Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ASWAJA DALAM KAJIAN HISTORIS DAN PERKEMBANGANNYA


(PADA ERA TABI’IN DAN TABI’AT AT TABI’IN)”

(Mata Kuliah : Aswaja)

Dosen Pengampu :

Muhammad Yusuf, S.Ag,M.Pd


 

Disusun oleh :

Puspanie Julita Sutrisno

Sara Ardila

 
BIMIBNGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

SEMESTER V

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI


TAHUN AKADEMIK 2022/2023
 

X
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Aswaja Dalam Kajian Historis Dan Perkembangannya (Pada Era Tabi’in Dan
Tabi’at At Tabi’in)” ini tepat pada waktunya.

Adapun  tujuan  dari  penulisan  dari  makalah  ini  adalah untuk


memenuhi  tugas bapak Muhammad Yusuf, S.Ag,M.Pd. sebagai dosen
pengampu di mata kuliah Aswaja. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Aswaja Dalam Kajian Historis Dan
Perkembangannya (Pada Era Tabi’in Dan Tabi’at At Tabi’in)bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibuselaku dosen pengampu mata


kuliah ini yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 14 September  2022

                                                                                                            Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................1

A.    LATAR BELAKANG................................................................1


B.     RUMUSAN MASALAH............................................................1
C.     TUJUAN MASALAH................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................2

A. SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA................................2


B. SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA VERSI NU.............5
C. AJARAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH............................11

BAB III PENUTUP.................................................................................17

A.    KESIMPULAN...........................................................................17
B.     SARAN.......................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sunni atau Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah atau terkadang juga dikenal dengan
sebutan ASWAJA merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi
Muhammad SAW, di samping berdasar pada Al Qur’an sebagai sumber hukum
Islam yang pertama. Sunni lebih dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa al-
Jama’ah. Ahl al-sunnah memiliki makna orang-orang yang mengikuti sunah Nabi,
dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata Ahl al-
Sunnah Wa al- Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi
Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama
Islam) maupun aqidah (kepercayaan)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Aswaja ?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Aswaja Versi Nu?
3. Apa Ajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Aswaja
2. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Aswaja Versi Nu
3. Untuk mengetahui Ajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA

Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi


Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan alkhulafa’ al-rasyidin,
bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-
750 M). Terma Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru,
atau sekurangkurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi
dan pada periode Sahabat.1

Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya,


orang yang disebut-sebut sebagai pelopor mazhab Ahlus sunnah wal jama’ah
itu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal
jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya
Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan AlAsy’ari) seperti
Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-
Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).

Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim
dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan
bahkan sebagai sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Ini misalnya terlihat
dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada
tahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wa
nasabu anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah),
dan kalimat ahlul haq wad din wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan
jama’ah).2

Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim
dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan
bahkan sebagai sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Ini misalnya terlihat
dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada
tahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wa
nasabu anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah),
dan kalimat ahlul haq wad din wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan
jama’ah).3

1
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), cet. I, hal. 963.
2
Harold. Titus dkk.,Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 122
3
Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Karir di Sekolah-Sekolah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984),
hal. 60.

2
3

Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok


keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi
menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya
Ulumuddinnya Al-Ghazali:

“jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah


pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi”

Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang


teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas
aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika
disebut akidah sunni (ahlussunnah waljama’ah) yang dimaksud adalah
pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut
madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang
menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf
Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul
Karim al-Qusyairi, Imam AlHawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-
Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.4

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman


teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti
Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi
Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang
benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para
sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada
generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh
generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu –
dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan
ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.5

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap


faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam”
yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang
bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka
berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep
pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas
perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh
manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan.
4
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia
Muda, 2008), hal. 5.
5
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, hal. 6.
4

Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha


mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total
dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam
berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat
dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan
dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic.
Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara
kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik. 6

Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam


Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W.
333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut
sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut.
Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham
Mu’tazilah.

Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah


dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkata
kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan
mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya
akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa
yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan
mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan
dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional).7

Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan
istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu
diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum
Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah
Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama
tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja,
namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah
(cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih
condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham
Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep
6
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Pres,
2008), hal. 65.
7
KH. Hasyim Asy‟ari, Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, terjemah oleh
Zainul Hakim, (Jember: Darus Sholah, 2006), hal.16.
5

pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi


Aswaja secara lebih luas). Secara ideologi politik penganut Aswaja juga
sering disebut dengan “kaum Sunni”. Istilah ini sering diantonimkan dengan
“kaum Syi’i”.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA VERSI NU

Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan


seperti itu nampak begitu simpel dan sederhana, karena pengertian tersebut
menciptakan definisi yang sangat eksklusif untuk mengkaji secara mendalam,
terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)
sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr
(cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu
generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam
kedudukannya sebagai Manhaj Al- fikr sekalipun merupakan produk yang
bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.

Terlepas dari beberapa istilah di atas, dikalangan warga NU sendiri


terdapat beberapa definisi tentang Aswaja dari para tokoh, di antarnya yaitu :

1. K.H. Hasyim Ay’ari

KH. Hasyim Asy’ari, merupakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama’.


Beliau memberikan tashawur (gambaran) tentang ahlussunnah
waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam alqanun al-asasi, bahwa
faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti
Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis,
mengikuti salah satu empat madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami
oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.

Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah


versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:

a. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari


pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa
mani’ (‫ ( جامع مانع‬tapi itu merupakan gambaran (‫ ( تصور‬yang akan
lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan
pembenaran dan pemahaman secara jelas ( ‫د يق‬ZZ‫ تص‬.( Karena
secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama
berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana
alaihi wa ashabii.
6

b. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan


implimentasi dari sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah
waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian
terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan
Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertashuwf al-
Ghazali dan Junai al-Baghdadi.
c. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan “wahabiyah” (islam
modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan
konsep kembali kepada al-quran dan assunnah, dalam arti anti
madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. (tahayyul, bid’ah dan
khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi NU dapat
difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-sunnah
perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena
sedikit sekali kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan
kebanyakan mereka itu H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab
Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian muqallid atau muttabi’
baik mengakui atau tidak.8

Oleh karena itu maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab


Qanun Asasi (prinsip dasar), dan juga kitab I’tiqad Ahlussunnah wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah
NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.
Khusus untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak
terkontaminasi oleh paham-paham sesat yang dikampanyekan oleh
kalangan modernis, KH Hasyim Asy'ari menulis kitab risalah ahlusunah
waljamaah yang secara khusus menjelaskan soal bid’ah dan sunah.
Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan pemahaman akidah, fikih, dan
tasawuf versi ahlusunah waljamaah telah berhasil memproduksi
pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan
pengikutnya.

Dalam perkembangannya kemudian para Ulama’ NU di Indonesia


menganggap bahwa Aswaja yang diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari
sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip
tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta
ta’addul (Keadilan). Prinsip-prinsip tersebut merupakan landasan dasar
dalam mengimplimentasikan Aswaja.

8
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis,(Jakarta: Pustaka Cendikia
Muda,2008), hal. 9.
7

2. KH Said Aqil Siroj

Seiring dengan derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam


berbagai bidang menuntut kita agar terus memacu diri mengkaji
Ahlussunah Wal Jama’ah dari berbagai aspeknya, agar warga
nahdliyin dapat memahami dan memperdalam, menghayati dan
mengejawantahkan warisan ulama al salaf al salih yang berserakan
dalam tumpukan kutub al turast.9 Nahdlatul Ulama’ dalam
menjalankan paham ahlusunah waljamaah pada dasarnya menganut
lima prinsip, yakni; at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh
(toleran), atTawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada hukum), dan
amar makruf nahi mungkar.

Dalam masalah sikap toleran pernah dicontohkan oleh pendiri


NU KH Hasyim Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya
negara Islam atau tidak di Indonesia. Kakek mantan Presiden
Abdurrahman Wahid itu mengatakan, selama umat Islam diakui
keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak
menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan persoalan final dan masih
menjadi perdebatan.10Lain dengan kebanyakan para Ulama’ NU di
Indonesia yang menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau
menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh
(toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan).

Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah


sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup
semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar
moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak
bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak
biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan
dunia modern. Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan
paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah sebagaimana dikutip oleh
Said Aqil Siradj, bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah

“Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang


mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-
dasar moderasi, menjaga keseimbangan, keadilan dan toleransi”.

9
Marwan Ja’far, Ahlussunnah Wal Jama’ah; Telaah Historis dan Kontekstual, hal. 81.
10
Said Aqil Siraj dalam Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah
(Jakarta: Khalista, 2011), hal. 26.
8

Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Ahlus sunnah wal
jama’ah adalah tawassuth, tawazzun, ta’adul, dan tasamuh; moderat,
seimbang dan netral, serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah
yang dinilai paling selamat, selain bahwa Allah telah menjelaskan
bahwa umat Nabi Muhammad adalah ummat wasath, umat
pertengahan yang adil (QS. AlBaqarah : 143). Harus diakui bahwa
pandangan Said Aqil Siradj tentang Aswaja yang dijadikan sebagai
manhaj al fikr memang banyak mendapatkan tentangan dari berbagai
pihak meskipun juga tidak sedikit yg memberikan apresiasi. Apalagi
sejak kyai Said mengeluarkan karyanya yang berjudul “Ahlussunnah
wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis”. Meskipun banyak sekali yang
menentang pemikiran Said Aqil Sirodj dalam memahami Aswaja
dalam konteks saat ini, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma
yang digunakan Said Aqil Siradj dalam menafsiri Aswaja patut
untuk dihormati.

Karena yang dilakukan merupakan wujud tafsir dalam


memahami Aswaja di era Globalisasi. Selain itu salah satu karakter
Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi,
oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif,
dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa
berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak
kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus
tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah.
Karena implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih
wa al-akhdzu bi al jadid alashlaha adalah menyamakan langkah
sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa
yang akan datang.11

Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan


kongkrit ke dalam semua sektor dan bidang kehidupan baik, aqidah,
syariah, akhlaq, sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain
sebagainya. Semua itu dilakukan sebagaim wujud dari upaya untuk
senantiasa melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh.

Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di


kalangan para sahabat Nabi mengenai kepemimpinan setelah wafatnya Nabi.
Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik.
Dari ranah yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke
dalam berbagai perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek

11
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi‘u wan-Nasru Darul Fkr al-‗Araby, 1958, hal 317
9

teologi dan fiqih. Inilah realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu
untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham
Aswaja (kaum Sunni).

Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni) menjadikan empat mujtahid besar,


Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali RA sebagai
rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab
Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti
mazhab Syafi’i. Telah disebut di atas bahwa secara teologis kaum Nahdliyyin
(warga NU) adalah bermazhab Aswaja. Artinya, mereka adalah bagian dari
kaum Sunni. Dengan demikian maka secara otomatis faham teologi mereka
tidaklah bersifat ekstrim, akan tetapi bersifat moderat (tengah-tengah). Jadi
tidak ada warga NU, misalnya, yang terlibat kegiatan melawan Pemerintah
yang sah, seperti teroris.12

Melalui kecerdasan-kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas para ulama


NU, terumuskanlah beberapa nilai ajaran yang luhur yang diyakini dapat
membawa umatnya – baik secara individual maupun komunal – ke jalan yang
benar, sejahtera lahir dan batin, selamat di dunia dan di akherat serta diridloi
Allah SWT, termasuk cara kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara yang
diliputi dengan kedamaian. Di antara nilai-nilai penting yang diajarkan adalah
sikap at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun, at-tasamuh dan amar ma’ruf nahi
mungkar. Kata at-tawassuth mempunyai arti mengambil posisi di
pertengahan, kata al-i’tidal berarti tegak lurus, tidak memihak, karena kata ini
berasal dari kata al-‘adl yang berarti keadilan, kata at-tawazun berarti
keseimbangan, tidak berat sebelah, yakni tidak melebihkan sesuatu dan tidak
menguranginya dan kata at-tasamuh mempunyai arti toleransi, yakni
menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan.

Semuanya itu diintisarikan dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah. Nilai-nilai


tersebut diamalkan dalam pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang
merupakan ruh kehidupan umat dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
Inilah ciri-ciri penting yang melekat pada kehidupan kaum Sunni. Dan nilai-
nilai inilah yang senantiasa disandang oleh para ulama NU semenjak
kelahirannya hingga kini. Semua itu tiada lain adalah merupakan warisan para
wali (pendakwah Islam) yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di Tanah
Air kita ini. Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari
dengan nilai-nilai tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling efektif,
feasible, akurat dan tepat. Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU, baik

12
Marwan Ja‟far, Ahlussunnah Wal Jama’ah; Telaah Historis dan Kontekstual, (Yogyakarta:
LKiS, 2010), Cet. Pertama, hal. 81.
10

secara kelembagaan (jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah),


ajaran (pemahaman keagamaan) maupun kultur keagamaan dan
kemasyarakatannya dapat diterima bahkan didukung dan diikuti oleh
sebagian besar umat Islam Indonesia.

Hal ini terbukti dengan penilaian positif dari para pemimpin


pemerintahan Republik Indonesia. Berita terakhir yang patut dikemukakan di
sini adalah tawaran Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di saat
kunjungan Rais Am dan Ketua Umum PBNU di Istana Negara, 2 Juni 2010,
kepada PBNU untuk bekerjasama (MoU) dalam 5 bidang. Pertama, adalah
masalah penanggulangan gerakan radikalisasi. Menurut penilaian beliau
pendekatan kultural dan keagamaan yang dilakukan NU sangatlah efektif.
Kedua, adalah di bidang peningkatan ekonomi, terutama dalam peningkatan
ketahanan pangan, pengembangan usaha ekonomi mikro dan ketahanan
energi. Program ini perlu dilakukan secara luas agar bisa menjangkau lapisan
rakyat yang paling bawah.13 Ketiga, kerjasama dalam bidang pendidikan,
terutama dengan pendidikan moral dan penguatan character building.
Dikatakan, agenda ini sangat penting mengingat saat ini pendidikan telah
kehilangan aturan dan tata nilai. ”Kita bisa kembali menata moral bangsa
dengan pendidikan moral dan dengan penguatan character building. ”
Demikian kata Said Aqil, Ketua Umum PBNU. Keempat, adalah
penanggulangan climate change. Peran ulama dalam masalah ini sangat
penting. Sebab hal ini amat berkaitan dengan pembinaan moral bangsa.
Dengan penanaman nilai-nilai moral yang luhur diharapkan masyarakat akan
lebih bisa menghormati lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kelima,
adalah pengembangan dialog peradaban untuk mewujudkan perdamaian
dunia. Saat ini Indonesia dan NU diminta lebih aktif dalam forum
internasional dan diharapkan menjadi leader dalam semua bidang.14

C. AJARAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH


1. Fiqih

Istilah Fiqh diderivasi dari kata faqqaha yufaqqhihu fiqhan yang berarti
pemahaman.20 Yang dimaksud adalah pemahamahaman tentang hokum
islam yang bersumber dari Al-quran dan Hadits.
13
A.Djazuli dan I.Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam, PT.Raja Grafindo
Persada,Jakarta 2000,h. 109-110.
14
Abu Zahroh, Muhammad, Ushut Fiqih, alih bahasa Saifullah Ma'shum, Pustaka Firdaus, Jakarta,
1994. Hal 307
11

Pengertian fiqih yang dimaksud dengan pamahaman tesebut


didasarkan kepada Al-quraán surat Hud ayat 91:

Artinya. Mereka berkata, ―Wahai Syuaib! Kami tidak banyak


mengerti tentang apa yang engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami
memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak
karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun
bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.‖

Terdapat dua istilah yang seringkali digunakan dalam pengertian yang


sama tentang hokum islam. Yang pertama ialah syariah dan yang kedua
ialah fiqih. Syariah dan fiqih sama-sama Tentang hokum islam, Yang
membedakan diantara keduanya : Syariah adalah hokum islam yang secara
langsung bersumber dari al-quran dan hadits, sedangkan fiqih adalah
pendapat para ulama‘ tentang hokum islam yang didasarkan kepada
Alquran dan hadits.

Pada masa hidupnya nabi Muhammad SAW, umat islam pada saat itu
mendapatkan ajaran islam secara langsung dari rasulullah SAW, Termasuk
persoalanpersoalan keagamaan yang berkaitan dengna hokum islam,
secara langsung dijelaskan oleh beeliau. Setelah wafatnya nabi
Muhammad SAW Umat islam pada saat itu kehilang sumber langsung
untuk konsultasi tentang persoalanpesoalan keagamaan dan yang lainnya
yang berkaitan dengan hokum islam, sementara seiring berjalan waktu
persoalan yang terjadi semakin banyak, untuk itu maka menjadi penting
adanya upaya untuk menemukan ketetapan hokum tentang persoalan-
persoalan yang tidak ditemukan nashnya secara jelas didalam alquran dan
hdits. Dengan alasan tersebut, Para sahabat rasulullah hususnya
Khalafaurrasyidin menjadi penerus dari rasulullah SAW dalam kontek
kagamaan yang berijtihad memberikan pejelasan dari persoalan-persoalan
keagamaan yang didasarkan pada nash yang sudah ada.

“Dari sahabat Mu‟adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus


ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila
tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu‟adz menjawab; saya akan
menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu‟adz menjawab; dengan
Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau
jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu‟adz
menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
kembali; Mu‟adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya,
kemudian Mu‟adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq
12

kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah


meridlaiNya.

Hadits tersebut menunjukkan persetujuan rasulullah terhadap upaya


ijtihad yang dilakukan untuk menemukan jawaban tentang persoalan-
persoalan hokum yang tidak ada sumbernya dalam al-quran dan hadits.
Dalam aspek fiqih, ahlu Sunnah wal jamaah menganut atau mengikuti
pendapat empat madzhab yaitu ; IMAM Malik, Imam Syafií, Imam
Hambali dan Imam Hanafi, terdapat beberapa alasan kenapa menggunakan
empat madzhab tersebut sebagai sumber rujukan dalam bidang fiqih,
yaitu:15

a. Kualitas keilmuan dan peribadian ke empat madzhab tersebut


sangat masyahur, dan sudah sangat dikenal dikalnga ulama‘-
ulama‘besar.
b. Keempat imam madzhab tersebut merupakan imam mujtahid
mutlaq mustaqil, yaitu imam mujtahid yang mampu secara mandiri
menciptakan manhajul fikri, metode, proses dan prosedur dengan
seluruh perangkat yang dibutuhkan
c. Keempat imam tersebut mempunyai murid yang secara konsisten
mengajar dan mengembangkan madzahabnya dari sumber induk
yang masih terjaga kemurniaanya.
d. Keempat madzhab tersebut memliki mata rantai dan sanad
keilmuan yang jelas.

Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah fikih adalah


sebagai berikut:16

a. Ahlus Sunnah Wal Jamaah berpegang teguh pada Alquran dan


Hadis dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Ahlus Sunnah Wal Jamaah baru menggunakan akal setelah tidak
ada nash yang jelas (sharih, qoth‘i).
c. Ahlus Sunnah Wal Jamaah dapat menerima perbedaan pendapat
dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang
multipenafsiran (zhanni).

2. Aqidah

15
TIM PWNU Jawatimur, Aswaja Al-Nahdliyah, Surabaya Khalista 2007. Hal 24
16
Tim harakah islamiah, buku aswaj, harakah islamiah. Tth hal 28
13

Aqidah secara linguistic berasala dari kata ―Aqidatun” iman atau


percaya. Secara terminologis, akidah dipahami sebagai iman atau
keyakinan yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi
orang yang meyakininya.17 Aqidah merupakan sesuatu yang mengharuskan
hati Anda untuk membenarkannya, yang membuat jiwa Anda tenang,
tentram kepadanya dan yang menjadikan Anda bersih dari kebimbangan.

Dalam islam, Aspek tauhid atu aqidah adalah pendidikan pertama


yang harus diajarkan , bahkan rasulullah SAW memulai dakwan di tanah
arab, pertama kali yang diajarka oleh beliau adalah tentang keyakinan
kepada Allah SWT. Dzat yang menciptakan Alam semesta dan seluruh
isinya. Aqidah memiliki peranan signifikan sebagai pondasi dasar dalam
ajaran islam. Orang-orang yang ingin memeluk agama islam salah satu
syarat pertama yang harus dipenuhi adalah meyakini dan mengakui bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad utusan Allah.

Dikutip oleh salahudiin bahwa Ibn Al-Qoyyim mengatakan, Tauhid


atau yang disebut dengan aqidah adalah perkara pertama yang
didakwahkan oleh para Rasul, persinggahan pertama di tengah jalan, dan
pijakan pertama yang menjadi pijakan orang yang melangkah menuju
Allah.18

Secara umum aqidah Ahlu Sunnah wal jamaáh dibagi menjadi


beberapa rukun yaitu ;

a. Iman kepada Allah


b. Iman kepada malaikat Allah
c. Iman kepada kitab-kitab Allah
d. Iman kepada rasul-rasul Allah
e. Iman kepada hari akhirat
f. Iman kepada qada dan qadar

Dalam Al-quran surat Al-Nisa‘ Ayat 136:

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman


kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab
(AlQur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

17
Hasan al-Banna, Aqidah Islam, terj. H. Hassan Baidlowi, Bandung: alMa‘arif, 1983, hal. 9.
18
Salahuddin Wahid, et al., Menggagas NU Masa Depan, (Surabaya: Khalista, 2008), hal.143
14

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita semua sebgai orang islam


yang beriman kepada Allah maka wajib meyakini bahwa tidak ada tuhan
selain,percaya kepada malaikat-malaikat Allah, percaya kepada kitab-kitab
Allah, percaya kepada rasul-rasul Allah dan percaya kepada hari ahkir
Dalam aspek aqidah, ahlu Sunnah wal jamaah mengikuti Aliran yang
dikembangkan oleh Abu Hasan AlAsyári dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Kedua Aliran ini diyakini sebagai salah satu aliran yang paling moderat
diantara baeberrapa Aliran lain yang berkembang pada masa itu, seperti
halnya tidak terbawa kepada arus pemikiran yang dikembangkan oleh
jabariah dan qadariah, tetapi mengambil posisi tawassuth diantara
keduanya.

Pengikut aliran abu hasan al-asyrári disebut asyárihah sedangkan


pengikut danri Abu Mansur Almaturidi disebut maturidiyah.

Konsep Aqidah asy ariah dan maturidiah relevan dengan konsep


pemikiran ahlu Sunnah wal jamaah dalam bidang aqidah, yaitu
menggunaka prinsip tasamuh, tawassud dan I‘tidal.

Adapun prinsip dari aqidah ahlu Sunnah wal jamaah yaitu :

a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli.


b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik,
bid‟ah apalagi kafir.

3. Tasawuf

Secara lingusitik istilah tasawuf dipahami berasal dari beberapa kata


yang beragam yaitu :

a. Ahluss suffah (orang orang yang selalu berada diserambi masjid


madina)
b. Shafa ( Suci)
c. Shaf ( barisan shalat)
d. Shaufi ( kebijaksanaan)
e. Shuff (bulu domba )
Tasawuf merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar
untuk membersihkan diri dari sifat-sifat yang dilarang oleh Allah dan
membiasakan diri dengan sifat - sifat yang diperintahkan oleh Allah dan
secara konsisten selalu mendekatkan diri kepada Allah.
15

Imam Sahal Tusturi seorang ahli tasawuf telah mengemukakan


tentang prinsip tasawuf ada enam macam:
a. Berpedoman kepada kitab Allah (Al-Qur‘an)
b. Mengikuti Sunnah Rasulullah (Hadits).
c. Makan makanan yang halal.
d. Tidak menyakiti manusia(termasuk binatang).
e. Menjauhkan diri dari dosa.
f. Melaksanakan ketetapan hukum (yaitu segala peraturan
agama Islam).

Berdasarkan pendapat tersebut bisa dipahami bahwa tasawuf


adalah bagian dari ajaran islam yang secara langsung bersumber dari al-
quran dan hadits dan dengan sungguh – sungguh mengamalkan nilai-nilai
yang terkandung didalamnya dengan selalu mengorientasi semua yang
dilkukan kepada Allah SWT.

Secaa umum dua aliran tasawuf yang berkembang dalam


spiritualisme islam, yaitu: tasawuf sunni dan tasawuf falsafi Tasawuf sunni
adaalah salah satu aliran tasawuf yang bersumber dari Al-quran dan hadits
serta tradisi spiritual sahabat-sahabat raasulullah, sedangkan tasawuf
falsafi adalah salah satu aliran tasawuf yang banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat.

Dalam aspek tasawuf, Ahlu Sunnah Wal Jamaah Mengikuti


Ajaran imam AL-ghazali dan imam junaid al- Baghdadi, Sebuah
pemikiran tasawuf yang secara langsung berlandaskan kepada Alqur-an
dan hadits serta tradisi spiritual para sahabat rasulullah SAW. Jalan sufi
yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya
adalah jalan yang selalu berpegang teguh kepada syariat, Karena itu kaum
aswaja alnahdhiyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri
dari kewajiban-kewajiban syariah, seperti ajaran tasawuf dalam konsep
hulul yang dikembangkan oleh Al-Hallaj dan konsep Wahdatul Wujud
yang dikembangka Ibnu Arabi.

Kaum aswaja an-nahdhiyah hanya menerima ajaran tasawuf


yang tidak meninggalkan syariat dan Aqidah seperti yang diajarkan oleh
imam alghazali dan imam juanid al-baghdadi.19

19
Lihat di KH. Hasyim Asyári, Risalah Ahlu Sunnah Hal 12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah,
yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini
mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli)
dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani.
2. Semua itu tiada lain adalah merupakan warisan para wali (pendakwah
Islam) yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di Tanah Air kita ini.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari dengan nilai-
nilai tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling efektif, feasible,
akurat dan tepat. Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU, baik secara
kelembagaan (jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah),
ajaran (pemahaman keagamaan) maupun kultur keagamaan dan
kemasyarakatannya dapat diterima bahkan didukung dan diikuti oleh
sebagian besar umat Islam Indonesia.
3. Ajaran aswaja antara Fiqih,Aqidah dan Tasawuf

B. SARAN

Akhirnya saya ucapkan syukur kepada Allah atas segala pertolongan


dan petunjuk-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
dengan segala keterbetasan. Saya menyedari bahwa karya ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karenanya, penulis mengaharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari semua pihak demi menuju kepada perbaikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya, khususnya dan pembaca pada
umumnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawi, Yusuf. (2005). Fusul fi aqidah baina al-salaf wa al-khalaf, Qahirah:


Maktabah Wahbah.Al-Sayuti, Jalal alDin ‗Abd al-Rahman ibn Abi Bakar
(1985). Al-Hijaj alMubayyanah : Al-Tafdil Bayna Makkah wa al-Madinah,
(penyunting : Abd. Allah Muhammad al-Darwisy).AlYamamah.

Grafindo PersadCopi, I. M.; Cohen, C.; Flage, D. E. (2007). Essentials of Logic


(Second ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson EducEngku Ahmad Zaki Engku
Alwi, (2006) ―Ajaran Sesat di Negeri Terengganu: Kajian terhadap Faktor
Penyebaran dan Langkah Mengatasinya,‖ Tesis Doktor Falsafah, Jabatan
Akidah Dan Pemikiran Islam, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.

Al-Mahdali, Sayyid Mohd Aqil Ali (2013) Ahlus Sunnah Wal Jamaah, PTS
Publications Riduan Mohamad Nor dan Ahmad Adnan Fadhil, (2009) Siri
Serangan Pemikiran: Islam Liberal dan Pluralisme Agama (Kuala Lumpur:
Jundi Resources.

Shukri Ahmad (2011). Pengaruh Pemikiran Ulama Di semenanjung Malaysia abad


21. Sintok: Press UUM.

Ugi Suharto, (2007) Pemikiran Islam Liberal: Pembahasan Isuisu Sentral (Shah
Alam: Dewan Pustaka Fajar.

17

Anda mungkin juga menyukai