Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA DAN


ASAL USUL MUHAMMADIYAH

Dosen Pengampu : Musiman, S.Pd.I., M.M.

Disusun Oleh :
1. Anwan Sodik
2. Dwy Andrea Saputri
3. Made Putri Deshiany

Mata Kuliah : Al-Islam dan Kemuhammadiyahan

PROGRM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP MUHAMMADIYAH OKU TIMUR
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmad-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Dakwah Islam di
Nusantara dan Asal Usul Muhammadiyah.
Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu
Bapak Musiman, S.Pd.I., M.M., yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dalam penyusunan makalah ini, dan juga kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini dari awal hingga akhir.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada kita
semua. Penulis sangat berharap semoga pembaca dapat memberikan kritik dan
sarannya terhadap makalah ini agar kami dapat memperbaikinya pada makalah-
makalah berikutnya.

Belitang, Oktober 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Masuknya Islam di Nusantara.......................................................... 2
B. Proses Perkembangan Islam di Nusantara................................................. 5
C. Corak Islam di Nusantara.......................................................................... 9
D. Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di Nusantara........................... 12

BAB III PENUTUP


Kesimpulan....................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai teori muncul sebagai bentuk postulasi pemikiran tentang
sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Teori yang muncul akan merembes
pada konstruksi keislaman yang muncul terutama pada bentuk dan corak
Islam yang tersebar di Nusantara. Pada alurnya, teori tersebut perlu dilihat
secara kritis sebagai suatu jawaban terhadap corak Islam Nusantara yang
menyejarah di Nusantara. Di satu sisi, teori itu perlu juga direlevansikan
dengan latar berdirinya Muhammadiyah sebagai suatu gerakan keagamaan
yang menginginkan “pemurnian” terhadap Islam yang menyejarah tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk menakar dan memetakan bagian-bagian
Islam Nusantara yang yang telah menjadi bagian historis dari peradaban
nusantara.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Teori Masuknya Islam di Nusantara?
2. Bagaimana Proses Perkembangan Islam di Nusantara?
3. Jelaskan Corak Islam di Nusantara?
4. Bagaimana Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di Nusantara?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Teori Masuknya Islam di Nusantara.
2. Untuk mengetahui Proses Perkembangan Islam di Nusantara.
3. Untuk mengetahui Corak Islam di Nusantara.
4. Untuk mengetahui Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di Nusantara.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Masuknya Islam di Nusantara


Beberapa teori menjelaskan bahwa agama Islam telah masuk ke
Indonesia pada abad ke 7 M/1 H, tetapi baru tersebar luas pada abad ke 13 M.
Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, yakni
Perlak (1293) dan Samudra Pasai di Aceh (1297). Selanjutnya, berkembanglah
pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatra Utara lalu menyebar ke
pulau Jawa dank e Indonesia bagian Timur.
Ada kalangan yang menyatakan bahwa memang banar Islam sudah
datang ke Indonesia sejak abad ke 1 H atau abad ke 7 atau ke 8 M, tetapi baru
dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah
Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad
ke 13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus
balik kehancuran Bagdad ibukota Abbasiyah,oleh Hulagu. Kehancuran
Bagdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktifitas perdagangan
ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.
Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting
dalam sejarah Indonesia. Pedagang Muslim sudah ada di sebagian wilayah
Indonesia selama beberapa abad sebelaum Islam menjadi agama yang mapan
di masyarakat-masyarakat local. Kapan, mengapa, dan bagaimana konversi
penduduk Indonesia ini mulai terjadi telah diperdebatkan oleh beberapa
ilmuwan, tetapi kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-
sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka dan sering sangat tidak
normatif (Ricklefs, 2009: 3).
Seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia pernah diadakan di
Aceh pada tanggal 17 – 20 Maret 1964 dan berkesimpulan bahwa menurut
sumber-sumber yang ada, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke
Indonesia padaabad ke 1 H atau abad ke 7/8 M dan langsung dari Arab. Ada

2
beberapa teori yang mencoba untuk memberikan kepastian asal-usulkedatanan
Islam di Indonesia antara lain :
1. Teori India
Teori ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Gujarat
dan Malabar. Pendapat ini dipelopori oleh Pjnapel, yang menelusuri Islam
Indonesia melalui pengikut mazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar.
Apalagi kawasan ini sering disebut dalam sejarah purbakala Indonesia.
Pendapat ini diikuti oleh ilmuan W.F. Stutterheim, J.C. Van Leur, bahkan
pendapat ini di dukung oleh Moquette dari Belanda, Kern, Winsteds,
Bousquet, Vlakke, Gonda, Schrieke, Hall, Bernard H.M. Vlekke, T.W.
Arnold, Cliford Geertz dan Harry J. Benda.
2. Teori Arab/Makkah
Teori ini menjelaskan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia
datang langsung dari Mekkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pada
awal abad ke 7 M, pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur
Rasyidin memerintah, islam sudah memulai ekpedisinya ke Nusantara.
Teori Makkah berpendapat bahwa slam masuk ke Indonesia pada abad ke
7 M dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Adapun teori yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Arab,
pertamakali dilontarkan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859) kemudian
diikuti oleh Niemann (1861), de Hollander (1981), dan Veth (188).
Crawfurd menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Mesir, dengan
alas an bahwa Mesir menganut Mazhab Syafi’i. Hollader berpendapat
Islam Indonesia berasal dari Hadramut juga dengan alas an negeri ini
menganut mazhab Syafi’I; sedangkan Veth hanya menyebutkan bahwa
Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab, tanpa menyebutkan tempat
asal. Di Indonesia pendapat ini dipopulerkan oleh Hamka. Teori yang
dikembangkan Hamka ini mendapat perhatian dan pembenaran dalam
seminar-semiar yang membahas sejarah masuknya Islam di Indonesia, baik
nasional maupun local (Yatim, 1998: 20).

3
3. Teori Persia
Teori ini dikemukakan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini
menjelaskan bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara+ berasal dari
Persia, singgah kr Gujarat, sedangkan waktunya sekitar abad ke 13 M.
Pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah. Teori ini
menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan
Persia.
Persamaan tersebut diantaranya adalah : a) Peringatan 10 Muharam
atau asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas syahidnya Husein.
Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan
Muharam disebut bulan Hasan-Husen. Di Sumatra Tengah sebelah Barat
disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein
untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut Tabut diambil dari
bahasa Arab. b) adnya kesamaan ajaran antara Syeikh Siti Jenar dengan
ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H atau
922 M, tetapi ajrannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehinggam
memungkinkan Syeihk Siti Jenar yang hidup pada abad ke 16 dapat
mempelajarinya. c) Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistim mengeja
huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat di nisan makam Malik Saleh
(1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat.
Namun teori ini dikritik oleh Saifuddin Zuhri. Ia menyatakan sulit
untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara berasal
dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke
Nusantara pada abad ke 7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan
khalifah Umayyah. Saat itu kepemimpinan Islam dibidang politik, ekonomi
dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat
pergerakan Islam berkisar di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Bagdad,
jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Zuhri,
1979: 188).

4
4. Teori China
Islam di China banyak mendapat pengruh dari Persia yang
kemudian dikenal dengan bangsa Hui. Seiring dengan perkembangan
perdagangan dan alur jalur sutra, sangat memungkinkan terjadi interaksi
antara pedagang China Muslim dengan pedagang Nusantara, seorang
musafir China yang bernama Ichang pada tahun 671 telah melakukan
perjalanan dari Canton menuju ke Sumatra dengan menumpang kapal Iran.
Dalam catatan perjalanan Ma Huan yang melakukan perjalanan
pada tahun 1413-1415 yang dituangkan dalam bukunya “Ying yai Sheng
lan” disebutkan bahwa terdapat tiga macam penduduk di Jawa, yaitu orang
Muslim dari Barat, orang China yang diantarnya beragama Islam dan orang
Jawa yang menyembah berhala. Beberapa pendukung teori ini diataranya
adalah H.J. De Graaf, Slamet Mulyana dan Denys Lombard. Pendapat ini
mengatakan bahwa agama Islam dibawah dari China oleh pedagang
muslim China yang bermazhab Sunni Syafi’I yaitu mazhab yang umum
dianut oleh bangsa-bangsa Muslim sepanjang jalur sutra. Argumen lain
yang mengatakan bahwa Islam dating dari China adalah ketika terjadi
ekspedisi Mongol untuk menghukum raja Kartanegara.
Dari uraian tentang teori-teori kedatangan Islam ke Nusantara
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan
damai pada abad ke 7 M dan mengalami perkembangannya pada abad ke
13 M. Pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab,
bangsa Persia dan Gujarat (India).

B. Proses Perkembangan Islam di Nusantara


Agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara secara damai. Ada
beberapa sumber sejarah mengenai masuknya Islam ke Nusantara.
Abad ke-7 yang diberitakan dinasti Tang bahwa di Sriwijaya sudah ada
perkampungan muslim yang mengadakan hubungan dagang dengan Cina.

5
Abad ke-11 adanya makam Fatimah binti Maimun yang berangka
tahun 1028 di Leran, Gresik, Jawa Timur.
Abad ke-13 tepatnya tahun 1292 Marcopolo mengunjungi Kerajaan
Samudra Pasai.
Berdasarkan berita dari Marcopolo pada tahun 1292 dan cerita dari
Ibnu Batutah yang mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-14,
maka diperkirakan agama Islam sudah masuk di Indonesia sejak abad ke-13.
Di samping itu, batu nisan kubur Malik al Saleh yang meninggal tahun 1297
juga memperkuat bukti-bukti bahwa pada saat itu telah terdapat kerajaan Islam
di Indonesia.
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula Islam masuk ke
Nusantara.
Islam berasal dari Arab. Hal ini sesuai berita dari dinasti Tang, pedagang Arab
yang singgah di Sriwijaya untuk mengisi bahan bakar kemudian ke Cina.
Islam berasal dari Persia. Hal ini karena di Indonesia ada aliran tasawuf seperti
di Persia (Iran).
Islam berasal dari India (Gujarat) dengan alasan unsur Islam di Indonesia
menunjukkan kesamaan yang ada di India dan bentuk nisan Malik al Saleh
menyerupai bentuk batu nisan di India. Selain itu, ada tokoh yang beralasan
dari Gujarat. Kelompok ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje dan diikuti oleh
J.P. Moquute, R.A. Kern. Pendapat ini didasarkan pada:
1. Akibat kemunduran dinasti Abbasiah Bagdad oleh Hulagu pada tahun
1258,
2. Berita Marcopolo tahun 1292,
3. Berita Ibnu Batutah pada abad ke-14,
4. Nisan kubur Sultan Malik as Saleh yang berangka tahun awal Majapahit
1297,
5. Kedatangan Islam hingga terbentuknya masyarakat muslim di Indonesia
sejak abad ke-13 berdasarkan pada ajaran tasawuf yang berasal dari Persia.

Islam menyebar di Indonesia melalui cara-cara berikut:

6
1. Melalui perdagangan
Pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan
India telah ikut ambil bagian dalam jalan lalu lintas perdagangan yang
menghubungkan Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara, pada abad
ke-7 sampai abad ke-16. Para pedagang muslim yang akhirnya juga
singgah di Indonesia ini, ternyata tidak hanya semata-mata melakukan
kegiatan dagang.
Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan
Islam masuk ke wilayah Indonesia. Pada abad kesembilan, orang-orang
Islam mulai bergerak mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka),
Aceh, dan Palembang. Pada akhir abad ke-12, kekuasaan politik dan
ekonomi Kerajaan Sriwijaya mulai merosot karena didesak oleh kekuasaan
Kertanegara dari Singasari. Seiring dengan kemunduran Sriwijaya, para
pedagang Islam beserta para mubalignya semakin giat melakukan peran
politik dalam mendukung daerah pantai yang ingin melepaskan diri dari
kekuasaan Sriwijaya. Menjelang berakhirnya kerajaan Hindu-Buddha abad
ke-13 berdiri kerajaan kecil yang bercorak Islam, yaitu Samudra Pasai
yang terletak di pesisir timur laut wilayah Aceh. Kemudian pada awal
abad ke-15 telah berdiri Kerajaan Malaka. Sejak saat itu, Aceh dan Malaka
berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai dan
banyak dikunjungi oleh para pedagang Islam dan penduduk dari berbagai
daerah terjadi interaksi yang akhirnya banyak yang masuk Islam. Setelah
pulang ke daerah asal, mereka menyebarkan agama Islam ke daerahnya.
Agama dan kebudayaan Islam dari Malaka menyebar ke wilayah Sumatra
Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dalam suasana
demikian, banyak raja daerah dan adipati pesisir yang masuk Islam.
Contohnya, Demak (abad ke-15), Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-
16), dan Banjar (abad ke-16).
2. Melalui perkawinan
Para pedagang muslim yang datang di Indonesia, ada sebagian di
antara mereka yang kemudian menetap di kota-kota pelabuhan dan

7
membentuk perkampungan yang disebut Pekojan. Perkawinan antara putri
bangsawan dan pedagang muslim akhirnya berlangsung. Perkawinan ini
dilakukan secara Islam, yaitu dengan mengucapkan (menirukan) dua
kalimat syahadat. Upacara perkawinan berjalan dengan mudah karena
tanpa pentasbihan atau upacara-upacara yang panjang, lebar, dan
mendalam.
Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, diceritakan perkawinan antara
Maulana Iskhak dan putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan
Sunan Giri, sedangkan dalam Babad Cirebon diceritakan perkawinan putri
Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati.
3. Melalui tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan
mistik dan hal-hal yang bersifat magis. Ahli-ahli tasawuf yang
memberikan ajaran yang mengandung persamaan alam pikiran seperti
pada mistik Indonesia–Hindu, antara lain, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar
Raniri, dan Syeikh Siti Jenar.
4. Melalui pendidikan
Pendidikan dalam Islam dilakukan dalam pondok-pondok
pesantren yang dise- lenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, atau
ulama-ulama. Pesantren ini merupakan lembaga yang penting dalam
penyebaran agama Islam karena merupakan tempat pembinaan calon guru-
guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Setelah menamatkan
pelajarannya di pesantren, murid-murid (para santri) akan kembali ke
kampung halamannya.
5. Melalui seni budaya
Dalam menyebarkan agama Islam, sebagian wali menggunakan
media seni budaya yang sudah ada dan disenangi masyarakat. Pada
perayaan hari keagamaan seperti Maulid Nabi, misalnya, seni tari dan
peralatan musik tradisional (gamelan) dipakai untuk meramaikan suasana.
Sunan Kalijaga yang sangat mahir memainkan wayang memanfaatkan
kesenian ini sebagai sarana untuk menyampaikan agama Islam kepada

8
masyarakat, yaitu memasukkan unsur-unsur Islam dalam cerita dan
pertunjukannya. Senjata Puntadewa yang bernama Jimat Kalimasada,
misalnya, dihubungkan dengan dua kalimat syahadat yang berisi
pengakuan terhadap Allah dan Nabi Muhammad. Masyarakat yang
menyaksikan pertunjukan Sunan Kalijaga akhirnya mengenal agama Islam
dan tertarik ingin menjadikan Islam sebagai agamanya.
6. Melalui dakwah
Penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, sangat berkaitan
dengan pengaruh para wali yang kita kenal dengan sebutan wali sanga.
Mereka inilah yang berperan paling besar dalam penyebaran agama Islam
melalui metode dakwah.

C. Corak Islam di Nusantara


1. Masa Kesulthanan
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan
Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera
dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam mempengaruhi
kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di
daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam
bentuk yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan
Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan
fasilitas dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada
kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara
konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan
adanya mufti dan qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli
dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini, telah berhasil
pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada
hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan
Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu

9
berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa.
Tercatat dalam sejarah Banjar, di berlakukannya hukum bunuh bagi orang
murtad, hukum potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang
kedapatan berbuat zina. Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau
jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu
dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan
Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi
dan penguasa kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa
memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke daerah
kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan akan
melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang
berada di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan
Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di
bawah kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan
Cirebon, Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan
seluruh tata laksana kerajaan dengan istilah-istilah keislaman, meskipun
kadang-kadang tidak sesuai dengan arti sebenarnya.
2. Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi sosial yang relatif damai itu,
datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di
susul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-
kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk
menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-
rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut
dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Apalagi setelah kedatangan
Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan
Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh.

10
Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di
Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga
kategori, yaitu:
a. Bidang agama murni atau ibadah
b. Bidang sosial kemasyarakatan; dan
c. Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan
kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang
berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi
keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum
Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan alat
kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang
Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang
menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
3. Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari “resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu,
menjelang permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya
semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia
Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan dengan
kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi. Namun, ajaran Islam
pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja.
Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan
taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun
organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di
Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa
Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi,
dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan
Islam di Mesir.

11
Akibat dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik
baru dan muncullah pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena
persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni
hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat di terima
dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja)
ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya
hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi
Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan
pembaruan Islam dari Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat
dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga
sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para cendekiawan
Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama tradisional.
Selama pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada
kaum muslimin dari pada golongan nasionalis karena mereka berusaha
menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perantara
politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang
menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor
Urusan Pribumi zaman Belanda.
b. Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia
menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
c. Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam organisasi
militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul
Arifin

D. Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di Nusantara


Bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara ada akhir abad ke 16 M
(1595-1600) untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan
rempah-rempah yang mahal harganya di Eropah. Pada masa ini beberapa
Perseroan perdangangan bergabung dan disyahkan oleh Staten General

12
Republik dengan satu piagam yang member hak khusus pada Perseroan
gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di
kawasan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) (Yatim, 2005: 234). Sampai dengan abad ke 18 M,
Perseroan ini mengorganisasi pedagang-pedagang Belanda dalam melakukan
perdagangan dengan masyarakat Pribumi. Pada awal ini, mereka hanya
bergerak di sector ekonomi atau belum memasuki wlayah politik.
Pada akhir abad ke 18 M (1799), VOC bubar. Kekuasaan diambil alih
oleh pemerintan Belanda, sehingga pada awal abad ke 19 M, pemerintah
Hindia Belanda mulai mengambil langkah-langkah kebijakan baru. Dalam
masa penjajahan, pemerintah Belanda menekan dan menindas Islam. Semua
aspek kegiatan dan gerakan Islam selalu dicurigai. Akibatnya, terjadi
percepatan kemunculan Islam sebagai pemersatu umat dalam melawan
Belanda, sehingga lahirlah politik etis pada pemerintah Belanda dalam
menghadapi Islam.
Mendekatai masa-masa akhir pendudukannya di Hindia Belanda,
peerintah Kolonialis mulai memberikan porsi pada organisasi-organisasi
politik dan non politik untuk ikut menentukan kebijakan yang akan dijalankan
oleh pemerintah Hindia Belanda, hal ini dinyatakan oleh Ricklefs (2007)
sebagai berikut :
“Langkah paling nyata kearah desentralisasi dan peningkatan peran serta
orang-orang Indonesia dalam pemerintahan adalah pembentukan Volksraad
((Dewan Rakyat), yang menyelenggarakan sidangnya yang pertama pada
tahun 1918. /asal usul lembaga ini berkaitan erat dengan aksi Indie Weerbaar
(Pertahanan Hindia). Volksraad didirikan sebagai lembaga dengan satu majelis
yang hanya mempunyai wewenang menasehati, tetapi kalau menyangkut
masalah keuangan dikonsultasikan dengan Gubernur Jenderal”
Dalam perkembangan selanjutnya, dewan ini menjadi media bagi
tokoh-tokoh nasionalis untuk menyalurkan aspirasi masyarakat pribumi
kepada Pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi pembentukan dewan ini tidak

13
secara sungguh-sungguh diupayakan pemerintah. Hal ini dinyatakan oleh
Ricklefs (2007: 245) bahwa :
“Pada masa awal Volksraad merupakan sumber banyak kecaman dan desakan
terhadap pemerintah Kolonial. Suatu Staatsinrichtting (konstitusi) baru untuk
Indonesia yang diberlakukan pada tahun 1925 telah menurunkan fungsi
Dewan Hindia menjadi Badan Penasehat dan memberi Volksraad wewenang-
wewenang legislative yang terbatas”.
Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
masyarakat Pribumi untuk duduk dalam Volksraad, memdorong beberapa
orang tokoh politik Indonesia untuk terlibat di dalam dan menyalurkan
aspirasi masyarakat Pribumi melalui dewan ini. Akan tetapi, fungsi dan
wewenang dewan ini sangat terbatas, sehingga dalam kenataannya usulan
anggota dewan yang menyangkut kesejahteraan atau kepentingan masyarakat
Peribumi lebih sering tidak dipenuhi.
Pada abad ke 19 M sampai awal abad ke 20 M, pemerintah Hindia
Belanda tidak memberi kesempatan yang luas pada penduduk Pribumi untuk
mengenyam pendidikan secara layak. Lembaga pendidikan milik pemerintah
hanya menerima anak-anak pribumi dari kalangan aristokrat dan birokrat, hal
ini terlihat dalam peraturan pemerintah Hindia Belanda tahun 1818, yaitu:
“Memperbolehkan orang Jawa memasuki pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah Kolonial. Namun dlam kenyataannya, hanya sedikit saja orang
Jawa yang dapat memasuki sekolah-sekolah tersebut, sebab banyak
persyaratan yang pada hakekatnya justru dipasang untuk membatasi
kesempatan belajar mereka. Selain itu, dana pendidikan hanya diberikan
kepada para anak kepala negeri dan orang-orang terkemuka untuk melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, sesungguhnya pendidikan
barat dalam tingkat tertentu dimaksudkan untuk kepentingan kolonialisme
(Arifin, 1990: 62).
Kebijakan tersebut hanya diberikan pada kalangan bangsawan, yang
dimaksudkan untuk mencetak tenaga kerja bagi kepentingan pemerntah
Hindia Belanda. Sementara itu, masayarakat pribumi pada umumnya, sangat

14
jarang yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah milik pemerintah itu.
Kebijakan tersebut mengakibatkan keterbelakangan di kalangan penduduk
probumi, hal ini sengaja dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam
rangka mempertahankan keberadaan mereka, yaitu dengan cara menjalin
hubungan dengan kalangan aristocrat melalui pendidikan.
Keberpihakan pemerintah Hindia Belanda pada lembaga-lembaga
pendidikan non Islam terlihat pada pemberian subsidi yang tidak merata
kepada lembaga pendidikan yang dikelola pribumi Muslim, seperti sekolah,
posantren atau madrasah yang tidak mendapat perhatian secara adil, jika
dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Kristen yang mendapat
bantuan dana atau subsidi cukup dari pemerintah.
Selain itu, pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan yang
disebut Guru Ordonnantie, suatu peraturan Kolonial Belanda untuk mengatur
sekolah partikelir (swasta), yaitu :
“Sekolah yang tidak didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ordonansi
tersebut member kuasa kepada pemerintah Kolonial untuk mengurus wujud,
isi, kurikulum, guru dari sekolah partikelir. Dengan ordonansi itu, pemerintah
bermaksud melemahkan dan mematikan sekolah-sekolah partikelir, seperti
Taman Siswa, Muhammadiyah, Institut Ksatria, Perguruan Rakyat, dan lain-
lain karena di sekolah itu cita-cita, ide-ide dan semangat kemerdekaan
Indonesia ditanamkan pada zaman pergerakan nasional (Sukanto, 1997: 298).
Ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda terlihat juga dalam
pemberian subsidi pada rumah ibadah. Mesjid-mesjid hanya menerima subsidi
yang sangat kecil disbanding dengan subsidi yang mereka berikan kepada
gereja. Pada awal abad ke 20 M, keberpihakan pemerintah Hindia Belanda
pada Kristenisasi didorong oleh desakan partai-partai Kristen yang menuntut
penerapan prinsip-prinsip Kristen di dalam pemerintahan (Ricklefs, 2007:
103). Mereka menuntut agar pemerintah Hindia Belanda terbukan untuk
kegiatan misi keagamaan dan menuntut dukungan pemerintah colonial pada
kegiatan tersebut (Arifin, 1990: 44).

15
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak adil terhadap
penduduk Pribumi, terutama terhadap kalangan Islam mendorong munculnya
kesadaran tokoh-tokoh Islam untuk memperjuangkan nasib masyarakat Islam.
Sehubungan dengan ini , Dalier Noer (1996: 37) mengatakan :
“Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang Islam Indonesia menyadari
bahwa mereka tidak akan mungkin berkopetisi dengan kekuatan-kekuatan
yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, panetrasi Kristen dan
perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain Asia apabila mereka terus
melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tadisional dalam menegakkan Islan.
Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah ini dengan
menggali mutiara-mutiara Islam di masa lalu yang telah memberikan
kesanggupan kepada kawan-kawan mereka se agama di abad tengah untuk
mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah
pengaruh atau dengan mempergunakan metode-metode baru yang telah
dibawa ke Indonesia oleh kekuasaan Kolonial serta pihak misi Kristen”.

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ada bebepa teori masuknya Islam di Nusantara yaitu teori India, teori
Arab/Mekkah, teori Persia, dan teori China.
2. Proses Perkembangan Islam di Nusantara melalui perdagangan, perkawinan,
pendidikan, seni budaya dan melalui dakwah.

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Syafrizal. Sejarah Islam Nusantara. Jurnal Islamuna. Volume 2 No. (2


Desember 2015).

Ghazali, Abdul Moqsith. Dakwah Islam Nusantara. Jakarta: LP. Ma’arif PBNU,
2016.

https://subair3.wordpress.com/2020/10/07/dakwah-islam-di-nusantara-dan-asal-
usul-muhammadiyah/ diakses pada tanggal 12 Oktober 2023

http://wahdaniaekosa17.blogspot.com/2018/11/tugas-kemuhammadiyaan-iii-
dakwah-islam.html diakses pada tanggal 12 Oktober 2023

Junaidi dkk, HZ. Arifin. Islam Nusantara: Meluruskan Kesalahpahaman. Jakarta:


LP. Ma’arif NU Pusat, 2015.

Mujamil Qomar. “Islam Nusantara: Sebuah alternatif Model Pemikiran


Pemahaman, dan Pengamalan Islam”. El Harakah. Vol. 17 No. 2 tahun
2015. H.213

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2012.

18

Anda mungkin juga menyukai