S-1 KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat-Nya
berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah kami yang berjudul “Konsep
Manajemen Laktasi” ini dapat kami susun dan kami selesaikan dengan tepat waktu.
Kami harapkan makalah ini dapat berguna dan membantu dalam proses pembelajaran.

Dalam pembuatan makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ns. Santi
Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB selaku dosen pengampu mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah I kami yang telah berkenan mengizinkan pembuatan makalah ini.
Serta rasa terimakasih juga kami tujukan pada kedua orang tua kami yang telah
mendukung kami baik secara moral maupun materi. Begitupun terimakasih kami
ucapkan bagi seluruh pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah
membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Kami sadar makalah ini jauh dari sempurna. Karenanya, kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, 7 November 2019

Penyusun

I
DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................2
PEMBAHASAN............................................................................................................2
1.1. PENGERTIAN, PREVALENSI, DAN KLASIFIKASI.........................................2
1.2. ETIOLOGI..............................................................................................................6
1.3. PATOFISIOLOGI...................................................................................................7
1.4. TANDA DAN GEJALA.........................................................................................8
1.5. KOMPLIKASI........................................................................................................8
1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................................11
1.7. PENATALAKSANAAN MEDIS.........................................................................12
1.8. ASUHAN KEPERAWATAN...............................................................................14
1.9. TELAAH JURNAL...............................................................................................18
RINGKASAN..............................................................................................................18
PEMBAHASAN..........................................................................................................18
REKOMENDASI.........................................................................................................22
BAB III.........................................................................................................................23
PENUTUP....................................................................................................................23
1. Simpulan...................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................24

II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leukemia merupakan penyakit kanker sistemik yang menyerang sel darah putih
yang dapat menimbulkan berbagai masalah pada semua aspek kehidupan yaitu fisik,
psikologis, dan sosial. Leukemia adalah kanker yang disebabkan oleh pertumbuhan
tidak normal pada sel darah putih (leukosit), dimana sel darah putih muda tidak
menjadi matang seperti seharusnya melainkan menjadi sel yang dikenal sebagai sel
leukemia (Yayasan Kanker Indonesia (YKI), 2008). Leukemia adalah penyakit yang
dapat menyerang semua jenis usia, tidak terkecuali pada anak-anak. Leukemia
merupakan jenis kanker yang sering ditemukan pada anak dibawah usia 15 tahun.
Leukemia merupakan penyakit kronis yang menempati urutan kedua dan ketiga
sebagai penyebab kematian pada anak (Andra dalam Farmacia, 2007). Anak dengan
leukemia mengalami berbagai masalah yang dapat mengganggu tumbuh kembangnya.
Hal ini membuat anak mengalami masa sulit selama proses pertumbuhannya. Tanda
dan gejala yang muncul pada anak dengan leukemia antara lain pilek yang tidak
sembuh-sembuh, pucat, lesu, demam, anoreksia dan penurunan berat badan, petekie,
memar tanpa sebab, nyeri pada tulang dan persendian, nyeri abdomen, limfadenopati,
dan hepatosplemegali (Suriadi & Yuliani, 2010). Penyebab leukemia sampai sekarang
belum diketahui secara pasti. Namun dari beberapa penelitian ada beberapa faktor
resiko yang dapat menyebabkan leukemia diantaranya adalah penggunaan pestisida,
medan listrik, riwayat keguguran pada ibu, radiasi, bahan kimia (benzene), virus,
kelainan genetik, ibu yang umurnya relatif tua saat melahirkan, ibu yang merokok saat
hamil, konsumsi alkohol saat hamil, penggunaan marijuana saat hamil, medan
magnet, pekerjaan orang tua, berat lahir, urutan lahir, radiasi prenatal dan postnatal,
vitamin K, serta diet (Simanjorang, 2010).

1
BAB II
PEMBAHASAN

1.1. PENGERTIAN, PREVALENSI, DAN KLASIFIKASI


A. PENGERTIAN
Leukimia adalah proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan
biasanya berakhir dengan fatal. Leukimia dikatan penyakit darah yang disebabkan
terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu pada sumsusm tulang
belakang.
Leukimia adalah sekelompok gangguan keganasan kronik pada sel darah putih dan
prekursor sel darah putih. Pada leukimia, rasio lazim sel darah merah dan putih
dibalik. Leukimia ditandai dengan penggantian sumsum tulang oleh sel darah putih
imatur ganas, peredaran sel darah putih imatur yang abnormal, dan infiltrasi sel ini
kedalam hati, limpa, dan kelenjar limfe di seluruh tubuh.
Leukemia merupakan keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai
oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi penambahan sel-sel abnormal
dalam darah tepi. Berdasarkan National Academy of Sciences, terdapat lebih dari
100.000 bayi di seluruh dunia yang lahir dengan keadaan dan kondisi yang berat dari
Leukemia (Cooley’s Anemia Foundation, 2006). Jumlah penderita di Indonesia pada
tahun 2008 sudah mencapai 20.000 orang penderita dari jumlah 200 juta orang
penduduk Indonesia secara keseluruhan (Robert, 2009).

B. PREVALENSI

2
Berdasarkan data Global Cancer Observatory 2018 dari World Health Organization
(WHO), tahun lalu kematian akibat leukemia di Indonesia merenggut 11.314
jiwa.Angka kematian akibat kanker darah ini merupakan nomor lima terbanyak
setelah kanker paru-paru, kanker payudara, kanker serviks (leher rahim), dan kanker
hati. Jika dilihat berdasarkan jumlah kasus, ada 13.498 kasus kanker darah pada tahun
lalu. Jumlah kasus kanker darah merupakan kasus terbanyak kesembilan di Indonesia
setelah kanker payudara, serviks, paru-paru, kanker hati, kanker nasofaring, usus
besar, limfoma non-Hodgkin, dan kanker rektum (anus).WHO menyebutkan
prevalensi kanker darah di Indonesia dalam lima tahun terakhir mencapai 35.870
kasus. Prevalensi ini mencakup semua usia, baik laki-laki maupun perempuan.

Menurut Riskesdas (2007) dalam panduan yang diluncurkan Kementrian


Kesehatan RI (2013), prevalensi kanker di Indonesia mencapai 4,3 per 1.000
penduduk dan kanker menduduki peringkat ketujuh penyebab kematian. Sedangkan
Sistem Registrasi Kanker di Indonesia (Srikandi) tahun 2005-2007 dalam Kemenkes
(2013) mencatat angka kejadian kanker pada anak (0-17 tahun) adalah 9 per 100.000
anak-anak dengan prevalensi leukemia (kanker tertinggi pada anak) adalah 2,8 per
100.000 anak-anak. Data yang tercatat pada Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa

3
prevalensi leukemia tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara sebanyak 0,11%
sedangkan di Sumatera Utara sebanyak 0,01%. Dalam penelitian Widiaskara (Sari
Pediatri,2010), tercatat bahwa leukemia akut menduduki peringkat pertama penyebab
keganasan pada anak dari tahun 1991-2000 di Rumah Sakit Umum Dr.Soetomo
Surabaya sejumlah 524 kasus / 59% dari seluruh keganasan. Dari 524 kasus,
didapatkan bahwa 430 diantaranya didiagnosis mengidap leukemia akut jenis
limfoblastik atau LLA. Sedangkan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, setiap
tahunnya angka kejadian LLA meningkat sebanyak 8 kasus (Rini, 2010).
Di dunia, anak-anak yang terdiagnosis mengidap leukemia akut sebesar 30-34%
dari semua jenis keganasan. Insiden rata-rata leukemia adalah 4-4,5
kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun (Permono & Ugrasena, 2010). Di
Amerika Serikat, data dari tahun 2006 sampai 2010 tingkat kejadian leukemia secara
keseluruhan meningkat sekitar 0,5% per tahun. Kejadian LLA mencapai 6.020 kasus
(kasus anak-anak dan dewasa) dan angka kematiannya mencapai 1.440 kasus pada
tahun 2014. Prevalensi kejadian LLA pada anak yaitu sebesar 75% dibandingkan
dengan jenis leukemia lainnya (American Cancer Society, 2014).Di Indonesia, kasus
leukemia pada anak sejak tahun 2010 sampai dengan 2013 di RSK Dharmais
cenderung meningkat. Data dari tahun 2010-2013 kasus leukemia di Indonesia
terdapat peningkatan setiap tahunnya dimana tahun 2010 31% kasus baru, pada tahun
2011 terdapat peningkatan 4% kasus baru, pada tahun 2012 terdapat peningkatan lagi
sebesar 7%, dan tahun 2013 terdapat peningkatan yang sama sebesar 7% (Riskesdas,
2013). Jumlah kasus leukemia pada tahun 2014 mencapai 46 kasus (Kemenkes,
2015). Penderita LLA biasanya mengalami masalah dengan ketidakseimbangan
nutrisi, terjadinya penurunan berat badan pada saat sebelum mendapatkan pengobatan
(Wong et al, 2009). Perubahan berat badan ini perlu dilakukan pengawasan demi
kesembuhan, dengan memantau perubahan status gizi anak penderita LLA (Brinksma
et al, 2014).

C. KLASIFIKASI
Leukimia diklasifikasikan menurut akuitas dan jenis sel dominan yang terlibat.
1. Leukemia Limfositik Akut
Leukemia limfositik akut (acute lymphocytic leukimia, ALL) adalah jenis
leukemia yang paling umum pada anak-anak dan dewasa muda. Pada dewasa, ALL
jarang dijumpai sampai usia paruh baya dan kemudian insidensinya meningkat seiring
4
penuaan. Faktor genetik dapat berperan penting dalam perkembangannya, khususnya
translokasi bcr/abl juga terjadi pada CML.
Awita ALL biasanya cepat. Poliferasi (sel-sel imatur) limfoblast dalam sumsum
tulang dan jaringan perifer mendesak pertumbuhan sel normal. Hematopoiesis normal
disupresi, menyebabkan trombositopenia, leukopenia, dan anemia.
2. Leukemia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik (chronic lumphocytic leukimia, CLL) ditandai dengan
proliferasi dan akumulasi limfosit kecil, abnormal, dan matur dalam sumsum tulang,
darah perifer, dan jaringan tubuh. Sel abnormal biasanya limfosit-B yang tidak dapat
menghasilkan antibodi yang cukup untuk mempertahankan fungsi imun. Hanya
sekitar 5% CLL mengenai sel T (Noonan, 2007). CLL terjadi lebih sering pada
dewasa, khususnya pada lansia (usia median 65). CLL adalah jenis leukemia mayor
yang jarang terjadi.
CLL mempunyai awitan lambat yang sering kali didagnosa selama pemeriksaan
fisik rutin. Jika gejala muncul maka mencakup keluhan samar kelemahan atau
malaise. Kemungkinan temuan klinis mencakup anemia, infeksi, dan pembesaran
kelenjar limfe, limpa, dan hati. Speperti pada leukemia lain, terdapat hiperplasia
sumsum tulang. Hitung eritrosit dan trombosit turun. Hitung leukosit dapat naik atau
turun, tetapi selalu terdapat sel abnormal. Pada CLL, pengobatan tidak dibutuhkan
sampai bertahun-tahun. Angka bertahan hdiup dari penyakit ini rata-rata sekitar 7
tahun
3. Leukemia Mieloid Akut
Leukemia mieloid akut (acute nyeloid leukimia, AML) ditandai dengan
proliferasi meiloblast (prekusor granulosit) tidak terkontrol dan hiperplasia sumsum
tulang dan limpa. AML menjadi penyebab sekitar 80% kasus leukemia akut pada
dewasa. Terapi mencakup remisi komplet pada 66% pasien, meskipun hanya sekitar
30% hingga 40% mencapai kesembuhan atau remisi jangka panjang (Huether &
McCance, 2008)
4. Leukemia Mieloid Kronik
Leukemia mieloid kronik (chronic myeloid leukimia, CML) ditandai dengan
ploferasi abnormal semua unsur sumsum tulang. Jenis leukemia ini merupakan sekitar
15% leukemia pada dewasa. CML menyerang pria lebih sering daripada wanita.
Awitan CML biasanya di antara usia 30 atau 40 dan 50 tahun, meskipun juga
dijumpai pada anak-anak dan remaja (Huether & McCance, 2008)
5
CML biasanya dikaitkan dengan abnormalitas kromosom yang disebut kromosom
Philadephia, translokasi seimbang kromosom 22 ke kromosom 9. penyatuan gen yang
dihasilkan oleh translokasi ini, dikenal sebagai bcr/abl adalah onkogen yang dapat
memicu keganasan. Dosisi radiasi ion yang sangat besar juga dapat mencakup CML
pada sebagian pasien (Papadakis & McPhee, 2007).
Orang yang menderita CML sering kali asimtomatik pada stadium awal dan, pada
kenyataanya, sering kali didiagnosis saat pemeriksaan darah rutin menunjukan hitung
sel abnormal. Anemia menyebabkan kelemahan, keletihan, dan dispnea pada
aktivitas. Limpa sering membesar, menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam 3 hingga 4
tahun, penyakit memburuk menjadi fase yang lebih agresif. Proliferasi sel yang cepat
dan hipermetabolisme menyebabkan keletihan, penurunan berat badan, berkeringat,
dan intoleransi panas. Limpa membesar menyebabkan rasa penuh pada abdomen dan
ketidaknyamanan. Fungsi tormbosit dipengaruhi oleh tahap ini, yang menyebabkan
perdarahan dan peningkatan memar. Akhirnya, penyakit berkembang menjadi
leukimia akut, dengan proliferasi sel blast. Tahap ini disebut sebagai fase krisis blast
terminal, ditandai dengan manifestasi konstitusi signifikan, splenomegali, dan infiltasi
sel leukemia ke dalam kulit, kelenjar limfe, tulang, dan sistem saraf pusat (Huether &
McCance, 2008). angka bertahan hidup setelah awitan tahap akhir hanya sekitar 2
sampai 4 tahun.

1.2. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :

a.) Faktor Endogen


 Faktor Herediter
Adanya Penyimpangan Kromosom Insidensi leukemia meningkat
pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down,
sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich,
sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy
sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis
( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) . Kelainan-kelainan kongenital ini
dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada
kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak

6
stabil, seperti pada aneuploidy.

b.) Faktor Eksogen


 Virus
Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada
manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang
ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia .

 Bahan Kimia dan Obat-obatan


Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan
dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu
yang sering terpapar benzen. Selain benzen beberapa bahan lain
dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk –
produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang
elektromagnetik.
Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor
topoisomere II ) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang
menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan
methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang
yang lambat laun menjadi AML.
 Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL )
ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat
terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi
leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom.
Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat
terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos
radiasi dan para radiologis.

1.3. PATOFISIOLOGI
Leukemia dimulai dengan transformasi sel induk tunggal menjadi ganas. Sel
leukemia berproliferasi secara lambat, tetapi tidak berdiferensiasi secara normal. Sel
ini mempunyai masa hidup lama dan menumpuk pada sumsum tulang. Ketika sel

7
leukemia menumpuk, bersaing dengan proliferasi sel normal. Sel leukemia tidak
mempunyai fungsi sebagai sel darah putih matur dan tidak efektif dalam proses
inflamasi dan imun. Sel leukemik menggantikan unsur hematopoietik normal dalam
sumsum. Karena sel sel yang menghasilkan eritrosit dan trombosit terdesak keluar,
anemia berat, splenomegali, dan masalah perdarahan terjadi.
Sel leukemia meninggalkan sumsum tulang dan berjalan di sepanjang sistem
sirkulasi, menginfiltrasi jaringan tubuh lain seperti sistem saraf pusat, testes, kulit,
saluran GI, dan kelenjar limfe, hati, dan limpa. Kematian biasanya disebabkan oleh
hemoragi interna dan infeksi.
1.4. TANDA DAN GEJALA
 Pasien akut
1. Kelelahan dan kelemahan terkait dengan anemia
2. Demam karena naiknya kepekaan pada infeksi
3. Pendarahan atau petekie ekimosis epistaksis gingival terkait dengan
kekurangannya jumlah keping darah
4. Tulang sakit karena infiltrasi tulang dan ekspansi sumsum
5. Kelenjar getah bening membesar karena sel leukemia menyerbu
kelenjar
6. Hati dan limpa membesar karena serbuan sel leukemia
7. Sakit kepala mual muntah dan berat badan turun
8. Papiledema kumpulan saraf kepala serangan terjadi jika ada
keterlibatan sistem saraf pusat

 Pasien kronis
1. Lelah karena anemia
2. Berat badan turun karena proses penyakit kronis dan hilangnya selera
makan
3. Selera makan buruk
4. Kelenjar getah bening membesar karena infiltrasi kelenjar getah bening
5. Limpa membesar terkait dengan keterlibatan limpa

1.5. KOMPLIKASI
1. Leukemia Mieloblastik Akut (AML)

8
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat leukemia mioblastik akut (AML),
yaitu:
 Gangguan sistem kekebalan tubuh. Komplikasi yang paling umum terjadi pada
penderita leukemia mieloblastik akut. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
penyakit sendiri atau efek samping obat yang digunakan selama pasien
menjalani kemoterapi.
 Perdarahan. Leukemia mieloblastik akut menyebabkan tubuh lebih rentan
mengalami memar dan perdarahan karena trombositopenia. Perdarahan dapat
terjadi di lambung, paru, hingga otak.
 Leukostasis, terjadi ketika jumlah sel darah putih dalam aliran darah sangat
tinggi (>50.000/uLdarah). Leukostasis memicu terjadinya penggumpalan sel
darah putih yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah dan
terganggunya asupan oksigen ke sel-sel tubuh. Kondisi ini mengakibatkan
gangguan fungsi berbagai organ tubuh, terutama otak dan paru-paru. Langkah
penanganan leukostasis dapat dilakukan dengan kemoterapi dan leukapheresis
untuk mengurangi jumlah sel darah putih yang beredar dalam tubuh.

Selain komplikasi dari AML, komplikasi juga dapat timbul dari pengobatannya.
Pasien yang telah menjalani kemoterapi dosis tinggi rentan untuk mengalami
kemandulan atau infertilitas.

2. Leukimia Mioblastik kronik (CML)


 Masalah metabolik, terjadi akibat cepatnya sitolisis yang akan mengakibatkan
terjadinya hiperukemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus
diansipasi, dan di terapi dengan pemberian carira yang cukup, alkallinasi dan
pemberian allupurinol.
 Hiperleukositosis, peningkatan ekstrim leukosit pada LMK dapat menyebakan
komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina, dan
penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peninkatan
viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut, Myeloblas
merupakan sel yang lebih kaku dibandingka dengan leukosit lain, juga
meningkatkan viskolitas tersebut.
 Pripiasin, nyeri persisten pada penis mugkin merupakan akibat obstruksi oleh

9
leukemia, adannya penymbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf
dan vena oleh pembesaran lien.

3. Leukimia Limfositik Akut (ALL)


a. Infeksi
Komplikasi ini yang sering ditemukan dalam terapi kanker masa anak-
anak adalahinfeksi berat sebagai akibat sekunder karena neutropenia. Anak
paling rentanterhadap infeksi berat selama tiga fase penyakit berikut:
1) Pada saat diagnosis ditegakkan dan saat relaps (kambuh) ketika proses
leukemiatelah menggantikan leukosit normal.
2) Selama terapi imuno supresi
3) Sesudah pelaksanaan terapi antibiotic yang lama sehingga mempredisposisi
pertumbuhan mikroorganisme yang resisten.Walau demikian , penggunaan
faktor yang menstimulasi-koloni granulosit telahmengurangi insidensi dan
durasi infeksi pada anak-anak yang mendapat terapi kanker.Pertahanan
pertama melawan infeksi adalah pencegahan.(Wong, 2009:1141)
b. Perdarahan
Sebelum penggunaan terapi transfuse trombosit, perdarahan merupakan
penyebab kematian yang utama pada pasien leukemia. Kini sebagaian besar
episode perdarahan dapat dicegah atau dikendalikan dengan pemberian
konsentrat trombositatau plasma kaya trombosit.Karena infeksi meningkat
kecenderungan perdarahan dan karena lokasi perdarahan lebih mudah
terinfeksi, maka tindakan pungsi kulit sedapat mungkinharus dihindari. Jika
harus dilakukan penusukan jari tangan, pungsi vena dan penyuntikan IM dan
aspirasi sumsum tulang, prosedur pelaksanaannya harusmenggunakan teknik
aseptic, dan lakukan pemantauan kontinu untuk mendeteksi
perdarahan.Perawatan mulut yang saksama merupakan tindakan esensial,
karena seringterjadi perdarahan gusi yang menyebabkan mukositis. Anak-anak
dianjurkan untukmenghindari aktivitas yang dapat menimbulkan cedera atau
perdarahan seperti bersepeda atau bermain skateboard, memanjat pohon atau
bermain denganayunan.(Wong, 2009:1141-1142) Umumnya transfuse
trombosit hanya dilakukan pada episode perdarahan aktifyang tidak bereaksi
terhadap terapi lokal dan yang terjadi selama terapi induksi ataurelaps.
Epistaksis dan perdarahan gusi merupakan kejadian yang paling sering
10
ditemukan.
c. Anemia
Pada awalnya, anemia dapat menjadi berat akibat penggantian total
sumsumtulang oleh sel-sel leukemia. Selama terapi induksi, transfusi darah
mungkindiperlukan. Tindakan kewaspadaan yang biasa dilakukan dalam
perawatan anak yangmenderita anemia harus dilaksanakan.(Wong, 2009 :
1142)
4. Leukimia Limfoblastik Kronis (CLL)
Jika tidak mendapatkan penanganan tepat, leukemia limfositik kronis berpotensi
menimbulkan komplikasi. Komplikasi leukemia limfositik kronis beragam, beberapa
di antaranya adalah:
 Infeksi,umumnya terjadi pada saluran pernapasan.
 Gangguan sistem kekebalan tubuh, sehingga sistem kekebalan tubuh
dapat menyerang sel darah lain yang normal.
 Kanker berubah menjadi lebih agresif. Kondisi ini biasa disebut limfoma
sel B atau sindrom Richter.
Munculnya kanker tipe lain, seperti kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker
saluran pencernaan.

1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Tes darah
Tes darah yang dilakukan diambil dari vena pada lengan atau dari jari tangan
perifer. Pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat kadar hematologi pasien.
Pemeriksaan apusan darah tepi juga dilakukan untuk melihat morfologi dari sel
darah. Pada pasien dengan leukemia, akan ditemukan sel darah putih yang sangat
banyak dibandingkan sel darah merah dan platelet yang sedikit.

2. Aspirasi dan biopsi sumsung tulang


Aspirasi dan biopsi sumsung tulang merupakan prosedur untuk mengumpulkan
darah sumsum tulang dan potongan kecil bagian tulang dengan memasukkan jarum
khusus ke dalam tulang pinggul pasien. Prosedur ini umumnya dilakukan dengan
bantuan anestesi local dan akan memakan waktu sekitar 30 menit. Sampel sumsum
tulang yang diperoleh akan dievaluasi untuk menentukan adanya sel-sel leukemia,

11
diagnosis, dan klasifikasi leukemia.

3. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal merupakan pemeriksaan terhadap sampel cairan serebrospinal yaitu
cairan yang berada di sekitar otak dan sumsum tulang belakang untuk mendeteksi
sel kanker.

4. Tes Pencitraan
 USG, untuk mendeteksi pembengkakan yang terjadi pada organ hati, kelenjar
getah bening, limpa, dan ginjal.
 Foto Rontgen, untuk mendeteksi infeksi yang terjadi pada paru-paru.
 CT scan, untuk menunjukkan apakah leukemia telah menyebabkan
pembesaran pada limpa dan kelenjar getah bening.

5. Uji kromosom atau molekuler


Merupakan tes khusus yang dilakukan pada perifer darah dan sampel sumsum
tulang untuk mendeteksi adanya perubahan yang tidak normal pada kromosom,
DNA atau penanda tumor yang berkaitan dengan kehadiran leukemia.

1.7. PENATALAKSANAAN MEDIS


 Leukemia limfositik akut
1. Karena ALL sering kali menginvasi sistem saraf pusat iradiasi kranial
preventif atau kemoterapi intratekal ( metoteksat) atau keduanya juga
merupakan bagian penting dalam rencana terapi
2. Kortikosteroid dan alkaloid vinca merupakan bagian integral dari
terapi induksi awal biasanya antrasiklin termasuk di dalamnya
terkadang bersama asparaginase (elspar)
3. Setelah pasien berada dalam status remisi terapi intensifikasi menyusul
Kemudian pada orang dewasa dengan all transparan allogeneic dapat
digunakan untuk terapi intensif intensifikasi untuk mereka yang tidak
mungkin menjalani transparansi (atau hanya dilakukan terjadi
kekambuhan) terapi dilanjutkan dengan fase rumatan yang lama
yakini ketika dosis medikasi yang lebih rendah diberikan sampai

12
dengan 3 tahun
 Leukimia lifositik kronik
1. Terjadi pergeseran paradigma yang besar pada terapi cll selama
bertahun-tahun agaknya tidak ada manfaat kesintasan yang diperoleh
dengan menangani cll di stadium awal namun dengan ditemukannya
metode pengajian reseptor yang lebih sensitif terbukti bahwa mencapai
remisi komplit dan menghilangkan sedikit saja penyakit residual akan
meningkatkan angka kesintasan
2. Agen kemoterapi fludarabine (fludara) dan siklofosfamid(cytoxan)
seringkali diberikan dalam bentuk kombinasi dengan antibodi rituxan
3. Alamtuzumab antibodi monoklonal (campath) seringkali digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan agen kemoterapeutik lain ketika
penyakit sulit disembuhkan dengan menggunakan saudara bin pasien
memiliki penanda prognosis yang sangat buruk atau penyakit residual
perlu dihilangkan setelah terapi pertama
4. Penggunaan agen anti-virus dan antibiotik profilaksis seperti tropin
atau sulfametoksazol untuk pasien yang mendapatkan alemtuzumab
beresiko tinggi terkena infeksi
5. Imunoglobin IV dapat mencegah infeksi bakteri berulang pada pasien
tertentu
 eukimia meloid akut
1. Kemoterapi
 Sitarabin (chitosar, Ara-C) dan daunorobisin (cerubidine)
 Mitoksantroon (novantrone) atau idarubicin (idamcyn)
 Etoposid (VP-16, Vepesid)ditambahkan
 terapi konsolidasi atau terapi pasca remisi dengan agen
kemoterapi
2. Perawatan suportif
 Pemberian produk darah
 Terapi infeksi dengan cepat dan tepat
 Faktor stimulasi koloni granulosit atau faktor stimulasi koloni
granulosit makrofag untuk menurunkan neutropenia
 Terapi antimikroba dan transfusi sesuai kebutuhan

13
 Terkadang hidroksiurea (Hydrea) dapat digunakan secara
singkat untuk mengendalikan peningkatan sel-sel Blas
3. Transpalasi sumsum tulang
Transpalasi sumsum tulang digunakan ketika jaringan yang cocok
dapat diperoleh prosedur transparasi dilakukan setelah penghancuran
sumsum tulang leukemik oleh kemoterapi.
 Leukimia meloid kronis
Terapi farmakologis
 Formulasi oral berupa inhibitor, tyrosinkinase, imatinib mesilat
 Pada zat yang imatinib nya tidak menghasilkan remisi molekular atau
jika remisi tidak dipertahankan pilihan terapi lain mungkin menjadi
pertimbangan: dosis imatinib dapat ditingkatkan dengan peningkatan
toksisitas inhibitor BCR abl lain dapat digunakan atau transplant
allogeneic dapat digunakan
 Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk darah perifer
merupakan strategi terapi lainnya
 Pada bentuk akut CML krisis belas terapi dapat menyerupai terapi
induksi untuk leukemia kutek ini menggunakan obat yang sama seperti
untukAML atau ALL
 Agents kemoterapeutik oral terutama hidroksiurea atau busulfan
(myleran): leukaferesis (jumlah leokosit lebih dari 300.000/mm3),
agens kemoterapeutik antrasiklon ( daunomisin) untuk pendekatan
paliatif saja (jarang)

1.8. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Data pengkajian terfokus yang terkait dengan leukemia mencakup sebagai berikut:
 Riwayat kesehatan: keluhan keletihan, kelemahan, dispnea pada aktivitas,
infeksi sering, luka tenggorok, keringat malam, pendarahan gusi, atau
pendarahan hidung, penurunan berat badan baru-baru ini, pajanan terhadap
radiasi ionisasi atau bahan kimia, pengobatan kanker sebelumnya, riwayat
gangguan imun.
 Pemeriksaan fisik : periksa adanya memar, purpura, petekie, ulkus atau lesi

14
pada kulit dan membrane mukosa, pucat, bunyi jantung dan paru, pemeriksaan
abdomen, darah dalam feses.
 Pemeriksaan laboratorium : hitung darah dengan diferensial, pemeriksaan
sumsum tulang.

B. Diagnosa, Hasil yang diharapkan, Intervensi


1. Ketidakefektifan Perlindungan Diri / Risiko infeksi.
Diagnosa keperawatan : ketidakefektifan perlindungan diri / resiko infeksi
berhubungan dengan neutropenia atau leukositosis sekunder akibat leukemia
atau pengobatan.

Hasil yang diharapkan : infeksi akan dicegah atau akan ditemukan dini dan
diobati secara efektif seperti dibuktikan dengan hitung neutrofil lebih dari
1.000/mm3, tidak ada demam, dan tidak ada kesulitan pernapasan.

Intervensi :
 Kaji penyebab demam sebelum memulai terapi dengan memperoleh
specimen darah, sputum, urine, tempat pemasangan jalur vena sentral,
dan sumber potensial lainnya dari infeksi untuk memeriksa kultur.
 Berikan antibiotic sesuai program. Terapi terdiri atas antibiotic
spectrum luas IV multiple yang diberikan pada jadwal bertukar-tukar.
Berikan analgesic sesuai program untuk meredakan ketidaknyamanan,
hindari aspirin jika klien trombositopenia.
 Prosedur invasive seharusnya dihindari jika mungkin. Berikan
dekontaminan kulit secara cermat sebelum pungsi vena. Jaga penutup
steril kateter vena sentral dan lakukan perawatan balutan rutin.
 Monitor klien zecara ketat untuk memeriksa gejala infeksi jamur atau
virus (misalnya peningkatan frekuensi napas, rules, dispnea, perubahan
warna mukosa mulut). Monitor frekuensi napas dan auskultasi suara
napas secara teratur.
2. Penurunan Curah Jantung
Diagnosa keperwatan : Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
trombositopenia sekunder akibat leukemia maupun pengobatan.

15
Hasil yang diharapkan : perdarahan akibat cedera, seperti jatuh, pungsi,
tersayat atau bahaya lingkungan lainnya, akan dapat dicegah atau akan
didiagnosis dan diobati secara berhasil seperti yang dibuktikan dengan tidak
adanya perdarahan dan hitung trombosit lebih dari 20.000/mm3.

Intervensi :
 Berikan sikat gigi lembut untuk kebersihan mulut, hindari flossing
(benang gigi), bulu sikat keras dan obat kumur komersial yang
mengandung alcohol.
 Instruksikan klien untuk menghindari memukul atau mengorek hidung,
mengejan saat defekasi, menggunakan semprot vagina atau memakai
tampon, atau memakai alat cukur.
 Jangan memberikan suntikan IM atau SK.
 Jangan memasukkan supositoria rectal.
 Jangan memberikan obat yang mengandung aspirin.
 Hindari kateter urine.
 Gunakan matras yang mengurangi tekanan, dan ubah posisi klien
secara sering untuk mencegah ulkus tekan/dekubitus. Gunakan
ayunan/timangan tempat tidur untuk melindungi anggota gerak.
 Ajarkan klien dan anggota keluarga terdekat untuk melakukan tindakan
pencegahan selama periode trombositopenia.
 Monitor klien paling tidak setiap 4 jam untuk gejala perdarahan.

3. Keletihan
Diagnosa keperawatan : Keletihan yang berhubungan dengan efek samping
pengobatan, kadar Hb rendah, nyeri, kurang tidur, atau penyebab lainnya.

Hasil yang diharapkan : klien akan melaporkan letih yang berkurang,


merencanakan periode istirahat adekuat, dan mampu melakukan peningkatan
sejumlah aktivitas biasa dengan menurunkan bantuan dari orang lain.

Intervensi :

16
 Kaji anemia, fisik, psikologis, dan penyebab letih terkait pengobatan.
 Dorong latihan fisik untuk menjaga kekuatan.
 Minta ahli terapi fisik untuk membantu latihan penguatan dan latihan
penguatan di tempat tidur.
 Advokasi untuk pengurangan nyeri adekuat, minimalkan
gangguan/interupsi, dan batasi pengunjung ketika istirahat dibutuhkan.

4. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh.


Diagnosa keperawatan : Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan
Tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, nyeri, dan, keletihan.

Hasil yang diharapkan : klien akan menjaga nutrisi yang adekuat dan
mempertahankan berat badan seperti dibuktikan dengan berat badan stabil,
asupan kalori adekuat, dan mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.

Intervensi :
 Berikan antimetik sesuai program, selama 24 jam jika perlu untuk
mencegah mual dan muntah.
 Berikan analgesic local dan IV, sesuai program untuk mengurangi
nyeri akibat mukositis.
 Diskusikan kebutuhan diet harian dengan klien dan sediakan makanan
tinggi karbohidrat serta suplemen oral.

5. Gangguan Citra Tubuh


Diagnosa keperawatan : Gangguan Citra Tubuh yang berhubungan dengan
alopesia, penurunan berat badan, dan keletihan.

Hasil yang diharapkan : klien akan mampu menunjukkan dan mendiskusikan


pemahaman kondisi penyakit dan karakteristik sementara dari perubahan citra
tubuh dan energy.

Intervensi :

17
 Sebelum pengobatan informasikan klien mengenai potensi kehilangan
rambut seluruh tubuh. Dorong pemakaian syal, topi, wig sesuai
keinginan.
 Jelaskan sifat sementara alopesia, meskipun rambut mungkin memiliki
warna dan tekstur berbeda ketika kembali.

1.9. TELAAH JURNAL


RINGKASAN
Leukemia limfositik akut merupakan tipe leukemia yang paling umum
pada anak yaitu sekitar 75-80%. Pengobatan leukemia limfositik akut yang
intensif memiliki kecenderungan untuk menimbulkan efek sekunder
(Dorantes-Acosta et al., 2012) namun dapat memperpanjang keberlangsungan
hidup sehingga dapat menimbulkan stress fisik dan mental pada pasien dan
keluarga. Distres pada pasien dengan kanker akan berdampak pada kualitas
hidup pasien (Vitek, Margaret, & Stollings, 2007).
Nilai kualitas hidup anak yang mengalami kondisi kronis dipengaruhi oleh
berbagai variabel, meliputi variabel anak (demografis, diagnosis, pengobatan),
variabel orang tua (pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan kondisi
kronis pengasuh utama), variable keluarga (kondisi sibling, pendapatan
keluarga, dan tabungan) Di samping melihat variabel demografi dan klinis
anak juga adanya tambahan variabel peran perawat dalam perawatan
kesehatan. Perawatan kesehatan selama intervensi diperlukan agar
meningkatkan perkembangan normal anak-anak sehingga dapat memfasilitasi
koping terhadap penyakit dan pengobatan. 2008). Berbagai peran perawat
dalam perawatan kesehatan seperti pemberian dukungan psikososial Pajewski,
2009; Sitaresmi et al., 2008), psiko-edukasi dan caring dapat meningkatkan
kewenangan dan control pasien dalam manajemen diri terhadap penyakit dan
gejala terkait pengobatan.

PEMBAHASAN
Analisis univariat diperoleh bahwa sekitar 60% responden menilai bahwa
peran perawat sebagai edukator dikatagorikan baik dimana perawat telah
memberikan informasi terkait nyeri yang dialami anak, penyebab mual dan

18
cara mengatasinya, penyebab sering sakit dan bagaimana mengatasi perubahan
mood. Lebih lanjut sekitar 36% responden menilai bahwa perawat telah
menjalankan peran suporter baik dimana perawat menenangkan anak saat
dilakukan tindakan invasif, melibatkan orang tua selama prosedur yang
menyakitkan. Akan tetapi hanya 16% responden yang menilai peran perawat
sebagai caregiver baik. Hal ini kemungkinan karena responden pada penelitian
mayoritas berada pada kelompok usia toddler dan pra sekolah (64%) sehingga
orang tua terutama ibu senantiasa berada di samping anak dan memberikan
perawatan pada anak secara mandiri seperti memandikan, mengganti pakaian,
membantu anak saat buang air besar dan kecil.
Selain itu hampir sebagian besar responden berada pada fase kemoterapi
intensif (44%) yang memerlukan frekuensi pengobatan yang lebih sering dan
agresif. Subskala psikososial memperoleh rata-rata skor lebih tinggi
dibandingkan subskala fisik. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sabbah et al.
(2012), Sung et al. (2010), Sitaresmi et al. (2008), dan Varni et al. (2002).
Skor emosi pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian Varni et al.
(2002). Adanya permasalahan emosi dapat disebabkan oleh reaksi sekunder
dari pengobatan kemoterapi (Castillo-Martinez et al., 2009; Scarpelli et al.,
2008) atau kurangnya dukungan (Scarpelli et al., 2008). Subskala sosial pada
penelitian ini maupun Varni et al. (2002) merupakan skor subskala yang
paling tinggi di antara yang lainnya. Hal ini kemungkinan karena anak
leukemia limfositik akut umumnya telah menjalani kemoterapi lebih dari 1
bulan bahkan anak dengan fase kemoterapi maintenance sudah lebih dari 1
tahun sehingga mereka sudah beradaptasi dengan kondisinya dan tidak
mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain atau teman sebaya. Hasil
penelitian Sitaresmi et al. (2008), Sabbah et al. (2012), dan Arslan, Basbakkal,
& Kantar (2013) juga menunjukkan skor sosial memeroleh skor tertinggi.
Hasil skor terendah diperoleh pada subskala sekolah. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Varni et al. (2002), Sitaresmi et al. (2008), Sabbah et
al. (2012) dan Arslan et al. (2013). Penelitian Baggott et al. (2011) juga
melaporkan bahwa skor fisik dan sekolah pada anak kanker lebih rendah
secara signifikan dibandingkan anak sehat. Hal ini disebabkan karena kondisi
penyakit kronis, pengobatan yang diperoleh dan keharusan menjalani
perawatan di rumah sakit menimbulkan tingginya angka absensi sekolah.
19
Rendahnya fungsi fisik pada anak leukemia limfositik akut kemungkinan
akibat pengobatan kemoterapi juga dapat menurunkan fungsi sekolah.
Penelitian ini tidak ditemukannya hubungan usia dengan skor total dan
subskala PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale. Hal ini kemungkinan karena
anak-anak yang menjalani kemoterapi rata-rata didiagnosis sejak 8 bulan
sebelum usia mereka saat penelitian sehingga seiring dengan perjalanan waktu
anak-anak memiliki pemahaman terhadap kondisi penyakitnya dan sejumlah
pengalaman dalam mengatasi permasalahan fisik, emosi, sosial dan sekolah.
Lebih lanjut orang terdekat terutama orang tua selalu mendampingi anak
dalam menjalani proses penyakit dan pengobatannya. Oleh karena itu perlu
dirumuskan suatu pedoman antisipatori sesuai dengan usia anak terkait
manajemen efek samping kemoterapi.
Selain itu dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak leukemia
limfositik akut perawat hendaknya dapat berinteraksi dengan anak
menggunakan berbagai pendekatan yang tepat. Tidak adanya perbedaan rata-
rata skor total dan subskala PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale antara
responden laki-laki dan perempuan. Hal ini kemungkinan karena tuntutan era
globalisasi terhadap ekspektasi peran gender dan adanya modifikasi sumber
pendukung. Pada penelitian ini juga didapatkan perbedaan yang signifikan
rata-rata skor total PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale dan subskala
psikososial antara fase kemoterapi intensif dan nonintensif. Hal ini
dimungkinkan karena anak-anak pada fase intensif lebih banyak mengalami
masalah fisik dan nyeri dibandingkan anakanak pada fase nonintensif. Pada
umumnya protokol kemoterapi leukemia limfositik akut melibatkan
glukokortikoid. Efek samping dari glukokortikoid di antaranya adalah
perubahan mood dan perilaku, masalah konsentrasi, gangguan tidur,
peningkatan selera makan serta peningkatan nyeri. Tidak ada perbedaan
signifikan ratarata skor total dan subskala PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale
antara sosial ekonomi rendah dan tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Sitaresmi et al. (2008). Hal ini kemungkinan karena hampir seluruh keluarga
(88%) memiliki jaminan pelayanan kesehatan sehingga terkait sumber
pendukung dana untuk pengobatan anak bukan merupakan permasalahan
utama yang dapat memengaruhi kualitas hidup anak. Ada hubungan yang
moderat, positif dan signifikan antara rata-rata skor peran perawat dengan
20
rata-rata skor total PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale, subskala fisik, dan
emosi. Peningkatan angka keberlangsungan hidup anak-anak dengan kanker
maka diperlukan peningkatan kualitas pemberian asuhan keperawatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup anak. Variabel peran perawat
dikaitkan dengan kualitas hidup pasien pediatrik dengan permasalahan
leukemia limfositik akut yang menjalani kemoterapi merupakan faktor yang
paling dominan. Hasil penelitian ini belum didukung oleh penelitian
sebelumnya dikarenakan belum ditemukannya penelitian yang serupa. Namun
demikian, upaya untuk menjawab hasil ini dapat dibandingkan dengan
temuan-temuan efektifitas suatu intervensi terhadap permasalahan anak
leukemia limfositik akut. Sebagai contoh setelah pemberian terapi musik
meningkatkan penilaian anak-anak LLA tentang perasaan mereka
dibandingkan sebelumnya (Barrera, Rykov, & Doyle, 2002), menurunkan skor
nyeri, denyut jantung, dan frekuensi napas pada kelompok intervensi baik
selama dan setelah pungsi lumbal, menurunkan skor kecemasan pada
kelompok intervensi baik sebelum dan setelah pungsi lumbal (Nguyen,
Nilsson, Hellstrom, & Bengston, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa terapi
musik bermanfaat pada pasien pediatrik hematologi/onkologi yang
dihospitalisasi. Standar American Pain Society untuk manajemen nyeri pada
kanker yang direkomendasikan adalah gabungan farmakologis dan pendekatan
psikososial. Suatu metaanalisis menyimpulkan bahwa intervensi psikososial
memiliki size effects yang medium pada beratnya nyeri dan gangguan yang
ditimbulkan oleh nyeri (Gorin et al., 2011). Suzuki & Kato (2003), Kazak
(2005) menyatakan bahwa dukungan psikososial dapat diberikan oleh orang
tua, sekolah, teman sebaya, dan teknologi berupa game, software edukasi.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sitaresmi, Mostert, Schook,
Sutaryo, dan Veerman (2009) melaporkan bahwa salah satu alasan penolakan
pengobatan anak-anak leukemia limfoblastik akut di negara-negara
berkembang seperti Indonesia adalah ketidakpuasan terhadap pemberi
pelayanan kesehatan. Dengan demikian dibutuhkan peningkatan kualitas
pelayanan dan manajemen efek samping yang adekuat melalui penampilan
peran pelayanan kesehatan dan keperawatan yang optimal. Lebih lanjut,
bentuk-bentuk intervensi yang terbukti signifikan efektif mengatasi
permasalahan anak kanker terutama leukemia limfositik akut dapat
21
diwujudkan oleh perawat baik sebagai manajer, fasilitator, pemberi perawatan
langsung, edukator, maupun suporter. Selain itu, hasil ini dapat dijadikan
sebagai data awal penelitian selanjutnya untuk melihat efektifitas intervensi
keperawatan terhadap kualitas hidup anak leukemia limfositik akut melalui
studi eksperimen.

REKOMENDASI
Sebagai tenaga kesehatan berperan penting dalam menunjang kesehatan
pasien. Dengan memberi dukungan bukan hanya sebagai care giver tetapi
support, psikososial, spiritual, edukator. Peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan juga memberikan efek terhadap factor kualitas hidup pasien.

22
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Kanker darah (Leukemia) merupakan neoplasma ganas sel darah putih (Leukosit)
yang ditandai dengan bertambah banyaknya sel darah putih abnormal dalam aliran
darah. Sel-sel tersebut tersebut berinfiltrasi secara progresif ke dalam jaringan tubuh,
terutama pada sumsum tulang. Akibatnya, sumsum tulang rusak dan kehilangan
fungsinya untuk membuat sel darah merah dan sel darah putih normal
serta platelets (trombosit). Sebagai akibat kekurangan sel darah merah, maka akan
terjadi anemia. Jika kekurangan sel darah putih ini dapat mengakibatkan penurunan
sistem kekebalan tubuh. Selain itu, kurangnya produksi platelets dapat mengakibatkan
perdarahan yang parah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Bararah. T, M.Kep. & Mohammad Jauhar, S.Pd. 2013. ASUHAN


KEPERAWATAN : PANDUAN LENGKAP MENJADI PERAWAT
PROFESIONAL. Jakarta. Prestasi Pustakaraya.
LeMone. P, Karen. M, Gerene Bauldoff. 2015. BUKU AJAR KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH. Ed. 5. vol. 3. Jakarta. EGC.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/61941/Chapter
%20I.pdf?sequence=5&isAllowed=y
http://scholar.unand.ac.id/26716/3/doc%203.pdf
http://eprints.ums.ac.id/64270/12/Bab%20I.pdf
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/06/03/kanker-darah-
merenggut-nyawa-11314-orang-pada-2018

24

Anda mungkin juga menyukai