Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MEMAHAMI DOKTRIN DAN DINAMIKA SYARIAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Keaswajaan”

Dosen Pengampu: Lumatul Arif, M.Pd.I

Disusun Oleh :
1. Desi Aryani (2288201007)
2. Hera Dita Triwidianingsih (2288201008)
3. Octa Ayu Puspita Sari (2288201051)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


UNIVERSITAS NURUL HUDA
OKU TIMUR
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Taufik
dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Memahmi Dotrin dan Dinamika Syariah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Bapak
Lumatul Arif, M.Pd.I., yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini dari awal sampai akhir.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah dan kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Belitang, Juni 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
2.1 Pengertian Syariah...................................................................................... 3
2.2 Pengertian Fiqh........................................................................................... 3
2.3 Fiqih Budaya NU........................................................................................ 4
2.4 Dinamikah Fiqih NU.................................................................................. 6

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama yang sangat multidimensi yang dapat dikaji
dari berbagai aspek baik dari tinjauan budaya-sosial maupun dari aspek
doktrin sebagaimana yang kami akan jelaskan berikut ini. Agama Islam
apabila ditelaah dari aspek doktrin maka yang akan muncul adalah ajaran-
ajaran yang ada dalam agama Islam itu sendiri yang bisa saja ajaran tersebut
tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Dalam Islam, trilogi doktrin
(ajaran) Islam biasa dikenal dengan trilogi ajaran Ilahi, yakni: Iman, Islam
dan Ihsan.
Keimanan merupakan keyakinan secara mutlak kepada Allah SWT.
Elaborasi aspek keimanan dijabarkan oleh para ulama dalam diskursus akidah
atau tauhid. Keyakinan seorang muwahhid dan mukmin membuahkan sikap
penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. untuk melaksanakan semua
perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Sikap semacam ini
merupakan hakikat dari Islam yang kemudian termaktub dalam bingkai
syari'ah dan siyasah yang tercakup dalam fiqih. Sikap ber-Islam seperti ini
tentu tak cukup sekedar di bibir, tetapi perlu direalisasikan dalam amal
(tindakan) yang benar dan luhur sebagai hakikat aspek ihsan.
Dinamika kehidupan sosial masyarakat yang semakin kompleks
menuntut berbagai pihak untuk dapat merespons secara tepat. Kemampuan
menjawab persoalan tersebut menjadi penting agar problem-problem yang
dihadapi masyarakat dapat diselesaikan dan absah dalam perspketif Islam.
Atas dasar kepentingan inilah, transformasi hukum diperlukan. Dalam
konteks hukum Islam, transformasi penetapan hukum diperlukan suatu
metode formulasi hukum yang dikenal dengan ushul fiqih. Di kalangan
Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren lebih hati-hati dalam menghadapi
setiap persoalan. Langkah ini dilakukan agar perbedaan yang muncul tidak
bertambah lebar dengan menekankan penggunaan metode analisis soal- soal

1
keagamaan mengacu kepada metode yang telah dikembangkan para imam
madzhab. Hingga dewasa ini metode tersebut masih dianggap yang paling
baku (mu’tabar), belum muncul metode baru yang lebih orisinal. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang Memahami Doktrin dan Dinamika
Islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud syariah?
2. Jelaskan pengertian fiqih?
3. Jelaskan fiqih budaya NU?
4. Jelaskan dinamikah fiqih NU?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian syariah.
2. Untuk mengetahui pengertian fiqih.
3. Untuk mengetahui fiqih budaya NU.
4. Untuk mengetahui dinamikah fiqih NU.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Syariah


Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata
syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-
Maidah:48, asy-Syura: 13, yang mengandung arti “ jalan yang jelas yang
membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih.
Hal. 1). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah,
dalam artian lughawi karena umart isla selalu melaluinya dalam
kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah
Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai
akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah. Karena memang syariah itu adalah hukum amaliah yang
berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating
kemudian mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu
tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain.
Sebagian ulama ada yang mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang
bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah
dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam lagi
Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya
dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Dr.Farouk Abu Zeid
menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui
lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan
agama dan kehidupan dunia.

2.2 Pengertian Fiqih

3
(‫هو ما بني عليه غيره – كاصل الجدار )فاالصل لغة‬.
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan
membutuhkan pengerahan potensi akal (Al-Qur’an dan Terjemahannya,
1978:817-301). Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari
syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat
(mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili
(Maksun, 1974:172).
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa
fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal
dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas
menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang
bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti
masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa
fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan
ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal
yang tdak dijelaskan oleh nash.

2.3 Fiqih Budaya NU


NU menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyah yang menjadi dasar untuk
menyikapi tradisi dan budaya yang ada di masyarakat. Di antaranya kaidah usul
fiqih tersebut adalah:
1. Al Muhafadhah ‘ala al-qadimi ash-shalih wa al-akhdhu bi al-jadidi
al-ashlah
‫ال ُم َحافَظَةُ على القديم الصالح َواَأل ْخ ُذ بالجديد األصلح‬
Artinya: Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan
menginovasikan nilai-nilai baru yang lebih baik.

4
Kaidah tersebut menuntun kita untuk memperlakukan fenomena
kehidupan secara seimbang. Degan menggunakan kaidah ini, warga NU
memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi atau budaya. Yang dilihat
bukanlah tradisi atau budaya tersebut, melainkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Seseorang harus bisa mengapresiasi tradisi yang
ada yang merupakan hasil-hasil kebaikan orang-orang terdahulu, dan
bersikap kreatif mencari berbagai trobosan baru untuk menyempurnakan
tradisi tersebut. Sikap ini memacu untuk bergerak kedepan dan tidak
melupakan akar tradisinya. 
Contoh persoalan dalam menggunakan kaidah ini adalah kemajuan
IPTEK ditengah arus globalisasi saat ini merupakan fenomena baru yang
tidak mungkin dihindari. Selain manfaatnya, kemajuan IPTEK juga
membawa disruptif atau perubahan cepat yang mendasar, perubahan ini
mengubah cara pandang manusia dalam beraktifitas, berbisnis,
bertransaksi dan berinteraksi. Dalam hal ini maka mengambil hal-hal baru
yang lebih baik perlu dilakukan untuk penentu kemajuan dan daya saing.
Namun memelihara hal-hal lama atau warisan yang baik juga merupakan
suatu kebaikan, warisan tersebut meliputi akidah, yakni akidah
Ahlusunnah Waljamaah, dan berfikir ala NU (fikrah Nahdliyyah), yakni
cara berfikir secara moderat, dinamis, dan bermanhaj serta amaliah
Nahdhiyyah.
2. Al-‘Adah muhakamah ma lam tukhalifi al-syara’
‫العادة محكمة مالم تخالف الشرع‬
Artinya: Budaya atau tradisi yang baik bisa menjadi pertimbangan
hukum selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama
Al -‘Adah Muhakamah menjadikan peforma islam menjadi sangat
baik, sehingga menjadi agama yang dinamis dan membumi, selalu actual
ditengah-tengah masyarakat. Islampun menjadi agama yang mampu
menjawab tantangan zaman dan tuntutan umat tanpa diatabsi ruang dan
waktu. Sikap bijak tersebut memungkinkan warga NU untuk melakukan

5
dialog kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog bisa saling
memperkaya dan mengisi kekurangan masing-masing

3. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh


‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬
Artinya: Jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, maka tidak
harus ditinggal semua
Proses dialog memungkinkan upaya penyelerasan unsur-unsur
budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok islam. Hal ini
sangat penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya
tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok islam, namun didalamnya
mungkin juga menyimpan butir-butir kebaikan. Menghadapi persoalan
tersebut harus dengan bijak dan arif, yakni tidak membuang semuanya
akan tetapi mempertahankan unsur-unsur kebaikan yang ada dan
menyelaraskan unsur-unsur lain agar sesuai dengan ajaran islam. 
  
2.4 Dinamikah Fiqih NU
Dalam ranah problematika hukum, Nahdlatul Ulama tidak bisa lepas
dari kegiatan Bahtsul Masail, karena Bahtsul Masail adalah mekanisme
penjawaban terhadap problem hukum yang dialami oleh jam’iyyah NU.
Bahtsul Masail selalu berusaha, baik lewat Muktamar, Munas atau Konferensi
memberi jawaban atas problem kemasyarakatan di lingkungan NU. Bahtsul
Masail tidak hanya dilakukan oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU))
namun juga oleh Banom, bahkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang ada di
luar organisasi.
Namun dalam perkembangannya, formulasi hukum di lingkungan NU
lewat lembaga Bahtsul Masail ini secara metodologis mulai dirasakan adanya
keterbatasan. Secara metodologis, cenderung jumud dan tidak responsif
terhadap perkembangan kekinian, termasuk dirasakan kurang kritis terhadap
kehidupan politik-kekuasaan. Padahal harus diakui problem kemasyarakatan
tidak dapat dibiarkan tanpa suatu bimbingan hukum. Dari sinilah signifikansi

6
penelitian ini, yang mencoba mengungkap berbagai kecenderungan di
kalangan NU dalam memfungsikan fiqih sebagai kritik dan media perlawanan
sosial sehingga lalu diformulasikan dengan istilah fiqih perlawanan.
Ada dua sikap yang berkembang di lingkungan NU berkenaan dengan
formulasi hukum; Pertama, meletakkan fiqih sebagai kebenaran ortodoksi,
sedangkan yang Kedua menempatkan fiqih sebagai interpretasi sosial. Oleh
karena itu, apabila kelompok yang pertama selalu menundukkan realitas
kepada kebenaran fiqih, maka untuk kelompok kedua justru menggunakan
fiqih sebagai counter discourse (wacana perlawanan) dalam belantara problem
sosial yang tengah berlangsung (Badrun Alaena, 2002: 6).
Berkaitan dengan hal ini ada lima cara yang menonjol dalam
paradigma ber-fiqih yang baru. Pertama, selalu diupayakan interpretasi ulang
dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua,
makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli)
menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji). Ketiga,
verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu’). Keempat, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai
hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologis pemikiran terutama
dalam masalah sosial budaya.
Dengan model bermadzhab seperti itu diharapkan dapat memberikan
spirit kepada kalangan NU untuk keluar dari tempurung masa lampau, dan
berani memunculkan pikiran- pikiran eksperimentatif sosial yang kreatif dan
orisinil. Dalam konteks ini kreasi-kreasi ulama masa lalu tetap tidak dinafikan
dan diletakkan dalam kerangka komparatif, namun tidak sampai harus menjadi
belenggu pemikiran yang mematikan.
Dari kelima ciri paradigma berfiqih secara baru tersebut, ciri kedua
(madzhab manhaji), merupakan paradigma paling fundamental dan
strategis. Dengan menggunakan pola inilah, jalan masuk untuk melakukan
terobosan-terobosan baru dalam setting transformasi sosial menjadi terbuka
lebar.

7
Pilihan ini sebagai konsekuensi logis dari diletakkannya fiqih sebagai
perangkat hermeneutik. Sifat fiqih sebagai perangkat ini di satu sisi
mempunyai watak relatif yang tinggi, karena ia harus mengakomodasi
pluralitas, termasuk pluralitas kebenaran (Hairus Salim, 1999: 8). Peletakan
fiqih seperti ini, memunculkan problem metodologis yang besar. Problem ini
terasa menjadi serius, karena madzhab yang dianut oleh masyarakat NU
adalah madzhab Syafi’i. Kendati NU mengakui empat madzhab, namun dalam
wilayah praktisnya, tidak secara otomatis merekomendasikan
pemberlakuannya secara eklektik, karena ada rambu-rambu talfiq yang tidak
mudah ditembus. Sedangkan dalam rumusan fiqih dan kaidah fiqih dilakukan
infiltrasi yang ketat sejauh mana yang sesuai dengan konteks zaman dan tidak
bertentangan dengan paradigma gerakan dan pembaharuan yang progresif
(Baso, 2006: 42).
Gerakan progresif kaum nahdiyin dalam banyak kesempatan harus
berhadapan dengan politik-kekuasaan, yang tidak selalu berpihak pada nilai
kebenaran fiqih dan juga tidak berpihak pada nasib banyak orang. Karenanya,
bangunan fiqih harus pro terhadap emansipasi sosial melalui perumusan
hukum yang bercorak perlawanan. Fenomena menarik ini berkait dengan
problem penetapan hukum di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu adanya
pergeseran dalam memandang fiqih, yang tidak hanya sebagai kebenaran
ortodoksi tetapi juga sebagai wacana tandingan atau yang terkenal dengan
fiqih Perlawanan. Kemunculan istilah fiqih perlawanan dilatarbelakangi oleh,
--selain yang disebutkan di atas-- beberapa kondisi yang memaksa kalangan
NU untuk punya perhatian dalam menyikapi kehidupan sosial politik dengan
mekanisme formulasi hukum.
Tentang keterkaitan NU dengan kehidupan sosial politik dan
kekuasaan diyakini berkaitan erat dengan wacana keberagamaan dan tradisi
keilmuan warga Nahdlatul Ulama (NU). Pertama, tokoh NU dan warganya
meyakini bahwa dalam rangka mencapai tujuan jam'iyyah dan tersebarnya
dakwah Islam, arena politik merupakan salah satu sarana paling efektif dan
kendaraan terbaik (Ahmad Zahro, 2004: 64). Hal ini terbukti dengan hampir

8
selalu terlibatnya tokoh Nahdlatul Ulama (NU), baik secara organisatoris
maupun secara pribadi atas nama Nahdlatul Ulama (NU) dalam percaturan
politik, bahkan setelah NU dinyatakan kembali ke Khittah. Namun demikian,
keterlibatan ini tetap dengan kritisisme dalam berhubungan dengan politik dan
kekuasaan.
Kedua, dalam berpolitik para tokoh NU selalu mengaitkan dan
menjustifikasi aktifitas dan sikap politik mereka dengan kaidah-kaidah
fiqihiyyah maupun hukum fiqih (Dharwis, 1994: vii). Kembali Khittah 26,
dengan sendirinya merupakan langkah awal yang mengantarkan Nahdlatul
Ulama (NU) pada dataran baru peranan terdepan sebagai organisasi
keagamaan. Bagaimana membangun kesadaran masyarakat selaku warga
negara untuk secara aktif terlibat dalam proses-proses politik melalui
mekanisme yang ada, berikhtiar menjadikan NU sebagai organisasi sosial
keagamaan yang terlibat memikirkan masalah keadilan sosial, ekonomi dan
politik. Hal tersebut disadari oleh sebuah kenyataan bahwa kehidupan politik
dalam Islam sangat erat kaitanya dengan hukum fiqih, karenanya fiqih harus
bisa memfungsikan dirinya dalam menyikapi kehidupan politik dan
kekuasaan.

9
BAB III
KESIMPULAN

Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah


Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai
akhlak”.
Secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah,
yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil
dari dalil yang terinci.
Fiqih budaya NU :
1. Al Muhafadhah ‘ala al-qadimi ash-shalih wa al-akhdhu bi al-jadidi al-
ashlah,
artinya: Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan menginovasikan
nilai-nilai baru yang lebih baik.
2. Al-‘Adah muhakamah ma lam tukhalifi al-syara’
3. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh
Artinya: Jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, maka tidak harus
ditinggal semua
Di kalangan NU telah terjadi dinamisasi model penetapan hukum dalam

10
menjawab problema hukum masyarakat. Bahkan bukan hanya dinamisasi,
melainkan muncul pergeseran dalam memandang fiqih, yakni dari fiqih sebagai
paradigma ’kebenaran ortodoksi’ atau ’hukum positif’ ke arah fiqih sebagai
paradigma ’pemaknaan sosial’. Paradigma pertama menundukkan realitas
kepada kebenaran fiqih dan berwatak hitam-putih dalam memandang persoalan.
Sebaliknya yang terakhir menggunakan fiqih sebagai wacana tandingan atau
perlawanan.
Keterkaitan NU dengan kehidupan sosial politik dan kekuasaan diyakini
berkaitan erat dengan wacana keberagamaan dan tradisi keilmuan kaum
nahdiyin. Pertama, tokoh NU dan warganya meyakini bahwa dalam rangka
mencapai tujuan jam'iyyah dan tersebarnya dakwah Islam, arena politik
merupakan salah satu sarana paling efektif. Kedua, dalam berpolitik para tokoh
NU selalu mengaitkan dan menjustifikasi aktifitas dan sikap politik mereka
dengan kaidah-kaidah fiqihiyyah maupun hukum fiqih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alaena, Badrun. 2002. Doktrin Ahlu Sunnah Wal Jama’ah”, Jurnal Penelitian
Agama, Vol. XI, No. 1 Januari-April 2002.

Al-Qur’an dan Terjemahannya .1978. Departemen  Agama Republik Indonesia.


Bumi.

Baso, Ahmad. 2005. Islam Pasca Kolonial, Perselingkuhan Agama, Kolonialisme


dan Liberalisme. Bandung: Mizan, 2005.

Maksun Faiz ,  Hasby ash Shiddieqy. 1974. Falsafah Hukum Islam.Bulan


Bintang, Jakarta.

Salim, Hairus. 1998. Absolutisme Normatif VS Rasionalitas Tuhan, dalam


Greg Fealy (Ed)Tradisionalisme Radikal. Yogyakarta: LKiS.

Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-
1999. Yogyakarta: LKIS.

12

Anda mungkin juga menyukai