Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI I
TINGKAT 2B

Disusun oleh :
Kelompok 5
Erika Rahmawati (P17335119047)
Fathan Tsani Mahardhika R (P17335119049)
Salamah Salsabila (P17335119065)
Tiara Azizzah (P17335119068)

Tanggal Pengumpulan Laporan 1 Desember 2020

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG


JURUSAN FARMASI
2020
I. Nama Percobaan
Uji Aktivitas Laktasif

II. Tujuan Praktikum


a. Mengetahui dan memahami cara menguji efek laksatif atau pencahar
b. Melakukan pengujian obat uji efek laksatif pada hewan percobaan

III. Prinsip Percobaan


Menggunakan metode proteksi pada hewan Uji diinduksi dengan Na CMC kemudian
diberikan obat laktasif atau pencahar. Dan metode Osmosis dengan menyuntikan
MgSO4 25% dan NaCl 0,9% pada usus hewan uji.

IV. Pendahuluan
Definisi kontipasi bersifat relatif, konstipasi adalah persepsi gangguan buang
air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang
air besar, terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras. Disebut konstipasi bila
tinja yang keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya
terjadi kurang dari 3 x dalam 1 minggu (Ramkumar, DP. Dan Rao, SSC).
Mekanisme kerja obat pencahar meliputi pengurangan absorpsi air dan
elektrolit, meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan
hidrostatik dalam usus. Obat pencahar ini mengubah kolon, yang normalnya
merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan menjadi organ yang
mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro, et al., 2005). Obat pencahar sendiri dapat
dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu (1) pencahar yang melunakan feses, (2)
pencahar yang mampu melunakkan feses yang lunak atau semi cair dalam waktu 6-12
jam (derivat difenilmetan dan derivat antrakuinon), serta pencahar yang mampu
menghasilkan pengeluaran feses yang cair dalam waktu 1- 6 jam (saline cathartics,
minyak castor, larutan elektrolit polietilen glikol).
Pengobatan utama adalah pemberian diet tinggi serat. Bulking agents
merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk
membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau
perangsang peristaltik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah
dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya
justru akan mengganggu gerakan usus.
Pencahar yang melunakkan feses secara umum merupakan senyawa yang
tidak diabsorpsi dalam saluran pencernaan dan beraksi dengan meningkatkan volume
padatan feses dan melunakkan feses supaya lebih mudah dikeluarkan.
Obat golongan laksatif atau pencahar sering dipakai untuk mengurangi berat
badan dengan melancarkan BAB (buang air besar) diharapkan berat badan juga relatif
terkontrol. Banyak sediaan suplemen yang mengandung high-fiber yang
“diindikasikan” untuk melangsingkan tubuh dan dapt diperoleh secara bebas. Serat
tinggi diharapkan mengembang di saluran cerna dan memicu gerakan peristaltik usus
sehingga akan memudahkan BAB. Walaupun mungkin berhasil, tetapi efeknya
umumnya tidak terlalu signifikan. Selain jenis fiber ini, beberapa pencahar lain juga
sering dipakai sebagai pelangisng. Penggunaan pencahar sebagai pelangsing dalam
waktu lama tidak disarankan karena usus akan menjadi “malas”, akan bekerja jika ada
pemicunya, dalam hal ini menjadikan semacam “ketergantungan”.

V. Alat dan Bahan


a. 5 ekor mencit
b. Obat laksatif-purgatif: garam inggris, Kompolax, Ol. Ricini, parafin liq, MgSO4
25%
c. Kertas saring
d. Wadah pengamatan
e. CMC

VI. Prosedur
Metode Proteksi
a. Mencit dibagi menjadi 2 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 3 ekor mencit
b. Kelompok 1 : kontrol negatif (diberi CMC), 30 menit kemudian diberi air
c. Kelompok 2 : kontrol positif (diberi CMC), 30 menit kemudian diberi oleum
ricini/ parafin cair/garam inggris/kompolak.
d. Semua bahan uji diberikan dengan rute oral.
e. Tiap mencit dimasukan kedalam wadah pengamatan yang diberi alas kertas saring
yang telah ditimbang beratnya.
f. Dilakukan pengamatan frekuensi defekasi, konsistensi feses dan berat feses setiap
selang 15 menit selama 60 menit.
g. Frekuensi feses ditentukan berdasarkan berapa kali mencit tersebut mengalami
defekasi dalam tiap selang 5 menit.
h. Konsistensi feses dinyatakan dalam bentuk skor sebagai berikut : Simbol
Konsistensi Skor N (Normal) = 0, LN (Lembek Normal) = 1, L (Lembek) = 2, LC
(Lembek Cair) = 3 C (Cair) = 4
(Sumber : Subarnas dkk, 2008)
i. Berat feses dihitung berdasarkan selisih berat kertas saring awal dengan berat
kertas saring setelah 5 menit pengamatan.
j. Data pengamatan disajikan dalam bentuk tabel
k. Analisis data tersebut secara statistik.

Metode Osmotik
a. Mencit dipuasakan selama 24 jam, minum tetap diberikan
b. Mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher
c. Usus dipamerkan dengan torehan mid sagittal. Hati-hati jangan sampai melukai
usus.
d. Selama melakukan percobaan, usus mencit tetap harus terbasahi dengan larutan
NaCl fisiologis
e. Pada jarak sekitar 2 cm dari pylorus, ikat usus dengan benang pada jarak sekitar
2,5 cm, hingga diperoleh 2 segmen terpisah.
f. Suntikkan pada masing-masing segmen : MgSO4 25% untuk segmen 1 dan NaCl
0,9% untuk segmen 2.
g. Tempatkan kembali segmen usus ke dalam rongga abdomen, basahi terus dengan
NaCl fisiologis
h. Amati dan bandingkan secara kualitatif kondisi kedua segmen tersebut. 7
i. Tabelkan hasil eksperimen untuk melihat pengaruh masing-masing larutan
terhadap retensi cairan.
VII. Hasil pengamatan

Berikut data hasil pengamatan metode proteksi :

1. Konsistensi

a. Tabel pengamatan Konsistensi Feses


Konsistensi Feses (skor) menit ke- Rata - rata
Kelompok
15 30 45 60 75 90
Kontrol 0 0 1 1 0 1 0,5000
Oleum 3 2 3 3 3 2 2,6667
Riccini
Bisacodyl 1 2 1 2 3 2 1,8333
Vegeta 1 1 2 2 0 2 1,3333

b. Grafik Pengamatan Konsistensi Feses

Konsistensi Feses
3,5

2,5

1,5

0,5

0
15' 30' 45' 60' 75' 90'

Kontrol Oleum Riccini Bisacodyl Vegeta

c. Grafik Rata – rata Konsistensi Feses

Rata - rata
3

2,5

1,5

0,5

0
Kontrol Oleum Riccini Bisacodyl Vegeta

Rata - rata
2. Frekuensi
a. Tabel Pengamatan Frekuensi Feses
Frekuensi Feses (kali) menit ke- J
Kelompok
15 30 45 60 75 90 Jumlah
Kontrol 2 3 1 2 2 3 13
Oleum 1 4 4 5 3 2 19
Riccini
Bisacodyl 2 3 3 2 3 2 15
Vegeta 1 1 2 3 4 3 14

b. Grafik Pengamatan Frekuensi Feses

Frekuensi
6

0
15' 30' 45' 60' 75' 90'

Kontrol Oleum Riccini Bisacodyl Vegeta

c. Grafik Jumlah Frekuensi Feses

Jumlah Frekuensi Feses selama 90 menit


20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Kontrol Oleum Riccini Bisacodyl Vegeta

Jumlah
3. Bobot
a. Tabel Pengamatan Bobot Feses
Bobot Feses (gr) menit ke-
Kelompok
15 30 45 60 75 90 Rata - rata
Kontrol 1.533 1.865 1.002 1.384 1.248 1.349 1.396
Oleum Riccini 2.456 3.573 3.346 3.856 2.463 2.534 3.038
Bisacodyl 2.634 2.334 2.786 2.352 2.562 2.567 2.539
Vegeta 1.465 2.433 1.464 2.453 1.422 1.345 1.764

b. Grafik Pengamatan Bobot Feses

Bobot Feses
5

0
15' 30' 45' 60' 75' 90'

Kontrol Oleum Riccini Bisacodyl Vegeta

c. Grafik Rata – rata Bobot

Rata - rata Bobot Feses


3,5

2,5

1,5

0,5

0
Kontrol Oleum Riccini Bisacodyl Vegeta

Rata - rata
Gambar 1. Feses dari hasil defekasi mencit
yang diberi oleum ricini

Praktikum kedua menggunakan metode osmotik. Dengan data yang didapatkan adalah
sebagai berikut:

MgSO4 40%

NaCl 0,9%

Gambar 2. Usus mencit yang diberi larutan


uji
VIII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan uji aktivitas laksatif terhadap mencit yang
mengalami konstipasi, dengan diinduksikan oleh CMC Na menggunakan dua metode,
yaitu metode proteksi dan metode osmotik.
Konstipasi adalah gejala proses defekasi yang bermasalah, tidak lancar, dan
tidak teratur. Sedangkan, laksatif adalah zat yang dapat menstimulasi gerakan
peristaltik usus sebagai refleks dari rangsangan langsung terhadap dinding usus yang
dapat menyebabkan atau mempermudah defekasi. Laksatif ini memiliki beberapa
klasifikasi, yaitu berdasarkan mekanisme kerjanya dan berdasarkan lama
efek/onsetnya.
Pada praktikum dengan metode proteksi menggunakan oleum ricini yang
termasuk ke dalam laksan iritatif, dengan mekanisme kerja menstimulasi sekresi
cairan dan elektrolit dan juga secara umum laksan iritatif bisa mengiritasi usus dan
lama efek selama 1-3 jam. Dilihat pada ketiga indikator, yaitu konsistensi, frekuensi
dan bobot, oleum ricini ini memiliki hasil yang tinggi dari yang lain dan juga kontrol.
Selanjutnya, untuk bisacodyl ini termasuk ke dalam laksan iritatif juga dan lama efek
selama 6-8 jam. Dilihat pada ketiga indikatornya memiliki hasil yang tinggi kedua
dari yang lain dan juga kontrol setelah oleum ricini. Kemudian untuk vegeta ini
termasuk ke dalam laksan pembentuk massa (bulk forming) dengan mekanisme kerja
membentuk gel di usus besar, menyebabkan retensi air, dan meningkatkan gerakan
peristaltik dan dengan lama efek selama 1-3 hari. Dan dilihat dari ketiga indikator
tersebut, vegeta memiliki hasil yang paling rendah dari oleum ricini dan bisacodyl,
tapi lebih tinggi dari kontrol.
Selain dengan menggunakan metode proteksi, dilakukan juga metode osmotik.
Metode osmotik dilakukan dengan cara disuntikkan magnesium sulfat 40% dan NaCl
0,9% pada usus mencit yang telah diikat sehingga terbentuk 2 bagian. Lalu pada
bagian pertama disuntikkan magnesium sulfat 40% dan bagian kedua disuntikkan
NaCl 0,9%. Setelah itu usus yang telah disuntikan ditempatkan kembali pada
abdomen yang telah berisi NaCl fisiologis.
Setelah itu didapat hasil bagian pada magnesium sulfat 40% lebih besar
daripada bagian yang disuntikkan NaCl 0,9 %. Hal itu disebabkan karna konsentrasi
Magnesium Sulfat lebih besar Sehingga terjadi proses osmosis yaitu dimana
konsentrasi rendah akan pindah pada konsentrasi yang lebih pekat. Disini NaCl
fisiologis pindah ke Magnesium Sulfat 40% sehingga pada bagian Magnesium Sulfat
40% lebih besar dibanding NaCl 0,9%.

IX. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa:
a. Pada metode proteksi oleum ricini memiliki hasil yang lebih tinggi dari zat uji
lain dan kontrol. Oleum Racini juga lebih baik karena lama efeknya lebih
cepat dari yang lain.
b. Pada metode osmotik didapat hasil Magnesium sulfat dapat memberikan efek
yang lebih pada mencit dikarenakan konsentrasi yang lebih pekat sehingga
mengalami osmosis.
DAFTAR PUSTAKA

Uthia, Rahimatul, dkk. 2019. “Uji Aktivitas Laksatif Ekstrak Etanol Daun Gynura
procumbens (Lour.) Merr. pada Mencit Putih Jantan yang Diinduksi Loperamid”.
Journal of Biological Sciences.
I. Nama Percobaan
Uji Aktivitas Antidiare

II. Tujuan Praktikum


a. Mempunyai keterampilan dalam melakukan percobaan obat
b. Mengetahui sejauh mana antidiare dapat menghambat diare yang ditimbulkan oleh
suatu pencahar.

III. Dasar Teori


Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana frekuensi defekasi melebihi
frekuensi normal (lebih dari tiga kali sehari) dengan konsistensi feses yang menurun
(lembek atau cenderung cair). Peningkatan frekuensi defekasi terjadi karena
menurunnya waktu transit chymus dalam saluran cerna akibat meningkatnya
pergerakan (motilitasi) saluran cerna. Meningkatnya waktu transit chymus dalam
saluran cerna juga menyebabkan tidak cukupnya waktu untuk absorpsi air. Hal ini
menyebabkan feses yang dikeluarkan menjadi lebih lembek atau cair.
Ada lima jenis klinis penyakit diare, yaitu Diare akut bercampur dengan
air, diare ini memiliki gejala yang datang tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14
hari, penderita akan mengalami dehidrasi dan penurunan berat badan jika tidak
diberikan makan dam minum. Diare kronik, diare yang gejalanya berlangsung lebih
dari 14 hari yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit, maupun non infeksi.
Diare akut bercampur darah, selain intensitas buang air besar meningkat, diare ini
dapat menyebabkan kerusakan usus halus,spesis, malnutrisi atau kurang gizi dan
dehidrasi. Diare persisten/kronis, gejalanya berlangsung selama lebih dari 14 hari,
bahaya utama adalah kekurangan gizi, infeksi serius tidak hanya dalam usus tetapi
menyebar hingga keluar usus. Diare dengan kurang gizi berat, diare ini lebih parah
dari diare yang lainnya, karena mengakibatkan infeksi yang sifatnya sistemik atau
menyeluruh yang berat, dehidrasi, kekurangan vitamin dan mineral, bahkan bisa
mengakibatkan gagal jantung.
Penggolongan obat diare adalah Kemoterapeutika, digunakan untuk terapi
kausal, yaitu memberantas bakteri penyebab diare dengan antibiotika (tetrasiklin,
kloramfenikol, dan amoksisilin, sulfonamida, furazolidin, dan kuinolon). Zat
penekan peristaltik usus, bekerja memperlambat motilitas saluran cerna dengan
mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Contoh: Candu dan alkaloidnya,
derivat petidin (definoksilat dan loperamin), dan antikolinergik (atropin dan ekstrak
beladona). Adsorben memiliki daya serap yang cukup baik, khasiat obat ini adalah
mengikat atau menyerap toksin bakteri dan hasil-hasil metabolisme serta melapisi
permukaan mukosa usus (contoh: karbon, musilage, kaolin, pektin, garam-garam
bismut, dan garam-garam alumunium). Loperamida, obat ini memperlambat
motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus.

IV. Alat, Bahan, dan Hewan Uji


Alat Bahan Hewan Uji
Wadah pengamatan untuk Oleum ricini / parafin cair, Mencit putih sekelamin
pengamatan, alat suntik 1 ml, Loperamid, NaCl fisiologis,
sonde oral mencit, timbangan CMC Na, Kertas saring yang
mencit, timbangan elektrik, telah ditimbang.
stopwatch.

V. Prosedur
Metode Transit Intestinal:
1. Bobot mencit ditimbang kemudian dikelompokkan secara acak menjadi 3
kelompok,
2. kelompok kontrol diberi CMC 2%,
3. kelompok uji Loperamid dosis I dan dosis II di berikan secara per oral,
4. Pada waktu ke-30 menit, semua kelompok hewan diberikan tinta cina 0,1 ml/10 g
mencit secara per oral,
5. Pada waktu ke- 60 menit semua hewan dikorbankan dengan cara dislokasi tulang
leher,
6. Kemudian setelah semua hewan dikorbankan, usus dikeluarkan secara hati-hati
sampai usus teregang,
7. Setelah usus teregang, di ukur panjang usus yang dilalui norit mulai dari pilorus
sampai ujung akhir (berwarna hitam) dan panjang seluruh usus dari pilorus sampai
rectum,
8. Setelah itu, dihitung rasio normal jarak yang ditempuh marker terhadap panjang
usus seluruhnya dan hasil-hasil pengamatan disajikan dalam tabel beserta grafiknya,
9. Kemudian, evaluasi hasil pengamatan pada ketiga kelompok hewan untuk waktu
muncul diare, jangka waktu berlangsung diare, bobot feses dievaluasi masingmasing
secara statistik.
Metode Proteksi Diare:
1. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok :
a. Kelompok 1 : kontrol negatif (diberi CMC Na)
b. Kelompok 2 : kontrol positif (diberi oleum riccini), 30 menit kemudian diberi CMC
Na
c. Kelompok 2 : kontrol obat uji (diberi oleum riccini), 30 menit kemudian diberi obat
antidiare
2. Semua bahan uji diberikan dengan rute oral,
3. Tiap mencit dimasukan kedalam wadah pengamatan yang diberi alas kertas saring
yang telah ditimbang beratnya,
4. Dilakukan pengamatan frekuensi defekasi, konsistensi feses dan berat feses setiap
selang 15 menit selama 60 menit,
5. Frekuensi feses ditentukan berdasarkan berapa kali mencit tersebut mengalami
defekasi dalam tiap selang 5 menit,
6. Konsistensi feses dinyatakan dalam bentuk skor sebagai berikut :

Simbol Konsistensi Skor


N Normal 0
LN Lembek Normal 1
L Lembek 2
LC Lembek Cair 3
C Cair 4
(Sumber: Subarnas dkk, 2008)

7. Berat feses dihitung berdasarkan selisih berat kertas saring awal dengan berat kertas
saring setelah 5 menit pengamatan.
8. Data pengamatan disajikan dalam bentuk tabel
9. Analisis data tersebut secara statistik.

VI. Hasil Pengamatan


Obat yang digunakan adalah :
- Kontrol normal (CMC-Na)
- Kontrol Negatif (oleum riccini)
- Loperamid (dosis manusia 2 mg)
- Diapet® (dosis manusia 1 tab)
- Diatab® (dosis manusia 1 tab)
Berikut data hasil pengamatan metode proteksi :
1. Konsistensi
Konsistensi Feses (skor) menit ke- Rata-Rata
Kelompok
15 30 45 60 75 90
Kontrol 0 0 1 1 0 1 0,5
Oleum Riccini 3 2 3 3 3 2 2,67
Loperamid - - - - 0 - 0
Diapet® 0 - - - - 0 0
Diatab® 0 0 - - - 0 0
2. Frekuensi

Frekuensi Feses (kali) menit ke- Rata-Rata


Kelompok
15 30 45 60 75 90
Kontrol 2 3 1 2 2 3 2,17
Oleum Riccini 1 4 4 5 3 2 3,17
Loperamid - - - - 1 - 0,17
Diapet® 1 - - - - 1 0,33
Diatab® 1 1 - - - 1 0,5
3. Bobot Feses

Bobot Feses (gr) menit ke- Rata-Rata


Kelompok
15 30 45 60 75 90
Kontrol 1.533 1.865 1.002 1.384 1.248 1.349 1,40
Oleum Riccini 2.456 3.573 3.346 3.856 2.463 2.534 3,04
Loperamid - - - - 1.321 - 0,22
Diapet® 1.352 - - - - 1.323 0,46
Diatab® 0.578 0.976 - - - 1.244 0,47

Berikut data hasil pengamatan metode transit intestinal:

Perlakuan Hasil
Jarak yang ditempuh tinta cina = 25,4 cm
Aqua + CMC-Na + Tinta Cina
Panjang Usus Mencit = 54 cm
Jarak yang ditempuh tinta cina = 27 cm
Ol. Riccini + Loperamid + Tinta Cina
Panjang Usus Mencit = 55,5 cm
Ol. Riccini + Na CMC + Tinta Cina Jarak yang ditempuh tinta cina = 37,4 cm
Panjang Usus Mencit = 53,5 cm
Rata Rata Hasil Pengamatan Metode Proteksi
3,5
3,17
3,04
3
2,67
2,5
2,17 Kontrol
2 Oleum Ricini

1,4 Loperamid
1,5
Diapet®
1 Diatab®
0,5 0,5 0,46
0,5 0,33
0,17 0,22
0 0 0
0
Konsistensi Frekuensi Bobot Feses

VII. Pembahasan
Diare merupakan kondisi rangsangan buang air besar yang terus menerus
disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan, atau memiliki kandungan air
yang berlebih dari keadaan normal.

Pada percobaan kali ini dilakukan uji aktivitas antidiare yang tujuan nya
adalah untuk mengetahui sejauh mana antidiare dapat menghambat diare yang
ditimbulkan oleh suatu pencahar dengan 2 metode yang berbeda, yaitu dengan metode
proteksi dan metode transit intestinal. Dalam percobaan, hewan coba yang digunakan
adalah mencit karena hewan mencit ini merupakan hewan yang memiliki anatomi
fisiologi yang sama dengan anatomi fisiologi pada manusia dan dapat menghemat
waktu karena ukuran tubuhnya yang kecil mudah untuk ditangani.

Metode proteksi pada uji antidiare ini mempunyai prinsip yang sama dengan
dengan metode proteksi yang dilakukan pada uji aktivitas laktasif, tetapi
menggunakan senyawa obat yang berbeda, pertama mencit dikelompokan menjadi 3
kelompok, kelompok 1 merupakan kontrol negative, mencit hanya diberi zat
pembawa CMC Na, kelompok 2 merupakan kontrol positif, mencit diberi Oleum
riccini, 30 menit kemudian diberi CMC Na, dan kelompok ke 3 merupakan kontrol
obat uji, mencit di beri oleum riccini, 30 menit kemudian diberi obat antidiare. Obat
antidiare yang digunakan dalam percobaan ini adalah loperamid, Diapet, dan Diatab
Semua bahan uji diberikan secara oral karena yang akang diamati adalah kecepatan
peristaltik usus.

Setelahnya mencit dimasukan kedalam wadah pengamatan yang diberi kertas


saring yang sudah ditimbang sebagai alas nya, kemudian dilakukan pengamatan
frekuensi defekasi, konsentrasi feses dalam rentang waktu 15 menit selama 90 menit,
pengamatan berat feses mencit, berdasarkan selisih penimbangan kertas saring awal
dengan kertas saring setiap 15 menit waktu pengamatan.

Didapat hasil defekasi yang tinggi pada kontrol positif, yaitu kelompok mencit
yang hanya diberi oleum riccini dan pembawa CMC Na. Oleum riccini ini memiliki
mekanisme kerja menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit. Dan dapat dilihat hasil
dari kontrol obat uji diantara tiga obat yang di uji memiliki pengurangan paling tinggi
terdapat pada mencit dengan obat uji Loperamid, Loperamid memperlambat gerakan
usus dengan mempengaruhi langsung otot sirkular dan longitudinal dinding usus,
serta mempengaruhi gerakan air dan elektrolit diusus besar. Sehingga menurunkan
volume usus, meningkatkan viskositas, dan menghentikan kehilangan cairan dan
elektrolit.

Lalu metode yang ke 2 adalah metode transit intestinal, metode ini digunakan
loperamid dengan dosis berbeda yang diberikan secara oral. Setelah 30 menit
pemberian loperamid hewan uji diberikan tinta cina 0,1 ml/10 gram yang juga
diberikan secara oral. Penggunaan tinta cina ini bertujuan sebagai indikator untuk
mengetahui kecepatan motilitas usus. Setelah 60 menit hewan uji di korbankan
dengan cara dislokasi tulang leher dan dikeluarkan dan direntangkan usus hewan uji
secara hati-hati. Kemudian diukur panjang usus yang dilalui tinta cina mulai dari
pylorus sampai ujung akhir berwarna hitam. Dan panjang seluruh usus dari pylorus
sampai rectum. Didapat hasil metode transit intestinal, mencit dengan kontrol positif
yang sudah diberi oleum riccini, memiliki rute tinta cina yang dilalui paling panjang.
Sedangkan mencit kontrol negatif memiliki jarak paling pendek, karena tidak diberi
zat laktasif, dan mencit dengan bahan obat uji, memiliki nilai tengah karena sebelum
diberi obat antidiare, mencit kontrol obat uji diberi zat laksan yang meningkatkan
gerakan peristaltik otot usus.
VIII. Kesimpulan
Pada praktikum uji aktivitas antidiare ini dapat disimpukan bahwa :
a. Pada metode proteksi didapat hasil bahwa Loperamid memiliki pengurangan
defekasi paling tinggi, diantara ketiga obat yang diuji.
b. Pada metode transit intestinal didapat hasil
- Mencit yang diberi zat laksan tanpa obat antidiare memiliki jarak paling
panjang yang dilalui oleh tinta cina.
- Mencit dengan bahan obat uji, memiliki nilai tengah
- Mencit yang tidak diberi zat laksan memiliki jarak paling pendek.
I. Nama Percobaan
Uji Aktifitas Analgesik

II. Tujuan Praktikum


a. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek
analgetik suatu obat
b. Memahami dasar-dasar perbedaan daya analgetik berbagai obat analgetik
c. Mampu memberikan pandangan mengenai kesesuaian khasiat yang
dianjurkan untuk sediaan-sediaan farmasi analgetika.

III. Pendahuluan
Banyak, mungkin pula semua sensasi nyeri disebabkan karena pembebasan
senyawa-senyawa kimia tertentu oleh stimulus nyeri. Senyawa-senyawa kimia yang
dibebaskan ini ada yang menyerupai bradiokinin yang dapat menimbulkan rasa nyeri,
misalnya vasodilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan migraine, atau
menimbulkan kejang-kejang otot viseral atau iritasi maupun kerusakan jaringan
setempat. Tergantung pada serabut syaraf yang menghantarkan impuls nyeri ke korteks
sensorik di otak, maka sensasi nyeri disadari sebagai nyeri yang tajam, menusuk atau
nyeri yang lebih bersifat linu. Penyadaran sensasi nyeri sendiri sebagai respon
terhadap stimulus nyeri dapat sangat bervariasi dari orang ke orang. Analgetik
narkotik seperti morfin diketahui juga memodifikasi reaksi dan respon orang terhadap
nyeri, sehingga nyeri yang dideritanya dapat lebih baik.
Obat-obat analgetik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi rasa nyeri terhadap rangsang nyeri mekanik, termik, listrik atau kimiawi
di pusat dan perifer atau dengan cara menghambat pembentukkan prostaglandin
sebagai mediator sensasi nyeri. Kelompok obat ini terbagi ke dalam golongan
analgetik kuat (analgetik narkotik) yang bekerja sentral terhadap sistem syaraf pusat,
dan golongan analgetik lemah (analgetik non-narkotik) yang bekerja secara perifer.
Pada pemakaian yang tidak hati-hati obat-obat dalam kelompok pertama dapat
menimbulkan ketergantungan, sedangkan obat-obat dalam kelompok kedua adakalanya
memiliki pula efek antipiretika di samping efek analgesik seperti asetosal, dan efek
anti radang seperti phenolbutazon. Di samping itu ada beberapa obat yang meskipun
tidak digolongkan analgetik, bekerja secara spesifik untuk meringankan penderitaan
nyeri seperti ergotamin, senyawa-senyawa nitrit dan kolkhisin. Pada waktu
mengevaluasi efek obat analgetika perlu diperhatikan bahwa metoda-metoda
eksperimental yang ada tidak selalu dapat mendiskriminasikan dengan baik antara obat
yang potensial dan yang tidak potensial sebagai analgetik pada manusia. Kesulitan
disebabkan pula karena tidak semua tipe nyeri dapat direproduksi secara
eksperimental. Secara umum dianggap bahwa potensi suatu analgetika tidak dapat
dievaluasi dengan baik secara eksperimental dalam orang sehat sehingga ekperimen-
eksperimen untuk maksud ini selalu direncanakan untuk situasi klinik. Metode
pengujian aktivitas analgetika dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk
menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan
(mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara mekanik, termik, elektrik dan
secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik
lebih sesuai untuk mengevaluasi obat analgetika kuat. Pada umumnya daya kerja
analgetika dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri
yang harus diberikan sebelum ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan
terhadap stiumulus nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri.
Prinsip metode pada induksi nyeri secara panas ini yaitu hewan percobaan
ditempatkan di atas plat panas dengan suhu tetap sebagai stimulus nyeri akan
memberikan respon dalam bentuk mengangkat atau menjilat telapak kaki depan, atau
meloncat. Selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon yang
disebut dengan waktu reaksi, dapat ditingkatkan oleh pengaruh obat-obatan
analgetika. Peningkatan waktu reaksi ini selanjutnya dapat dijadikan parameter dalam
mengevaluasi aktivitas analgetika.

IV. Alat, Bahan, dan Hewan Uji


Alat : 1. Alat suntik 1 ml/sonde oral
2. Plat panas suhu 55°C dilengkapi thermostat
3. Platform pengamatan mencit
4. Stopwatch
5. Timbangan mencit
Bahan :
1. obat analgesik (asam asetil salisilat/asetosal atau
codein, asam Mefenamat, Paracetamol atau

Hewan percobaan : antalgin)


2. Larutan NaCl fisiologis, Asam asetat 0,7%, CMC
Na 1- 2%
Mencit putih jantan dengan berat badan 25-30 g
V. Prosedur

Metode Induksi Kimia


a. Hewan dibagi atas 3 – 4 kelompok. Semua hewan dari setiap kelompok
diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya secara per oral, yaitu :
1) Kelompok kontrol diberi larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi
gom arab 2%
2) Kelompok obat standar diberi asam asetil salisilat 100 mg/kgBB
3) Kelompok uji diberikan obat uji sesuai dosis
4) Setelah 30 menit, hewan diberi asam asetat 0,7% secara i.p
b. Segera setelah pemberian asam asetat, hewan disimpan pada platform
pengamatan, gerakan geliat hewan diamati, dan jumlah geliat dicatat setiap
5 menit selama 60 menit jangka waktu pengamatan.
c. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis variansi
dan kebermaknaan perbedaan jumlah geliat antara kelompok kontrol dan
kelompok uji dianalisis dengan student’s T-test
d. Daya proteksi obat uji terhadap rasa nyeri dan efektivitas analgesiknya
dihitung dengan rumus berikut :
% proteksi = 100 – (jumlah geliat kel. uji / jumlah geliat kelompok kontrol)
x100%
% efektivitas analgesik = % proteksi zat uji / % proteksi as.asetil salisilat x
100%.

e. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik

VI. Hasil Pengamatan

Jumlah geliat (kali) menit ke- Rata Rata


Kelompok
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’

Kontrol Normal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Kontrol Positif 1 2 11 30 36 41 44 42 51 42 34 31 30,42


(induksi)
Aspirin 1 1 15 15 13 10 25 21 9 14 2 1 10,58

Asam Mefenamat 0 0 10 11 9 10 0 0 0 0 0 0 3,33

Meloksikam 0 2 11 7 6 5 8 6 6 1 1 0 4,42
Ibuprofen 0 9 25 25 15 19 10 9 8 8 6 5 11,58

Rata-Rata Hasil Pengamatan


35

30

25

20

15

10

0
Kontrol Normal Kontrol Positif Aspirin Asam Mefenamat Meloksikam Ibuprofen

- Perhitungan %proteksi
127
1. % proteksi Aspirin = 100 – ( 𝑥 100) = 65,2%
365
40
2. % proteksi Asam Mefenamat = 100 – ( 𝑥 100) = 89,04%
365
53
3. % proteksi Meloksikam = 100 – ( 𝑥 100) = 85,48%
365
139
4. % proteksi Ibuprofen = 100 – ( 𝑥 100) = 61,92%
365

VII. Pembahasan
Nyeri merupakan sensasi yang mengindikasikan bahwa tubuh sedang
mengalami kerusakan jaringan, inflamasi, atau kelainan yang lebih berat seperti
disfungsi sistem saraf. Oleh karena itu nyeri sering disebut sebagai alarm untuk
melindungi tubuh dari kerusakan jaringan yang lebih parah. Rasa nyeri seringkali
menyebabkan rasa tidak nyaman seperti rasa tertusuk, ras a terbakar, rasa kesetrum,
dan lainnya sehingga mengganggu kualitas hidup pasien atau orang yang mengalami
nyeri. Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit dengan bertindak
dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer, tanpa secara signifikan
mengubah kesadaran. Analgesik menghilangkan rasa sakit, tanpa mempengaruhi
penyebabnya. Analgesik apabila digunakan dengan dosis yang berlebihan maka
dapat menimbulkan beberapa efek samping. (Chandra et al., 2016).
Pada praktikum Uji Aktivitas Analgesik ini bertujuan untuk dapat melakukan
berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek suatu obat analgesik,
dapat memahami dasar – dasar perbedaan daya analgesik berbagai obat, dan juga
mampu memberikan pandangan mengenai kesesuaian khasiat yang dianjurkan untuk
sediaan – sediaan farmasi yang mengandung analgetika.
Metode yang digunakan pada praktikum kali ini adalah metode induksi kimia.
Prinsip dari metode induksi kimia ini adalah ini dengan diberikan rasa nyeri
terhadap mencit. Nyeri diinduksi dengan injeksi iritan kedalam rongga peritoneal
mencit. Hewan tersebut bereaksi dengan perilaku peregangan yang disebut geliatan,
selanjutnya dikenal dengan metode writhing test. Uji coba ini cocok untuk
mendeteksi aktivitas analgesik walaupun beberapa agen psikoaktif juga
menunjukkan aktivitas. Zat kimia yang digunakan pada praktukum ini adalah Asam
Asetat. Obat analgesik yang akan diujikan antara lain Aspirin, Asam Mefenamat,
Meloksikam dan Ibuprofen.
Pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan hewan uji. Hewan uji yang
digunakan adalah mencit. Siapkan 6 mencit, lalu tandai mencit tersebut. Mencit 1
untuk kelompok kontrol normal, mencit 2 untuk kelompok kontrol positif, mencit 3
untuk kelompok uji obat aspirin, mencit 4 untuk kelompok uji obat Asam
Mefanamat, mencit 5 untuk kelompok uji obat Meloxicam dan mencit 6 untuk
kelompok uji obat Ibuprofen. Lalu setelah itu, pada kelompok kontrol normal dan
kontrol, diberikan CMC-Na secara peroral, lalu untuk kelompok uji diberikan obat
uji sesuai dosisnya. Setelah 30 menit, kelompok kontrol positif dan kelompok uji
diberi asam asetat 0,7% secara intraperitoneal. Pemberian Asam Asetat diberikan
secara intraperitoneal karena untuk mencegah penguraian saat melewati jaringan
fisiologik pada organ tertentu dan dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika
diberikan melalui rute lain.Hewan uji simpan di atas platform pengamatan, lalu
dilakukan pengamatan jumlah geliat pada hewan tiap 5 menit.
Pemberian Asam Asetat ini bertujuan untuk menimbulkan rangsang nyeri
melalui rangsang kiimia. Pemberian bahan kimia tertentu akan merusak jaringan
sehingga memicu terlepasnya mediator nyeri seperti bradikinin, prostaglandin dari
jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung – ujung
saraf perifer yang selanjutnya diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri yang oleh
saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan talamus yang kemudian berupa
rasa nyeri sebagai akibat dari rangsang otak. Digunakan Asam Asetat karena
merupakan asam lemah yang pada dasarnya bersifat mengiritasi dan dapat membuat
luka yang dapat menimbulkan rasa sakit, tetapi lebih sedikit merusak jaringan dan
tidak permanen bila dibandingkan dengan menggunakan asam atau basa kuat.
Larutan Asam Asetat diberikan setelah 30 menit karena diketahui bahwa obat
yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan
rasa nyeri. Selang beberapa menit setelah pemberian Asam Asetat mencit akan
menggeliat yang ditandai dengan adanya kejang perut dan kaki ditarik ke belakang.
Lalu jumlah geliat mencit dihitung setiap selang waktu 5 menit selama 60 menit.
Pada hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa rata – rata geliat pada kelompok
kontrol positif adalah 30.42, rata – rata frekuensi geliat pada kelompok uji Aspirin
adalah 10.58, rata – rata frekuensi geliat pada kelompok uji Asam Mefenamat adalah
3.33, rata – rata frekuensi gelilat pada kelompok uji Meloksikam adalah 4.42, dan
rata – rata frekuensi geliat pada kelompok uji Ibuprofen adalah 11.58. Lalu nilai
persen proteksi Aspirin adalah 65.2%, nilai persen proteksi Asam Mefenamat adalah
89,04%, nilai persen proteksi Meloksikam adalah 85.48% dan nilai persen proteksi
pada Ibuprofen adalah 61,92%. Dari rata – rata frekuensi geliat dan nilai persen
proteksi, dapat diketahui bahwa obat analgesik yang paling efektif pada uji ini
adalah Asam Mefenamat lalu dilanjutan dengan Meloksikam, lalu Aspirin, dan yang
paling tidak efektif diantara bahan uji lainnya adalah Ibuprofen.

VIII. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
o Daya proteksi bahan uji Aspirin adalah 65,3%
o Daya proteksi bahan uji Asam Mefenamat adalah 89,04%
o Daya proteksi bahan uji Meloksikam adalah 85,48%
o Daya proteksi bahan uji Ibuprofen adalah 61,92
o Urutan bahan uji dari yang paling efektif adalah Asam Mefenamat >
Meloksikam > Aspirin > Ibuprofen.

IX. Pertanyaan
a. Apa perbedaan obat analgesik narkotika dan analgetik non narkotika ?
Jawab: Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri seperti pada fraktura dan kanker. Contoh : Metadon,
Fentanil, Kodein. Obat Analgesik Non-Narkotik dalam Ilmu Farmakologi juga
sering dikenal dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer.
Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik
atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau
meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau
bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-
Narkotik /Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek adiksi pada
penggunanya.
b. Bagaimana mekanisme kerja obat analgesik non narkotika ?
Jawab: Mekanisme kerjanya melalui penghambatan biosintesis prostaglandin
dengan memblok enzim siklooksigenase.
c. Bagaimana mekanisme kerja obat analgesik-antipiretik dalam
menurunkan suhu tubuh?

Jawab: Mekanisme kerja dengan cara menghambat prostaglandin pada


CNS
d. Terangkan mengapa asam asetat dapat menginduksi rasa nyeri (geliat)
Jawab: Pemberian bahan kimia tertentu akan merusak jaringan sehingga
memicuterlepasnya mediator nyeri seperti bradikinin, prostaglandin dari
jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung – ujung
saraf perifer yang selanjutnya diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri yang
oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan talamus yang
kemudian berupa rasa nyeri sebagai akibat dari rangsang otak. Digunakan Asam
Asetat karena merupakan asam lemah yang pada dasarnya bersifat mengiritasi
dan dapat membuat luka yang dapat menimbulkan rasa sakit, tetapi lebih sedikit
merusak jaringan dan tidak permanen bila dibandingkan dengan menggunakan
asam atau basa kuat
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, C., Tjitrosantoso, H., Lolo, W. . (2016). “Studi penggunaan obat analgesik pada pasien

cedera kepala (concussion) di RSUP PROF. Dr .R.D.KANDOU Manado”. Jurnal Ilmiah

Farmasi, 5(2), 197–204.

Anda mungkin juga menyukai