Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

OLEH :
SAHLAN
MOH. AWALUDDING
M. ISRA
ARDIYANSYAH ARIFIN DS
IKHSAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKBOLOGI


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF (S1)
FAKULTAS TEKNIK
MAKASSAR 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran oleh
Dosen Prof. Dr. H. Wasir Thalib, M.S.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada “Bapak Prof. Dr. H.
WASIR THALIB, M.S.” selaku dosen mata kuliah ini, semoga Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 8 September 2022


Penyusun,

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. KATA PENGANTAR
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. PENJELASAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK
B. KONSEP TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK MENURUT PARA AHLI
C. HAKIKAT PEMBELAJARAN MENURUT TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISTIK
D. PROSES BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISTIK
E. PERSPEKTIF-PERSPEKTIF DALAM TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
F. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
G. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
H. PRINSIP-PRINSIP TEORI KONSTRUKTIVISTIK
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada
proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan
pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap
persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya.
Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab
sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung
kepada benda-benda konkret.
Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika
tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasilkan menanamkan konsep
yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar
bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan
sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin
konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam
mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa
mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga
dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran
karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang
siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Materi Konstruktivisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Konsep Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Para
Ahli?
3. Apa yang dimaksud dengan Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar
Konstruktivisme
4. Apa yang dimaksud dengan Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme?
5. Apa yang dimaksud dengan Pengertian Dan Definisi Konstruktivistik?
6. Apa yang dimaksud dengan Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivistik?
7. Sebutkan dan jelaskan Langkah-Langkah Pembelajaran Konstruktivistik?
8. Sebutkan dan jelaskan 5 Prinsip Kunci Teori Konstruktivisme Oleh Vygotsky?
9. Sebutkan dan jelaskan Prinsip Prinsip Teori Belajar Konstruktivistik?
10. Jelaskan Prinsip Dasar Dan Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme?
11. Apa yang dimaksud dengan Teori Belajar Konstruktivisme?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Materi Konstruktivisme
2. Untuk mengetahui Konsep Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Para Ahli
3. Untuk mengetahui Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

1
4. Untuk mengetahui Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
5. Untuk mengetahui Pengertian Dan Definisi Konstruktivistik
6. Untuk mengetahui Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivistik
7. Untuk mengetahui Langkah-Langkah Pembelajaran Konstruktivistik
8. Untuk mengetahui 5 Prinsip Kunci Teori Konstruktivisme Oleh Vygotsky
9. Untuk mengetahui Prinsip Prinsip Teori Belajar Konstruktivistik
10. Untuk mengetahui Prinsip Dasar Dan Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme
11. Untuk mengetahui Teori Belajar Konstruktivisme

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. PENJELASAN TEORI KONSTRUKTIVISME
Teori ini merupakan peningkatan teori Piaget, Vigotsky, dan Bruner. Konstruktivisme
menyatakan bahwa para siswa membentuk pemahaman-pemahaman mereka sendiri
mengenai suatu pengetahuan dan keterampilan. Perspektif-perspektif terhadap
konstruktivisme berbeda-beda dalam kaitannya dengan sebesar apa pengaruh faktor
faktor lingkungan dan sosial terhadap interpretasi-interpretasi pembelajar. Teori Piaget
memberikan penekanan pada ekuilibrasi, atau proses membuat struktur-struktur kognitif
internal dan realitas eksternal konsisten. Teori Vygotsky banyak memberi penekanan
pada peran faktor-faktor sosial dalam pembelajaran.
Konstruktivisme adalah sebuah epistemologi atau penjelasan filosofis tentang sifat
pembelajaran. Para teoretisi konstruktivis menolak gagasan bahwa kebenaran-kebenaran
ilmiah itu ada dan menunggu untuk ditemukan dan diabsahkan. Pengetahuan tidak diatur
dari luar diri seseorang tetapi terbentuk di dalam dirinya. Teori-teori konstruktivis
bermacam-macam dari teori-teori yang mengemukakan interpretasi diri yang utuh, teori
teori yang merumuskan hipotesis hipotesis mengenai interpretasi-interpretasi dengan
mediasi sosial, sampai teori-teori yang menyatakan bahwa interpretasi- interpretasi
bersesuaian dengan realita. Konstruktivisme mengarahkan kita untuk menyusun
pengalaman pengalaman pengajaran dan pembelajaran untuk menantang pemikiran siswa
sehingga mereka akan mampu membangun pengetahuan yang baru. Dasar pikiran inti
dari konstruktivisme adalah bahwa proses-proses kognitif disituasikan
(berlokasi/ditempatkan) dalam konteks- konteks fisik dan sosial. Konsep kognisi
berkonteks menyoroti hubungan hubungan antara orang-orang dan situasi-situasi.

B. KONSEP TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK MENURUT PARA AHLI


Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran
adalah konstruktivistik. Di antara berbagai variasinya, terdapat dua jenis konstruktivisme

3
yang paling menonjol yaitu konstruktivisme sosial (social constructivism) yang sering
dikatakan sebagai kelanjutan dari hasil kerja Vygotsky serta konstruktivisme kognitif
(cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget.
1. Teori Belajar Konstruktivistik Kognitif menurut Jean Piaget
Teori belajar konstruktivisme kognitif disumbangkan oleh Jean Piaget, yang
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme.
Yang mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pandangan-
pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa
belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik.
Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik,
yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan
tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar
mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai
hal dari lingkungan.
Belajar menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan
tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan
bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian”
tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna
mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Karena menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta
dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus
oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-
pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang
yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki
pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan
pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan
diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan
pengetahuan mereka sendiri. pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan
kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu
kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa
sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri. Lebih jauh Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan.
Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan
kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-

4
seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak.
Pembentukan pengetahuan menurut Jean Piaget memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya.
Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif
yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan
disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.
Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.

2. Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Lev Vygotsky


Secara umum, pendekatan konstruktivisme sosial menekankan pada konteks sosial
dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara
bersama (mutual). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid
untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu
dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian
pemahaman bersama. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan
mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid.
Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individu ke kolaborasi,
interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivisme
Piaget, murid mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan,
mengorganisasikan, dan mengoraginsasi pengetahuan sebelumnya. Konstruktivisme
Vygotsky menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi
sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana
murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan. Maka
bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori konstruktivisme
sosialnya, yaitu:
a) Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai
proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi
dan pengetahuan,
b) Zona of proximal development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran
mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi.
Konstruktivisme Vygoskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap
individu. Proses dalam kognisi diarahkan memulai adaptasi intelektual dalam konteks
sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian
pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik
saling tukar gagasan antar individual.
Salah satu prinsip kunci yang diturunkan teori Konstruktivisme sosial adalah
penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky mengemukakan bahwa

5
siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu. Berdasarkan teori ini dikembangkanlah pembelajaran kooperatif, yaitu siswa
lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling
mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya.
Selain itu, Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam
upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) Siswa mencapai keberhasilan dengan
baik, (2) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) Siswa gagal meraih
keberhasilan. Jika siswa tidak mampu memecahkan masalahnya, maka guru/pendidik
harus menggunakan scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang
individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri.
Teori Konstruktivisme Vygotsky yang lain mengatakan bahwa siswa belajar
konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat
atau zone of proximal development siswa. Daerah perkembangan terdekat adalah
tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Tingkat perkembangan seseorang saat ini adalah tingkat pengetahuan awal atau
pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka kemungkinan sekali akan terjadi
pembelajaran bermakna.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal
dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi
sosial masing- masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari
namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas
itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna
adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses
pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu
lain. Karena menurut teori ini bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain,
mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal
dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

3. Teori konstruktivisme menurut moshman fowler (1997)

6
Memandang belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh pembelajar
berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki Teori ini berfokus pada konstruksi
internal individu terhadap pengetahuan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
Catherine bahwa teori belajar konstruktif mementingkan proses dari hasil belajar.
Oleh karena itu teori ini ada hubungannya dengan teori "meaningful learning"
Pembelajaran berbasis konstruktivis mengutamakan keaktifan pembelajar dalam
mengkonstruksikan pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman belajar
yang diperoleh (difasilitasi pembelajar). Pembelajaran berbasis konstruktivis
memandang pembelajaran dan proses belajar pembelajar menjadi fokus utama,
sedangkan pembelajar berperan sebagai fasilitator, dan atau bersama-sama pembelajar
juga terlibat dalam proses belajar, proses konstruksi pengetahuan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, David Jonassen (1999) yang dikutip oleh
Reigueluth mengemukakan bahwa pembelajaran konstruktif berawal dari aliran
filsafat konstruktivisme, yang menekankan pada konstruk pengetahuan individu dan
kontrak sosial melalui pembelajaran interpretasi dan pengalaman dalam kehidupan.
Dalam proses pembelajaran sebagai konstruksi pengetahuan, pemelajar secara aktif
membangun pengetahuan di dalam ingatan dan ia menjadi seorang sensemaker.
Sementara pembelajar adalah sang pemandu yang memberikan tugas-tugas akademis.

4. Menurut mayer yang dikutip oleh reigeluth


Bahwa belajar konstruktif tergantung pada aktivitas dari beberapa proses kognitif
dalam pemelajar selama belajar, mencakup menyeleksi informasi yang relevan,
mengorganisasikan informasi yang masuk, dan menginterasikan informasi yang
masuk dengan pengetahuan yang ada. Berikut 2 asumsi tentang teori kontruktivisme:
a) Asumsi utama dari konstruktivisme adalah manusia merupakan siswa aktif yang
mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Geary, 1995). Untuk
memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar. Para
konstruktivis berbeda pendapat dalam mengenai pandangan bahwa fungsi ini
seluruhnya berasal dari para pembelajar. bagian dari mereka meyakini bahwa
struktur-struktur mental hadir untuk mencerminkan realita. sementara sebagian
yang lain (konstruktivis-konstruktivis radikal) meyakini bahwa dunia mental
individu adalah satu-satunya realita. Para konstruktivis juga berselisih pendapat
tentang berapa banyak mereka melihat konstruksi pengetahuan berasal dari
interaksi-interaksi sosial dengan guru-guru, teman-teman sebaya, para orang tua,
dan pihak- pihak lainnya (Bredo, 1997).
b) Asumsi konstruktivis lainnya adalah, guru sebaiknya tidak mengajar dalam arti
menyampaikan pelajaran dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. Guru
seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat
terlihat secara aktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan
interaksi sosial. Aktivitas aktivitas pembelajaran konstruktivis meliputi mengamati
fenomena fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji
hipotesis-hipotesis, dan bekerja sama dengan orang lain, Kegiatan lainnya adalah
mengajak siswa mengunjungi lokasi-lokasi di luar ruang kelas Guru-guru dari
berbagai disiplin ilmu diperlukan untuk merencanakan kurikulum bersama- sama.

7
Siswa perlu diarahkan untuk dapat mengatur diri sendiri dan berperan aktif dalam
pembelajaran mereka dengan menentukan tujuan-tujuan, memantau dan
mengevaluasi kemajuan mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang
disyaratkan bagi mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka
(Bruning et al, 2004;Geary, 1995).

5. Menurut Driver dan Bell


Baik Driver dan Bell mempunyai pendapat bahwa karakteristik teori belajar
konstruktivistik adalah seperti berikut:
a) Peserta didik dipandang sebagai pasif, tetapi memiliki tujuan;
b) Keterlibatan peserta didik seoptimal mungkin dalam pembelajaran;
c) Pengetahuan tidak datang dari luar tetapi dikonstruksi oleh peserta Didiknya
sendiri;
Pembelajaran bukan berupa transfer pengetahuan, tetapi melibatkan pengendalian
dan rekaya kondisi dan situasi kelas.
6. Menurut Tasker
Tasker menekankan bahwa dalam teori belajar konstruktivisme terdapat tiga hal
yang harus ada, antara lain:
a) Peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
b) Kaitan antar ide-ide baru sangat penting dalam pengkonstuksian
c) Mengaitkan antara informasi yang baru diterima dengan gagasan- gagasan yang
dikembangkan.
7. Menurut Wheatley
Wheatley mendukung teori konstruktivisme dengan mengajukan 2 prinsip utama
dalam pembelajaran, di antaranya:
a) Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif tetapi secara aktif oleh
struktur koqnitif peserta didik;
b) Kognisi berfungsi adaptif dan membantu pengorganisasian pengalaman nyata
untuk dikembangkan dalam proses belajar.
8. Menurut Hanbury
Hanbury mengemukakan pendapat bahwa ada beberapa aspek berlandaskan teori
belajar konstruktivisme, yakni:
1. Belajar melalui pengkonstruksian informasi dan ide yang dimiliki
2. Pembelajaran menjadi bermakna apabila peserta didik mengerti;
3. Strategi peserta didik lebih bernilai;
4. Peserta didik berkesempatan untuk diskusi dengan sesamanya.

8
C. HAKIKAT PEMBELAJARAN MENURUT TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISTIK
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng
mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah,
dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata
lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang
dipakai dalam menginterpretasikannya.
Teori ini lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam,
pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika
seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap saja tidak
akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan
itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri
oleh masing- masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan
suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang
sangat menentukan perrkembangan pengetahuannya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung
jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu
proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif
membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh
karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga
mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang
bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun
constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan
kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki
kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan belajar
dapat tercapai.
Selain itu, Nickson mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan.
konstruktivitik adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep dalam
belajar dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu

9
terbangun kemabli melalui transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk
sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses
belajar. Peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan
mengarahkan mereka untuk membentuk pengetahuan.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan
antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan
antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley mendukung pendapat di
atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara
aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu
diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah
aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki,
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3. Strategi siswa lebih bernilai.
Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya. Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar
konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, sebagai berikut :
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri,
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, 4. Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
4. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, 6. Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-
objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai
penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi
serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si siswa termotivasi dalam
menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan

10
memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas dasar
ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah
pengendalian, yang meliputi:
1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil
keputusan dan bertindak;
2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa
mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:
1. Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa
2. Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa
3. Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa
4. Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa
5. Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari
6. Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses
pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan
lama yang mereka miliki.
Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan
berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi Proses belajar harus
mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui
kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama.
1. Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa
2. Pendekatan konstruktivistik memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas
dengan apa yang dialami langsung oleh siswa
Selanjutnya ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1. Pengetahuan Awal (Prerequisite),
2. Fakta Dan Masalah,
3. Sistematika Berfikir,
4. Kemauan Dan Keberanian.

11
D. PROSES BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Setelah mengetahui tokoh teori konstruktivisme beserta pendapatnya, kini kita akan
membahas mengenai proses belajar dari sudut pandang teori konstruktivisme. Dilihat
dari aspek peserta didik, peran guru, sarana belajar dan evaluasi belajar.
1. Proses Belajar Konstruktivistik
Proses belajar konstruktivistik merupakan proses membangun dan
merestrukturisasi pengetahuan dan keterampilan individu dalam lingkungan sosial
dalam upaya peningkatan konseptual secara konsisten. Oleh karenanya pengelolaan
pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan peserta didik dalam memproses
gagasannya, bukan semata- mata olahan peserta didik dan lingkungan belajar, atau
bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajar yang dikaitkan dengan sistem
penghargaan dari luar seperti nilai ijazah dan lain sebagainya. Penerapanteori
konstruktivistik sering dipakai pada model pembelajaran pemecahan masalah atau
problem solving seperti pembelajaran menemukan (discovery learning) dan
pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning).
2. Peranan Peserta Didik
Peserta didik harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir menyusun konsep dan
memberikan makna mengenai hal-hal yang dipelajari. Guru memiliki andil dalam
memprakarsai penataan lingkungan dan memberi peluang belajar yang optimal. Akan
tetapi pada akhirnya peserta didik yang menentukan sendiri terwujudnya belajar yang
sepenuhnya itu.
Paradigma konstruktivistik memandang peserta didik sebagai pribadi yang
mempunyai kemampuan awal sebagai modal dasar sebelum belajar dalam
mengkonstruksi pengetahuan baru. Maka dari itu walaupun kemampuan awal itu
masih sederhana, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan
pembimbingan.
3. Peranan Guru
Guru membantu peserta didik supaya proses pengkonstruksian pengetahuan
berjalan lancar. Guru membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya
sendiri, sehingga guru perlu memahami cara pandang belajar peserta didiknya. Kunci
peranan guru dalam proses belajar merupakan pengendalian yang mencakup:
a. Menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam mengambil keputusan dan
bertindak.
b. Menumbuhkan kemandirian peserta didik dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
c. Mendukung dan memberikan kemudahan belajar agar peserta didik mempunyai
peluang yang optimal.
4. Sarana Belajar
Merupakan segala sesuatu seperti media, alat, lingkungan dan fasilitas yang
disediakan untuk membantu pembentukan pengetahuan.
5. Evaluasi Belajar

12
Proses pembelajaran menurut teori konstruktivisme mencakup sarana, kemampuan
awal peserta didik, guru dan hasil belajar peserta didik. Sejauh mana pembelajaran
berlangsung memunculkan pemikiran untuk mengevaluasi, termasuk evaluasi belajar
peserta didik. Evaluasi konstruktivistik bisa diarahkan pada tugas-tugas
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi.
6. Model-model pembelajaran
Model-model pembelajaran menurut teori belajar konstruktivistik adalah sebagai
berikut:
a. Discovery learning
1) Reception learning
2) Assisted learning
3) Active learning
4) Accelerated learning
5) Quantum learning
6) Contextual teaching and learning
7) Cooperative learning

13
E. PERSPEKTIF-PERSPEKTIF DALAM TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISTIK
Perspektif-Perspektif Dalam Teori Belajar Konstruktivistik
1. Konstruktivistik eksogeneus
Konstruktivistik eksogeneus mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan
pengetahuan merepresentasikan sebuah kosntruksi ulang dari struktur-struktur yang
berbeda dalam dunia eksternal. Pandangan ini mendasarkan pengaruh kuat dari dunia
luar pada konstruksi pengetahuan, seperti pengalaman-pengalaman, pengajaran dan
pengamatan terhadap model-model.
2. konstruktivisme endogenu
Konstruktivisme endogenus menekankan pada koordinasi tindakan-tindakan yang
sebelumnya, bukan secara langsung dari informasi lingkungan. Karena itu,
pengetahuan bukanlah cerminan dari dunia luar yang diperoleh melalui pengalaman-
pengalaman, pengajaran, atau interaksi sosial. Pengetahuan berkembang melalui
aktifitas kognitif dari abstraksi dan mengikuti sebuah rangkaian yang dapat
diprediksikan secara umum.
3. konstruktivisme dialektikal
Konstruktivisme dialektikal berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya dapat
diperoleh melalui sekolah akan tetapi bisa juga di dapatkan melalui saling berinteraksi
sesama teman, guru, tetangga dan bahkan lingkungan sekitar kita. Selain itu juga
interpretasinya tidak terikat dengan dunia luar. Bahkan pengetahuan atau pemahaman
timbul akibat saling berlawanan mental dari interaksi antara lingkungan sekitar
dengan seseorang.
Dari ketiga pandang tersebut memiliki kelebihan masing-masing, seperti
konstruktivisme eksogeneus yaitu untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan seorang
siswa terhadap ilmu tertentu secara akurat dan terperinci. Kemudian konstruktivisme
endogenus yaitu untuk mengetahui sejauh mana penguasaan materi secara terstruktur
mulai dari yang paling bawah sampai dengan yang paling tinggi. Sedangkan
konstruktivisme dialektikal digunakan ketika guru atau pendidik ingin merencanakan
itervensi-intervensi untuk mendorong pemikiran siswa dan untuk mengarahkan
penelitian untuk menemukan efektifitas dari pengaruh- pengaruh sosial seperti paparan
terhadap model-model dan kerja sama dengan teman sebaya.

1. Karli (2003:2)
Menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses
pembelajaran yang (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik
kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses
belajar, pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil
interaksi dengan lingkungannya.
2. Poedjiadi (2005:70)

14
Juga menyampaikan bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan
pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan, yaitu mengubah pengetahuan yang
dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu
sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.

Konstruktivistik adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa


pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang
sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri (Kukla,
2003: 39).
3. Suparno (1997:49)
Secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1)
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
(2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa
sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga
terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai
dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi
agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
4. Glasersfeld (Suparno, 1997: 20)
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa
kemampuan sebagai berikut:
a. kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
b. kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan, dan
c. kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini
pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan
kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan
konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa
banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah
memfasilitasi proses tersebut, dengan:
a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa;
b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah
suatu pandangan yang mendasarkan bahwa perolehan pengetahuan atau konstruksi
(bentukan) dari orang yang sedang mencapai tujuan belajar, strategi yang dijalankan guru
adalah menciptakan belajar kolaboratif, yang memungkinkan pembahasan suatu masalah
dari berbagai sudut pandang. belajar yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif
yang pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh melalui pengalamannya
dari hasil interkasi dengan lingkungannya.

15
Konstruktivistik dapat dilakukan dengan memberikan masalah pada siswa. Pemberian
masalah dimaksudkan untuk merangsang siswa agar berpendapat dan berpikir kritis
ketika mereka dihadapkan pada fakta-fakta baru. Siswa diperlakukan sebagai pemikir-
pemikir, atau dilatih untuk menjadi pemikir, bukan hanya sebagai penerima pasif
pengetahuan. Pembelajaran konstruktivistik lebih menekankan kepada peningkatan
keterampilan proses belajar, tidak semata-mata pada hasil belajar.
F. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
Yuleilawati (2004:54) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konstruktivis menurut
beberapa literatur yaitu sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman
4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama
dengan orang lain.
5. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus
terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
Sedangkan menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/ Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm)
ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :
1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan.
2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas
yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan
melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui
kenyataan kehidupan sehari-hari.
4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial
yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan
lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif.
6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa
mau belajar.
Pembelajaran konstruktivistik dapat dikenali melalui ciri-cirinya yang antara lain
sebagai berikut:
1. Adanya kerjasama;
2. Saling menunjang;
3. Menyenangkan, tidak membosankan;
4. Belajar dengan bergairah;
5. Pembelajaran terintegrasi;
6. Menggunakan bebagai sumber;
16
7. Siswa aktif, sharing dengan teman; Siswa kritis, guru kreatif;
8. Laporan kepada orang tua berwujud, rapor, hasil karya siswa, laporan praktikum, dan
karangan siswa, dll.

Brook dan Brooks (1993) memberikan ciri-ciri guru yang telah mengajar
konstruktivistik. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Guru adalah salah satu dari berbagai macam sumber belajar, bukan satu- satunya
sumber belajar.
2. Guru membawa siswa masuk ke dalam pengalaman-pengalaman yang menentang
konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka.
3. Guru membiarkan siswa berpikir setelah mereka disuguhi beragam pertanyaan-
pertanyaan guru.
4. Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing siswa berdiskusi satu sama
lain.
5. Guru menggunakan istilah-istilah kognitif seperti: klasifikasikan, analisis, dan
ciptakanlah ketika merancang tugas-tugas.
6. Guru membiarkan siswa bekerja secara otonom dan bersifat inisiatif sendiri.
7. Guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama dengan bahan-
bahan pelajaran yang dimanipulasi.
8. Guru tidak memisahkan antara tahap mengetahui dan proses menemukan.
9. Guru mengusahakan agar siswa dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka
karena dengan begitu mereka benar-benar sudah belajar (Nurhadi, 2004: 40).
Sedangkan ciri-ciri siswa dengan pendekatan konstruktivime adalah siswa
membangun pengetahuan dalam pikirannya sendiri. Guru membantu proses
pembangunan pengetahuan agar siswa dapat memahami informasi dengan cepat.
Disamping itu, guru menyadarkan kepada siswa bahwa mereka dapat membangun
makna. Siswa berupaya memperoleh pemahaman yang tinggi dan guru membimbingnya.
Adapun misi utama pendekatan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali
dan melakukan transformasi informasi yang diperolehnya sebagai pengetahuan yang
baru (Siti Annijat, 2003).

 Asumsi-Asumsi Teori Belajar Konstruktivistik


Konstruksivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam
penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Selain
itu, konstuktivisme juga memiliki asumsi yang sama dengan teori kognitif sosial yang
mengarahkan bahwa orang, prilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik.
Adapun asumsi-asumsi dari konstruktivisme adalah :
1. Asumsi Pertama, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan
pengetahuan bagi diri mereka sendiri.
Di mana siswa diberikan keluasan untuk mengembangkan ilmu yang sudah
didapatkan tersebut, baik dengan melakukan latihan, melakukan eksperimen

17
maupun berdiskusi sesama siswa. Dengan hal seperti itu maka ilmu-ilmunya
tersebut akan berkembang dan bertambah.
2. Asumsi Kedua. Guru sebaiknya tidak mengajar.
Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan
cara tradisional kepada sejumlah siswa. Sehingga, guru seharusnya membangun
situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan
materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi sosial. Maksudnya
seorang pendidik atau guru dituntut untuk lebih aktif dan menarik dalam
menjelaskan, selain itu juga guru harus bisa menggunakan media dalam proses
pembelajaran. Jangan hanya menggunakan metode-metode yang sudah lama atau
jaman dulu, seperti ceramah, mencatat sampai habis, akan tetapi guru harus
mengajar dengan cara bagaimana supaya siswa harus di buat aktif dan masuk
dalam pembelajaran tersebut.
Adapun aktivitas-aktivitas pembelajaran meliputi mengamati fenomena-
fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis,
dan bekerja sama dengan orang lain. Kegiatan lainnya adalah mengajak siswa
mengunjungi lokasi-lokasi di luar ruangan kelas. Guru-guru dari berbagai disiplin
ilmu diperlukan untuk merencanakan kurikulum bersama-sama. Siswa perlu
diarahkan untuk dapat mengatur diri sendiri dan berperan aktif dalam pembelajaran
mereka dengan menentukan tujuan-tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan
mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang disyaratkan bagi mereka
dengan menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka.

18
G. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
1. Tahap pertama
Pada tahap ini, guru harus bisa memancing peserta didik tentang suatu pokok
bahasan atau konsep, misalnya dengan memberikan sejumlah pertanyaan yang bersifat
clickbait di kehidupan sehari-hari. Lalu, Bapak/Ibu bisa mulai membangun
komunikasi dua arah agar mereka bersedia memberikan gambaran umumnya.
2. Tahap kedua
Pada tahap ini, Bapak/Ibu meminta peserta didik untuk mencari solusi atau
menyelidiki konsep yang telah dipaparkan di tahap pertama. Kegiatan tersebut bisa
diisi dengan membaca buku, mencari referensi dari berbagai sumber, atau
mengorganisasi ilmu-ilmu yang relevan. Dengan demikian, mereka bisa memenuhi
rasa ingin tahunya secara mandiri. Dalam hal ini, peran Bapak/Ibu hanya sebagai
fasilitator.
3. Tahap ketiga
Tahap ketiga berisi kegiatan lanjutan dari hasil penyelidikan dan eksplorasi di
tahap kedua. Pada tahap ini, peserta didik diminta untuk memberikan pemaparan
tentang konsep yang dirumuskan berdasarkan pengetahuan yang telah diperolehnya.
Bapak/Ibu juga bisa memberikan penguatan berdasarkan keilmuan yang Bapak/Ibu
miliki.
4. Tahap keempat
Untuk mengoptimalkan ketiga tahap sebelumnya, Bapak/Ibu bisa mengondisikan
suasana belajar di kelas menjadi lebih hangat, santun, dan penuh wibawa. Dengan
demikian, Bapak/Ibu bisa mendorong peserta didik untuk bisa menerapkan
pemahaman konseptual yang telah diperolehnya di kehidupan sehari-hari.
Paul Suparno (1997 : 69-70) menjelaskan beberapa ciri mengajar konstruktivistik
adalah sebagai berikut :
1. Orientasi
Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari
suatu topik dan murid di beri kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik
yang hendak dipelajari.
2. Elicitasi
Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi,
menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk
mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar atau poster.
3. Restrukturisasi ide yang terdiri dari tiga hal yaitu:

19
a) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau lewat teman
diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang
dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok dan
sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
b) Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan
dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan
teman-teman.
c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan ada baiknya
bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan
yang baru.

4. Penggunaan ide dalam banyak situasi.


Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada
bermacam-macam situasi yang dihadapai. Hal ini akan membuat pengetahuan murid
lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya.
5. Review,
Bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya
pada situasi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan
menambahkan suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi
lebih lengkap.
Dari langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kostruktivistik
di atas maka tugas guru adalah menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang
pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan pebelajar mengungkapkan gagasan atau
konsepnya, serta kritis menguji konsep siswa. Yang terpenting adalah menghargai dan
menerima pemikiran siswa apapun adanya sambil menujukkan apakah pemikiran itu
jalan atau tidak. Guru harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat
lebih fleksibel menerima gagasan siswa yang berbeda.

20
H. MENGURAIKAN 5 PRINSIP-PRINSIP KUNCI TEORI KONSTRUKTIVISME OLEH
VYGOTSKY
1. Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar.
vygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi
sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Siswa sebaiknya belajar
melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi
sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
siswa. Menurut Vygotsky fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-
masing individu dalam konteks budaya. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila
seorang terlibat secara sosial dalam dialog. Pembentukan makna adalah dialog antar
pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi
juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Prinsip ini
melahirkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
2. Daerah Perkembangan Terdekat ( Zone of Proximal Development = ZPD).
Vygotsky yakin bahwa belajar terjadi jika anak bekerja atau belajar menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam
daerah perkembangan proksimal mereka. Daerah proksimal adalah tingkat
perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini, artinya bahwa
daerah ini adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya (aktual) dan
tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat perkembangan aktual adalah
pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu
dengan kemampuannya sendiri (kemampuan memecahkan masalah secara mandiri),
sedang tingkat perkembangan potensial anak adalah kondisi yang dapat dicapai oleh
seseorang individu dengan bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan
teman sebaya yang lebih mampu. (kemampuan memecahkan masalah dibawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya). Jadi pada saat siswa bekerja dalam
daerah perkembangan terdekat (ZPD) mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka
selesaikan sendiri, akan dapat mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya atau
orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik
kemampuan-kemampuan anak dengan maksud mendorong pertumbuhan seefektifnya.
3. Pemagangan kognitif.
Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif mengacu pada proses di mana
seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui

21
interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang menguasai
permasalahan yang dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman sebaya.
Dalam konteks koperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat
merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompok tersebut.
4. Perancahan (Scaffolding).
Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian sejumlah bantuan oleh teman
sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada anak. Menurut Slavin
(Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah besar
dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri.
Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya
memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2)
siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal dalam meraih
keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam
upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian
siswa ke jenjang lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip ini melahirkan metode
penemuan terbimbing dalam pembelajaran.
5. Bergumam (Private Speech).
Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dalam hati untuk
tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri. Menurut Vygotsky private speech
dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan orang lain. Private speech dapat
dilihat pada seorang anak yang dihadapkan pada suatu masalah dalam sebuah ruangan
di mana terdapat orang lain, biasanya orang dewasa. Anak kelihatannya berbicara
pada dirinya sendiri mengenai masalah tertentu, tetapi pembicaraanya diarahkan pada
orang dewasa. Private speech kemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan
ke dalam proses berfikir.
Ratumanan (2004:49) mengemukakan bahwa bahasa memiliki makna untuk
menyatakan ide-ide dan menyampaikan pertanyaan. Bahasa juga memberikan kategori-
kategori dan konsep-konsep untuk berfikir. Ketika kita mempertimbangkan suatu
masalah, kita biasanya berfikir dalam kata-kata dan bagian kalimat-kalimat.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal
dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut
teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing
individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat
siswa bekerja menangani tugas- tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalamzona of
proximal development mereka.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
1. Kelebihan

22
a. Pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri.
b. Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan
dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
c. Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang
tepat.
d. Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks.
e. Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan
siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
f. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
2. Kelemahan
a. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan
miskonsepsi.
b. Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal
ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan
yang berbeda-beda.
c. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

23
I. KARAKTERISTIK TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Karakteristik pembelajaran berdasarkan Teori Belajar Kontruktivisme adalah:
1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang
sudah di tetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
ide-idenya secara lebih luas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di
antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut,
serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang
datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang
kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola.
 Beberapa Karakteristik Pendukung Teori Konstruktivistik
1. Belajar merupakan proses aktif (active learning) (1) Belajar harus melalui Prinsip-
pengalaman langsung (real prinsip teori belajar life learning) konstruktivist (2)
Pentingnya proses pendampingan dalam belajar (dalam konsep ZPD) (3) Belajar
melalui proses penalaran (reasoning process) (4).
2. Pembelajaran Sosial (social learning) (1) Pengetahuan awal (priorPrinsip-prinsip
knowledge) sangat teori belajarkonstruktivisti bermakna karena merupakan
landasan dalam membangun pengetahuan baru (2) Masa Magang Kognitif
(Cognitif Apprenticeship) (3) Pembelajaran Termediasi (mediated learning) (4).
3. Belajar merupakan proses aktif (active learning) Belajar merupakan sebuah proses
aktif, bukan sekedar menerima informasi melainkan memprosesnya dan proses
tersebut dilakukan melalui pengalaman langsung.
4. Belajar harus melalui pengalaman langsung (real life learning)Sejak kecil anak
sudah memilikistruktur kognitif yang kemudiandinamakan skema (schema). Skema
terbentuk karena pengalaman.
5. Pentingnya proses pendampingan dalam belajar (dalam konsep ZPD) Vigotsky
yang terkenal sebagai penggagas konstruktivisme sosial (social constructivism)
menegaskan bahwa pengetahuan dibangun oleh seseorang melalui interaksi sosial.

24
Gagasan ini mengkristal dalam sebuah strategi pembelajaran yang disebut zone of
proximal development (ZPD).
6. Belajar melalui proses penalaran (reasoning process) Belajar melalui proses
reasoning terjadi pada anak- anak karena mereka belum memiliki wawasan yang
terlalu luas.
7. Pembelajaran Sosial (social learning)Pendekatan pembelajaran yang dipandang
sesuai adalah pembelajaran kooperatif.
8. Pengetahuan awal (priorknowledge) sangat bermakna karena akan merupakan
landasan untukmembangun pengetahuan baru.Setiap orang memiliki
kemampuandasar (prior knowledge).Kemampuan tersebut akanmeningkat melalui
sebuah ruangatau momen (ZPD) dimana dalammomen tersebut terjadi
prosespeniruan sehingga peniru fasih.
9. Masa Magang Kognitif (Cognitif Apprenticeship) Masa dimana yang menjadikan
siswa sedikit demi sedikit memperolehkecakapan intelektual melalui interaksi
dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
10. Pembelajaran Termediasi (mediated learning) Pada prinsip ini Vygostky
menekankan pada scaffolding
11. Implikasi Teori Belajar Konstruktivistik di Kelas Mendorong kemandirian dan
inisiatif siswa dalam belajarImplikasi Guru mengajukanTeori Belajar pertanyaan
terbuka dan memberikanKonstruktivis kesempatan beberapatik di Kelas waktu
kepada siswa untuk merespon.
12. Mendorong siswa berfikir tingkat tinggi.
13. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan Implikasi.
14. Teori guru dan siswa Belajar lainnya Konstruktivistik di Kelas Guru memberikan
data mentah, sumber- sumber utama, dan materi-materi interaktif.
15. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar.
16. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa
waktu kepada siswa untuk merespon.
17. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Jika diberi kesempatan untuk membuatberbagai macam prediksi, seringkali siswa
menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini.
18. Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivitisme
melibatkanpara siswa dalam mengamati dan menganalisa fenomena alam dalam
dunia nyata.

 Karakteristik yang juga merupakan prinsip dasar teori belajar konstruktivisme.


Berikut akan kami jabarkan apa saja prinsip tersebut.
1. Mengembangkan strategi untuk mendapatkan dan menganalisis informasi.
2. Pengetahuan terbentuk bukan hanya dari satu prespektif, tapi dari perspektif jamak
(multiple perspective).
3. Peran peserta didik utama dalam proses pembelajaran, baik dalam mengatur atau
mengendalikan proses berpikirnya sendiri maupun untuk ketika berinteraksi
dengan lingkungannya.

25
4. Scaffolding digunakan dalam proses pembelajaran. Scaffolding merupakan proses
memberikan tuntunan atau bimbingan kepada peserta didik untuk dikembangkan
sendiri.
5. Pendidik berperan sebagai fasilitator ,tutor dan mentor untuk mendukung dan
membimbing belajar peserta didiknya.
6. Pentingnya evaluasi proses dan hasil belajar yang otentik.

 Karakteristik Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme dalam Kegiatan Pembelajaran


Berdasarkan Vygotsky beberapa hal yang perlu untuk di perhatikan dalam proses
pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu di kaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari
pada perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih di arahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
4. Anak di berikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah di pelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi.
Dalam Teori Belajar Konstruktivisme ini, pengetahuan yang di miliki seseorang
berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk
mengkonstruksi pengetahuan, di perlukan peranan aktif dari orang tersebut.
Pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus di
usahakan dan di pengaruhi oleh orang lain.
 Teori Belajar Konstruktivisme Yang Banyak Di Gunakan Dalam Pendidikan Menurut
Guruvalah:
1. Pengetahuan di bangun oleh siswa secara aktif
2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6. Guru adalah fasilitator

Dapat di simpulkan bahwa dalam Teori Belajar Konstruktivisme, proses belajar tidak
dapat di pisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas
berjalan seiring secara di alogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai
hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial.
Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat di anggap lebih
baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan di
gunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak
dapat di pisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu di konstruksikan, dan di mana

26
makna di ciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan di diseminasikan
dan di terapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Proses pembelajaran akan efektif jika di ketahui inti kegiatan belajar yang
sesungguhnya. Pada bagian ini akan di bahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran dalam Teori Belajar Konstruktivisme. Kegiatan
pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik,
banyak di dominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah,
dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi
yang di ceramahkan.
Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang di
sampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Di harapkan siswa memiliki pandangan
yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif
perbedaan interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak di
pertimbangkan.
 Siswa Belajar Dalam Isolasi, Yang Mempelajari Kemampuan Tingkat Rendah
Dengan Cara Melengkapi Buku Tugasnya Setiap Hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang
siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami
sesuatu yang di anggap benar oleh guru. Pengajaran di dasarkan pada gagasan atau
konsep-konsep yang sudah di anggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya.
Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak di hargai sebagai kemampuan
penguasaan pengetahuan. Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran
dalam Teori Belajar Konstruktivisme membantu siswa menginternalisasi dan
mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya
akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan dalam Teori Belajar
Konstruktivisme lebih luas dan sukar untuk di pahami.
Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat di ungkapkan kembali atau apa
yang dapat di ulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah di ajarkan dengan cara
menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat di
hasilkan siswa, di demonstrasikan, dan di tunjukkannya. Pada pembelajaran dalam
Teori Belajar Konstruktivisme, siswa yang di harapkan memiliki peran optimal.
Selain itu siswa juga di harapkan untuk dapat berkolaborasi dengan orang lain untuk
mencapai kemampuan yang optimal. Menurut Vygotsky sebagai salah satu tokoh
penghusung teori ini, perubahan mental anak tergantung pada proses sosialnya yaitu
bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang
menguntungkan anak adalah orang-orang dewasa atau anak yang lebih mampu yang
dapat memberi penjelasan tentang segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan anak yang
sedang belajar.
 Siswa Dalam Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme Di Abad 21 (ISTE Dalam
Smaldino, Dkk, 2010) Di Tuntut Untuk:
1. memiliki kreativitas dan inovasi,
2. dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain,

27
3. menggunakan kemampuannya untuk mencari informasi dan menganalisis
informasi yang dia dapatkan,
4. berfikir kritis dalam memecahkan masalah ataupun dalam membuat keputusan,
5. memahami konsep-konsep dalam perkembangan teknologi dan mampu
mengoperasikannya.
Pembelajaran dalam Teori Belajar Konstruktivisme meyakini bahwa setiap siswa
adalah istimewa, setiap siswa unik dan setiap siswa adalah manusia-manusia special
yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, siswa harus dilihat
dan dipahami secara menyeluruh bukan hanya dari apa yang tanpak saja. Seperti
penuturan Lev Vygotsky, jalan pikiran seseorang harus di mengerti dari latar sosial
dan budayanya bukan dari apa yang ada di balik otaknya semata. Selain itu, Vygotsky
(Collin,2012) juga menekankan bahwa kita menjadi dirikita sendiri melalui orang
lain.
Aplikasi teori Vygotsky yang paling terkenal adalah model pembelajaran
colaboratif. Selain itu, contoh aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam proses
pembelajaran modern adalah berkembangnya pembelajaran dengan web (web
learning) dan pembelajaran melalui social media (social media learning). Dalam
Smaldino, dkk (2012) di jelaskan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak
mengalami perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif
baru dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan social media memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi dan
pemikiran secara bersama. Sama halnya dengan pembelajaran melalui social
media,pembelajaran melalui web juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melengkapi satu atau lebih tugas melalui jaringan internet. Selain itu juga dapat
melakukan pembelajaran kelompok dengan menggunakan fasilitas internet seperti
google share. Model pembelajaran melalui web maupun social media ini sejalan
dengan Teori Belajar Konstruktivisme, di mana siswa adalah pembelajar yang bebas
yang dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya.

28
J. PRINSIP DASAR DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN
KONSTRUKTIVISME
1. Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan
mental peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan
menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki
seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh.
Semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri,
dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa
setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang
diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97).
Selanjutnya Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor
pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi yaitu :
a. Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif
mengkonstrusikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini
menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif.
belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka
sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara
seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar- benar
memahami konsepnya.
b. Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif
(konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi
dan metakognisi (Beyer, 1985).
c. Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha
mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha
mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang
memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna Konstruksi pengetahuan
bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara
sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya.
Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara
sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok.
d. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan

29
yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat
menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi.
e. Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-
fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita
ketahui.
f. Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan
secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang
kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya
dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan
hanya bagian-bagiannya.
g. Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar
untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman
realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman
yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering
menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini
juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-
bahan hands-on daripada tekxbook.
Suparno (1997) mengidentifikasi 3 prinsip kontruktivis dalam belajar yakni sebagai
berikut; (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun
sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pengajar kepada pebelajar,
kecuali dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar, (3) pengajar sekedar
membantu pebelajar dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
pebelajar berlangsung secara efektif dan efisien.
Sedangkan Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case for
constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivist teori
belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian
struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan
prinsip konstruktivisme:
1. Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa,
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi
relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya,
merasakan keterkaitannya kepada kehidupan mereka.
2. Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama, Mendorong para siswa
untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-
bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk
membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
3. Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi
alasan mereka, Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap
siswa, sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para
siswa di dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta
menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat,
agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus
betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai

30
konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun
jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi
merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa
yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini
adaah anggapan yang keiru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang
tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti;
“mengapa”?, dan “bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah
kepada adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas
jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan
menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga
untuk waktu praktik menjelaskan.
Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya
dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi
dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
4. Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah
suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya.
5. Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran. Geser/ubah
peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang terjadi
saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan
skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi,
kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih, maupun
marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam kerangka sedang
mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan.
Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa,
bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang
menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik.
Di sinilah perlunya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul
menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden
penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti
ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para
siswa.
Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996)
lebih spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu
bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu,
untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari
seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar
konstruktivisme dalam pembelajaran :

31
1. Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam, memberikan arti bahwa manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang
mentransformasi, mengorganisasi dan menginterpretasikan pengalamnnya.
2. Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam
menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam memecahkan
kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas.
3. Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses mekanik yang
akumulatif. Penganut konstruktivisme menganut posisi bahw abelajar harus
meperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek
berimajinasi dan melakukan penemuan dalam upaya mengembangkan struktur
kognitif.
4. Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan struktur
kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi
konflik.

Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam proses pembelajaran diantaranya


bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pembelajar
kepada pembelajar, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan pembelajar
membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar berarti berpartisipasi dengan
pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap
kritis, dan mengadakan justifikasi. Dasar pemikiran seperti ini menjadikan teori
konstruktivistik sebagai landasan teori-teori belajar yang pernah ada, seperti teoru
perubahan konsep, teori belajar bermakna dan teori skema. Dari penjelasan ini
tergambar bahwa konstruktivisme merupakan teori yang berlandaskan pada
pembelajaran siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri dan guru sebagai
mediator dan fasilitator yang relevan.
Berdasarkan hal ini, terdapat beberapa prinsip yang menjadi foundation dalam
constructivistic learning :
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2. Tekanan proses belajar terletak pada siswa
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar
4. Penekanan dalam prpses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir
5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa 6. Guru adalah fasilitator.
Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi
yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam
awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Untuk itu, guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam
belajar. guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang
sama dan sesuai dengan kemampuannya.
Dari studi berbagai kepustakaan ditemukan ada beberapa prinsip dasar dari
pandangan konstruktivisme. Menurut Wheatley (1991), Hendry (1996), Watts &
Bentley (1997) menyatakan bahwa prinsip-prinsip konstruktivisme tersebut adalah
sebagai berikut:

32
1. Pengetahuan muncul atau ada hanya dalam pikiran manusia.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah selalu milik
manusia (someone’s knowledge), dan hanya ada dalam pikiran manusia saja
(Wheatley, 1991). Maksudnya adalah yang memberi makna dari keberadaan
sesuatu yang nyata di dunia adalah manusia, dan makna itu hanya ada dalam diri
atau pikiran manusia itu. Prinsip ini sangat bertentangan dengan prinsip
objektivisme yang memandang bahwa pengetahuan itu adalah pikiran individu
karena secara eksternal, pengetahuan itu memang ada dalam dunia nyata (Duffy &
Jonassen, 1992; Merrill, 1992; Hendry, 1996). Prinsip konstruktivisme ini juga
bertentangan dengan prinsip sosial konstruktivisme yang memandang pengetahuan
tidak secara eksklusif ada dalam pikiran manusia, melainkan pengetahuan itu ada
dalam pikiran manusia sebagai suatu kesatuan yang nyata (objective entity) dalam
interaksi sosial (Lyddon and McLaughlin, 1992). Dari pendapat kaum objektivis
dan sosial konstruktivis ini, kaum konstruktivis sependapat bahwa pengetahuan
individu memang dibatasi (constrained) oleh keadaan dunia nyata; namun ide-ide
(ideas), keyakinan- keyakinan (beliefs), dan nilai-nilai (values) tetap hanya ada
dalam diri individu itu.
2. Arti atau interpretasi yang diberikan oleh individu terhadap sesuatu tergantung
pada pengetahuan yang dimilikinya Menurut aliran konstruktivisme, dalam
keadaan sadar individu secara konstan menghubungkan dirinya dengan dunia luar
(lingkungan), dan dia memberi arti pada apa yang dilihatnya atau yang ditemuinya
sangat tergantung pada pengetahuan yang dimilikinya (Hendry, 1996).
Dalam komunikasi kita memberikan arti pada apa yang disampaikan atau pada
bahasa yang digunakan oleh orang lain, dan juga pada atribut-atribut yang
ditampilkannya, tergantung pada pengetahuan kita tentang bahasa dan atribut
tersebut (Wheatley, 1991).
3. Pengetahuan dikonstruksi dari dalam diri individu dan dalam hubungannya dengan
dunia nyata
Pengetahuan dibentuk dalam diri manusia dan dalam hubungannya dengan hal-
hal yang ada dilingkungan. Prinsip konstruktivisme ini menurut Hendry (1996)
cukup membingungkan dan mengundang banyak pertanyaan yang bersifat
substansial. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: (a) Bagaimanakah kesahihan
suatu pengetahuan itu ditentukan? (b) Bagaimana caranya orang dapat
mengkonstruk pengetahuan umum? (c) Secara fundamental, apa penyebab
terjadinya konstruksi pengetahuan? (d) Bagaimana pengetahuan baru yang secara
kualitatif berbeda dari yang sebelumnya itu diciptakan? Pertanyaan-pertanyaan ini
akan terjawab dalam prinsip ke-4, ke- 5, dan prinsip ke- 6 berikut ini.
4. Pengetahuan tidak pernah pasti
Larochelle & Desautels (1991) mengatakan bahwa kita tidak bisa melepaskan
diri dari keinginan untuk membandingkan pengetahuan yang sudah terkonstruksi di
dalam diri kita dengan apa yang ada atau yang terjadi di lingkungan. Oleh karena
itu, Lerman (1989) mengatakan bahwa pengetahuan tidak akan pernah pasti. Suatu
pengetahuan dikatakan valid hanya sebatas/selama tidak terjadi perubahan
konstruksi di dalam diri seseorang tentang pengetahuan itu dalam hubungannya

33
dengan dunia luar. Sebagaimana ditegaskan oleh Bodner (1986: 875) “Knowledge
is good if and when it works”.Lebih lanjut Von Glasersfeld (1990) mengatakan
bahwa tidak ada pengetahuan yang benar-benar pasti dan berguna untuk
selamanya, kepastian suatu pengetahuan hanyalah bersifat relative.
5. Pengetahuan umum datang dari otak dan tubuh yang bersifat umum, yang
merupakan bagian dari alam semesta yang sama.
Menurut Hendry (1996), kita mengkonstruk pengetahuan yang bersifat umum
karena proses kerja otak kita sama, karakteristik tubuh kita juga sama. Kita dapat
berkomunikasi karena kita dapat menghasilkan bahasa yang sama yang bisa di
gunakan untuk menandai ide-ide yang sama. Namun demikian, kita tidak pernah
bisa yakin bahwa kata-kata yang kita gunakan untuk menandai pengetahuan kita
juga menandai pengetahuan yang sama yang ada pada orang lain. Menurut Von
Glasersfeld (1990), pengetahuan yang sama muncul pada diri orang lain jika
mereka bisa menangkap makna dari apa yang kita sampaikan sama seperti yang
kita maksutkan. Ini berarti bahwa kita tidak bisa memastikan apakah pengetahuan
yang timbul pada orang lain itu sama atau berbeda dengan kita tampa menanyakan
dan mendiskusikannya lebih lanjut. Kenyataan ini mempunyai implikasi yang
sangat krusial dalam proses belajar mengajar.
6. Pengetahuan dikonstruksikan melalui persepsi dan aksi.
Menurut Roschelle & Clancey (1992), orang mengkonstruksi bentuk baru dari
pengetahuan melalui proses persepsi dan aksi (perception and action process), dan
lebih spesifik lagi, melalui persepsi-aksi dalam komunikasi. Namun Hendry (1996)
mengatakan bahwa pernyataan ini tidak bisa menjelaskan penyebab awal terjadinya
konstruksi pengetahuan dalam interaksi kita dengan dunia luar. Menurut Peaget
(1980), penyebab pertama munculnya pengetahuan pada diri seseorang karena
adanya gangguan dari luar (external disturbance) pada struktur kognitifnya
sehingga terjadi ketidak seimbangan (diseguilibrium). Keadaan ini disebut oleh
Hand (1988) sebagai “conceptual conflict”, dan Wheatley (1991) menyebutnya
sebagai gangguan pada aktivitas mental (a disturbance of mental activity). Seorang
individu berhasil mengkonstruksi pengetahuan baru jika ia mampu beradaptasi atau
menyeimbangkan kembali struktur kognitifnya yang sudah terganggu melalui
proses aktif (perception-action). Bentuk keseimbangan yang baru ini secara
kualitatif berbeda dengan keseimbangan atau pengetahuan sebelumnya.
7. Pengkonstruksian ilmu pengetahuan membutuhkan waktu dan energi
Pengkonstruksian pengetahuan baru adalah suatu proses aktif yang
membutuhkan energi (karena ada usaha mental/mental effort), dan waktu (Hendry,
1996). Lebih lanjut Hendry (1996) mengatakan bahwa usaha individu untuk
mengkonstruksi pengetahuannya, sebagian tergantung pada gangguan yang
dirasakannya. Jika tingkat gangguan yang dirasakan pada struktur kognitif atau
tingkat ketidakpuasan terhadap pengetahuan yang dimilikinya rendah, maka usaha
untuk mengkonstruksi pengetahuan juga rendah. Sebaliknya, usaha konstruksi akan
maksimal jika tingkat gangguan atau tingkat ketidakpuasan yang dirasakan
terhadap pengetahuan yang dimilikinya tinggi

34
K. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
1. Kelebihan Teori Belajar Konstruktivisme
Hidup ini, tidak ada yang sempurna ada kebaikan ada juga keburukan, begitu juga
dengan sebuah teori. Tidak ada teori yang sempurna akan tetapi saling melengkapi
antara yang satu dengan yang lainya begitu juga konstruktivisme.
Adapun 6 kelebihan teori konstruktivisme di antaranya adalah:
 Pertama, guru bukan satu-satunya sumber belajar. Maksudnya yaitu dalam proses
pembelajaran guru hanya sebagai pemberi ilmu dalam pembelajaran, siswa tuntut
untuk lebih aktif dalam proses pembelajarannya, baik dari segi latihan, bertanya,
praktik dan lain sebagainya. Jadi guru hanya sebagi pemberi arah dalam
pembelajaran dan menyediakan apa-apa saja yang dibutuhkan oleh siswanya.
Sebab dalam kosntruktivisme pengetahuan itu tidak hanya di dapatkan dalam
proses pembelajaran akan tetapi bisa juga di dapatkan melalui diskusi, pengalaman
dan juga bisa di dapatkan di lingkungan sekitarnya.
 Kedua, siswa (pembelajaran) lebih aktif dan kreatif. Maksudnya di mana siswa
dituntut untuk bisa memahami pembelajarannya baik di dapatkan di sekolah dan
yang dia dapatkan di luar sekolah. Sehingga pengetahuan-pengetahuannya yang dia
dapatkan tersebut bisa dia kaitkan dengan baik dan seksama. Selain itu juga siswa
di tuntut untuk bisa memahami ilmu-ilmu yang baru dan dapat di koneksikan
dengan ilmu-ilmu yang sudah lama.
 Ketiga, pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti
menginstruksi informasi dalam struktur penelitian lainnya. Artinya pembelajaran
tidak hanya mendengarkan dari guru saja akan tetapi siswa harus bisa mengaitkan
dengan pengalaman-pengalaman pribadinya dengan informasi-informasi yang dia
dapatkan baik dari temanya, tetangganya , keluarga, surat kabar, televisi, dan lain
sebagainya.

35
 Keempat, pembelajaran memiliki kebebasan dalam belajar. Maksudnya siswa
bebas mengaitkan ilmu-ilmu yang dia dapatkan baik di lingkungannya dengan
yang di sekolah sehingga tercipta konsep yang diharapkannya.
 Kelima, perbedaan individual terukur dan di hargai.
 Keenam, guru berfikir proses membina pengetahuan baru, siswa berfikir untuk
menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.

2. Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme


Adapun 5 Kekurangan dari teori belajar konstruktivisme berdasarkan berbagai
sumber rujukan yakni:
 Pertama, proses belajar konstruktivisme secara konseptual adalah proses belajar
yang bukan merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar
ke dalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran sruktur kognitif.
 Kedua, peran siswa. Menurut pandangan ini, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan.
 Ketiga, peran guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu
agar proses pengonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
 Keempat, sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peran utama dalam
kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya
sendiri.
 Kelima, evaluasi, pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat
mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas,
konstruksi pengetahuan, serta aktifitas- aktifitas lain yang didasarkan pada
pengalaman.

36
L. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat
mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini
memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik.
1. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Konstruktivistik
Saudara mahasiswa, teori belajar konstruktivistik memahami belajar sebagai proses
pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Pengetahuan ada
di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui (Schunk, 1986). Dengan kata lain,
karena pembentukan pengetahuan adalah peserta didik itu sendiri, peserta didik harus
aktif selama kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi
makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri. Sementara
peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar
prosespengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak
mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik
untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan
pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar. Ciri-ciri belajar
konstruktivisme yang dikemukakan oleh Driver dan Oldhan (1994) adalah sebagai
berikut:
a) Orientasi, yaitu peserta didik diberik kesempatan untuk mengembangkan motivasi
dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan observasi.
b) Elitasi, yaitu peserta didik mengungkapkan idenya denegan jalan berdiskusi,
menulis, membuat poster, dan lain-lain.
c) Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide
baru, mengevaluasi ide baru.

37
d) Penggunaanidebarudalamsetiapsituasi,yaituideataupengetahuan yang telah
terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.
e) Review, yaitu dalam mengapliasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi
dengan menambahkan atau mengubah Paradigma konstruktivistik memandang
peserta didik sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum
mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan
awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Peranan
kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;
 Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk megambil
keputusan dan bertindak.
 Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik.
 Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
peserta didik mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat


mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas,
konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada
pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar
konstruktivistik. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada
pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan
pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam
menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana
interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa peserta didik akan dapat
menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman
dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru
dapat membantu peserta didik mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi
konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual,
bagaimana mengevaluasinya? Evaluasi belajar pandangan konstruktivistik
menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan
evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelumproses
belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah.
Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran.
Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas
belajar peserta didik. Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria
merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori

38
konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode
evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar
konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan
konstruktivistik. Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik
(Siregar & Nara, 2010), yaitu: diarahkan pada tugas-tugas autentik,
mengkonstruksikan pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih
tinggi, mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan mengarhkan evaluasi pada
konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)


Saudara mahasiswa, Lev Vygotsky merupakan tokoh dari teori belajar
konstruktivistik yang menekankan bahwa manusia secara aktif menyusun pengetahuan
dan memiliki fungsi-fungsi mental serta memiliki koneksi social. Beliau berpendapat
bahwa manusia mengembangkan konsep yang sistematis, logis dan rasional sebagai
akibat dari percakapan dengan seorang yang dianggap ahli disekitarnya. Jadi dalam teori
ini orang lain (social) dan bahasa memegang peranan penting dalam perkembangan
kognitif manusia. Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di
pelopori oleh Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut
sebagai teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yangtitik tekan utamanya adalah
pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona
keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona Perkembangan
Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain
untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga
menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal
(interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri
sendiri). Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang.
Inti dari teori belajar konstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang
yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan
sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh
setiap individu. Dengan kata lain bahwa peserta didik itu sendiri yang harus secara
pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lag.
Teori belajar ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-
konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam
upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar ini meliputi tiga konsep utama,
yaitu 1) hukum genetik tentang perkembangan, 2) Zona perkembangan proksimal dan 3)
mediasi.
Untuk lebih memahami tentang kajian tersebut mari kita kaji satu persatu.
1. Hukum Genetik tentang Perkembangan Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa
hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan- keterampilan, namun lebih dari itu,
perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran sosial dan tataran psikologis.

39
Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial seseorang
dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang bersangkutan. Teori ini
menempatkanlingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap
pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi
mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya.
Sementara itu, lingkungan sosial dipandang sebagai derivasi atau turunan yang
terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut,
hal ini terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila
telah terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan
yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky meyakini
bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir namun
demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan
menentukan kematangan selanjutnya.
2. Zona Perkembangan Proksimal Saudara mahasiswa, zona Perkembangan Proksimal
atau Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling
mendasar dari teori belajar kokonstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993:
156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai
‘level perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan
potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan
perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky
mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level
perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara
individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman
sebaya yang lebih mampu. Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang
terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran (Schunk, 1986), yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk
berfikir abstrak.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang
diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten
terhadap hal tersebut.
3. Mediasi, Saudara mahasiswa, mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis
mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di
mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami
sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita,
kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi
pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan; (2)
Scafholding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang
untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang

40
sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda
atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang
belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan. Berdasarkan
teori Vygotsky dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam
proses pembelajaran, yaitu :
a) Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
b) Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada
perkembangan aktualnya.
c) Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
d) Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
e) Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi
Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang
berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan kemampuan
tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang
lain.
Prinsip-prinsip utama teori belajar konstruktivistik yang banyak digunakan dalam
pendidikan adalah:
a) pengetahun dibangun oleh peserta didik secara aktif,
b) tekananprosesbelajarmengajarterletakpadapesertadidik,
c) mengajar adalah membantu peserta didik,
d) tekanandalamprosesbelajardanbukanpadahasilbelajar,
e) kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik dan
f) guru adalah fasilitator.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar konstruktivistik, proses belajar tidak
dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari
pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada
perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky
percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di
mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari
komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui
aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran
Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah
laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah
laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih

41
kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana
ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui
struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan
informasi yang diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema,
ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran
Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan
dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna
pengetahuan, sifat- sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan
berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.
Teori belajar konstruktivisme adalah teori belajar yang mengedepankan kegiatan
mencipta serta membangun dari sesuatu yang telah dipelajari.
Mengapa demikian?
Kegiatan membangun bisa memacu peserta didik untuk selalu aktif, sehingga
kecerdasannya akan meningkat. Lantas, bagaimana pengertian teori konstruktivisme
menurut para ahli?
1. Hill. Tindakan mencipta suatu makna dari apa yang sudah dipelajari seseorang.
2. Shymansky. Aktivitas yang aktif, ketika peserta didik melatih sendiri
pengetahuannya, mencari tahu apa yang sudah dipelajari, dan merupakan proses
menyelesaikan konsep dan ide baru dengan kerangka berpikir sendiri.
3. Karli dan Margareta. Proses belajar yang diawali dengan adanya konflik kognitif,
sehingga akhirnya pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik lewat pengalaman
dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
4. Tobin dan Timmons. Pembelajaran berlandaskan pandangan konstruktivisme yang
harus memperhatikan empat hal, yakni pengetahuan awal seseorang, belajar lewat
pengalaman, interaksi sosial, dan tingkat kepahaman.
5. Samsul Hadi. Sebuah upaya membangun tata susunan hidup berbudaya modern.
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat
kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple
perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan
dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang
lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui
kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme
mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil.
Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan
strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara
belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema
berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang
bersifat subyektif.
Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik
antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan
manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada
pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan

42
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan)
kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu
berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang
yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk
membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru
atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang
telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan
gurunya. Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang
beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan
proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan
untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan
pengetahuan.
Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam
belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh
siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau
model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan
keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

43
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar konstruktivistik, proses belajar tidak
dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari
pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada
perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky
percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di
mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari
komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui
aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Studi ini memiliki implikasi teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar
konstruktivisme. Secara teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang, bukan
sebagai tong kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa (guru). Secara
praktis, studi ini berimplikasi bahwa model belajar konstruktivisme dibutuhkan untuk
mengembangkan kecakapan pribadi-sosial siswa dalam mengembangkan potensi
kreatifnya melalui pembelajaran di sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah
konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan

44
struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah
dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan
mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga
akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki
orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
Maka dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting
dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana
diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi
contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa
ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu
guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan
lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

B. SARAN
Dari makalah ini, kami berharap para pembaca mampu memanfaatkannya sebagai
sumber belajar untuk menambah wawasan dan pengerahuan. Maka dari itu tak lupa pula
kritik dan saran dalam bentuk apapun sangat kami hargai agar kedepannya penulisan
makalah kami menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) Bambang
Riadi, Teori Belajar Konstruktivisme dari Jean Piaget, dalam http/www Teori Belajar
Konstruktivisme. Diakses pada hari Kamis 01 Desember 2011.

Bambang, Teori Belajar, dalam http/www. Bambang, Teori Belajar, dalam http/www.
Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar
Raya, 2004), h. 53. Ella, Kurikulum, h. 109-110.

Hamzah, Teori Belajar Konstruktivisme, dalam http/www. Teori Belajar


Kostruktivisme. Diakses Pada Hari Kamis 01 Desember 2011.

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2007) Liu,
Charlotte H., and Matthews, Robert. (2005). Vygotsky’s philosophy: Constructivism and its
criticisms examined. International Education Journal. 6 (3). hal 386-399.

Margaret E. Bell Gredler, Buku Petunjuk Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta:


Depdiknas, 1988), h. 257. Skema merupakan sebuah potensi yang dimiliki oleh seseorang
untuk bertindak dengan cara tertentu dalam merespon lingkungan. Sukardjo & Ukim
Komaruddin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 55-56.

45
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997)
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Profresif, (Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2009) Modul Kegiatan Belajar III PPG tahun 2019.

Biehler, R.F. & Snowman, J. (1982). Psychology Applied to Teaching, Fourth edition,
Boston: Houghton Mifflin Company.

Brooks, J.G., & Brooks, M., (1993). The case for constructivist classrooms.

association for supervision and curriculum development. Alexandria, Virginia.

Collin, Catherine, dkk. 2012. The Psychology Book. London: DK.


Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,

Chicago: Rand McNally. Jigna, DU. Application of Humanism Theoryin The Teaching
Approach. CS Canada: Higher Education of Social Sciences. Vol. 3, No. 1, 2012, pp. 32-36.

DOI:10.3968/j.hess.1927024020120301.1593 Schunk, Dale. H. 2012. Learning


Theories an Educational Perspective. Edisi keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Smaldino,
dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11 th edition. United State of
America: Pearson.

46

Anda mungkin juga menyukai