Fiqih Berobat
Disusun oleh:
Kelompok 4
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “fiqih
berobat ” Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan
dalam mata kuliah AKSM di STIKes ‘Aisyiyah Bandung.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki.
Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulis ini, kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan
tugas dan petunjuk materi kepada saya, sehingga kami mampu menyelesaikan
makalah ini.
Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan Masalah.........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
LANDASAN TEORITIS.........................................................................................3
A. Definisi Fiqih Berobat...............................................................................3
B. Islam memerintahkan umatnya untuk berobat..........................................4
C. Berobat Hukumnya Berbeda-beda............................................................5
D. Sebagian Salaf yang Tidak Berobat..........................................................6
E. Macam-Macam Pengobatan Nabi...........................................................11
BAB III..................................................................................................................13
PENUTUP..............................................................................................................13
A. Kesimpulan..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam istilah ulama artinya ilmu
yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari dalil-dalil tafsili atau
dalil-dalil yang terperinci. Berobat adalah perkara yang di sunahkan. Para fuqoha’
(ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum asalnya dibolehkan, kemudian
mereka berbeda pendapat (mengenai hukum berobat) menjadi beberapa pendapat
yang masyhur (terkenal) :
1. Pendapat Pertama
Mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan alasan adanya perintah
Rosulullah Saw untuk berobat dan asal hukum perintah adalah wajib, ini
adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan
madzhab Hanabilah.
2. Pendapat kedua
Mengatakan sunnah/mustahab, sebab perintah Nabi Saw untuk berobat dan
dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain
Rosululloh memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
3. Pendapat ketiga
Mengatakan mubahboleh secara mutlak , karena terdapat keterangan dalil-
dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi boleh
memilih, (ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab
Malikiyah).
4. Pendapat kelima
Mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya, Imam
Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud,
Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
3
4
5. Pendapat ke enam
Mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan lebih
baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian ini dari kalangan
madzhab Syafi’iyah.
Sesungguhnya terdapat berbagai macam dalil dan keterangan yang berbeda- beda
tentang berobat, oleh karena itu sebenarnya pendapat-pendapat di atas tidaklah
bertentangan. Akan tetapi berobat hukumnya berbeda-berbeda menurut
perbedaan kondisi. Ada yang haram, makruh, mubah, sunnah, bahkan ada yang
wajib.
Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama Islam sebab berobat termasuk
upaya memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at Islam
ditegakkan, terdapat banyak hadits dalam hal ini, diantaranya :
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat
seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya
berobat atau tidak berobat.
5. Berobat menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka
hukumnya haram, seperti berobat dengan khamer/minuman keras, atau
sesuatu yang haram lainnya.
Adapun hadits-hadits yang dhohirnya menunjukkan tidak berobat itu lebih utama,
maka hal itu hanya dalam kondisi tertentu saja. Seperti hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma tentang perkataan beliau kepada Atho’
’Inilah wanita kulit hitam yang pernah datang kepada Nabi lalu berkata,’’(wahai
Rosulullah) Aku menderita sakit sawan, dan tersingkap auratku, maka do’akan
7
aku (agar sembuh) kepada Allah,’’ Nabi bersabda,’’jika engkau mau bersabar
maka surga balasanmu, tapi jika engkau mau aku do’akan kepada Allah supaya
menyembuhkanmu maka aku doakan,’’wanita itu berkata,’’kalau begitu aku
bersabar saja, tetapi auratku masih tersingkap, maka do’akan aku kepada Allah
supaya auratku tidak tersingkap,’’ maka Rasulullah mendo’akannya (agar
auratnya tidak tersingkap).’’ (HR.Bukhori 5652).
Jawabnya, tidak berobat lebih utama jika kondisi orang yang sakit seperti wanita
ini, dia yakin bisa bersabar untuk mendapat pahala surga, dan penyakitnya tidak
mengakibatkan kebinasaan, tidak menular kepada yang lain, dan dia mampu
menghadapi ujian ini, oleh karenanya wanita dalam hadits ini dijanjikan surga
oleh Rasulullah kalau dia bersabar.
Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang 70.000 orang yang
masuk surga tanpa hisab dan adzab, yang menunjukkan mereka tidak berobat
dengan cara Ruqyah dan cara ‘’kay’’ (besi dipanaskan lalu diletakkan pada
anggota tubuh yang sakit). (HR.Bukhori 5705, dan Muslim 347)
Jawabnya, hadits ini menujukkan yang lebih utama adalah tidak meminta
diruqyah demi kesempurnaan tauhid, adapun meruqyah dan diruqyah, maka
sungguh telah dilakukan oleh generasi yang paling utama yaitu Nabi dan para
sahabatnya, bukanlah yang dimaksud adalah meninggalkan pengobatan, karena
beliau juga berobat, dan memerintahkan kaum muslimin untuk berobat (HR.Abu
Dawud 3874), beliau meruqyah, dan diruqyah.
Demikian pula apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa
Abu Bakar,Ubai bin Ka’ab, serta Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum jami’an, mereka
tidak berobat.
Maka jawabnya, hal itu karena kondisi dan sebab tertentu, bukan berarti mereka
menganggap berobat adalah makruh.
8
Sebagian kaum shufi mengingkari orang- orang yang berobat, dengan dalih segala
sesuatu sudah ditaqdirkan Allah termasuk sehat dan sakit, menurut mereka jika
Allah menghendaki sembuh, tanpa berobatpun akan sembuh dengan takdir Allah,
mereka ada yang menganggap bahwa berobat berarti menentang taqdir. Akan
tetapi tatkala mereka lapar, mereka berusaha mencari makanan, dan saat
kedinginan mereka memakai pakaian tebal, mereka tidak mengatakan yang
memberi makanan dan rasa hangat adalah Allah.
Maka jawabnya, para ulama membantah mereka dengan hadits- hadits Nabi yang
memerintahkan kaum muslimin berobat, Nabi dan shabatnya berobat, dan berobat
termasuk usaha manusia untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah, dan berobat
juga termasuk taqdir Allah, sebagaimana jawaban Rasulullah ketika ditanya
sahabatnya
يا رسول هللا أرأيت رقى نسترقيها ودواء نتداوى به وتقاة نتقيها هل ترد من ق^^در هللا ش^^يئا فق^^ال هي من ق^^در
هللا
‘’Wahai Rasulullah bagaimana ruqyah-ruqyah (jampi- jampi) dan obat- obatan
yang kami gunakan, serta pantangan- pantangan yang kami hindari, apakah semua
ini menolak taqdir Allah?, Nabi menjawab,’’itu semua termasuk taqdir Allah.
(HR.Tirmidzi 2148, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Takhrij Musykilat al-
Faqr 1/13)
Jika kita dihadapkan pada pilihan dokter muslim atau kafir, maka jelas kita
lebih memilih dokter muslim, karena seorang muslim dengan muslim lainnya
seperti satu bangunan yang utuh dan kokoh yang saling tolong menolong,
tetapi jika ada dokter kafir lebih berpengalaman, dan terpercaya (tidak
dikhawatirkan berkhiyanat) maka boleh bagi seorang muslim berobat
kepadanya sebagaimana bolehnya seorang muslim bermu’amalah (transaksi
jual beli dan lainnya) dengan orang kafir.
Hukum asal berobat adalah kepada ahlinya sesama jenisnya, dan tidak boleh
kepada lawan jenisnya, karena didalamnya akan terjadi saling melihat,
menyentuh dan sebagainya, dan ini di haramkan, hanya saja dalam kondisi
darurat/ terpaksa, maka hal ini dibolehkan, Imam Bukhori membuat suatu bab
dalam shahihnya tentang seorang wanita mengobati laki- laki, lalu beliau
membawakan kisah Rubayyi’ bintu Mu’awwidh yang ikut berperang dan
bertugas merawat yang sakit (HR.Bukhori), berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar,’’
boleh mengobati lawan jenis dalam kondisi terpaksa, tetapi dibatasi
kebolehannya sebatas kebutuhan saja berupa menyentuh (atau melihat bagian-
bagian yang diperlukan saja) dan semisalnya.
Allah berfirman:
سلَّ َم اَل َولَ ِكنَّ َها دَا ٌء َ يَا نَبِ َّي هَّللا ِ إِنَّ َها َد َوا ٌء قَا َل النَّبِ ُّي
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو
A. Kesimpulan
B. Saran
Kita semua sebagai makhluk Allah SWT harus bisa menjaga kesehatan agar tidak
mudah terserang penyakit, namun jika kita sudah ditakdirkan untuk sakit maka
terimalah dan berusahalah untuk bangkit dari kesakitan itu menuju sehat dan
ingatlah untuk tetap bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kita apa yang
kita rasakan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Hajj ahmad, yusuf al. 2016. Buku Panduan pengobatan islam. Jakarta :
Aqwan
Fuad al hulwani, thalat bin. 2016. Buku Pengobatan cara nabi. Jakarta :
Darul Haq