Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Fiqih Berobat

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah AKSM

Disusun oleh:

Kelompok 4

Nden Ayu Pratiwi (032016040)

Elis Rohaeti (032016047)

Rendra Ramdani (032016055)

Winda Sri Nurany (032016063)

Syarah Mujahidah (032016068)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “fiqih
berobat ” Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan
dalam mata kuliah AKSM di STIKes ‘Aisyiyah Bandung.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki.
Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulis ini, kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan
tugas dan petunjuk materi kepada saya, sehingga kami mampu menyelesaikan
makalah ini.

Bandung, 22 September 2018

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan Masalah.........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
LANDASAN TEORITIS.........................................................................................3
A. Definisi Fiqih Berobat...............................................................................3
B. Islam memerintahkan umatnya untuk berobat..........................................4
C. Berobat Hukumnya Berbeda-beda............................................................5
D. Sebagian Salaf yang Tidak Berobat..........................................................6
E. Macam-Macam Pengobatan Nabi...........................................................11
BAB III..................................................................................................................13
PENUTUP..............................................................................................................13
A. Kesimpulan..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah  menghendaki sehat dan sakit, bukan karena kezaliman, tetapi


karena kebijaksanaan-Nya. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berusaha
menjalani sebab-sebab yang mengantarkan kepada setiap kebaikan, dan itu
merupakan kesempurnaan tawakkal seorang hamba. Tidak selamanya manusia
merasakan kesehatan badan yang sempurna, Allah menimpakan rasa sakit  yang
berbeda-beda menurut perbedaan sebab dan kondisinya, dan tidak ada yang dapat
menyembuhkannya kecuali Allah semata.

Ibnul Qayyim berkata: "Dalam hadits-hadits shahih telah disebutkan


perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakkal. Sebagaimana makan
karena lapar, minum karena dahaga, berteduh karena panas dan menghangatkan
diri karena dingin tidak menafikan tawakkal. Tidak akan sempurna hakikat tauhid
kecuali dengan menjalani ikhtiyar (usaha) yang telah dijadikan Allah sebagai
sebab musabab terjadi suatu takdir. Bahkan meninggalkan ikhtiyar dapat merusak
hakikat tawakkal, sebagaimana juga dapat mengacaukan urusan dan
melemahkannya.

Karena orang yang meninggalkan ikhtiyar mengira bahwa tindakannya itu


menambah kuat tawakkalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan ikhtiyar
merupakan kelemahan yang menafikan tawakkal. Sebab hakikat tawakkal adalah
mengaitkan hati kepada Allah dalam meraih apa yang bermanfaat bagi hamba
untuk dunia dan agamanya serta menolak mudharat terhadap dunia dan agamanya.
Tawakkal ini harus disertai dengan ikhtiyar, jikalau tidak berarti ia telah
menafikan hikmah dan perintah Allah. Janganlah seorang hamba itu menjadikan
kelemahannya sebagai tawakkal dan jangan pula menjadikan tawakkal sebagai
kelemahannya.
2

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari Fiqih berobat?


2. Apakah Islam memerintahkan umatnya untuk berobat?
3. Apakah Berobat Hukumnya Berbeda-beda ?
4. Bagaimana dengan Sebagian Salaf yang Tidak Berobat?
5. Bagaimana berobat sejalan dengan tawakal?
6. Apa saja pengobatan yang dilakukan oleh nabi?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui definisi dari Fiqih berobat.


2. Mengetahui bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk berobat.
3. Mengetahui Berobat Hukumnya Berbeda-beda.
4. Mengetahui pendapat sebagian salaf yang tidak berobat.
5. Mengetahui berobat sejalan dengan tawakal.
6. Mengetahui macam-macam pengobatan nabi.
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Definisi Fiqih Berobat

Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam istilah ulama artinya ilmu
yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari dalil-dalil tafsili atau
dalil-dalil yang terperinci. Berobat adalah perkara yang di sunahkan. Para fuqoha’
(ahli fiqih)  bersepakat bahwa berobat hukum asalnya dibolehkan, kemudian
mereka berbeda pendapat (mengenai hukum berobat) menjadi beberapa  pendapat
yang masyhur (terkenal) :

1. Pendapat Pertama
Mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan alasan adanya perintah
Rosulullah Saw untuk berobat dan asal hukum perintah adalah wajib, ini
adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan
madzhab Hanabilah.
2. Pendapat kedua
Mengatakan sunnah/mustahab, sebab perintah Nabi Saw untuk berobat dan
dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain
Rosululloh memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
3. Pendapat ketiga
Mengatakan mubahboleh secara mutlak , karena terdapat keterangan dalil-
dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi boleh
memilih, (ini adalah  madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab
Malikiyah).
4. Pendapat kelima
Mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya, Imam
Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, 
Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.

3
4

5. Pendapat ke enam
Mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan lebih
baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian ini dari kalangan
madzhab Syafi’iyah.

Kesimpulan dari berbagai macam pendapat

Sesungguhnya terdapat berbagai macam dalil dan keterangan yang berbeda- beda
tentang berobat, oleh karena itu sebenarnya pendapat-pendapat di atas tidaklah
bertentangan. Akan tetapi berobat hukumnya berbeda-berbeda menurut
perbedaan kondisi. Ada yang haram, makruh, mubah, sunnah, bahkan ada yang
wajib.

B. Islam memerintahkan umatnya untuk berobat

Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama Islam sebab berobat termasuk
upaya memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at Islam
ditegakkan, terdapat banyak hadits dalam hal ini, diantaranya :

1. Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


‫ وال تتداووا بالحرام‬، ‫ فتداووا‬، ‫ وجعل لكل داء دواء‬، ‫إن هللا أنزل الداء والدواء‬
‘’Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia
jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan
berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud 3874, dan disahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’ 2643)
2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam:
) ‫ ف^إن هللا لم يض^^ع داء إال وض^^ع ل^^ه ش^فاء إال داء واح^^د‬، ‫ ( ت^^داووا‬: ‫يا رس^ول هللا أال نت^^داوى ؟ ق^^ال‬
) ‫ ( الهرم‬: ‫ يا رسول هللا وما هو ؟ قال‬: ‫قالوا‬
‘’Wahai Rosulullah, apakah kita berobat?, Nabi bersabda, ‘berobatlah,
karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti
menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’
mereka bertanya,’apa itu’? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’(HR.Tirmidzi
2038, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah 3436)
5

C. Berobat Hukumnya Berbeda-beda

1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:


a. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan kematian, maka
menyelamatkan jiwa adalah wajib.
b. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan perkara wajib
padahal dia mampu berobat, dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh,
berobat semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga dihukumi
wajib.
c. Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati penyakit menular
adalah wajib untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
d. Jika penyakit diduga kuat  mengakibatkan kelumpuhan total, atau
memperburuk penderitanya, dan tidak akan sembuh jika dibiarkan, lalu
mudhorot yang timbul lebih banyak daripada maslahatnya seperti
berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk diri dan keluarga, atau
membebani orang lain dalam perawatan dan biayanya, maka dia wajib
berobat untuk kemaslahatan diri dan orang lain.

2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab

Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai


membahayakan diri dan orang lain, tidak membebani orang lain, tidak
mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi sunnah baginya.

3. Berobat menjadi mubah/ boleh

Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat
seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya
berobat atau tidak berobat.

4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi


a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang
digunakan diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat
karena hal itu diduga kuat akan berbuat sia-sia dan membuang harta.
6

b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan


surga dari ujian ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama
membawa hadits Ibnu Abbas dalam kisah seorang wanita yang bersabar
atas penyakitnya kepada masalah ini.
c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim  menjadi sadar dengan
penyakit yang diderita, tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak,
maka saat itu lebih baik tidak berobat.
d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu
penyakit, dan dengan penyakit itu dia berharap kepada Allah mengampuni
dosanya dengan sebab kesabarannya. Dan semua kondisi ini diisyaratkan
jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika
mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat
menjadi wajib.

5. Berobat menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka
hukumnya haram, seperti berobat dengan khamer/minuman keras, atau
sesuatu yang haram lainnya.

D. Sebagian Salaf yang Tidak Berobat

Adapun hadits-hadits yang dhohirnya menunjukkan tidak berobat itu lebih utama,
maka hal itu hanya dalam kondisi tertentu saja. Seperti hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma tentang perkataan beliau kepada Atho’

ِ ‫ع هَّللا َ لِي قَ^^ا َل إِ ْن ِش ^ ْئ‬


‫ت‬ ُ ‫ع َوإِنِّي أَتَ َك َّشفُ فَا ْد‬ ُ ‫ت إِنِّي أُصْ َر‬ ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَال‬
َ ‫ي‬ ْ ‫هَ ِذ ِه ْال َمرْ أَةُ السَّوْ دَا ُء أَت‬
َّ ِ‫َت النَّب‬
َ‫ع هَّللا َ لِي أَ ْن اَل أَتَ َك َّش ^ف‬
ُ ‫ت إِنِّي أَتَ َك َّشفُ فَا ْد‬ ْ َ‫ت أَصْ بِ ُر فَقَال‬
ْ َ‫ك فَقَال‬ِ َ‫ت هَّللا َ أَ ْن يُ َعافِي‬ ُ ْ‫ت َدعَو‬ ِ ‫ك ْال َجنَّةُ َوإِ ْن ِش ْئ‬
ِ َ‫ت َول‬ ِ ْ‫صبَر‬ َ
‫فَ َدعَا لَهَا‬

’Inilah wanita kulit hitam yang pernah datang kepada Nabi lalu berkata,’’(wahai
Rosulullah) Aku menderita sakit sawan, dan tersingkap auratku, maka do’akan
7

aku (agar sembuh) kepada Allah,’’ Nabi bersabda,’’jika engkau mau bersabar
maka surga balasanmu, tapi jika engkau mau aku do’akan kepada Allah supaya
menyembuhkanmu maka aku doakan,’’wanita itu berkata,’’kalau begitu aku
bersabar saja, tetapi auratku masih tersingkap, maka do’akan aku kepada Allah
supaya auratku tidak tersingkap,’’ maka Rasulullah mendo’akannya (agar
auratnya tidak tersingkap).’’ (HR.Bukhori 5652).

Jawabnya, tidak berobat lebih utama jika kondisi orang yang sakit seperti wanita
ini, dia yakin bisa bersabar untuk mendapat pahala surga, dan penyakitnya tidak
mengakibatkan kebinasaan, tidak menular kepada yang lain, dan dia mampu
menghadapi ujian ini, oleh karenanya wanita dalam hadits ini dijanjikan surga
oleh Rasulullah kalau dia bersabar.

Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang 70.000 orang yang
masuk surga tanpa hisab dan adzab, yang menunjukkan mereka tidak berobat
dengan cara Ruqyah dan cara ‘’kay’’ (besi dipanaskan lalu diletakkan pada
anggota tubuh yang sakit). (HR.Bukhori 5705, dan Muslim 347)

Jawabnya, hadits ini menujukkan yang lebih utama adalah tidak meminta
diruqyah demi kesempurnaan tauhid, adapun meruqyah dan diruqyah, maka
sungguh telah dilakukan oleh generasi yang paling utama yaitu Nabi dan para
sahabatnya, bukanlah yang dimaksud adalah meninggalkan pengobatan, karena
beliau juga berobat, dan memerintahkan kaum muslimin untuk berobat (HR.Abu
Dawud 3874), beliau meruqyah, dan diruqyah.

Demikian pula apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa
Abu Bakar,Ubai bin Ka’ab, serta Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum jami’an, mereka
tidak berobat.

Maka jawabnya, hal itu karena kondisi dan sebab tertentu, bukan berarti mereka
menganggap berobat adalah makruh.
8

Sebagian kaum shufi mengingkari orang- orang yang berobat, dengan dalih segala
sesuatu sudah ditaqdirkan Allah termasuk sehat dan sakit, menurut mereka jika
Allah menghendaki sembuh, tanpa berobatpun akan sembuh dengan takdir Allah,
mereka ada yang menganggap bahwa berobat berarti menentang taqdir. Akan
tetapi tatkala mereka lapar, mereka berusaha mencari makanan, dan saat
kedinginan mereka memakai pakaian tebal, mereka tidak mengatakan yang
memberi makanan dan rasa hangat adalah Allah.

Maka jawabnya, para ulama membantah mereka dengan hadits- hadits Nabi yang
memerintahkan kaum muslimin berobat, Nabi dan shabatnya berobat, dan berobat
termasuk usaha manusia untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah, dan berobat
juga termasuk taqdir Allah, sebagaimana jawaban Rasulullah ketika ditanya
sahabatnya

‫يا رسول هللا أرأيت رقى نسترقيها ودواء نتداوى به وتقاة نتقيها هل ترد من ق^^در هللا ش^^يئا فق^^ال هي من ق^^در‬
‫هللا‬
‘’Wahai Rasulullah bagaimana ruqyah-ruqyah (jampi- jampi) dan obat- obatan
yang kami gunakan, serta pantangan- pantangan yang kami hindari, apakah semua
ini menolak taqdir Allah?, Nabi menjawab,’’itu semua termasuk taqdir Allah.
(HR.Tirmidzi 2148, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Takhrij Musykilat al-
Faqr 1/13)

D. Berobat Sejalan dengan Tawakal

Tidak diragukan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling sempurna


tawakkalnya, walau demikian beliau tidak berserah diri begitu saja kepada Allah,
beliau menjalani sebab-sebab yang mengantarkan kepada hasil yang diharapkan,
oleh karenanya beliau membawa bekal dan berkendaraan serta menyewa
penunjuk jalan ketika hijrah, beliau sempat bersembunyi 3 hari di goa, beliau
memakai baju besi saat berperang, dan beliau berobat saat sakit dan mengobati
yang sakit, bahkan beliau memerintahkan kita untuk berobat, semua ini dilakukan
karena sejalan dengan tawakkalnya yang sempurna.
9

1. Setiap penyakit pasti ada obatnya

Rasululloah Saw dalam sebuah haditsnya, bersabda;


‫لكل داء دواء ف إذا أصيب دواء الداء برأ بإذن هللا‬
‘’Setiap penyakit ada obatnya, jika obatnya mengenai penyakit, maka
sembuhlah dengan izin Allah.’’ (HR.Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa semua penyakit tanpa kecuali pasti ada obatnya
sampai pada penyakit-penyakit yang mematikan, hanya saja kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya, tidaklah seorang manusia itu mengetahui ilmu
kecuali dari Allah, oleh karenanya Nabi mensyaratkan kesembuhan jika obat
itu mengenainya penyakit, karena segala sesuatu  itu memiliki lawannya,
setiap penyakit mempunyai lawan berupa obat penawarnya.
Kita menjumpai banyak orang berobat tetapi tidak kunjung sembuh dari
sakitnya, maka ini sebabnya lantaran manusia tidak mengetahui hakikat obat
yang sesuai dengan penyakitnya atau cara pengobatannya yang kurang tepat
seperti kelebihan dosis sehingga efeknya lebih buruk, atau kurangnya dosis
sehingga tidak bermanfaat, dan bukan berarti penyakit tersebut tidak ada
obatnya.

2. Berobat kepada dokter kafir padahal ada dokter muslim

Jika kita dihadapkan pada pilihan dokter muslim atau kafir, maka jelas kita
lebih memilih dokter muslim, karena seorang muslim dengan muslim lainnya
seperti satu bangunan yang utuh dan kokoh yang saling tolong menolong,
tetapi jika ada dokter kafir lebih berpengalaman, dan terpercaya (tidak
dikhawatirkan berkhiyanat) maka boleh bagi seorang muslim berobat
kepadanya sebagaimana bolehnya seorang muslim bermu’amalah (transaksi
jual beli dan lainnya) dengan orang kafir.

3. Bolehkah berobat kepada lawan jenis?


10

Hukum asal berobat adalah kepada ahlinya sesama jenisnya, dan tidak boleh
kepada lawan jenisnya, karena didalamnya akan terjadi saling melihat,
menyentuh dan sebagainya, dan ini di haramkan,  hanya saja dalam kondisi
darurat/ terpaksa, maka hal ini dibolehkan, Imam Bukhori membuat suatu bab
dalam shahihnya tentang seorang wanita mengobati laki- laki, lalu beliau
membawakan kisah Rubayyi’ bintu Mu’awwidh yang ikut berperang dan
bertugas merawat yang sakit (HR.Bukhori), berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar,’’
boleh mengobati lawan jenis dalam kondisi terpaksa, tetapi dibatasi
kebolehannya sebatas kebutuhan saja berupa menyentuh (atau melihat bagian-
bagian yang diperlukan saja) dan semisalnya.

4. Haram berobat dengan yang haram, kecuali dalam kondisi darurat

Allah berfirman:

‫ص َل لَ ُك ْم َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْم إِاَّل َما اضْ طُ ِررْ تُ ْم إِلَ ْي ِه‬


َّ َ‫َوقَ ْد ف‬
‘’Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu  kepadanya (kondisi
darurat).’’ (QS.Al-An’am [6]: 119)

Para ulama mengatakan tidak sah dikatakan kondisi darurat kecuali terpenuhi


3 perkara;
a. Jika dibiarkan, kondisinya semakin memburuk dan mengantarkan
kepada kebinasaan.
b. Harus diyakini atau diduga kuat barang yang haram ini menghilangkan
penyakitnya.
c. Tidak dijumpai obat lain setelah dicari kecuali hanya yang haram ini.

Jika terpenuhi 3 syarat diatas, maka diizinkan sesuatu yang haram


sebagaimana ayat diatas, dan sebagi bukti Nabi mengizinkan sahabat Zubair
dan Tolhah memakai kain sutra untuk menghilangkan sakit gatal saat
berperang (padahal sutra asalnya haram bagi laki- laki) (HR.Bukhori &
Muslim)
11

5. Tidak ada darurat untuk berobat dengan khamar

Adapun khomar, maka Nabi Saw telah menjelaskan khomar bukanlah obat


tetapi ia adalah penyakit, Thoriq bin Suwaid bertanya kepada
Nabi Saw tentang berobat dengan khomar, lalu Nabi Saw melarangnya, ia
bertanya lagi dan Nabi Saw melarangnya, lalu ia berkata;

‫سلَّ َم اَل َولَ ِكنَّ َها دَا ٌء‬ َ ‫يَا نَبِ َّي هَّللا ِ إِنَّ َها َد َوا ٌء قَا َل النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬

‘’Wahai Nabinya Alloh sesungguhnya (khomer itu) obat,’’ lalu Nabi


bersabda,’’(khomer) bukan obat, tetapi dia adalah penyakit.’’ (HR.Muslim).

Maka perkataan ‘’khomer menjadi boleh jika kondisi darurat ‘’ tidak dapat


dibenarkan, karena berobat dengan khomar tidak terpenuhi syarat darurat di
dalamnya, sebab;

a. Khomar tidak diyakini dengan pasti dapat mengobati penyakit


seseorang, bahkan Nabi menjelaskan khomer adalah penyakit.
b. Masih dijumpai obat-obatan yang halal selain khomar yang belum
digunakan, sehingga belum dikatakan darurat.

E. Macam-Macam Pengobatan Nabi

Sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Saw, beliau telah menunjukkan


kepada umatnya berbagai macam pengobatan dan cara-caranya, beliau tidak
berbicara dengan hawa nafsu tetapi Allah membimbingnya dengan wahyu-
Nya, ada beberapa pengobatan yang beliau lakukan dan anjurkan, yaitu:

1. Pengobatan dengan bahan- bahan yang bermanfaat, seperti habbatussauda’


(jinten hitam), kurma ‘ajwah, madu susu sapi, jamur/cendawan, dan
selainnya.
2. Pengobatan dengan cara bekam (hijamah), yaitu mengeluarkan darah kotor
dari bawah kulit dengan suatu alat penghisap, dan banyak hadits- hadits yang
menerangkan keutamaan bekam dibanding dengan pengobatan lainnya,
seperti  sabdanya :
12

‫إِنَّ أَ ْمثَ َل َما تَدَا َو ْيتُ ْم بِ ِه ا ْل ِح َجا َمة‬


“Sesungguhnya berobat yang bagus adalah bekam” (HR. Bukhori)

3. Pengobatan dengan ruqyah syar’iyah , yaitu dengan membaca ayat-ayat Al-


Qur’an, atau berdo’a  dengan doa yang diajarkan Nabi Saw, untuk mengharap
kesembuhan dari Allah semata, atau menjaga diri dari sakit fisik dan jiwa.
Sungguh Rosululloh Saw pernah diruqyah, meruqyah dirinya sendiri, dan
meruqyah orang lain, dan Rasulullah bersabda:

‫تَ َكى نَفَ َث َعلَى‬ttt‫اش‬ ْ ‫انَ إِ َذا‬ttt‫لَّ َم َك‬ttt‫س‬


َ ‫ ِه َو‬ttt‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ttt‫ص‬ ُ ‫ا أَنَّ َر‬ttt‫ َي هَّللا ُ َع ْن َه‬ttt‫ض‬
َ ِ ‫و َل هَّللا‬ttt‫س‬ ِ ‫ةَ َر‬ttt‫ش‬ َ ِ‫عن عَائ‬
ِ ‫ا ْل ُم َع ِّو َذا‬ttِ‫ب‬ ‫س ِه‬
‫ت‬ ِ ‫ث َعلَى نَ ْف‬ُ ِ‫شتَ َكى َو َج َعهُ الَّ ِذي تُ ُوفِّ َي فِي ِه طَفِ ْقتُ أَ ْنف‬ ْ ‫س َح َع ْنهُ ِبيَ ِد ِه فَلَ َّما ا‬
َ ‫ت َو َم‬ِ ‫س ِهبِا ْل ُم َع ِّو َذا‬
ِ ‫نَ ْف‬
َ ‫ث َوأَ ْم‬
‫س ُح ِبيَ ِد النَّبِ ِّي‬ ُ ِ‫الَّتِي َكانَ َي ْنف‬

‘‘bacaan  mu’awwidzat  pada dirinya sendiri dan beliau mengusapkannya 


dengan tangannya, dan tatkala sakit yang berakibat kematian, maka akulah
yang meniupkan bacaan ta’awudz pada dirinya sebagaimana dia dahulu
melakukan, dan aku mengusapkannya dengan tangannya.’’ (HR.Bukhori)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Para fuqoha’ (ahli fiqih)  bersepakat bahwa berobat hukum asalnya dibolehkan,


kemudian mereka berbeda pendapat (mengenai hukum berobat, ) menjadi
beberapa  pendapat yang masyhur: Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat
hukumnya wajib, dengan alasan adanya perintah Rosululloh Saw untuk berobat
dan asal hukum perintah adalah wajib, ini adalah salah satu pendapat madzhab
Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab Hanabilah.
Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab, sebab perintah Nabi Saw untuk
berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain
Rosululloh memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak, karena terdapat
keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi
boleh memilih, (ini adalah  madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab
Malikiyah).
Pendapat kelima mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar dengan
sakitnya, Imam Qurtubi rahimahullahmengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud,  Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in. Pendapat
ke enam mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan
lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian ini dari kalangan
madzhab Syafi’iyah

B. Saran

Kita semua sebagai makhluk Allah SWT harus bisa menjaga kesehatan agar tidak
mudah terserang penyakit, namun jika kita sudah ditakdirkan untuk sakit maka
terimalah dan berusahalah untuk bangkit dari kesakitan itu menuju sehat dan
ingatlah untuk tetap bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kita apa yang
kita rasakan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ali bin,sulaeman. 2015. Buku fiqih pengobatan islam. Jakarta : Thibbia

Hajj ahmad, yusuf al. 2016. Buku Panduan pengobatan islam. Jakarta :
Aqwan

Fuad al hulwani, thalat bin. 2016. Buku Pengobatan cara nabi. Jakarta :
Darul Haq

Anda mungkin juga menyukai