Anda di halaman 1dari 29

~1~

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tindakan mengambil pisau kemudian digunakan untuk diiriskan


pada tubuh sendiri kemudian memperhatikan darah yang mengalir
dari luka tersebut mungkin merupakan tindakan yang tidak terbayang
dapat dilakukan oleh seseorang. Namun dalam kenyataannya
beberapa orang melakukannya. Tindakan ini dikenal sebagai self
injury. Self injury atau self harm (menyakiti/melukai diri sendiri)
merupakan tindakan yang menimbulkan luka-luka pada tubuh diri
sendiri secara sengaja. Tindakan ini dilakukan tidak dengan tujuan
bunuh diri tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi
yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Oleh
karena itu maka self injury dibedakan dari bunuh diri walau keduanya
sama-sama menyebabkan luka fisik pada tubuh. Self injury merupakan
hal yang tabu baik di budaya timur maupun barat.
Self injury merupakan kelainan psikologis yang jarang dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari bukan karena jumlah kasus ini sedikit
namun karena kasus-kasus yang ada merupakan suatu "fenomena
gunung es". Saat ini terdapat kecenderungan semakin meningkatnya
jumlah remaja dan dewasa muda yang melakukan self injury sehingga
topik ini harus dipahami dengan lebih baik. Seringkali kasus self injury
menimbulkan kesulitan baik untuk pelaku sendiri maupun terhadap
psikiater yang bertugas menjadi terapisnya. Jika tidak ditangani secara
tepat maka self injury dapat berubah menjadi usaha bunuh diri yang
nyata.
Saat ini, perilaku menyakiti diri sendiri ini sudah mulai dikenal
secara umum. Sebagai contoh pada tahun 2003, New York Times
memuat resensi film "In My Skin" yang menceritakan mengenai
seorang wanita pekerja yang terlibat dalam perilaku self injury. Self
injury diperkenalkan pada kebudayaan kita melalui media yang
populer seperti surat kabar atau internet dan konsep mengenai self
injury ini sudah lebih dapat diterima secara umum. Oleh sebab itu
adalah penting untuk mengerti konsep perilaku ini berserta
tatalaksananya. Penelitian terdahulu menunjukan bahwa pemahaman
mengenai perilaku self injury di bidang kesehatan masih minim di
mana hal ini dapat menyebabkan penatalaksanaan yang tidak tepat
terhadap pelaku.
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)
dan PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa)
menyebutkan bahwa self injury merupakan salah satu gejala yang
~2~

dapat ditemui pada gangguan kepribadian tipe ambang dan kadang-


kadang juga dikaitkan dengan beberapa gangguan jiwa lainnya
(misalnya : gangguan depresi, manik, bipolar, dan cemas). Self injury
berkaitan dengan riwayat trauma dan kekerasan di masa lalu,
gangguan makan, atau biasanya dapat ditemui pada seseorang
dengan ciri kepribadian tertentu seperti memiliki kepercayaan diri
yang rendah atau memiliki perfeksionisme yang tinggi. Terdapat
korelasi statistik yang positif antara self injury dan riwayat kekerasan
emosional.
Mengiris/menggores dan membakar kulit adalah bentuk-bentuk
self injury yang paling umum (Walsh, 2006). Biasanya mereka
menggunakan silet, pisau, pecahan kaca, atau alat-alat tajam lainnya-
bahkan tutup botol atau kartu kredit. Keluarga pelaku atau orang-
orang di sekitar mereka yang mencoba menghalangi dengan
menyingkirkan benda-benda tajam sering kali terkejut karena mereka
sangat kreatif dan dapat mengubah benda apapun menjadi senjata
dalam sekejap.Tangan dan kaki adalah sasaran utama, begitu juga
dada, perut, paha dan alat kelamin. Kadang-kadang mereka
menorehkan kata-kata di kulit mereka-misalnya gendut dan jelek-
untuk memproyeksikan perasaan mereka akan diri mereka sendiri.
Banyak dari pelaku self injury memiliki pola rutin yang mereka
rencanakan dan lakukan secara teratur. Banyak juga yang melakukan
tindakan-tindakan ini secara acak, saat mereka memiliki perasaan-
perasaan sulit. Mereka menyembunyikan silet di laci, tas, lemari
mereka agar selalu tersedia bila dorongan untuk menyakiti dirinya
timbul, jika mereka tidak memiliki barang-barang yang dapat dijadikan
senjata mereka biasanya kemudian memukul tembok atau
membenturkan kepala ke lantai (Fiona, 2005).
Para pelaku self injury memiliki berbagai pandangan tentang
perilaku mereka. Kebanyakan setuju bahwa perilaku itu merusak,
tetapi mereka merasa tidak bisa berhenti karena rasa nyaman yang
diperolehnya. Beberapa dari mereka merasa bangga akan "prestasi"
dan nilai seni yang mereka yakini terpancar dari luka-luka mereka.
Sedangkan di lain pihak beberapa dari mereka merasa sangat malu
akan bekas-bekas luka mereka dan berharap mereka dapat
menghilangkan bekas-bekas yang ada pada tubuh mereka (Conterio,
1998).
Sebagian besar pelaku self injury mengatakan bahwa self injury
terjadi begitu saja, namun hal tersebut juga dapat berkembang
melalui proses observasi dengan memperhatikan dan mencontoh apa
yang dilakukan orang lain (Alderman, 1997). Mereka yang terlibat self
injury memiliki alasan yang kompleks dan kadang kala sulit dimengerti
sebagian orang, sehingga para pelaku self injury dapat terlihat sebagai
~3~

orang yang aneh atau gila (dalam Luke Ng, 1998). Meskipun tidak
seluruhnya, kebanyakan pelaku self injury mengalami penyiksaan di
masa lalunya, baik secara fisik, emosional, maupun seksual, sehingga
mereka pada umumnya kurang mampu mengendalikan emosi dan
cenderung menghadapi banyak masalah di kemudian hari (Centerio,
1998).
Hal yang harus dikhawatirkan adalah bahwa banyak remaja yang
saat ini melakukan self injury akibat menganggapnya sebagai suatu
perilaku yang luar biasa dan unik, dan perilaku ini menyebar di
kalangan remaja seperti gangguan pola makan. Penelitian saat ini
belum bisa menunjukan bahwa efek penyebaran secara sosial ini
benar adanya namun Yates (2004) menyatakan bahwa terdapat bukti-
bukti yang menunjukan bahwa seseorang melakukan self injury karena
mempelajarinya dari orang lain. Meskipun bukti-bukti yang pasti saat
ini menunjukan bahwa kebanyakan pelaku menemukan pola perilaku
ini secara tidak sengaja. Sebagai contoh, Conterio dan Favazza (1989)
menemukan bahwa 91% pelaku melakukannya setelah
mengetahuinya dari orang lain atau membacanya di salah satu media
sebelum memutuskan untuk terlibat dalam perilaku ini.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana memberikan asuhan keperawatan
gawat darurat psikiatri pada pelaku self injury (melukai diri sendiri).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari perilaku self injury
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku self injury
c. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perilaku self injury
d. Untuk mengetahui mekanisme patofisiologi perilaku self injury
pada diri seseorang
e. Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari perilaku self
injury
~4~

BAB II
PEMBAHASAN

Self Injury (Mencederai/Melukai Diri Sendiri)

1. Pengertian Self-Injury
Menurut Conterio (1998) self injury adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja karena adanya dorongan hati untuk melukai
tubuh/anggota tubuh namun tidak dengan usaha bunuh diri melainkan
sebagai cara untuk mengontrol emosi yang tidak dapat diekspresikan
dengan kata-kata.
Gardner (dalam Czarnopys 2002) mengemukakan bahwa self
injury adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dengan sengaja
untuk mengubah suasana perasaannya dengan cara melukai dirinya
sendiri yang mengakibatkan tubuhnya rusak tanpa bermaksud bunuh
diri.
Self injury menurut Keenan & Finger (2005) adalah suatu
mekanisme coping yang maladaptif yang sengaja dilakukan untuk
mengontrol atau mengekspresikan perasaan, memberi efek kebas (mati
rasa) dan membebaskan diri dari rasa sakit yang disebabkan karena
kekerasan emosional.
Favozza (1996) mendefinisikan bahwa self injury adalah suatu
tindakan merusak jaringan tubuh yang dilakukan dengan sengaja dan
berulang tanpa bermaksud bunuh diri.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan
sementara bahwa self injury adalah suatu tindakan atau mekanisme
coping yang maladaptif yang dilakukan dengan sengaja karena adanya
dorongan hati untuk melukai dirinya sendiri, sebagai cara untuk
~5~

mengontrol emosi, merubah suasana perasaan, mengekspresikan


perasaan dan membebaskan diri dari rasa sakit tanpa bermaksud
bunuh diri.

2. Tipe-Tipe Self Injury

a. Major self-mutilation didefinisikan sebagai melakukan tindakan


yang secara signifikan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki seperti semula pada organ-organ besar tubuh misalnya
saja memotong tungkai atau mencungkil mata (Strong, 1998). Jenis
self injury ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang menderita
psikosis.
b. Streotypic self injury merupakan bentuk self injury yang lebih
ringan namun sifatnya lebih berulang (Strong, 1998). Self injury tipe
ini biasanya meliputi perilaku berulang seperti membenturkan
kepala pada lantai. Individu yang melakukannya biasanya memiliki
kelainan saraf seperti autisme atau sindroma Tourette.
c. Moderate/superficial self-mutilation yang dikatakan oleh Strong
(1998) merupakan tipe self injury yang paling banyak dilakukan.
Moderate/superficial self mutilation sendiri masih memiliki tiga buah
subtipe yaitu episodik, repetitif, dan kompulsif. Tipe kompulsif
secara mendasar memiliki kesamaan dengan gangguan psikologis
seperti gangguan obsesif-kompulsif. Tipe ini biasanya lebih kurang
disadari oleh pelakunya dan biasanya bukan dilakukan untuk
mencapai pelepasan namun lebih sebagai kompulsi. Sedangkan self
injury yang bersifat repetitif dan episodik bervariasi pada banyak
cara. Keduanya terjadi pada episode di mana self injury
bermanifestasi pada waktu-waktu yang spesifik. Sedangkan pada
pelaku self injury tipe moderate/superficial self mutilation yang
bersifat repetitif, self injury sudah dianggap sebagai bagian yang
krusial dari kepribadian mereka dan mereka menunjukan dirinya
dengan melakukan self injury.

3. Bentuk Perilaku Self Injury

Self injury dapat berupa mengiris, menggores kulit atau membakarnya,


atau memarkan tubuh lewat kecelekaan yang sudah direncanakan
sebelumnya. Dapat juga berupa menggaruk-garuk kulit sampai
berdarah, atau mengutak-atik luka yang sudah sembuh. Dalam kasus-
kasus yang lebih ekstrim mereka bahkan mematahkan tulang-tulang
mereka sendiri, memakan barang-barang berbahaya, mengamputasi
tubuh mereka sendiri, atau menyuntikan racun ke dalam tubuh (Eliana,
2008)

Cara yang paling sering digunakan adalah sebagai berikut (Walsh,


2006) :
a. Mengiris atau menggores kulit
~6~

b. Mengutak-atik luka yang sudah sembuh


c. Memukul diri sendiri
d. Memabakar atau menyudut diri sendiri dengan benda yang panas
e. Membenturkan kepala
f. Lain-lain (misalnya, makan benda tajam atau beracun, menguliti
wajah, menjambak rambut)

4. Etiologi

Penyebab dan Faktor Resiko yang Mempengaruhi Perilaku


Self Injury

a. Penyebab

Banyak orang yang mengira bahwa self-injury dilakukan untuk


mencari perhatian. Namun, dalam kenyataannya, banyak pelaku
yang menyadari keberadaan luka pada tubuh mereka dan berusaha
menyembunyikannya dengan memakai baju lengan panjang. Jika
orang lain menanyakan bagaimana mereka memperoleh luka
tersebut, mereka akan menjawab dengan cara lain misalnya jatuh
atau mengalami kecelakaan.
Self-injury dipercaya untuk meregulasi emosi dengan
merasakan rasa sakit. Lebih mudah untuk menghadapi rasa sakit
fisik daripada rasa sakit emosional. Untuk beberapa orang, cara
satu-satunya untuk melepaskan tekanan adalah dengan self-injury.
Perilaku ini cenderung muncul setelah mengalami pengalaman yang
menyedihkan dan muncul saat seseorang tidak mengetahui cara
untuk mengekspresikan perasaan dengan cara yang lebih sehat.
Mereka berpikir jika mereka merasakan rasa sakit secara eksternal
dimana lukanya terlihat maka mungkin akan ada kemungkinan
untuk sembuh. Mereka juga percaya bahwa luka akan membuktikan
bahwa rasa sakit emosional mereka nyata.
Menurut Patti Adler, seorang professor sosiologi di University
Colorado, melihat perihal menyakiti diri sendiri sebagai semacam
pertolongan diri, daripada ekspresi yang mendekati bunuh diri.
Melukai diri, menurutnya, cenderung mengarah pada mengurangi
ketegangan, euforia, perasaan seksual yang meningkat, kemarahan,
kepuasan keinginan menghukum diri sendiri, keamanan, keunikan,
manipulasi orang lain, dan membantu dari perasaan depresi,
kesepian, kehilangan, dan keterasingan. Oleh karena itu, self injury
dibedakan dari bunuh diri walau keduanya sama-sama
menyebabkan luka fisik pada tubuh.
Dorongan untuk menyakiti diri sendiri selalu muncul bagi
orang-orang penderita self-injury. Orang-orang seperti ini merasa
~7~

tenang jika sudah terluka dan merasa bisa lebih terkontrol dengan
menyakiti diri.
Seperti dikutip dari BBCNews, ada beberapa hal yang diduga
bisa menjadi penyebab orang suka melukai dirinya sendiri, yaitu:

1. Merasa putus asa mengenai suatu masalah dan tidak tahu ke


mana harus mencari bantuan. Hal ini akan membuat seseorang
terjebak dan tidak berdaya, sehingga dengan menyakiti diri
sendiri akan membuat orang tersebut merasa lebih terkontrol.
2. Perasaan marah atau tegang yang rasanya seperti mau meledak.
Hal ini membuat ia berpikir dengan merugikan diri sendiri dapat
mengurangi ketegangan yang ada.
3. Perasaan bersalah atau malu yang tidak tertahankan. Menyakiti
diri sendiri menjadi caranya untuk menghukum dirinya.
4. Merasa terpisah antara dunia dan tubuhnya. Menyakiti diri sendiri
bisa menjadi cara untuk mengatasi pengalaman yang
menyedihkan seperti trauma atau pelecehan dan juga
menghindari rasa sakit dari memori yang ada.

3 (tiga) Konsep Penyebab Self Injury (Melukai/Menyakiti


Diri Sendiri)

Menurut Kauffman (1985) ada 3 konsep menyebab self injury :

Perilaku menyakiti diri sendiri ini dapat disebabkan karena


adanya rasa bersalah dan trauma yang berlebihan yang dialami oleh
seseorang. Sehingga ia selalu dihantui oleh perasaan itu yang
menjadikan ia ingin mengalihkan rasa sakit yang dirasakannya
dengan melukai dirinya sendiri. Secara lebih rinci penyebab
timbulnya Perilaku menyakiti diri sendiri ini diungkapkan oleh
Kauffman (dalam Sunardi, 1995: 119) yang membaginya menjadi
tiga macam yaitu, konsep biologis, psikodinamika, dan behavioristik.
Konsep biologis, berasumsi bahwa perilaku menyakiti diri
sendiri ini disebabkan oleh kelainan biokimiawi yang dibutuhkan
oleh fungsi otak normal, perkembangan sistem saraf pusat yang
tidak sempurna, dan kurangnya kepekaan tubuh terhadap rasa
sakit. Semua asumsi ini masih belum bisa terbukti kebenarannya
karena masih sulitnya untuk meneliti hal tersebut.
Konsep psikodinamika, berasumsi bahwa rasa bersalah
merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang
utntuk melakukan perilaku menyakiti diri. Menurut Berkovitz dan
Rothman menyatakan bahwa Semua bentuk perilaku yang
cenderung berbau SIB (Self Injuty Behaviour) merupakan ekspetasi
~8~

dari rasa bersalah yang secara tidak sadar dialami oleh seseorang,
atau yang secara tidak sadar dicoba untuk ditebus oleh orang
tersebut. Dalam teori Freud dikatakan bahwa dalam diri manusia
terdapat dorongan yang kuat yang mempengaruhi tingkah laku
manusia yang merupakan energi psikis yang sangat dinamik.
Sehingga konsep psikodinamika ini didasari oleh suatu perasaan
dalam diri yang sangat kuat sehingga mendorong seseorang untuk
melakukan perilaku yang bahkan dapat melukai diri sendiri.
Konsep behavioristik, berasumsi bahwa perubahan tingkah
laku disebabkan karena adanya interaksi antara stimulus dan respon
dari lingkungan. Perilaku ini akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila diberikan suatu hukuman.
Sehingga perilaku ini akan terus meningkat semakin kuat dan
berbahaya jika tidak ada respon dari lingkungan untuk memberi
pencegahan.

b. Faktor Resiko

Sejumlah faktor sosial dan psikologis memiliki korelasi positif


dengan self injury maupun kecenderungannya untuk berulang.
Individu yang menderita berbagai bentuk gangguan jiwa memiliki
resiko tertinggi untuk melakukan self injury. Kelainan jiwa yang
dialami di antaranya adalah berupa depresi, fobia, dan gangguan
tingkah laku. Penyalahgunaan zat seperti alkohol juga merupakan
salah satu faktor resiko karena adanya beberapa karakteristik
personal seperti kemampuan yang buruk dalam memecahkan
masalah, impulsif, tidak memiliki harapan, dan agresif.
Kekerasan di masa kanak diketahui merupakan faktor sosial
yang paling penting yang dapat memicu timbulnya perilaku self
injury di masa depan, juga kehilangan orang tua atau orang yang
dikasihi disertai dengan masalah dengan orang tua terutama
dengan ibu atau pasangan. Faktor lainnya yang juga dapat
menyebabkan self injury namun kurang begitu signifikan adalah
perang, kemiskinan, dan kesulitan mencari pekerjaan. Namun
demikian ada pula pelaku self injury yang tidak mengalami salah
satu faktor di atas.
Wanita diketahui lebih banyak melakukan self injury dibanding
pria. Miller (1994) merumuskan dalam teorinya bagaimana wanita
terbiasa untuk tidak menunjukan kemarahan mereka sedangkan
pria cenderung menunjukannya. Juga mungkin karena pria terbiasa
menekan emosinya maka mereka memiliki kesulitan yang lebih
sedikit ketika harus dipenuhi oleh berbagai macam emosi yang
menekan atau mengekspresikannya pada kekerasan yang
nampaknya tidak berkaitan dengan stres itu sendiri.
~9~

5. Patofisiologi

Hubungan Penurunan Serotonin dan Peningkatan Endorfin


dengan Perilaku Self Injury

Self injury merupakan suatu metode yang digunakan untuk


mempertahankan hidup dan merupakan suatu coping terhadap
keadaan emosional yang sulit, seperti kecemaan, stres, dan pikiran
negatif lainnya. Perasaan stres atau depresi dapat menyebabkan
penurunan kadar serotonin di otak.

Serotonin adalah neurotransmitter yang mengatur transmisi


sinyal di otak Serotonin banyak ditemukan di saluran gastrointestinal
(GI), trombosit, dan dalam sistem saraf pusat. Serotonin digunakan
untuk mengatur transmisi dari banyak fungsi otak mulai dari sistem
muskuloskeletal, sistem kardiovaskuler, dan sistem endokrin.

Sekitar 80 persen dari total serotonin dalam tubuh manusia


terdapat pada sel enterochromaffin di usus yang digunakan untuk
mengatur gerakan usus. Sisa yang 20 persen disintesis dalam neuron
serotonergik dalam sistem saraf pusat dimana serotonin memiliki
banyak fungsi. Fungsi tersebut daintaranya mengatur mood, nafsu
makan, tidur, serta kontraksi otot. Serotonin juga memiliki beberapa
fungsi kognitif, termasuk dalam memori (daya ingat) dan belajar.

Serotonin disekresikan dari sel enterochromaffin yang kemudian


menuju ke darah. Secara aktif serotonin diambil oleh trombosit darah
untuk kemudian disimpan. Ketika menggumpal, trombosit akan
mengeluarkan simpanan serotonin yang berfungsi sebagai
vasokonstriktor dan membantu mengatur hemostasis dan pembekuan
darah. Serotonin juga berkontribusi dalam pertumbuhan beberapa jenis
sel yang turut berperan dalam penyembuhan luka.

Diantara semua fungsi itu, fungsi utama serotonin adalah sebagai


neurotransmitter pada susunan saraf pusat di otak. Bila tingkat
serotonin di otak berubah, perilaku seseorang juga akan berubah.

Saat ini, banyak dokter yang meyakini bahwa stres adalah


penyebab utama dari menurunnya kadar serotonin. Di lain pihak, kadar
serotonin yang rendah juga diduga menjadi penyebab stres tambahan.
~ 10 ~

Serotonin dikenal sebagai kontributor untuk perasaan sejahtera


(bahagia), sehingga dikenal juga sebagai hormon kebahagiaan
meskipun serotonin bukanlah hormon.

Serotonin dengan kadar normal akan memunculkan perasaan


bahagia, tetapi pada waktu tubuh mengalami stress yang berlebihan,
tubuh akan mulai menggunakan serotonin lebih banyak untuk
mengkompensasi kondisi tersebut. Akibat kondisi stress yang
meningkat, tubuh tidak mampu menghasilkan serotonin lebih banyak
untuk mengganti jumlah serotonin yang terpakai.

Kadar serotonin yang rendah dapat menekan produksi sel saraf


otak baru. Sel saraf kembali menjadi imatur dan tidak dapat berfungsi
kembali. Kekurangan neurotransmiter serotonin menyebabkan berbagai
gejala perilaku dan perubahan biologis, misalnya agresi, kesulitan
belajar, perubahan fungsi seksual, gangguan atensi, perubahan nafsu
makan, gangguan irama pernapasan, gangguan tidur, gangguan sekresi
steroid, dan aliran darah. Berbagai gangguan psikiatrik juga dapat
timbul misalnya depresi, skizoprenia, sindrom Down, Alzheimer,
gangguan autistik, ADHD dan lain-lain.

Mereka yang melakukan self injury menghadapi kontradiksi di


mana pada suatu saat dalam kenyataannya mereka melukai diri sendiri
sekaligus pada waktu yang bersamaan mereka memperoleh kebebasan
secara emosional dari perilaku ini. Pada beberapa pelaku self injury
terutama pada tipe "cutting" bahkan mereka sendiri sulit untuk
memulainya, namun mereka tetap melakukannya karena mereka
menyadari kebebasan yang akan diperoleh setelahnya. Untuk beberapa
pelaku self injury, kebebasan yang mereka dapat benar-benar bersifat
psikologis sedangkan untuk beberapa yang lainnya perasaan
kebebasan yang dirasakan merupakan efek pelepasan endorfin di
otak. Tindakan ini bertujuan untuk mencapai perasaan damai.

Bessel van der Kolk, seorang psikiater asal New England,


mengatakan bahwa saat melakukan tindakan self-injury mungkin terjadi
pelepasan zat-zat kimia tertentu di otak yang memiliki kesamaan sifat
dengan opiat-opiat adiktif. Ini mungkin menjadi salah satu alasan
mengapa para pelaku mengalami kesulitan dalam menghentikan
perilaku mereka setelah mereka memulai. Ketika seseorang mulai
menjalankan self injury, endorfin yang dikeluarkan dapat menyebabkan
ketagihan. Pada tahap awal, jumlah yang kecil (obat ataupun self injury)
menimbulkan perasaan tenang yang dapat membantu seseorang untuk
melarikan diri dari rasa sakit secara emosional yang dialaminya dalam
hidup. Ketika sudah muncul toleransi dari tubuh, pelaku harus
~ 11 ~

meningkatkan jumlah produksi endorfin tersebut (baik pada


penggunaan obat ataupun self injury) untuk memperoleh efek yang
sama. Pada beberapa kasus, bunuh diri merupakan hasil dari
"overdosis" pada self injury yang dijalankan terus menerus sebagai
kebiasaan.

6. Manifestasi Klinis

Karakteristik Pelaku Self-Injury

Self-injury memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan


adiksi. Si penderita merasakan dorongan yang tak terkendali untuk
melakukan perilaku menyakiti dirinya sendiri, yang semakin lama
semakin sering agar dapat merasakan efek yang ditimbulkan kemudian
yaitu timbulnya ketenangan dan redanya ketegangan.
Para pelaku self-injury mengalami dorongan untuk mencacati diri
paling tidak sama kuatnya dengan dorongan seorang perokok berat
untuk merokok.
Beberapa gambaran umum yang didapatkan dari seorang pelaku
self-injury, antara lain : sangat tidak menyukai diri sendiri, hipersensitif
terhadap penolakan, memiliki kemarahan kronis (terutama pada diri
sendiri), memiliki perasaan agresif yang tinggi (namun tidak mampu
menunjukkannya dan cenderung me-represi perasaan tersebut),
depresi dan merusak dirinya sendiri atau berusaha melakukan bunuh
diri, mengidap kecemasan yang kronis, atau memiliki masa lalu yang
traumatis.

Karakteristik pelaku self injury menurut para ahli antara lain :

a. Martinson (1999), pelaku self injury memiliki karakteristik


cenderung mengisolasi diri dari orang lain, memiliki harga diri
rendah, dan susah mengkomunikasikan perasaannya.
b. Ray (2003), pelaku self injury cenderung melakukan perbuatannya
di tempat yang privat.
c. Lyness (2007), seseorang yang melakukan self injury biasanya
memiliki gangguan kesehatan mental yang berkontribusi pada
ketegangan emosi.
d. Favozza (1996), pelaku self injury memiliki karakteristik mengalami
kesulitan mengendalikan impuls di berbagai area yang terlihat dalam
gangguan makan atau adiksi terhadap zat adiktif, pernah menderita
suatu penyakit sewaktu kecil atau salah seorang anggota
keluarganya menderita sakit parah atau cacat, kurangnya
~ 12 ~

kemampuan untuk membentuk dan menjaga hubungan yang stabil,


takut akan perubahan baik perubahan dalam kegiatan sehari maupun
pengalaman baru dalam bentuk apapun (orang-orang, tempat,
peristiwa) dapat juga berupa perubahan perilaku mereka atau
perubahan yang mungkin diperlukan untuk pulih, ketidakmampuan
atau ketidakmauan mengurus diri sendiri dengan baik, para pelaku
self injury cenderung memiliki self esteem yang rendah dan
kebutuhan atau dorongan yang kuat untuk mendapatkan cinta dan
penerimaan dari orang lain, masa kecil penuh trauma atau kurangnya
sosok salah satu atau kedua orang tua sehingga menimbulkan
kesulitan-kesulitan menginternalisasikan perhatian positif, pola
pemikiran yang kaku, cara berpikir yang harus mencapai suatu tujuan
atau tidak sama sekali.
e. Herpetz (1995), pelaku self injury cenderung agak agresif dan
moodnya saat menyakiti dirinya sendiri nampaknya merupakan
pemuncakan dari mood yang mendasarinya dalam jangka waktu
yang panjang. Pernyataan yang sama dinyatakan oleh Simeon dkk
(1992), mereka menemukan dua buah keadaan emosional yang
sering terdapat pada pelaku saat melakukannya yaitu berupa
kemarahan dan kecemasan yang juga merupakan ciri kepribadian
menetap dari pelaku dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang
panjang.
f. Linehan (1993) menyatakan bahwa kebanyakan pelaku self injury
menunjukan pola perilaku yang bergantung mood. Tingkah laku
mereka tergantung dari kebutuhan perasaan mereka pada saat itu
dibandingkan mempertimbangkan tujuan dari tindakannya dan
kebutuhan jangka panjang.
g. Dulit dkk (1994) menemukan beberapa kesamaan karakteristik
pelaku self injury dengan gangguan kepribadian ambang.
h. Pada penelitian lainnya Herpertz dkk (1995) menemukan bahwa
selain adanya pengaturan afek yang buruk, impulsifitas dan agresi
yang telah disebutkan sebelumnya, didapati pula gangguan afek,
kemarahan yang ditekan secara hebat, permusuhan terhadap diri
sendiri, dan kurangnya perencanaan hidup pada pelaku.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan CT Scan. Dilakukan untuk melihat adanya


pendarahan (hematoma), lesi (lecet), di jaringan otak. Misalnya pada
pasien yang dicurigai melakukan tindakan melukai diri dengan cara
membentur-benturkan kepalanya.
~ 13 ~

b. Pemeriksaan X-Ray. Dilakukan untuk melihat adanya perubahan


struktur tulang. Misalnya pada pasien yang dicurigai melakukan
tindakan melukai diri dengan cara mematahkan tulangnya.
c. Pemeriksaan Darah. Dilakukan untuk mengetahui apakah ada
racun yang masuk ke aliran darah atau sudah menyebar ke semua
organ. Misalnya pada pasien yang dicurigai melukai diri dengan
meminum racun.

8. Pentalaksanaan

Tindakan Psikoterapi

Psikoterapi ialah setiap bentuk pengobatan terhadap gangguan-


gangguan mental, perilaku-perilaku maladaptif dan masalah-masalah
yang dianggap sebagai sesuatu yang bersifat emosional, dimana
seorang yang sudah terlatih secara hati-hati menciptakan hubungan
professional dengan pasien, dengan tujuan menghilangkan,
memodifikasi, mengurangi atau menghambat gejala-gejala yang sudah
ada, melemahkan atau memulihkan pola-pola perilaku yang terganggu
dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan kepribadian yang
positif.

L.R. Wollerg dalam bukunya The Technique Of Pshycotherapy


membedakan 3 macam psikoterapi:

a) Psikoterapi Suportif
Hal ini bertujuan mendorong atau meningkatkan perkembangan
akan penggunaan yang optimal dari aset-aset pasien. Sasarannya
ialah menguatkan pertahanan yang ada, memperbanyak mekanime-
mekanisme baru untuk mempertahankan kontrol dan memulihkan
suatu keseimbangan adaptif. Contoh-contoh psikoterapi suportif :
1. Bimbingan (Guidance)
Pasien dibimbing dan disuruh mencari cara-cara menetapkan
serta mendapatkan tujuan-tujuan, spekulasi, dan cara-cara
mengenali dan menghindari bidang-bidang berkomplit serta
situasi-situasi yang memancing kecemasan.
2. Ventilasi
Dalam suasana akrab dan aman, terkadang dengan jaminan
kerahasiaan pasien diberi kesempatan mengeluarkan unek-
uneknya baik berupa perasaan maupun pikiran yang sangat
menekan dirinya.
3. Saran (Suggest)
Memberi saran maupun nasehat yang sedikit banyak relevan
untuk dilaksanakan agar masalah serta dampaknya dapat
terkontrol sebanyak mungkin.
4. Persuasi
~ 14 ~

Membujuk agar melakukan barbagai hal yang positif berkaitan


dengan penyakit atau masalahnya.
5. Penjaminan (Reassurance)
Memberi jaminan bahwa apa yang dipikirkan atau akan dilakukan,
akan mencapai hasil berdasarkan fakta atau realita baik yang ada
pada dirinya maupun yang berada dilingkungannya.
6. Manipulasi lingkungan
Mengoreksi lingkungan agar bersifat suportif dalam pendidikan
pasien atau kalau tidak mungkin memindahkan pasien ke tempat
yang lebih kondusif suasananya.
7. Berbagai perilaku therapist yang dapat berdampak suportif,
misalnya:
a. Memberi penjelasan yang jujur
b. Sikap menolong dan pengertian
c. Mendengar, member perhatian dan kesempatan serta
penghargaan
d. Memberi pengertin dan empati

Perlu diketahui bahwa psikologi suportif cenderung dapat membuat


pasien tergantung pada terapistnya. Oleh karena itu sejak
permulaan therapist harus memperlihatkan pada pasien segi-segi
atau bagian-bagian dari proses terapi yang mutlak harus dilakukan
oleh pasien sendiri disertai jaminan akan dibantu atau bersama-
sama mencari jalan keluar bilamana ia gagal atau berhasil.

b) Psikoterapi Reedukatif
Tujuannya adalah memberi pasien wawasan atau tilikan kepada
konflik-konflik yang lebih bersifat sadar, kemudian secara hati-hati
diarahkan ke modifikasi sasaran dan penggunaan maksimal dari
potensi-potensi yang dimiliki.
Misalnya:
1. Relationship therapy, artinya mendidik kembali cara-cara
berhubungan yang baik.
2. Attitude therapy, Mendidik kembali cara bersikap dan berprilaku.
3. Reconditioning

c) Psikoterapi Rekonstruktif
Tujuannya ialah memberi tilikan ke dalam konflik-konflik yang
bersifat tak sadar dan terjadinya perubahan-perubahan yang besar
dari struktur kepribadian.
Pada terapi ini dicari dinamika dari penyebab-penyebab yang
mendasar atau yang paling dalam yang menjadi penyebab dari
timbulnya gangguan mental, perilaku-perilaku yang terganggu atau
masalah.
Misalnya:
1. Yang berorientasi pada psikoanalisa
~ 15 ~

2. Menurut ajaran Alder dan Jung


3. Menurut konsep-konsep cultural interpersonal dari Sullivan atau
Horney

Psikoterapi pada Perilaku Self Injury

Terapi yang sukses bukan berarti menghentikan perilaku self injury


secara mendadak. Semua usaha untuk mengontrol perilaku ini harus
didasarkan pada keinginan pelaku untuk melakukan pekerjaan yang
sulit ini atau untuk menghentikan perilakunya tersebut. Terapi yang
diberikan tidak boleh didasarkan keinginan si terapis semata. Jika
seorang terapis merasa tak sanggup untuk mengatasi kasus self injury
ini, maka ia wajib merujuk kasus tersebut pada terapis lainnya yang
lebih kompeten dan terapis juga wajib memberitahu pasien bahwa
rujukan dilakukan karena si terapis lah yang tidak mampu menangani
kasus tersebut dan masalahnya bukan terletak pada pasien.
Modul terapi yang digunakan bervariasi tergantung dari diagnosa
kelainan jiwa yang dialami orang tersebut dan kebutuhan masing-
masing sebagai individu. Jenis psikoterapi yang banyak digunakan pada
pelaku self injury meliputi Psikodinamik Therapy, Cognitive Behavioral
Therapy, serta Person Centred Therapy.
a. Psikodinamik Therapy, terapis memusatkan diri pada usaha untuk
mencari tahu riwayat perkembangan orang tersebut dan terapis
harus menghubungkan antara perasaan pelaku saat ini dengan
suasana perasaannya di masa lalu. Riwayat keluarga serta
seksualitas harus dieksplorasi secara mendalam. Terapi
psikodinamik bersifat analitis, introspektif, dan direktif.
b. Cognitive Behavioral Therapy umumnya digunakan untuk pelaku
self injury dengan tambahan diagnosa axis 1, misalnya depresi,
schizofrenia, dan gangguan bipolar. Pada model terapi ini diadakan
terapi baik untuk self injury sendiri maupun gangguan jiwa komorbid
yang menyertainya. Terapi ini membantu pelaku untuk mengerti
dan menguasai pikiran dan perilakunya yang merusak. Pelaku
diharapkan membuat jurnal atau tulisan mengenai perilaku self
injury yang dilakukannya dengan harapan pelaku dapat
memperoleh kembali kontrol dirinya sehingga dapat mengubah
perilakunya serta memerangi distorsi kognitif yang ada yaitu
kepercayaan bahwa self injury merupakan satu-satunya mekanisme
coping yang ada. Sesi terapi yang diberikan di antaranya
mendiskusikan perilaku saat ini yang menyulitkan pasien. Terapi ini
bersifat analitis, observatif, dan direktif.
c. Person Centred Therapy menitikberatkan pada kemapuan
individu sendiri untuk mengatasi masalah perilaku yang
dihadapinya. Person Centred Therapy memberikan ruang bagi
~ 16 ~

pelaku dan sarana untuk mengeksplorasi perasaan mereka sendiri.


Perasaan diterima sebagai seorang manusia merupakan terapi
terbaik bagi seseorang yang sudah lama merasa dirinya diabaikan.
Terapi ini bersifat berdasar pada persepsi, introspektif, dan non-
direktif.
Hingga saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
meneliti penggunaan obat-obat SSRI dan antagonis opiat untuk
menterapi self injury namun belum didapatkan hasil yang cukup nyata
yang membuktikan keefektifan obat-obat tersebut. Namun demikian
hingga saat ini obat-obatan yang paling memberikan harapan adalah
penggunaan SSRI dosis tinggi dan pada beberapa kasus dapat juga
diberikan neuroleptik atipikal. Sedangkan perawatan di rumah sakit
(rawat inap) hanya dilakukan jika self injury yang telah dilakukan sudah
dalam taraf yang berat di mana rawat inap bertujuan untuk mencegah
mereka menyakiti diri sendiri.

Terapi Sosio-Rehabilitatif

Tujuannya terapi ini adalah melakukan upaya-upaya baik terhadap


pasien maupun lingkungannya yang dapat membantu pasien untuk
mengalami sosialisasi kembali serta dapat meningkatkan taraf sosial
ekonominya.

a. Pada pasien dapat dilakukan misalnya


1) Melibatkan dalam kegiatan kelompok, permainan bersama,
olahraga dsb.
2) Memberi bekal keterampilan sesuai bakat dan minatnya.
b. Pada lingkungan, misalnya
1) Memberikan penjelasan dan pengertian pada keluarga dan
lingkungan mengenai keadaan pasien.
2) Mendeteksi dan kemudian mengurangi atau menghilangkan
faktor-faktor stresor di lingkungan.
3) Mendeteksi dan kemudian mempertahankan atau meningkatkan
faktor-faktor yang mendukung

9. Komplikasi

Perilaku menyakiti diri sendiri ini mempunyai akibat bervariasi dari


sangat ringan hingga sangat berat. Sebagian orang melakukan perilaku
menyakiti diri sendiri dengan hati-hati sehingga hanya akan berakibat
ringan. Sedangkan beberapa orang melakukannya perilaku menyakiti
diri sendiri yang berakibat berat hingga permanen, seperti resiko
timbulnya infeksi, pendarahan, kebutaan ataupun kehilangan
anggota tubuh lain. Menurut Carr Kira-kira 4 sampai 5%
penyandang gangguan jiwa (psikotik, shizophenia, autistik) termasuk
~ 17 ~

mempunyai Self Injury Behaviour tingkat berat. Meskipun jumlahnya


tidak terlalu banyak pada tingkat berat ini. Namun, orang yang
melakukan perilaku menyakiti diri sendiri ini harus secara fisik dikekang
agar terhindar dari perilaku yang lebih parah. Konsekuensi dari perilaku
ini yang melampaui kerusakan fisik seperti depresi, kecemasan,
isolasi sosial dan peningkatan resiko untuk mencoba bunuh diri
Bunuh diri merupakan perilaku yang paling berbahya yang
biasanya dianggap sebagai akibat dari depresi, tetapi hasil penelitian
menunjukkan bahwa putusnya harapan merupakan faktor yang lebih
kuat. Remaja yang terlibat dalam perilaku bunuh diri ini biasanya
mereka kesulitan dalam mengendalikan agresi mereka. Karl Menninger
seorang psikiater Amerika mengatakan bahwa Bunuh diri sebagai
pembunuhan terbalik karena kemarahan terhadap orang lain diarahkan
kepada dirinya. Sehingga bunuh diri dilakukan karena kekecewaan
mereka terhadap lingkungan dialihkan kepada dirinya sendiri.

10.Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian Primer
1. Air way (Bebasnya Jalan Napas)
a. Cek ada tidaknya sumbatan jalan nafas
Total/jalan nafas tertutup= pada pasien sadar pasien
memegang leher, gelisah, sianosis, sedangkan pada pasien
tidak sadar tidak terdengar suara nafas dan sianosis
Parsial/masih ada proses pertukaran gas= tampak
kesulitan bernafas, takhipneu, bradipneu, irregular. Juga
terdengar suara nafas gargling, snoring, atau stridor.
b. Periksa ada tidaknya kemungkinan fraktur servikal
2. Breathing (Adekuat pernapasan)
a. Look : lihat pergerakan dada simetris atau tidak, irama teratur
atau tidak, kedalaman frekuensi cepat atau tidak, kaji ada luka,
jejas atau hematom.
b. Listen : dengarkan dengan telinga atau stetoskop adanya suara
tambahan
c. Feel : rasakan adanya aliran udara
3. Circulation (Adekuat jantung dan sirkulasi tubuh)
a. Periksa ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah besar
(nadi karotis, nadi femoralis)
b. Mengenal ada tidaknya tanda-tanda syok, serta ada tidaknya
perdarahan eksternal yang aktif.
4. Disability
a. Metode AVPU (alert-verbal-pain-unresponse)
b. Penilaian GCS/Glasgow Coma Scale
c. Lihat pupil isokor/anisokor
5. Exposure
~ 18 ~

Kaji tanda-tanda trauma yang ada

B. Pengkajian sekunder

1. Fahrenheit (suhu tubuh)


Kaji :
a. Suhu tubuh
b. Suhu lingkungan
2. Get Vital Sign/ Tanda-tanda vital secara kontinyu
Kaji :
a. Tekanan darah
b. Irama dan kekuatan nadi
c. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
d. Saturasi oksigen
3. Head to assesment (pengkajian dari kepala sampai kaki)
Pengkajian Head to toe
a. Riwayat Penyakit
1) Keluhan utama dan alasan klien ke rumah sakit
2) Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah
sakit
3) Tipe cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera
4) Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri
pada organ tubuh yang mana, gunakan : provoked (P),
quality (Q), radian (R), severity (S) dan time (T)
5) Kapan makan terakhir
6) Riwayat penyakit lain yang pernah dialami/operasi
pembedahan/kehamilan
7) Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit
sekarang, imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat
alergi klien.
8) Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama
dengan klien.
b. Pengkajian kepala, leher dan wajah
1) Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang
wajah dan jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda
asing.
2) Periksa mata, telinga, hidung, mulut. Adakah tanda-tanda
perdarahan, benda asing, deformitas, laserasi, perlukaan
serta adanya keluaran.
3) Amati bagian kepala, adakah depresi tulang kepala, tulang
wajah, kontusio/jejas, hematom, serta krepitasi tulang.
4) Kaji adanya kaku leher.
5) Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trachea,
distensi vena leher, perdarahan, edema, kesulitan menelan,
emfisema subcutan dan krepitas pada tulang.
c. Pengkajian dada
1) Pernafasan : irama, kedalaman dan karakter pernafasan
~ 19 ~

2) Pergerakan dinding dada anterior dan posterior


3) Palpasi krepitas tulang dan emfisema subcutan
4) Amati penggunaan otot bantu nafas
5) Perhatikan tanda-tanda injuri atau cedera : petekiae,
perdarahan, sianosis, abrasi dan laserasi.
d. Pengkajian abdomen dan pelvis
Hal-hal yang dikaji pada abdomen dan pelvis :
1) Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
2) Tanda-tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi,
abrasi, distensi abdomen, jejas.
3) Masa : besarnya, lokasi dan mobilitas
4) Nadi femoralis
5) Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRST)
6) Bising usus
7) Distensi abdomen
8) Genitalia dan rectal : perdarahan, cedera, cedera pada
meatus, ekimosis, tonus spinkter ani
e. Ekstremitas
Pengkajian di ekstremitas meliputi :
1) Tanda-tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
6) Denyut nadi perifer
f. Tulang belakang
Pengkajian tulang belakang meliputi :
1. Jika tidak didapatkan adanya cedera/fraktur tulang
belakang, maka pasien dimiringkan untuk mengamati :
a) Deformitas tulang belakang
b) Tanda-tanda perdarahan
c) Laserasi
d) Jejas
e) Luka
2. Palpasi deformitas tulang belakang
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan meliputi :
1) Radiologi dan scanning
2) Pemeriksaan laboratorium : Analisa gas darah, darah tepi,
elektrolit, urine analisa dan lain-lain

C. Contoh Kasus

Anak S (17 tahun) pernah mencoba untuk menyakiti dirinya


sendiri dengan menyuntikan racun kedalam tubuhnya, saat itu
neneknya melihat, lalu dibawanya ke rumah sakit. Ini terjadi
seminggu setelah kematian ayahnya yang meninggal akibat
~ 20 ~

kecelakaan mobil di lalu lintas saat akan menjemput anak S di


sekolahnya. Sebelumnya ibu anak S juga meninggal ketika
melahirkannya. Sehingga dia merasa bahwa kedua orang tuanya
meninggal akibat kesalahannya. Anak S selalu menangis dikamar,
sering menyendiri, mencoba melukai tubuhnya dan cenderung ingin
bunuh diri. Dan untuk kedua kalinya, Anak S mencoba mencederai
dirinya dengan menggores kulitnya di WC sekolah, tapi karena
temannya melihat sikap dan tingkah lakunya yang sedikit aneh jadi
temannya melaporkan ke ruang guru dan hal itu dapat dicegah.
Anak S menanggung rasa malu karena teman-temannya banyak
membicarakan tentangnya.

Dan saat di rumah dia tidak mau bertemu dengan orang lain
dan sering tiba-tiba menangis, neneknya menjadi takut. Akhirnya
neneknya membawa ke Psychiatric Ward. Di awal pengkajian An.S
mengatakan bahwa dirinya benar-benar tidak berguna dan merasa
apa yang terjadi adalah kesalahannya padahal dulunya dia
termasuk siswa yang periang.

D. Pengkajian Sekunder Berdasarkan Kasus

1. Identitas Klien
Nama : Ank. S
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Informan : Pasien dan nenek ank.S
2. Alasan Masuk RS
untuk mencegah klien melakukan tindakan self injury lagi dan dari
keluarga pasien, belum ada penanganan terhadap tindakan anak
S tersebut.
3. Faktor Pencetus
a. Riwayat Keluarga : -
b. Penyebab self injury : Anak S kehilangan ayahnya seminggu
yang lalu dan dirinya merasa bersalah atas kehilangan
tersebut, menurut anak S, kematian orang tuanya adalah
akibat kesalahannya.
c. Perilaku Self Injury dimasa lalu : Mencoba menyuntikan racun
kedalam tubuhnya dan dua hari kemudian mencoba menggores
kulitnya di WC sekolah.
4. Riwayat Pengobatan: -
5. Penyalahgunaan obat dan alcohol: -
6. Riwayat pendidikan dan pekerjaan: Pelajar SMA
7. Respon fisiologik dan emosional:
a. Respon fisiologik: tampak bekas suntikan ditangan dan goresan
dikulit.
~ 21 ~

b. Respon emosional: merasa putus asa dan klien sering menangis


sendiri dengan ekspresi wajah tampak murung.
8. Faktor risiko self injury dan legalitas perilaku self injury klien
a. Tujuan klien: menghilangkan perasaan bersalahnya
b. Pasien sudah 2x melakukan percobaan untuk melukai dirinya
c. Keadaan jiwa klien: keputusasaan atas hidup yang menimpanya.
9. Sistem pendukung yang ada
Sistem pendukung keluarga: keluarga terutama neneknya tidak
mengetahui apa yang dilakukan untuk mengatasi perilaku klien
sehingga keluarga mengantarkan klien ke Psychiatric Ward.
10. Riwayat psikososial

a. Genogram

X X

Ket: : Laki-Laki : Garis perkawinan x :


Meninggal

: Perempuan - - - - - - : Tinggal
bersama : Ank.S

Klien tinggal bersama nenek dan ayahnya. Klien berusia 17


tahun. Ibu klien meninggal setelah melahirkanya. Beberapa
tahun setelah itu ayah klien meninggal dikarenakan kecelakaan
lalu lintas. Klien tinggal dengan neneknya setelah ayah dan ibu
klien meninggal.

b. Konsep Diri
1) Gambaran Diri : mengungkapkan keputusasaan dan kesedihan.
2) Identitas: Ketidakpastian memandang diri, merasa hidupnya
sudah tidak berguna lagi.
~ 22 ~

3) Peran : Berhenti fungsi peran yang disebabkan kehilangan


dan berduka.
4) Ideal Diri : Mengungkapkan keputusasaaan akibat kehilangan
orang tuanya.
5) Harga Diri: rasa bersalah terhadap diri sendiri sehingga
pasien selalu mengancam akan melakukan tindakan melukai
diri.
c. Hubungan sosial
1) Orang yang berarti: ayah dan ibu
2) Peran serta kegiatan kelompok atau masyrakat: tidak ada
3) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain: pasien
tampak agresif terhadap diri sendiri untuk menyakiti dirinya,
sehingga kurangnya hubungan sosial dengan orang lain.
d. Spiritual
1) Nilai dan keyakinan: agama islam
2) Kegiatan ibadah: tidak ada
11. Status Mental
a. Penampilan
Penggunaan pakaian: tidak rapi
Jelaskan: Klien memakai pakaian yang tidak rapi, bajunya
tampak kusut.
b. Pembicaraan: pasien berbicara lambat, dan sedikit membisu,
tapi saat membicarakan keluarganya dia tampak menangis dan
berbicara keras.
c. Aktivitas motorik: Gelisah, lesu
Jelaskan : pasien merasa tidak tenang dan mengungkapkan
ketidakberdayaan untuk hidup.
d. Alam perasaan: putus asa
Jelaskan: klien tampak putus asa dan murung.
e. Afek: Datar
Jelaskan : klien menunjukkan ekspresi datar ketika diberi
stimulus menyenangkan atau menyedihkan.
f. Interaksi selama wawancara: bermusuhan, kontak mata (-)
Jelaskan : klien menujukkan sikap tidak ingin diganggu,
mengancam akan melakukan tindakan melukai diri dan kontak
mata klien tampak pandangan kosong.
g. Persepsi: normal
Jelaskan : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada
h. Proses Pikir: pengulangan pembicaraan
Jelaskan: klien selalu mengulang-ulang pembicaraan dengan
mengancam ingin malakukan tindakan melukai diri bahkan
bunuh diri.
i. Tingkat kesadaran : komposmentis/kesadaran penuh
12. Pohon Masalah

Risiko Self Injury


~ 23 ~

Gangguan Konsep
Diri : Harga Diri
Rendah

Koping Individu
Inefektif
Kehilangan

E. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Risiko Tinggi Terhadap Mutilasi Diri berhubungan dengan Sejarah


perilaku multilatif / melukai diri sebagai respon terhadap
kehilangan.
Definisi: Risiko tinggi terhadap mutilasi Diri adalah suatu keadaan
seseorang berada pada risiko yang tinggi untuk melakukan suatu
tindakan yang dapat melukai dirinya, namun bukan bermaksud
bunuh diri, yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan
pelepasan tegangan.

Intervensi dengan rasional tertentu


a. Tindakan untuk melindungi klien apabila terjadi perilaku
mutilatif diri, seperti memukul-mukul, membentur-benturkan
kepala atau perilaku-perilaku histeris lainnya menjadi nyata.
Perawat bertanggung jawab untuk menjamin
keselamatan pasien.
b. Helm dapat digunakan untuk melindungi terhadap tindakan
memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah
menarik-narik rambut, dan pemberian bantalan yang sesuai
untuk melindungi ekstremitas terluka selama terjadinya
gerakan-gerakan histeris.
c. Coba untuk menentukan jika perilaku-perilaku mutilitatif diri
terjadi sebagai respons terhadap kehilangan, dan jika terjadi,
terhadap apa kehilangan tersebut dapat dihubungkan.
Perilaku-perilaku mutilatif dapat dicegah jika
penyebabnya dapat ditentukan.
d. Bekerja pada dasarnya, satu perawat untuk satu klien, untuk
membentuk kepercayaan.
e. Tawarkan diri kepada klien selama waktu-waktu meningkatnya
histeris, dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada
perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa
aman.

2. Kerusakan Interaksi Sosial berhubungan dengan Gangguan


Konsep Diri
~ 24 ~

Intervensi dengan rasional tertentu :


a. Berfungsi dalam hubungan satu per satu dengan klien.
Interaksi perawat dengan pasien yang konsisten
meningkatkan pembentukan kepercayaan.
b. Sampaikan sikap yang hangat, dukungan dan kebersediaan
ketika pasien berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Hal ini meningkatkan pembentukan dan
mempertahankan hubungan saling percaya.
c. Lakukan dengan perlahan, jangan memaksa melakukan
interaksi. Mulai dengan penguatan yang positif pada kontak
mata. Perkenalkan diri secara berangsur-angsur dengan
sentuhan, senyuman, pelukan. Pasien autistic dapat
merasa terancam oleh suatu rangsangan yang gencar
pada pasien yang tidak terbiasa.
d. Dengan kehadiran perawat beri dukungan pada pasien yang
berusaha keras untuk membentuk hubungan dengan orang
lain dilingkungannya. Kehadiran seseorang yang telah
terbentuk hubungan saling percaya, memberikan rasa
aman.

Hasil Pasien yang Diharapkan :


a. Pasien mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain
b. Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsif pada wajah
dan perilaku-perilaku non verbal lainnya dalam berinteraksi
dengan orang lain
c. Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik

3. Risiko Tinggi Terhadap Kekerasan diarahkan pada diri sendiri atau


orang lain berhubungan dengan kemarahan dalam batin sendiri,
mengakibatkan keadaan jiwa menjadi tertekan.

Intervensi dengan rasional tertentu:


a. Amati perilaku pasien secara rutin. Lakukan hal ini melalui
aktivitas sehari-hari dan interaksi untuk menghindari
timbulnya rasa waspada dan kecurigaan. Pasien-pasien
pada risiko tinggi untuk melakukan pelanggaran
memerlukan pengamatan yang seksama untuk
mencegah tindakan yang membahayakan bagi diri
sendiri atau orang lain.
b. Dapatkan kontrak verbal ataupun tertulis dari pasien yang
menyatakan persetujuannya untuk tidak mencelakai diri
sendiri dan menyetujui untuk mencari staf pada keadaan
dimana pemikiran kearah tersebut timbul. Diskusikan
tentang perasaan-perasaan untuk mencederai diri
~ 25 ~

sendiri dengan seseorang yang dipercaya memberikan


suatu derajat perasaan lega kepada pasien. Suatu
perjanjian membuat permasalahan menjadi terbuka
dan menempatkan beberapa tanggung jawab bagi
keselamatannya dengan pasien. Suatu sikap menerima
pasien sebagai seseorang yang patut diperhatikan
telah disampaikan.
c. Bertindak sebagai model peran untuk ekspresi yang sesuai
dari perasaan marah, dan berikan penguatan positif pada
pasien untuk mencoba memastikan. Hal ini penting bahwa
pasien mengekspresikan marah, karena perilaku yang
dapat merusak diri sendiri seringkali terlihat sebagai
suatu akibat dari kemarahan diarahkan pada diri
sendiri.
d. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari
lingkungan pasien. Keselamatan fisik pasien adalah
prioritas dari keperawatan.
e. Usahakan untuk bisa tetap bersama pasien jika tingkat
kegelisahan dan tegangan mulai meningkat. Hadirnya
seseorang yang dapat dipercaya memberikan rasa
aman.
f. Petugas harus mempertahankan dan menyampaikan dengan
sikap yang tenang terhadap pasien. Ansietas adalah
sesuatu yang mudah menjalar dan dapat
ditransmisikan dari petugas ke pasien dan sebaliknya.
Sikap yang tenang menyampaikan suatu rasa kontrol
dan perasaan aman bagi pasien.
g. Berikan obat-obatan penenang sesuai resep dokter. Pantau
ketidakefektifan obat-obatan dan efek-efek samping yang
merugikan. Obat-obatan antiansietas (mis. diazepam,
klordiazepoksida, alprazolam) memberikan perasaan
terbebas dari efek-efek imobilisasi dari ansietas dan
memudahkan kerjasama pasien dengan terapi.

Hasil yang diharapkan :


a. Pasien mencari petugas untuk mendiskusikan perasaan-
perasaan yang sebernarnya.
b. Pasien mengetahui, mengungkapkan, dan menerima
kemungkinan konsekuensi dari perilaku maladaptive diri
sendiri.

4. Koping Individu tidak Efektif berhubungan dengan Harga Diri


Rendah

Intervensi dengan Rasional tertentu:


~ 26 ~

a. Jika pasien hiperaktif, buat lingkungannya menjadi aman


untuk gerakan otot besar yang terus-menerus. Atur kembali
posisi perabotan dan benda-benda lainnya untuk mencegah
terjadinya cedera. Keselamatan fisik pasien adalah
prioritas keperawatan.
b. Jangan mendebat, bertengkar mulut, merasionalisasikan, atau
melakukan tawar-menawar dengan pasien.
Mengesampingkan usaha-usaha ini mungkin berhasil
untuk mengurangi perilaku-perilaku manipulative.
c. Berikan dorongan semangat untuk mendiskusikan perasaan-
perasaan marah. Bantu pasien untuk mengidentifikasi objek
sebenarnya dari sikap permusuhan. Menghadapi perasaan-
perasaan secara jujur dan langsung mencegah
pemindahan rasa marah kepada orang lain.
d. Selidiki bersama pasien cara-cara alternative untuk mengatasi
rasa frustasi yang paling cocok dengan gaya hidupnya.
Berikan dukungan dan umpan balik positif kepada pasien
sambil strategi-strategi baru dicoba. Umpan balik positif
mendorong semangat untuk menggunakan perilaku-
perilaku yang dapat diterima.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Self injury adalah suatu tindakan atau mekanisme coping yang


maladaptif yang dilakukan dengan sengaja karena adanya dorongan
hati untuk melukai dirinya sendiri, sebagai cara untuk mengontrol
emosi, merubah suasana perasaan, mengekspresikan perasaan dan
membebaskan diri dari rasa sakit tanpa bermaksud bunuh diri.
~ 27 ~

Perilaku ini mempunyai akibat bervariasi dari sangat ringan hingga


sangat berat. Sebagian orang melakukan perilaku menyakiti diri sendiri
dengan hati-hati sehingga hanya akan berakibat ringan. Sedangkan
beberapa orang melakukannya perilaku menyakiti diri sendiri yang
berakibat berat hingga permanen, seperti resiko timbulnya infeksi,
pendarahan, kebutaan ataupun kehilangan anggota tubuh lain.
Menurut Carr Kira-kira 4 sampai 5% penyandang gangguan jiwa
(psikotik, shizophenia, autistik) termasuk mempunyai Self Injury tingkat
berat. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak pada tingkat berat ini.
Namun, orang yang melakukan perilaku menyakiti diri sendiri ini harus
secara fisik dikekang agar terhindar dari perilaku yang lebih parah.
Konsekuensi dari perilaku ini yang melampaui kerusakan fisik seperti
depresi, kecemasan, isolasi sosial dan peningkatan resiko untuk
mencoba bunuh diri.
Semua usaha untuk mengontrol perilaku ini harus didasarkan pada
keinginan pelaku untuk melakukan pekerjaan yang sulit ini atau untuk
menghentikan perilakunya tersebut. Terapi yang diberikan tidak boleh
didasarkan keinginan si terapis semata. Jika seorang terapis merasa tak
sanggup untuk mengatasi kasus self injury ini, maka ia wajib merujuk
kasus tersebut pada terapis lainnya yang lebih kompeten dan terapis
juga wajib memberitahu pasien bahwa rujukan dilakukan karena si
terapis lah yang tidak mampu menangani kasus tersebut dan
masalahnya bukan terletak pada pasien.
Modul terapi yang digunakan bervariasi tergantung dari diagnosa
kelainan jiwa yang dialami orang tersebut dan kebutuhan masing-
masing sebagai individu. Jenis psikoterapi yang banyak digunakan pada
pelaku self injury meliputi Terapi Psikodinamik, Cognitive Behavioral
Therapy, serta Person Centred Therapy.

B. Saran

Bila seorang pelaku self injury datang untuk mencari pertolongan maka
seorang pemberi pertolongan termasuk perawat tidak boleh
menunjukan emosinya sama sekali dan melakukan langkah-langkah
pertolongan medis sebagaimana standar yang ada. Perawat harus
sensitif terhadap kebutuhan pasien ini. Bila pasien nampak tenang,
menyangkal berusaha membunuh dirinya dan memiliki riwayat self
injury sebelumnya, maka perawat harus merawat luka yang ada seperti
melakukan perawatan luka-luka yang timbul akibat kecelakaan. Penting
pula untuk membedakan perilaku self injury dari tindakan bunuh diri
sebab keduanya memiliki tata laksana yang berbeda. Pelayanan
konseling psikiatri harus diberikan sesegera mungkin pada pelaku self
~ 28 ~

injury sebab umumnya pelaku memiliki gangguan kecemasan yang


sudah kronis ataupun depresi.

DAFTAR PUSTAKA
Townsend C. Mary. (1998. Eds 3). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada
Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC
~ 29 ~

Sinta, Dewi. (2001). Ilmu Jiwa 2. Jakarta:EGC

http://buletinkesehatan.com/penanganan-penderita-gawat-darurat-ppgd/
http://eprints.unika.ac.id/2295/1/04.40.0200_Margaretha_Wahyu_Kartika.p
df
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-retnotyasp-5169-
3-babiir-i.pdf
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4355/1/M.ILMI
%20RIZQI%20T-FPS.PDF
http://www.amazine.co/2600/tips-serotonin-pengaruh-kadar-serotonin-
pada-mood-kesehatan/
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/8-4-6s.pdf
http://jiwasehat.org/content/jangan-salahkan-aku-karena-depresi
http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13354255/Melawan.Kesedihan
.dari.Dalam.Diri
http://himmatunayat.org/read/mengapa-kita-dilarang--tertawa-
berlebihan--terbahakbahak.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikosis
http://indonesiaindonesia.com/f/72532-self-injury/
http://www.indomedia.com.au/innerpage.php?page=Opini&ArticleID=651
http://informasitips.com/peranan-penting-serotonin-dan-kaitannya-
dengan-stress
http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/05/28/mengenal-
perilaku-self-injury-melukai-diri-sendiri-460509.html
http://kibm.or.id/memahami-autism/prilaku-melukai-diri
http://www.pondokpemulihan.com/hobi-melukai-diri-sendiri-self-injury/

Anda mungkin juga menyukai