Anda di halaman 1dari 26

Makalah Hari : Senin

MK. Epidiomologi Tanggal : 25 Oktober 2021

PENYAJIAN DAN INTERVENSI DATA PENYAKIT PEKANBARU 2019

Disusun oleh:

Aisyah Sausan (P032013411004)

Anisa Zulfitri (P032013411006)

Arini Cintya (P032013411008)

Indah Nur Fadilla (P032013411018)

Rizka Mellani Putri (P032013411031)

Widya Gustia Sari (P032013411041)

DIII Gizi TK. 2A

Dosen Pengampu:

Dewi Erowati, S. Gz, MPH


AlkausyariAziz,SKM,M.Kes

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN RIAU

JURUSAN GIZI

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan Makalah Penyajian dan
Inttervensi Data Penyakit Pekanbaru 2019 ini dapat terselesaikan dengan baik
tanpa kendala. Maksud dan tujuan penyusunan ini adalah untuk melengkapi tugas
dalam mata kuliah Epidiomologi.

Adapun penyusunan Makalah Penyajian dan Inttervensi Data Penyakit


Pekanbaru 2019 ini berdasarkan sumber yang telah kami baca dan pembelajaran
yang telah dilakukan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Demikian kata pengantar ini kami buat, semoga
dapat bermanfaat, khususnya bagi diri pribadi kami sendiri dan pembaca pada
umumnya.

Pekanbaru, 25 Oktober 2021

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………….……...2

Daftar Isi…..…………………………………………………………………………..…….. 3

Daftar Tabel….………………………………………………………………………….….. 4

BAB I PENDAHULUAN …………………………………….………..…………………… 5

1.1 Latar Belakang ………………..…………………………….……………..………….…..5

1.2 Rumusan Masalah ………….……………………………………………………....……..6

1.3 Tujuan Penelitian………….……………………………………………………..…….…..6

BAB II PEMBAHASAN………………………………………….…………………..……...8

2.1 Penyajian Dan Intervensi Data Penyakit Di Pekanbaru Pada Tahun 2019………………..7

2.2 Analisis Dan Interpretasi Data Dalam Surveilans Penyakit Pekanbaru 2019……………..9

BAB III PENUTUP………………………………………….…………………………........21

3.1 Kesimpulan ………………..…………………………….…………………………..…...21

3.2 Saran………….……………………………………………………………………..……21

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….……………….……..……22

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2019 ……………………….…7

Tabel 2 : Daftar penyakit terbesar kota pekanbaru tahun 2019 ……………………………8

Tabel 3 : Grafik jenis penyakit dan jumlah penduduk di pekanbaru tahun 2019 …….…….8

Tabel 4 : grafik ISPA 2017-2019……………………………………………………………9

Tabel 5 : grafik hipertensi 2013-2019……………………………………………………….11

Table 6 : grafik diabetes melitus 2016-2019………………………………………………...13

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang
mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar
dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.(Hamsinar, 2019)
Pada awalnya surveilans epidemiologi banyak dimanfaatkan pada upaya
pemberantasan penyakit menular, tetapi pada saat ini surveilans mutlak diperlukan pada
setiap upaya kesehatan masyarakat, baik upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular, maupun terhadap upaya kesehatan lainnya.(Hamsinar, 2019)
Pelaporan Penyakit Menular hanya salah satu bagian saja namun yang paling penting
dari suatu system surveilans kesehatan masyarakat. Bertambahnya jumlah penduduk dan
“overcrowding” mempercepat terjadinya penularan penyakit dari orang ke orang. Faktor
pertumbuhan dan mobilitas penduduk ini juga memperngaruhi perubahan gambaran
Epidemiologis serta virulensi dari penyakit menular tertentu. (Hamsinar, 2019)
Perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah baru yang mempunyai ekologi lain
membawa konsekuensi orang-orang yang pindah tersebut mengalami kontak dengan agen
penyakit tertentu yang dapat menimbulkan masalah penyakit baru. Apapun jenis
penyakitnya, apakah dia penyakit yang sangat prevalens di suatu wilayah ataukah penyakit
yang baru muncul ataupun penyakit yang digunakan dalam bioteririsme, yang paliang
penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan adalah mengenal dan
mengidentifikasinnya sedini mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut maka system
surveilans yang tertata rapi sangat diperlukan.(Hamsinar, 2019)
Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah
outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar.
Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan,
dan donor/stakeholder, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik.
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara
terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau

5
episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka
perubahanperubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat
diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan
pengendalian penyakit dengan tepat.(Hamsinar, 2019)
Pada makalah kali ini kami akan membahas bagaimana Penyajian dan Intervensi Data
Penyakit Pekanbaru 2019.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penyajian dan intervensi data penyakit di pekanbaru tahun 2019?
2. Bagaimana analisis dan interpretasi data dalam surveilans ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui bagaimana penyajian dan intervensi data penyakit di pekanbaru
pada tahun 2019
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis dan interpretasi data dalam surveilans

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyajian Dan Intervensi Data Penyakit Di Pekanbaru Pada Tahun


2019
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses
data selanjutnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologis yang
dilaksanakan secara teratur dan terus menerus dan dikumpulkan tepat waktu.
Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang bersumber dari rumah sakit, puskesmas
dan lain-lain, maupun aktif yang diperoleh dari kegiatan survey. Untuk mengumpulkan
data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara umum pencatatan
di puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar gedung
(Budioro, 2007).
dari hasil pengumpulan data, didapatkan data jumlah penduduk menurut
kelompok umur tahyn 2019 dan 10 penyakit terbesar di pekanbaru .

JUMLAH PENDUDUK MENURUT KELOMPOK UMUR TAHUN 2019

NO. KELOMPOK LAKI- PEREMPUAN LAKI-LAKI + RATIO JENIS


(TAHUN) LAKI PEREMPUAN KELAMIN
1. 0-4 58,308 53,278 111,586 109.4

2. 5-9 52,334 48,466 100,800 108.0

3. 10-14 47,214 43,509 90,723 108.5

4. 15-19 53,290 54,542 107,832 97.7

5. 20-24 62,901 61,167 124,068 102.8


6. 25-29 55,012 52,451 107,463 104.9
7. 30-34 49,350 47,435 96,785 104.0

8. 35-39 46,167 44,990 91,157 102.6


9. 40-44 43,315 41,236 84,551 10I.0

Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2019

7
DAFTAR 10 PENYAKIT TERBESAR KOTA PEKANBARU TAHUN 2019

NO NAMA PENYAKIT JUMLAH

1. ISPA 42.201
2. HIPERTENSI ESSENSIAL 21.656
3. DIABETES MELISTUS TIDAK BERGANTUNG 8.852
INSULIN
4. PENYAKIT PULPA DAN PERIPIKAL 5.083
5. INFLUENZA 2.277
6. ARTRITIS REUNATOID 3.291
7. PENYAKIT KULIT DAN JARINGAN SUBKUTAN 3.171
8. GASTRITIS DAN DUODENUM 4.964
9. DISPEPSIA 5.239
10. DERMATOSIS AKIBAT KERJA 3.472

Tabel 2. Daftar penyakit terbesar kota pekanbaru tahun 2019

Selain dapat disajikan ke dalam bentuk tabel sebagaimana dikemukakan di atas, data-data
kuantitatif (numerik) yang terkumpul juga dapat disajikan ke dalam bentuk grafik. Penyajian
data dalam bentuk grafik adalah menggambarkan data secara visual dalam sebuah gambar.
Beriut adalah gambar grafik dari jenis penyakit dan jumblah penduduk di pekanbrau 2019.

8
Table 3. grafik jenis penyakit dan jumlah penduduk di pekanbaru tahun 2019
2.2 Analisis Dan Interpretasi Data Dalam Surveilans Penyakit
Pekanbaru 2019
1. ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai penyakit saluran
pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke
manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai
beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok,
coryza (pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran pernanafasan mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah). Penularan ISPA yang utama melalui
droplet yang keluar dari hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin yang
mengandung bakteri. Beberapa kasus ISPA dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi, sehingga menyebabkan
kondisi darurat pada kesehatan masyarakat dan menjadi masalah nasional. (Megasari
2018)

Table 4. grafik ISPA 2017-2019

World Health Organization (WHO) memperkirakan Infeksi Saluran Pernapasan


Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000
kelahiran hidup adalah 15%- 20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO
± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian

9
tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun.
Jumlah balita yang meninggal akibat ISPA di Indonesia dapat mencapai
150.000 orang per tahun, 12.500 per bulan, 416 per hari, 17 orang per jam atau 1 orang
balita tiap menit. Usia yang rawan adalah usia bayi (dibawah 1 tahun), karena sekitar
60-80% kematian terjadi pada bayi. Survey ini juga mengungkapkan bahwa penyebab
kematian terbesar pada bayi adalah ISPA.
Jumlah penderita ISPA bukan pneumonia di kota Pekanbaru dengan umur diatas
5 tahun pada tahun 2016 berjumlah 44.492 kasus. Kasus ISPA di Puskesmas sangat
tinggi salah satunya Puskesmas Harapan Raya dimana pada bulan November 2017
berjumlah 241 kasus, pada bulan Desember meningkat sebanyak 34,85% dan pada
bulan Januari 2018 meningkat sebanyak 41,49%. Peningkatan jumlah kasus ISPA ini
memerlukan pemeriksaan diagnostik yang tepat yaitu pemeriksaan kapasitas paru.
(Priwahyuni et al. 2020)
Wilayah Puskesmas Garuda ini mencakup 3 kelurahan yaitu Tangkerang
Tengah, Tangkerang Barat dan Wonerojo, kelurahan Tangkerang Tengah ini jumlah
penduduknya paling tinggi yaitu 35.823, perempuan berjumlah 18.106 orang dan laki
– laki berjumlah 17,717 orang dan ibu yang memilki balita berjumlah 6.347. Kejadian
ISPA paling tinggi juga terdapat di Kelurahan Tangkerang Tengah. Diambil 100 sampel
responden dari ibu yang memiliki balita diwilayah Kelurahan Tangkerang Tengah,
diperoleh hasil dapat dilihat sebagian responden yang mengalami ISPA yaitu 82 orang
(82,0%). (Kursani, Yulianto, and Ramadhan 2019)
Munculnya penyakit ISPA dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko
penyebabnya. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas
faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik yaitu meliputi umur, jenis
kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah (BBLR), status imunisasi, pemberian air
susu ibu (ASI), dan pemberian vitamin. Faktor ekstrinsik meliputi kepadatan tempat
tinggal, ventilasi rumah, polusi udara, ventilasi, asap rokok, penggunaan bahan bakar
untuk memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, serta factor ibu baik pendidikan,
umur, maupun pengetahuan ibu. Diantara faktor risiko yang sangat berpengaruh
terhadap kejadian ISPA adalah Pengetahuan orang tua dan kondisi lingkungan serta
status gizi anak (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Bayi dan balita para perokok yang terpapar asap rokok orang lain akan
menderita sudden infant death syndrome, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),
10
asma, bronchitis dan infeksi telinga bagian tengah yang dapat berlanjut hilangnya
pendengaran. Mereka juga akan menderita terhambatnya pertumbuhan fungsi paru,
yang akan menyebabkan berbagai penyakit paru ketika dewasa (Rosmayati, 2014).
Apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat maka akan memiliki dampak
yaitu dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia (Kemenkes RI, 2011). Antara
ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita, bahwa balita yang rumahnya
mempunyai ventilasi dengan kategori tidak memenuhi syarat berisiko 4,58 kali
menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang rumahnya mempunyai ventilasi
rumah kategori memenuhi syarat (Nani, 2012).

2. HIPERTENSI ESSENSIAL
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan
darah diatas normal yang dapat mengakibatkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas). Hipertensi berarti tekanan darah di dalam pembuluh-pembuluh
darah sangat tinggi yang merupakan pengangkut darah dari jantung yang memompa
darah ke seluruh jaringan dan organ-organ tubuh. (Aryantiningsih and Silaen 2018)

Table 5. grafik hipertensi 2013-2019

Hipertensi merupakan masalah utama yang serius dan sering ditemukan pada
masyarakat, baik di negara maju ataupun negara berkembang terutama di negara
Indonesia. Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan tekanan
darah sistol ≥140 mmHg atau tekanan diastol ≥90 mmHg atau keduanya. Hipertensi

11
sering kali tidak menunjukan suatu gejala apapun dalam kurun waktu yang lama dan
sering dikenal sebagai the silent killer. Hipertensi pada umumnya dapat diketahui ketika
telah terjadi komplikasi pada organ seperti otak, mata, jantung, dan ginjal sehingga
hipertensi merupakan salah satu faktor resiko berbagai penyakit. (Setiawan 2021)
Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru (2016) menyebutkan bahwa hipertensi primer
termasuk sepuluh besar kasus penyakit terbanyak di Pekanbaru yaitu menduduki urutan
kedua terbesar setelah Infeksi Saluran Nafas Bagian Atas Akut lainnya (ISPA). Pada
tahun 2013 angka penderita hipertensi tercatat sebanyak 20.005 kasus. Pada tahun 2014
berjumlah 20.601 kasus, jumlah ini meningkat pada tahun 2015 dengan jumlah 31.437
kasus, tetapi jumlah angka penderita hipertensi pada tahun 2016 sedikit mengalami
penurunan dengan jumlah 31.396 kasus. Jumlah angka penderita hipertensi pada tahun
2017 adalah 12.391 kasus. Jumlah angka penderita hipertensi pada tahun 2018 adalah
51.474 kasus. Jumlah angka penderita hipertensi pada tahun 2019 adalah 21.656 kasus.
(Syahputra, Dewi, and Novayelinda 2019)
Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru tahun 2019
dari 21 puskesmas di Kota Pekanbaru, Puskesmas Lima Puluh merupakan puskesmas
dengan angka kejadian hipertensi 3 tertinggi di Kota Pekanbaru dengan jumlah 2.319
kasus. (Puswati, Yanti, and Yuzela 2021)
Bertambahnya umur seseorang semakin banyak pula penyakit yang muncul
khususnya pada lanjut usia, sehingga para lansia mudah sekali terkena penyakit tidak
menular atau degenarif seperti Hipertensi. Anak muda dan remaja bisa menderita
hipertensi bila memiliki kondisi medis tertentu, yang umumnya karena penyakit ginjal
turunan/bawaan, kelainan fungsi/bentuk aorta, sleep apnea, penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), atau masalah tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme).
Mengonsumsi obat-obatan tertentu juga bisa menyebabkan hipertensi di usia muda.
Namun, sebagian besar kasus tekanan darah tinggi pada remaja usia muda tergolong ke
dalam hipertensi primer, yang berarti tidak diketahui penyebabnya.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hipertensi
esensial atau primer (90% dari kasus hipertensi) yang peyebabnya tidak diketahui dan
hipertensi sekunder (10% dari kasus hipertensi) yang disebabkan oleh penyakit gijal,
endokrin dan penyakit jantung. Hipertensi sangat erat hubungannya dengan faktor
genetik, usia, dan jenis kelamin dan lingkungan seperti gaya hidup masyarakat kota
seperti kegemukan, konsumsi garam berlebih, kurang olahraga, merokok, dan
konsumsi alkohol. (Raihan, Erwin, and Dewi 2014)
12
Dengan demikian, kedua faktor tersebut dianggap sebagai penyebab terbanyak yang
mendasari angka kejadian hipertensi terutama pada hipertensi esensial. Kasus
hipertensi esensial atau primer merupakan suatu keadaan dimana kausal hipertensi
sekunder tidak ditemukan, yaitu tidak adanya kondisi penyakit seperti steonosis arteri
renalis, renal tumor, polikistik renal, polyartritis nodusa renal, oklusi arteri renalis,
malformasi arteri renalis, glomerulonephritis, analgesic nephropathy, dan penyakit
parenkimal lainnya.
3. DIABETES MELLITUS TIDAK BERGANTUNG INSULIN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, gangguan kerja
insulin atau keduanya dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf, dan pembuluh darah. Kelainan tersebut menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme, karbohidrat, lemak, dan protein. Penyakit diabetes mellitus (DM) dikenal
sebagai penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah melebihi 180 mg/dl, di mana batas normal gula
darah adalah 70-150 mg/dl, sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam
tubuh, di mana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai
kebutuhan tubuh.

Table 6. grafik diabetes melitus 2016-2019

Riau merupakan salah satu dari 17 provinsi yang dikategorikan memiliki prevalensi
penderita diabetes mellitus tipe II, tahun 2013 prevalensi diabetes mellitus tipe II

13
sebesar 1,5% dan pada tahun 2018 memiliki prevalensi yang lebih tinggi sebesar 1,8%.
Hal ini membuktikan adanya kenaikan angka diabetes mellitus tipe II dari tahun 2013-
2018 sebesar 0,3%.

Pada tahun 2016, angka kejadian DM di kota Pekanbaru sebanyak 15.233 kasus dan
di Puskesmas Rumbai Pesisir Pekanbaru, penyakit DM merupakan penyakit kedua
terbesar di Puskesmas Rumbai Pesisir Pekanbaru (Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru,
2016). Diabetes mellitus menempati posisi ketiga dalam sepuluh penyakit terbesar yang
ada di Kota Pekanbaru dengan prevalensi pada tahun 2017 berjumlah 11.329 orang
(Dinkes Kota Pekanbaru, 2018). Pada tahun 2018, angka kejadian DM di kota
Pekanbaru sebanyak 3.819 kasus. Pada tahun 2019, angka kejadian DM di kota
Pekanbaru sebanyak 8.852 kasus. Serta Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan
tahun 2018, prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk semua umur
sebanyak 1,3% penduduk Riau terdiagnosis diabetes mellitus. (Simamora 2020)

DM tipe II (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM) secara pasti


penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, faktor genetik diperkirakan memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Resistensi ini ditingkatkan oleh
kegemukan, tidak beraktivitas, penyakit, obat-obatan dan pertambahan usia. Pada
kegemukan, insulin mengalami penurunan kemampuan untuk mempengaruhi absorpsi
dan metabolisme glukosa oleh hati, otot rangka, dan jaringan adiposa. DM tipe II yang
baru didiagnosis sudah mengalami komplikasi.

Menurut Priscilla LeMone, dkk, 2016 adapun faktor-faktor resiko DM tipe II yaitu:

1) Riwayat DM pada orang tua dan saudara kandung. Meski tidak ada kaitan HLA
yang terindentifikasi, anak dari penyandang DM tipe II memiliki peningkatan
resiko dua hingga empat kali menyandang DM tipe II dan 30% resiko mengalami,
intoleransi aktivitas (ketidakmampuan memetabolisme karbihodrat secara normal).
2) Kegemukan, didefinisikan kelebihan berat badan minimal 20% lebih dari berat
badan yang diharapkan atau memiliki indeks massa tubuh (IMT) minimal 27 kg/m.
Kegemukan, khususnya viseral (lemak abdomen ) dikaitkan dengan peningkatan
resistensi insulin.
3) Tidak ada aktivitas fisik.
4) Ras/etnis.

14
5) Pada wanita, riwayat DM gestasional, sindrom ovarium polikistik atau
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg.
6) Hipertensi (≥ 130/85 pada dewasa), kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl dan atau kadar
trigliserida ≥ 250 mg/dl.
Menurut (Decroli 2019) Kejadian hiperglikemia pada DMT2 setidaknya dikaitkan
dengan beberapa kelainan pada tubuh penderita DMT2, yang disebut omnious octet
yaitu :
1) Pada sel beta pankreas terjadi kegagalan untuk mensekresikan insulin yang
cukup dalam upaya mengkompensasi peningkatan resistensi insulin.
2) Pada hepar terjadi peningkatan produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
karena resistensi insulin.
3) Pada otot terjadi gangguan kinerja insulin yaitu gangguan dalam transportasi
dan utilisasi glukosa.
4) Pada sel lemak, resistensi insulin menyebabkan lipolisis yang meningkat dan
lipogenesis yang berkurang.
5) Pada usus terjadi defisiensi GLP-1 dan increatin effect yang berkurang.
6) Pada sel alpha pancreas penderita DMT2, sintesis glukagon meningkat dalam
keadaan puasa.
7) Pada ginjal terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 sehingga reabsorpsi
glukosa meningkat.
8) Pada otak, resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan nafsu makan.

4. PENYAKIT PULPA DAN PERIPIKAL

Penyakit periapikal merupakan suatu keadaan patologis yang terlokalisir pada


daerah apeks atau ujung akar gigi. Penyakit periapikal dapat berawal dari infeksi pulpa.
Konsekuensi dari perubahan patologis pada pulpa adalah saluran akar menjadi sumber
berbagai macam iritan. Iritan-iritan yang masuk ke dalam jaringan periapikal inilah
yang akan menginisiasi timbulnya lesi periapikal. Proses terjadinya infeksi bakteri
akibat karies ini diawali ketika lesi karies mencapai dentin, sehingga tubulus dentin
menjadi jalan masuk untuk bakteri, produk bakteri, sisa-sisa jaringan, dan iritan dari
saliva. Jika karies tidak segera dirawat dan gigi akhirnya menjadi nekrosis, maka
bakteri akan berkoloni pada jaringan nekrotik sehingga pulpa terinfeksi. Produk
metabolik dan toksin bakteri masuk ke dalam saluan akar dan berdifusi ke dalam

15
jaringan periapikal sehingga memicu respon inflamasi seperti pembengkakkan dan rasa
sakit. Bakteri utama penyebab terjadinya karies yaitu Streptococcus mutan. Bakteri ini
berperan dalam proses awal terjadinya karies meskipun bakteri ini termasuk flora
normal dalam rongga mulut manusia.

Salah satu penyakit periapikal yang paling sering terjadi yaitu abses periapikal.
Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh jaringan tulang
yang disebabkan oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Sebagian besar kasus
abses periapikal biasanya diawali oleh invasi dari bakteri yang ada pada karies.

Penyakit pulpa dan periapikal disebabkan oleh bakteri yang bervariasi. Bakteri
yang paling banyak ditemukan adalah bakteri anaerob obligat,dengan sedikit bakteri
anaerob fakultatif dan jarang sekali ditemukan yang aerob. Mengisolasi bakteri anaerob
obligat dalam hal ini merupakan hal yang cukup sulit karena bakteri ini tidak dapat
bertahan jika terpapar oleh oksigen dan sangat membutuhkan perlakuan khusus agar
dapat dibiakkan (Bakland 2009)

5. INFLUENZA

Influenza (flu) adalah penyakit pernapasan menular yang disebabkan oleh virus
influenza yang dapat menyebabkan penyakit ringan sampai penyakit berat. Penyebab
influenza adalah virus RNA yang termasuk dalam keluarga Orthomyxoviridae yang
dapat menyerang burung, mamalia termasuk manusia. Virus ditularkan melalui air liur
terinfeksi yang keluar pada saat penderita batuk, bersin atau melalui kontak langsung
dengan sekresi (ludah, air liur, ingus) penderita. Ada dua jenis virus influenza yang
utama menyerang manusia yaitu virus A dan virus B. Virus ini beredar di seluruh dunia
dan dapat mempengaruhi orang tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Influenza
diketahui menyebabkan epidemi tahunan dan umumnya mencapai puncaknya pada
musim dingin di daerah beriklim sedang. Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa
vaksin yang bisa menangani virus influenza.

Dikenal tiga jenis influenza musiman (seasonal) yakni A, B dan Tipe C. Di


antara banyak subtipe virus influenza A, saat ini subtipe influenza A (H1N1) dan A
(H3N2) adalah yang banyak beredar di antara manusia. Virus influenza bersirkulasi di
setiap bagian dunia. Kasus flu akibat virus tipe C terjadi lebih jarang dari A dan B.
Itulah sebabnya hanya virus influenza A dan B termasuk dalam vaksin influenza

16
musiman. Influenza musiman menyebar dengan mudah Saat seseorang yang terinfeksi
batuk, tetesan yang terinfeksi masuk ke udara dan orang lain bisa tertular. Mekanisme
ini dikenal sebagai air borne transmission. Virus juga dapat menyebar oleh tangan yang
terinfeksi virus. Untuk mencegah penularan, orang harus menutup mulut dan hidung
mereka dengan tisu ketika batuk, dan mencuci tangan mereka secara teratur.

Virus influenza A inang alamiahnya adalah unggas akuatik. Virus ini dapat
ditularkan pada spesies lain dan dapat menimbulkan wabah yang berdampak besar pada
peternakan unggas domestik atau menimbulkan suatu wabah influenza manusia. Virus
A merupakan patogen manusia yang paling virulen di antara ketiga tipe infleuenza dan
menimbulkan penyakit paling berat, yang paling terkenal di Indonesia adalah flu babi
(H1N1) dan flu burung (H5N1). Virus influenza B hampir secara ekslusif hanya
menyerang manusia dan lebih jarang dibandingkan virus influenza A. karena tidak
mengalami keragaman antigenik, beberapa tingkat kekebalan diperoleh pada usia
muda, tapi sistem kekebalan ini tidak permanen karena adanya kemungkinan mutasi
virus. Virus influenza C menginfeksi manusia, anjing dan babi, kadangkala
menyebabkan penyakit yang berat dan epidemi lokal. Namun, influenza C jarang terjadi
disbanding jenis lain dan biasanya hanya menimbulkan penyakit ringan pada anak -
anak(Abelson 2011).

6. ARTRITIS REUMATOID

Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun


berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa. Rasa nyeri pada penderita RA pada
bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan mengalami penebalan akibat radang
yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi hingga dapat
menyebabkan

kecacatan. Namun demikian, kebanyakan penyakit rematik berlangsung kronis, yaitu


sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan
sendi secara menetap pada penderita RA. Ada beberapa kondisi yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya rheumatoid arthritis, yaitu: Merokok. Terpapar bahan
kimia, seperti asbes atau silika. Mengalami infeksi bakteri atau virus, serta cedera,
misalnya patah tulang atau dislokasi sendi.

17
Menurut Arthritis Foundation (2015), sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta
orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih didiagnosa arthritis. Dari
data tersebut, sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami RA. RA terjadi pada
0,5-1% populasi orang dewasa di negara maju (Choy, 2012). Prevalensi RA di
Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2010), jumlah
penderita RA di Indonedsia tahun 2009 adalah 23,6% sampai 31,3%.

Pengobatan saat ini menunjukkan kurang efesiennya terapi, menghasilkan efek


samping yang cukup besar, dan biaya cenderung mahal (Aggarwal & Harikumar,
2009). Perlu alternatif pengobatan yang dapat dijadikan salah satu pilihan dalam
penanganan RA. Alternatif pengobatan dapat bersumber dari bahan alam, maupun
turunan dari senyawa bahan alam, salah satunya tanaman yang banyak diteliti yaitu
kunyit yang mengandung senyawa kurkumin. Obat yang digunakan tidak hanya
berfokus pada kemampuan kimiawi obat tersebut, tetapi secara fisik mampu mencapai
target terapi. Sistem nanopartikel banyak digunakan dalam memodifikasi sifat fisik
suatu senyawa. Nanopartikel juga mampu meningkatan efektifitas dalam pengobatan,
terutama RA. (Pharmascience et al. 2016)

7. PENYAKIT KULIT DAN JARINGAN SUBKUTAN

Kulit adalah organ manusia yang paling besar dan terluas dibandingkan dengan
organ-organ lain di dalam tubuh, bahkan luas permukaannya bisa mencapai kurang
lebih 6-7 m2. Kulit manusia berfungsi untuk melindungi manusia dari berbagai paparan
lingkungan luar seperti bakteri, virus, menjaga suhu tubuh, serta sebagai alat peraba
agar bisa melakukan sentuhan dan merasakan rasa panas serta dingin.

Pada dasarnya, kulit manusia terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu:

a. Lapisan epidermis, adalah lapisan terluar dari kulit yang membentuk warna
kulit kita.
b. Lapisan dermis, merupakan lapisan yang berada di bawah lapisan epidermis
dan terdiri dari berbagai jaringan ikat, kelenjar keringat, serta akar bulu-bulu
halus.
c. Lapisan dalam jaringan subkutan atau hipodermis, yang terdiri dari jaringan
ikat dan timbunan lemak.

18
Karena kulit merupakan lapisan paling luar tubuh, maka kulit yang sering
terpapar berbagai zat asing yang bisa menginfeksi tubuh. Oleh sebab itu, kulit tidak
jarang berisiko untuk mengalami infeksi untuk melindungi organ dalam manusia.
Namun kulit tidak dengan mudah terinfeksi atau terkena berbagai bakteri dari
lingkungan, karena sebenarnya lapisan epidermis merupakan penghalang fisik yang
tangguh dan mampu menolak bakteri serta berbagai racun yang dapat menginfeksi
tubuh.

Infeksi di bawah permukaan kulit yang disebut dengan faeohipomikosis subkutan


pada tangan ataupun tungkai lebih sering terjadi daripada infeksi pada organ lainnya.
Penampakan gejala biasanya berupa benjolan atau pembengkakan di bawah kulit yang
muncul setelah jamur masuk ke dalam kulit karena luka yang terkontaminasi jamur dari
kontak dengan tanah, duri, atau serpihan kayu. Diagnosis cukup sulit ditegakkan, perlu
pemeriksaan histopatologi dan biakan jamur untuk memastikannya (Indramaya, Sp.KK
2019)

8. GASTRITIS DAN DUODENITIS

Gastritis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masyarakat kelas


menengah, ke atas dan bawah. Gastritis adalah nyeri yang disebabkan oleh peradangan
atau cedera pada lambung. Tidak peduli berapa usia, gastritis menyerang semua orang.
Gastritis juga dapat muncul secara tiba-tiba dalam waktu singkat (akut), lama (kronis)
atau karena kondisi khusus (seperti adanya penyakit lain). Gastritis termasuk salah satu
penyakit terbesar di dunia, diperkirakan menyerang lebih dari 1,7 miliar orang. Di
negara berkembang, infeksi didapat pada usia dini, sedangkan di negara maju infeksi
paling banyak ditemukan pada usia tua.

Organisasi Riset Kesehatan Dunia WHO melakukan review terhadap delapan


negara di dunia, dan memperoleh persentase tertentu dari kejadian gastritis di dunia dan
diperoleh wanita lebih rentan terserang gastritis dibandingkan pria dimulai sejak usia
dewasa muda hingga lanjut usia. Dimulai dari negara dengan kejadian gastritis
tertinggi, Amerika Serikat menyumbang 47%, disusul India sebesar 43%, dan
kemudian di beberapa negara lain, seperti Inggris 22%, Cina 31%, Jepang 14,5% ,
Kanada 35%, Prancis 29%, 5% dan Indonesia 40,8%.

19
Penyakit ini juga mempengaruhi kesehatan masyarakat sebanyak 41%. Angka
kematian yang diakibatkan penyakit ini lebih banyak dialami perempuan dibandingkan
laki-laki. Pada hitungan per 100 ribu wanita terdapat 15,3 kematian, sedang untuk pria
memakan korban sebanyak 12 per 100 ribu laki-laki.

Berdasarkan katalog Kota Pekanbaru dalam angka, gastritis merupakan salah satu
kasus penyakit dalam 10 besar kasus penyakit yang ditangani puskesmas di kota
Pekanbaru tahun 2018. Gastritis termasuk nomor 5 terbanyak yaitu 1.346 kasus.
Kalangan remaja biasanya menderita gastritis yang disebabkan oleh berbagai faktor,
seperti pola makan yang tidak teratur, gaya hidup yang salah satunya adalah
peningkatan aktivitas (mengajar), sehingga siswa tidak memiliki waktu untuk
menyesuaikan kebiasaan makannya dan menjadi malas makan. Pola makan yang baik
dan teratur merupakan salah satu cara untuk mengendalikan gastritis dan juga sebagai
tindakan preventif untuk mencegah maag kembali kambuh. Penyembuhan gastritis
memerlukan pengaturan pola makan untuk memperlancar pencernaan. Selain itu,
gastritis juga dapat disebabkan oleh stress. (Maharani et al., 2021)

9. DISPEPSIA

Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan


yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa
cepat kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual.
Gejala tersebut bersifat umum dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan
lambung yang disampaikan kepada dokter ahli Gastroenterologi.

Gejala – gejala yang timbul di sebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup
merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi yang relevan
dengan terjadinya dispepsia. Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul
maka dispepsia dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia
organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum,
karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui
pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi
konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak
diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional
atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit - penyakit sistemik.

20
Selain pola makan yang tidak teratur, jenis – jenis makanan yang
dikonsumsipun yang merangsang peningkatan asam lambung seperti makanan pedas,
asam serta minuman beralkohol, kopi dimana kafein yang terdapat pada kopi pada
sistem gastrointestinal akan meningkatkan sekresi gastrin sehingga akan merangsang
produksi asam lambung. Tingginya asam menyebabkan peradangan serta erosi pada
mukosa lambung sehingga dapat memunculkan gangguan dispepsia.

Berdasarkan jumlah kunjungan pasien dispepsia di Poli Puskesmas Bangkinang


Kota Tahun 2014 s.d 2016 dapat di uraikan bahwa jumlah kunjungan pasien sedangkan
untuk sepuluh besar penyakit rawat jalan dispepsia berada pada urutan ke‐6 dengan
angka kejadian kasus sebesar 34.981 kasus pada pria dan 53.618 kasus pada wanita,
jumlah kasus baru sebesar 88.59 9 kasus. (Fithriyana, 2018)

10. DERMATOSIS AKIBAT KERJA

Penyakit Akibat Kerja yang sering terjadi adalah dermatitis kontak. Dermatitis
kontak adalah dermatitis yang disebabkan bahan atau substansi yang menempel pada
kulit. Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis atau urtikaria. Dermatitis kerja
adalah peradangan kulit yang menyebabkan gatal, nyeri, kemerahan, dan
pembengkakan lepuh kecil dan ini sering terjadi pada pekerja informal. Dermatitis yang
terjadi pada pekerja adalah dermatitis kontak akibat kerja. Dermatitis kontak akibat
kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan
faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor.

Dengan perkembangan industri yang sangat pesat di negara kita, maka adanya
alergen kontak dalam lingkungan sulit untuk dihindari. Bahan-bahan seperti logam,
karet dan plastik hampir selalu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula
kosmetik, obat-obatan, terutama obat gosok yang populer di masyarakat, sehingga
diduga insidensi dermatitis kontak alergi akibat alergen-alergen tersebut cukup tinggi.
kebersihan juga sangat penting diperhatikan untuk mencegah terjadinya penyakit
dermatis kontak karna kalau kebersihan pekerja kurang diperhatikan ini bisa menjadi
penyebab memperparah penyakit dermatitis kontak yang di derita pekerja spraying.
Selain menjaga kebersihan diri pekerja juga harus betul-betul memahami bahwa begitu
berbahayanya larutan kimia yang mereka gunakan setiap hari. Herbisida ini bukan saja
membunuh gulma akan tetapi bisa saja membunuh pekerja itu sendiri kalau
pekerjatidak mau peduli terhadap kesehatan dirinya. Beberapa penelitian menunjukkan

21
bahwa penyakit dermatitis kontak merupakan penyakit yang lajim terjadi pada pekerja-
pekerja yang berkerja pada bahan kimia dan panas, serta faktor mekanik sebagai
gesekan, tekanan dan trauma. Beberapa jenis dermatitis seperti dermatitis iritan
disebabkan oleh bahan iritan absolut seperti asam basa, basa kuat, logam berat dan
konsetrasi kuat dan bahan relatif iritan minsalnya sabun, deterjen dan pelarut organik,
sedangkan dermatitis jenis lain adalah dermatitis kontak alergi biasanya di sebabkan
oleh paparan bahan- bahan kimia atau lainnya yang meninggalkan sensitifitas kulit.

Insidens dermatitis kontak akibat kerja yang di diagnosis di Poliklinik Estate


Teso PT. RAPP Pekanbaru yaitu rata-rata sebanyak 175 kasus pertahun atau 50 % dari
kasus seluruh dermatitis kontak. Hasil data yang di peroleh dari klinik sector teso timur
dari bulan Juni 2013 s/d May 2016 menunjukkan bahwa sebanyak 350 pasien yang
menderita penyakit dermatis. (Dahliana, 2017)

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan
dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan dari setiap
variabel ditentukan oleh definisi operasional variabel yang bersangkutan. Metode
pengumpulan data yang umumdigunakan dalam suatu penelitian adalah kuesioner,
observasi, dan wawancara. Dari hasil pengumpulan data di dapatkan 10 penyakit
tertinggi di pekanbaru pada tahun 2019 yaitu ISPA, Hipertensi Essensial,, Diabetes
Mellitus Tidak Bergantung Insulin, Penyakit Pulpa Dan Peripikal, Influenza,
Artritis Reumatoid, Penyakit Kulit Dan Jaringan Subkutan, Gastritis dan
Duodenitis, Dispepsia, dan Dermatosis Akibat Kerja.
Kegiatan pengumpulan data di lapangan, akan menghasilkan angka-angka yang
disebut data kasar. Penyebutan dengan istilah data kasar atau data mentah
menunjukkan bahwa data itu belum diolah dengan teknik statistik tertentu, maka
dilakukan pengolahan data dan kemudian data yang telah diolah disajikan dengan
beberapa Teknik yaitu berupa tabel ataupun grafik.

3.2Saran
Sebaiknya didalam pelaksanaan penelitian waktu yang digunakan dengan baik
agar praktikum berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Dan juga praktikan harus
teliti pada dalam saat pelaksanaan penelitian, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Hamsinar. (2019). Surveilans Epidemiologi Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas


Kesehatan Dan Farmasi Universitas Muhammadiyah 2018 / 2019. Kesehatan
Masyarakat, 1–33.

Aryantiningsih, Dwi Sapta, and Jesika Br Silaen. 2018. “Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat
Di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Pekanbaru.” Jurnal Ipteks Terapan 12(1):
64.

Decroli, Eva. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Fitri S, Rahmi Pramulia, Iyang Maisi Fitriani, and Indri Aryana. 2020. “Faktor Lingkungan
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada
Balita.” Dinamika Lingkungan Indonesia 7(1).

Megasari, Kiki. 2018. “Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Di Puskesmas Rejosari.” Jurnal Ilmu Kebidanan (Journal of Midwifery Sciences) 7(2):
13.

Priwahyuni, Yuyun et al. 2020. “Cegah Penyakit ISPA Di Puskesmas Kecamatan Limapuluh
Kota Pekanbaru.” Jurnal Pengabdian Untuk Mu NegeRI 4(1): 55.

Raihan, Lailatun Najmi, Erwin, and Ari Pristiana Dewi. 2014. “Hipertensi Primer Pada
Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbai Pesisir.” Jurnal Majority 1(2): 1–10.

Setiawan, Topan Dwi. 2021. Faktor Risiko Hipertensi Esensial Pada Petugas Kesehatan Di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.

Simamora, Renika. 2020. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn.A Dengan Diabetes
Mellitus Tipe II Pada NY. S Di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbai Pesisir Pekanbaru.
http://repository.pkr.ac.id/455/1/KTI-Renika Simamora-P031714401064-DIII
Keperawatan.pdf.

Syahputra, Andika, Wan Nishfa Dewi, and Riri Novayelinda. 2019. “Studi Fenomenologi:
Kualitas Hidup Pasien Hipertensi Setelah Menjalani Terapi Bekam.” Jurnal Ners
Indonesia 9(1): 19.

Kementerian Kesehatan RI. (2016). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kementerian

24
Kesehatan Republik Indonesia.

Rosmayati. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa
Rantau Sialang Kecamatan Kuantan Mudik Tahun 2014. Pekanbaru: STIKes Payung
Negeri Pekanbaru

Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru. (2018). Profil Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun 2018.
Pekanbaru: Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru

LeMone, Priscilla, dkk. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Intergumen,
Gangguan Endokrin, dan Gangguan Gastrointestinal Vol 2 Edisi 5. Terjemahan oleh,
Bhetsy Angelina, et al. 2015. Jakarta: EGC.

Abelson. 2011. “Influenza.” : 1–7.

Bakland, ngle dan. 2009. “Penyakit Periapikal.” (Tronstad): 1–6.

Indramaya, Sp.KK, dr.Diah Mira. 2019. “‘Faeohipomikosis Subkutan’ Penyakit Kulit Langka
Akibat Infeksi Jamur.” http://news.unair.ac.id/2019/12/02/faeohipomikosis-subkutan-
penyakit-kulit-langka-akibat-infeksi-jamur/.

Pharmascience, Jurnal et al. 2016. “Review Rheumatoid Arthritis : Terapi Farmakologi ,


Potensi Kurkumin dan Analognya , serta Pengembangan Sistem Nanopartikel.” 3(1): 10–
18.

Dahliana (2017) HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN PEKERJA DALAM


PEMAKAIAN APD DENGAN TERJADINYA PENYAKIT DERMATITIS PADA
PEKERJA SPRAYING DI PT. RAPP ESTATE TESO PEKANBARU RIAU TAHUN
2017. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Fithriyana, R. (2018) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dispepsia Pada


Pasien Di Willayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota’, Jurnal Kesehatan Masyarakat,
2(2), pp. 43–54. Available at:
https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/prepotif/article/view/79.

Maharani, R. et al. (2021) ‘Perilaku Pencegahan Gastritis Pada Mahasiswa Kesehatan di Hang
Tuah Pekanbaru’, Jurnal Kesehatan Global, 4(2), pp. 75–83.

Pekanbaru, D. K. (2019). PROFIL DINAS KESEHATAN KOTA PEKANBARU 2019.

25
Riau, D. K. (2017). PROFIL KESEHATAN PROVINSI RIAU 2017.

Riau, D. K. (2018). PROFIL KESEHATAN PROVINSI RIAU 2018.

26

Anda mungkin juga menyukai