Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Dibuat Oleh :
TIWI TRI ANDINI
0433131420118132

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HORIZON KARAWANG
Jl. Pangkal Perjuangan Km 1 By Pass Karawang 41316
2022
A. LATAR BELAKANG
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong
melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.
Kelenjar prostat, dapat mengalami beberapa gangguan, dimana salah satu gangguan
yang cukup sering ditemukan adalah Benigna Prostat Hiperplasia (BPH). Gangguan
ini banyak menyerang pria yang telah berusia lanjut. Oleh karena cukup banyaknya
kasus penderita BPH, maka dari itu sebagai tenaga kesehatan perlu mengetahui lebih
lanjut mengenai BPH.
Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila
mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menghambat
aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari buli-buli.
Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hyperplasia stroma dan sel epitelial
mulai dari zona periurethra (Purnomo, 2007).
Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Mc Neal membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara
lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Citra, 2009).
Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan
dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama.
BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu
saluran kemih (Citra, 2009).
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat,
diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau
lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/ LUTS) akibat BPH. BPH mempengaruhi kualitas
kehidupan pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur > 50 tahun (Citra, 2009).
B. PENGERTIAN
Benigna prostate hyperplasia (BPH) adalah sejenis keadaan di mana kelenjar
prostat membesar dengan cepat (Amalia, 2007). BPH merupakan pertumbuham
berlebihan prostat yang bersifat jinak dan bukan kanker (Tan & Rahardja, 2010). BPH
adalah kondisi patologis yang paling sering terjadi pada pasien dengan usia diatas 50
tahun (Smeltzer & Bare, 2005).

C. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor
histologi dan hormon menurut Mansjoer (2009), diantaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron) Testosteron dengan bantuan enzim 5- α reduktase
dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori kebangkitan kembali (Reawakening) Teori ini berdasarkan kemampuan
stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, lesi primer BPH
adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang.
3. Teori hormon Estrogen berperan pada insiasi dan maintenance pada prostat
manusia.
4. Faktor interaksi stroma dan epitel Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor.
Basic Fibroblast Growth Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stoma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostat jinak. B-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi
atau infeksi.
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan
kongenital berupa defisiensi 5- α reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi
testosteron ke DHT. Kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar.
Begitupun sebaliknya pada BPH. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron
serum menurun disertai meningkatnya konversi testosterone menjadi estrogen pada
jaringan peripheral (Amalia, 2007).
D. DERAJAT BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA
Menurut Jitowiyono & Weni (2010) Benigna prostat hyperplasia terbagi dalam 4
derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat ± 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba, sisa urine 50- 100 cc dan beratnya ± 20–40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3–4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyakit
keginjalan seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

E. PENGUKURAN BESARNYA HIPERTROFI PROSTAT


Menurut (Margareth, 2012 dalam Annisa, 2017), pemeriksaan colok dubur ada
tiga cara:
1. Rectal Grading Yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yeng
menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli
kosong. Gradasi ini adalah :
a. 0 – 1 cm : grade 0
b. 1 – 2 cm : grade 1
c. 2 – 3 cm : grade 2
d. 3 – 4 cm : grade 3
e. 4 cm : grade 4
2. Clinical Grading Dalam hal ini urine menjadi patokan.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara meminta pasien berkemih sampai selesai
saat bangun tidur pagi, kemudian memasukkan kateter ke dalam kandung kemih
untuk mengukur sisa urin.
a. Sisa urine 0 cc : Normal
b. Sisa urin 0 – 50 cc : grade 1
c. Sisa urin 50 – 150 cc : grade 2
d. Sisa urine > 150 cc : grade 3
e. Sama sekali tidak bisa berkemih : grade 4
3. Intra Uretra Grading
Dengan alat perondoskope yang diukur/ dilihat beberapa jauh penonjolan
lobus lateral kedalam lumen uretra.
a. Grade 1 : clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahuntahun, mengeluh
kalau kencing tidak lancar, pancaran melemah, nokturia.
b. Grade 2 : bila miksi terasa panas, sakit, dysuria.
c. Grade 3 : gejala makin berat
d. Grade 4 : buli-buli penuh, dysuria overflow incontinence.
Bila overlow incontinence dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi
urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40-41˚C, kesadaran menurun.
F. PATOFISIOLOGI
G. TANDA GEJALA
Menurut Amalia (2007) gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. Tanda gejala BPH antara lain:
1. Tanda BPH Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran
konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination
(DRE).
2. Gejala BPH
a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran kencing lemah (loss of force),
pancaran kencing terputus-putus (intermitency), tidak lampias saat selesai
berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi sesudah kencing
(double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih (terminal
dribbling).
b. Gejala iritatif adalah frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria),
terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit menahan
kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria), kadang juga terjadi
kencing berdarah (hematuria).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Mansjoer (2009) yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan urin dan pemeriksaan mikroskopik urin
penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum,
dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi tau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4
ng/ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate
Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila
nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos
abdomen, pielografi intraven, USG, dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan
pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menetukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain,
baik yang berhubungan maupuntidak berhubungan dengan BPH. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari kegnasan prostat
serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.

I. PENGKAJIAN
1. Sirkulasi : Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )
2. Eliminasi :
a. Penurunan kekuatan / kateter berkemih.
b. Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
c. Nokturia, disuria, hematuria.
d. Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
e. Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).
f. Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)
g. Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat peningkatan
tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih)
3. Makanan / cairan:
a. Anoreksia, nausea, vomiting.
b. Kehilangan BB mendadak.
4. Nyeri : Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens
(pada prostatitis akut).
5. Rasa nyaman :  demam
6. Seksualitas :
a. Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.
b. Takut beser kencing selama kegiatan intim.
c. Penurunan kontraksi ejakulasi.
d. Pembesaran prostat.
7. Pengetahuan / pendidikan :
a. Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
b. Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika/ antibakterial
untuk saluran kencing, obat alergi.
8. Pemeriksaan fisik : colok dubur
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ansietas
2. Gangguan eliminasi urin b.d. obstruksi anatomic (BPH)
3. Retensi urin b.d. sumbatan (BPH)
4. Resiko infeksi
5. Nyeri akut b.d. agen cidera biologis (BPH)

K. INTERVENSI
Menurut Smelzer & Bare (2005), intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien
dengan BPH dibagi menjadi 2 tahap, yakni intervensi preoperatif dan pascaoperatif.
1. Intervensi preoperatif :
a. Menurunkan ansietas
b. Menghilangkan ketidaknyamanan Jika tanda ketidaknyamanan tampak, pasien
diinstruksikan untuk tirah baring, memberikan analgesik, dan tindakan
penurunan ansietas dilakukan. Perawat juga dapat memantau pola berkemih
pasien, mengawasi terhadap distensi kandung kemih, dan membantu saat
kateterisasi. Kateter dapat membantu mendekompresi kandung kemih selama
beberapa hari.
c. Pendidikan pasien Perawat dapat memberikan informasi mengenai penyakit
yang dialami pasien, tindakan dan prosedur operasi yang akan dilakukan, dan
tindakan yang dilakukan setelah operasi.
d. Persiapan praoperatif
2. Intervensi pascaoperatif :
a. Menghilangkan nyeri
b. Penyuluhan pasien dan pemeliharaan kesehatan Jika psien dapat bergerak
bebas, pasien didorong untuk berjalan-jalan, namun tidak duduk dalam waktu
yang lama, karena hal ini dapat meningkatkan tekanan abdomen dan
kemungkinan ketidaknyamanan serta perdarahan. Pelunak feses dapat
diberikan untuk menghindari mengejan yang berlebihan, namun pemberian
enema juga perlu berhati-hati untuk menghindari kemungkinan perforasi
rektal. Latihan perineal perlu dilakukan agar pasien dapat mengontrol
berkemih.
c. Memantau dan mengatasi komplikasi potensial Setelah operasi, amati pasien
terhadap komplikasi utama seperti hemoragi, infeksi dan obstruksi kateter.

L. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Reseksi Transuretral Prostat (TUR atau TURP)
TUR atau TURP adalah prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan
melalui endoskopi. Instrument bedah dan optikal dimasukkan secara langsung
melalui uretra ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung.
Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini
tidak memerlukan insisi, dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran yang
beragam dan ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil dan yang
dipertimbangkan memiliki risiko bedah yang buruk.
2. Prostatektomi suprapubik
Merupakan salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari
atas. Pendekatan ini dapat digunakan untuk segala ukuran kelenjar, namun
kelemahan tindakan ini adalah kehilangan darah mungkin akan lebih banyak
dibandingkan dengan prosedur lainnya.
3. Prostatektomi perineal
Merupakan suatu metode untuk mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Pendekata ini lebih praktis ketika pendekatan lainnya tidak
memungkinkan, dan sangat berguna untuk biopsy terbuka.
4. Prostatektomi retropubik
Merupakan suatu teknik lain dan lebih umum disbanding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah akan membuat insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi
dalam pubis.
5. Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
TUIP adalah prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara memasukkan
instrument melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul
prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. TUIP diindikasikan saat kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr atau
kurang) dan akan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia, R. (2007). Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak. semarang:
Universitas Diponegoro.
Citra, B. D. (2009). Benign prostate hyperplasia (BPH). Riau: Universitas Riau.
Mansjoer, A. (2009). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Eusculapius.
Purnomo. (2007). Dasar-dasar urologi, edisi kedua. Jakrta: CV. Agung Seto.
Tan, T. & Rahardja, K. (2010). Obat-obat sederhana untuk ganghuan sehari-hari. Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai